Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

65. Bayang Menakutkan

"Ryan? Ry-Ryan? Rizki Adryan Wicaksana?"

Adalah hal yang aneh bila Nathan tidak syok. Maka tentu respon spontan yang ia berikan tatkala mendengar perkataan Vanessa adalah halyang manusiawi. Lumrah sekali untuk terjadi. Terutama pada dirinya. Yang ... astaga! Sudah jelas, Nathan tidak mengira.

Ekspresi wajah Nathan tampak tidak percaya. Kembali bertanya setelah Vanessa memberikan anggukan kepalanya sebagai jawaban untuk ketidakpercayaannya tadi. Menanyakan hal dengan inti yang sama.

"Ma-maksud Ibu, Ibu akan menikah dengan Ryan?"

Vanessa mengembuskan napasnya sekilas. Di dalam benak, ia tentu saja menampik pertanyaan itu. Ironis, tapi memang begitulah kenyataannya.

Bukan akan.

Melainkan sudah.

Hanya saja Vanessa mewanti-wanti dirinya sendiri agar tidak sampai terlepas mengatakan kejujuran yang satu itu. Bukannya apa. Sedangkan ia jujur mengenai rencana acara pernikahannya bersama Ryan saja sudah lebih dari sukses membuat Nathan tidak percaya. Apalagi kalau dirinya sampai mengatakan fakta yang sebenarnya. Itu pasti akan lebih mengejutkan lagi untuk Nathan.

"Iya, Pak," angguk Vanessa. "Maka dari itu juga mengapa saya terkesan menutupi hubungan saya selama ini. Gimanapun juga, rasanya sedikit tidak etis untuk mempubliskannya sementara ia belum tamat."

Mulut Nathan menganga. Berusaha untuk mencari tanda-tanda kebohongan di wajah Vanessa pun rasanya percuma. Karena setelah detik demi detik berlalu, tak ada sedikit pun gurat gurau di wajah cantik itu. Ya Tuhan! Vanessa benar-benar serius. Hingga tentu saja mendorong Nathan ke tepi jurang rasa tak percayanya.

"Gimana bisa?"

Itu adalah pertanyaan refleks yang sama sekali tidak Nathan kira akan ia layangkan pada Vanessa. Karena itu adalah pertanyaan yang memalukan. Astaga. Bahkan sedetik setelah pertanyaan itu meluncur dari lidahnya, Nathan langsung mengatupkan mulutnya. Seperti ia yang khawatir akan terlepas mengatakan hal memalukan lainnya.

Mendapati pertanyaan itu, Vanessa pun maklum. Ia mendehem sejenak dan memilih untuk benar-benar menjawab pertanyaan itu.

"Kami dijodohkan," jawab Vanessa jujur. "Dan mungkin karena itulah kenapa tanpa sadar kami tampak seperti dekat di kampus."

Sambil mengatakan itu, Vanessa membawa tatapannya untuk lepas sejenak dari mata Nathan. Bagaimanapun juga, ia sedikit merasa tidak nyaman membicarakan hal pribadi seperti itu pada lawan jenis. Namun, ia sadar. Sekarang ia tidak memiliki pilihan lain.

"Juga," lanjut Vanessa kemudian seraya menarik napas dalam-dalam. "Mungkin karena itu juga kenapa Ryan jadi seolah-olah selalu berada di sekitar saya." Perlahan vanessa mengangkat wajahnya. "Kami hanya berusaha untuk saling mengenal satu sama lain."

Mendengar penuturan itu, tak ada yang mampu Nathan lakukan. Kecuali satu. Yaitu, memejamkan matanya dengan dramatis.

*

Ryan syok. Terkesiap dengan suara yang nadanya tidak pernah Vanessa dengar sebelumnya. Dengan mata membesar dan mulut menganga, cowok itu tampak membeku tepat setelah mendengar penuturan Vanessa.

"A-a-apa kamu bilang, Sa?" tanya Ryan gagap. "Ka-kamu ngomong apa ke Pak Nathan?" Ia tampak kebingungan. "Kamu ngomong ke Pak Nathan?"

Kala itu, jarang-jarang sekali Ryan dan Vanessa tiba di gedung apartemen secara bersamaan. Ketika Ryan selesai memarkirkan motornya dan masuk, berjalan menuju ke lift, ia mendapati cewek itu sedang berdiri menunggu lift. Kebetulan yang tidak disia-siakan oleh Vanessa.

Karena ketika menyadari sepanjang perjalanan menuju ke lantai mereka tidak ada penghuni lain yang turut menggunakan lift itu, maka Vanessa pun menceritakan tentang apa yang terjadi tadi di kampus. Tentang dirinya yang menemui Nathan di pagi hari di ruang kerja cowok itu. Lalu ia pun menceritakan mengenai hubungan mereka dalam perkataan yang samar. Dan tak lupa, membeberkan fakta bahwa ia meminta Nathan untuk hadir di pernikahan mereka sebagai saksi.

"Iya," angguk Vanessa tepat ketika tangannya memegang daun pintu kamar mereka. "Aku ngomong ke dia kalau calon suami aku itu kamu."

Ini bukan lagi membeku. Sekarang Ryan tidak tau entah ia masih berada di dunia nyata atau dunia khayalan semata. Sungguh, ia tidak menyangka Vanessa akan bertindak seperti itu.

Vanessa masuk ke kamar. Diikuti oleh Ryan yang merasa saat itu kakinya tidak benar-benar menginjak lantai. Mungkin saja kan saat ini justru adalah roh cowok itu yang sedang mengambang ke mana-mana?

"Dan nggak cuma itu."

Melihat pada Ryan melalui atas bahunya, Vanessa menaruh tas kerjanya di atas meja. Diikuti pula oleh Ryan yang meletakkan tas ranselnya tak jauh dari milik Vanessa. Cewek itu lanjut berkata.

"Aku juga minta dia buat jadi saksi pernikahan kita."

Ya Tuhan Penguasa Semesta Alam.

Ryan seketika langsung terduduk di kursi. Kepalanya jatuh tertunduk. Kali ini, Ryan tidak meragukannya lagi. Pasti rohnya sudah melayang keluar dari tubuhnya.

"Gimana mungkin, Sa?" tanya Ryan histeris. "Gimana mungkin kamu cerita ke Pak Nathan tentang kita? Dan ... dan ... apa tadi?" Ryan benar-benar syok dan histerisnya semakin menjadi-jadi ketika ia bertanya lagi. "Kamu malah minta dia jadi saksi nikahan kita?"

Vanessa menampilkan ekspresi polosnya yang sungguh, tidak ingin Ryan lihat saat ini. Sama sekali bukan waktu yang tepat untuk memandang ekspresi yang selalu berhasil membuat ia gemas itu. Karena sekarang Ryan hanya bisa melongo melihat bagaimana Vanessa mengangguk.

"Iya. Aku minta dia buat jadi saksi nikahan kita ntar," jawab Vanessa. "Kepalang kan biar dia yakin aku bakal nikah? Dan kepalang juga biar dia tau siapa cowok yang udah dia persulit akhir-akhir ini."

Kedua tangan Ryan naik dan langsung mendarat di kepalanya. Ia tampak terguncang. "Sa, ini kamu serius?" tanya cowok itu lagi. "Kamu ini sejenis psiko atau gimana? Ya Tuhan. Kamu nggak bisa ngelempar mangkuk aja ketimbang nyuruh cowok yang suka sama kamu justru jadi saksi pernikahan kamu?"

Vanessa tampak mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Tidak mengatakan apa-apa ketika Ryan tampak semakin histeris di tiap detiknya.

"Masuk akal? Kamu nolak dia, eh ... terus kamu nyuruh dia jadi saksi nikahan kita? Ya Tuhan. Kok bisa-bisanya, Sa?"

Karena sebagai seorang cowok, tentu saja Ryan bisa memperkirakan dampak yang terjadi pada Nathan. Astaga. Ia tidak ingin membayangkan bagaimana keadaan kejiwaan dosen itu sekarang.

"Aku udah nggak mikir apa-apa lagi, Yan. Tadi itu aku udah kebawa emosi aja."

Ryan meneguk ludahnya. "Kebawa emosi?" tanyanya mengulang perkataan Vanessa dengan meringis. "Tapi, terlepas dari itu, kamu udah mikir belum sih apa yang kamu lakukan? Gimana bisa kamu bocorin hubungan kita di depan dia?"

Mengenyampingkan perasaan Nathan yang Ryan duga saat ini sedang porak-poranda, ia pun menyadari ada hal penting lainnya. Kekhawatirannya seketika timbul. Dan Vanessa jelas mengetahui isi pikiran Ryan. Karena ketika ia turut duduk pula di hadapan Ryan, ia bisa melihat rasa khawatir itu di sorot matanya.

"Kalau ntar berita ini kesebar gimana? Ya ampun. Kamu yang bakal dapat masalah. Ntar gimana kamu dilihat sama anak-anak, Sa. Kamu mikir itu nggak sih? Kalau aku sih nggak jadi masalah diberitain miring kayak gimana. Orang dalam berapa bulan aku bakal tamat. Tapi, kamu? Mungkin kamu seumur hidup bakal terus ngajar."

Melihat Ryan yang bicara panjang lebar, entah mengapa justru Vanessa yang menarik udara dalam-dalam. Seperti sistem pernapasannya yang mendadak terganggu melihat itu. Tapi, terlepas dari itu Vanessa masih tampak santai.

"Dia nggak mungkin bocorin berita itu ke orang lain."

"Nggak mungkin?" tanya Ryan seraya mendengkus. "Yakin banget kamu ngomong gitu?"

Vanessa mengangguk. "Aku tau dia nggak mungkin bocorin hal itu ke orang lain."

Mengatakan itu, ada beberapa pemikiran yang berkelebat di benak Vanessa. Walau cewek itu sekarang meragukan kebaikan Nathan seperti mereka baru bertemu dulu, ia justru memikirkan hal lain. Bahwa seharusnya Nathan akan merasa tersudut bila kabar mengenai dirinya dan Ryan tersebar. Bukankah itu seperti menjelaskan pada dunia kalau cowok itu tidak bisa dipercaya?

"Ya syukur deh kalau dia nggak bocorin tentang hubungan kita. Tapi ...."

Dahi Vanessa mengerut. Jelas bisa menangkap nada yang berbeda di suara Ryan kala itu. Terutama ketika ia menjeda perkataannya di tempat yang amat tepat.

"Tapi?"

Vanessa yang tak mampu menahan rasa penasarannya, pada akhirnya bertanya. Ia tak mau menunggu lama-lama sementara ia tak tau entah kapan Ryan akan melanjutkan perkataannya. Alih-alih semakin memperjelas ringisan di wajahnya. Terutama ketika selanjutnya ia bersuara.

"Tapi, gimana nasibnya dengan sidang aku?"

*

Ah, rasa-rasanya Ryan mendadak terkena vertigo dan anemia dalam waktu yang bersamaan. Itu seperti bumi bergoyang-goyang di bawah kakinya yang tengah berjalan di koridor Gedung Kuliah kala itu. Bahkan lebih mirisnya lagi, entah bagaimana bisa pohon yang ada di taman terlihat seperti meliuk-liukkan batangnya.

Ya Tuhan.

Ryan memejamkan mata. Menarik napas dalam-dalam dan berusaha tenang. Terlebih lagi ketika ia mendapati satu tepukan di pundaknya. Yang tentu saja itu adalah Abid. Manusia terakhir yang sebenarnya ingin Ryan temui di hari ini. Demi kestabilan kejiwaannya yang sekarang sedang tidak dalam keadaan stabil.

"Kemaren abis nemui Bu Fatma," kata Abid langsung tanpa menghiraukan keanehan pada ekspresi wajah Ryan kala itu. "Kamu ke mana? Aku cariin kamu udah nggak ada. Motor kamu juga nggak ada. Kamu langsung balik atau gimana?"

Lesu dan lemas, seperti dirinya yang sedang tidak memiliki tenaga, Ryan menoleh. Memberikan satu anggukan sebagai pertanyaan itu. Tanpa ada kata-kata penjelasan yang menyertainya.

Abid menyipitkan matanya. "Kenapa kamu?" tanyanya lagi. "Keliatan lemes banget hari ini. Ah!" Abid menebak. "Nggak dimasakin sarapan ya?" Lalu ia tertawa. "Hahahaha."

Hanya saja, ketika ia menyadari bahwa Ryan tidak menampik perkataannya atau memberikan respon yang lainnya, Abid pun langsung menghentikan tawanya. Seketika terdiam dengan mata yang menatap penuh kecurigaan pada Ryan tatkala cowok itu masuk ke ruang kelas dan duduk di salah satu kursinya.

Abid langsung mengambil tempat di sebelah Ryan. Memanfaatkan keadaan kelas yang masih sepi, ia pun bertanya dengan bisik-bisik.

"Kamu kenapa? Bu Fatma nggak mau nguji kamu tanggal 19?"

Seolah tak ada gairah hidup, Ryan menggeleng. "Nggak kok. Bu Fatma mau nguji aku tanggal segitu."

Namun, ekspresi yang tercetak di wajah Ryan saat ini bukanlah jenis ekspresi senang karena akan sidang. Bukan. Abid bisa melihatnya dengan jelas. Tak ada gurat kebahagiaan di sana, alih-alih raut kepasrahan.

"Terus kenapa?" tanya Abid lagi. "Kamu ... keliatan bukan kayak mahasiswa yang senang karena mau sidang."

Mengembuskan napas panjang, lagi-lagi Ryan mengangguk. "Tentu aja. Aku memang bukan lagi mengalami kebahagiaan karena mau sidang. Tapi ...."

Dibutuhkan jeda beberapa detik lamanya sebelum pada akhirnya Ryan menceritakan apa yang terjadi pada Abid. Dari hasil pertemuan dengan Nathan dan ditutup oleh Vanessa yang jujur pada cowok itu keesokan harinya. Dan mendengar kata demi kata yang diucapkan Ryan, maka makin membesarlah mata Abid. Diikuti pula dengan ekspresi wajahnya yang berubah horor.

"Lagi kamu ngekorin Bu Vanessa aja hasilnya kamu dibantai di seminar hasil," ujar Abid ngeri. "Terus gimana ceritanya dengan sidang kamu, Yan? Itu bakal jadi ujian skripsi atau prosesi pemakaman kamu?"

Mata Ryan terpejam dengan dramatis. Ingin menampik perkataan Abid, tapi sejujurnya saja dari kemarin ia terpikirkan hal yang serupa. Maka tidak heran sama sekali bila ia kemudian justru berkata seperti ini.

"Jangan siapkan buket bunga untuk aku sidang ntar, Bid. Tapi, siapkan aja bunga tabur untuk kuburan aku."

Abid menelan ludahnya. Menyadari bahwa perkataan Ryan tidak berlebihan sama sekali. Mengingat riwayat kejadian yang telah terjadi, itu manusiawi sekali terjadi.

Abid menepuk pundak Ryan. Menguatkannya. "Nggak apa-apa, Yan. Mudah-mudahan aja ntar di papan nisan kamu udah ada gelarnya."

Bukan ke dalam jenis penghiburan yang Ryan butuhkan sebenarnya. Tapi, apa boleh buat. Kemungkinan ia akan menemui tragedi di saat sidang nanti adalah hal yang manusiawi sekali.

"Ting!"

Adalah bunyi ponsel Ryan yang kemudian membuat pikiran itu hilang sejenak dari benaknya. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya. Dan matanya langsung membelalak. Melihat nama pengirim pesan itu.

"Ya Tuhan."

Bahkan Abid pun langsung terkesiap ngeri melihatnya. Hingga alih-alih hanya wajah Ryan yang memucat, melainkan wajahnya juga.

"Yan ...," lirih Abid horor. "Pak Nathan?"

Menarik napas dalam-dalam, Ryan menguatkan diri. Membuka pesan itu dengan tubuh yang terasa dingin.

[ Nathan Hadiyaksa ]

[ Pagi, Ryan. ]

[ Kalau kamu ada di kampus, segera ke ruangan saya. ]

Membaca pesan itu, Ryan memejamkan matanya dramatis. Kepalanya langsung tertunduk lesu seolah tak berdaya menghadapi tarikan gaya gravitasi. Diikuti oleh organ tubuhnya yang seperti mati dengan kompak, kecuali telinganya. Karena dengan jelas ia masih bisa mendengar Abid berkata.

"Jaga-jaga, aku bakal siapin nomor rumah sakit."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro