63. Lain Harapan Lain Kenyataan
Pagi-pagi datang ke kampus demi menyerahkan kembali hasil revisian draf skripsinya, Ryan mendapati bahwa Abid sudah duduk dengan santai di lorong Gedung Jurusan. Berjalan dengan santai memang dengan niatan untuk menghampiri temannya itu terlebih dahulu sebelum menemui dosennya, Ryan justru dibuat kaget oleh tindakan Abid. Mendadak, cowok berambut sedikit ikal itu bangkit. Langsung menghambur padanya dan meraih tangan Ryan. Mengangkatnya ke udara dan melihatnya berulang kali dengan lamat-lamat.
Dahi Ryan mengerut. Berusaha menarik tangannya, tapi Abid tidak membiarkannya. Hingga cowok itu bertanya dengan nada menggerutu.
"Apaan sih?"
Tidak memindahkan fokus matanya dari tangan Ryan, Abid masih memberikan tatapan dengan sorot menyelidik. Persis seperti seorang detektif yang tengah menemukan barang bukti.
"Ini ...," lirih Abid berkata seraya beralih melihat pada Ryan. "... tangan yang ada di feed ehem-ehem?"
Sontak saja mata Ryan membesar. Dengan raut panik, ia celingak-celinguk. Memastikan hari memang masih sangat pagi dan tidak ada orang yang berada di sekitar mereka saat itu. Walau suara Abid memang sangat pelan, tapi tentu saja Ryan tak mampu menahan dirinya untuk tidak menjitak temannya itu.
Menarik tangannya sekuat tenaga, tanpa basa-basi, Ryan langsung menyentil dahi Abid. Seraya memelototkan mata tentunya.
"Kalau ngomong nggak liat-liat tempat?"
Abid mengaduh. Mengusap dahinya. Dan tidak menjawab pertanyaan itu, ia justru menukas. Dengan topik yang berbeda.
"Kekuatan lontong sayur emang nggak kaleng-kaleng ya, Bun."
Mata Ryan mengerjap sekali. "Sorry. Aku sarapan tadi dengan nasi goreng double telor ceplok," ujarnya. "Ah! Dan nasi gorengnya bukan beli."
Abid membuka mulutnya. Berniat untuk bicara, namun Ryan kembali bersuara.
"Juga bukan aku yang masak."
Abid kembali ingin berbicara, tapi lagi-lagi Ryan mendahuluinya.
"Juga bukan Mama atau Elin yang masak."
Geregetan, pada akhirnya giliran Abid yang mendelik. "Iya iya iya. Aku tau. Nggak usah sok mau pamer."
Seringai timbul di wajah Ryan. Tampak senang mendengar gerutuan Abid. Rasanya ... ah, bahagia. Hihihihi.
"Ternyata tau ya?"
Sumpah. Kalau tidak ingat mereka saat itu sedang berada di mana, ingin sekali rasanya Abid memuntahkan nasi kucing yang baru saja ia makan setengah jam yang lalu. Melihat ekspresi Ryan, benar-benar membuat perutnya terasa mual.
"Tapi, ketimbang ngomongin soal sarapan ...."
Suara Abid kembali lirih terdengar bersuara. Kali ini, walau ia tidak meraih tangan Ryan lagi, tapi pandangan matanya tidak berbohong. Ia masih melihat ke sana dan bertanya dengan nada rendah.
"Emang beneran tangan ini?"
Melihat ekspresi yang terpampang di wajah Abid, terutama ketika ia tau dengan pasti ke mana mata Abid melihat, tentu saja membuat Ryan tak mampumenahan senyumnya untuk terbit. Berusaha menyembunyikannya tentu saja mustahil. Jadi, Ryan dengan senang hati menunjukkan raut senangnya.
Mengusap-usap tangannya sendiri, Ryan lalu menjawab. "Terus kalau bukan tangan ini, emangnya tangan siapa lagi?"
Jawaban berupa pertanyaan balik itu tentu saja membuat Abid merasakan mual di perutnya semakin menjadi-jadi.
"Atau kalau kamu ragu," ujar Ryan dengan sorot jahil di matanya. "Tanyain aja langsung deh sama yang posting. Hahahaha. Kamu komen juga boleh. Walau aku nggak yakin bakal dibalas sih." Ryan berdecak. "Banyak banget yang komen nanyain soalnya. Gimana?"
Sekarang, Abid yakin dirinya tidak hanya mual-mual. Melainkan rasanya ingin muntah sungguhan. Hingga ia pun merutuk di benaknya.
Ya Tuhan.
Kayaknya besok aku nggak mau sarapan nasi kucing lagi deh.
Mending nasi uduk aja sekalian.
Atau kalau nggak, kepalang nasi tumpeng.
Meringis, Abid memutuskan untuk tidak semakin membesarkan kepala Ryan. Maka ia pun beranjak ketimbang menjawab pertanyaan Ryan itu. Pertanyaan yang jelas sekali tidak membutuhkan jawabannya.
Kembali duduk di kursi yang tersedia di lorong jurusan, Abid mendapati Ryan yang turut serta mengikutinya. Masih dengan cengiran segar yang terpampang di wajahnya, ia mendapati Ryan yang kemudian kembali bertanya padanya. Dengna topik yang berbeda. Topik yang seharusnya memang diangkat oleh mereka berdua mengikat status keduanya sebagai mahasiswa.
"Mau ngadap Pak Rahmat?"
Abid mengangguk. "Mau setoran hasil olah data kemaren," jawabnya. "Kamu?"
"Mau ngasih hasil revisian skripsi. Mumpung belum mulai UAS. Aku mau ngebut revisi dulu. Biar siap buat sidang ntar."
"Oh ...." Manggut-manggut, Abid kemudian terpikir sesuatu. "Menurut kamu, kamu bisa tamat semester ini?"
Mengusap telapak tangannya satu sama lain, Ryan menoleh. "Nggak tau juga sih bisa atau nggak. Ya dicoba aja dulu. Mudah-mudahan aja nilai semester ini bisa keluar cepat. Kalau semuanya keluar di minggu kedua UAS, aku masih ada harapan buat ujian sih."
Mendengarkan jawaban Ryan, Abid langsung merogoh saku celananya. Membuka situs kampus dan menyasar pada kalender akademik. Melihat jadwal ujian akhir semester yang dimulai dari tanggal 5 hingga 16 Juli. Di mana empat mata kuliah yang Ryan ambil semuanya mendapat jadwal ujian di minggu pertama. Menyisakan beberapa hari untuk cowok itu menunggu nilainya keluar dan mendaftar ujian skripsi.
"Tekejar nggak?" tanya Abid lagi. "Ujian terakhir tanggal 19 soalnya."
Ryan menarik napas dalam-dalam. Wajahnya sedikit terangkat. Ia tersenyum tipis, tapi lantas berubah menjadi senyuman geli.
"Nggak tau juga sih," ujar Ryan menjawab. "Sejujurnya aja aku ragu. Soalnya ya ... waktunya emang mepet banget. Dan kalaupun nilai aku cepet keluar, menurut kamu aja, Bid. Apa dosen-dosen aku mau dikejar buat sidang ya?"
"Ehm ...."
Abid mendehem sejenak dengan penuh irama. Tampak berpikir. Mempertimbangkan kemungkinan itu di benaknya.
"Bisa aja sih. Lagian kan dosen emang biasa juga dikejar-kejar mahasiswa buat sidang."
Ryan tampak tidak yakin. "Gitu?"
"Gitu," angguk Abid. Lalu sejurus kemudian, ia tampak melihat seorang dosen yang melewati pintu masuk Gedung Jurusan. Yang langsung beradu pandang padanya. Membuat Abid seketika bangkit berdiri dari duduknya. "Selamat pagi, Pak Rahmat."
Rahmat, dosen pembimbing utama Abid, mengangguk seraya terus melangkah. Namun, tentu tanpa abai untuk membalas sapaan sopan itu.
"Pagi, Abid. Ada janji ketemu dengan saya kan pagi ini?"
Abid mengangguk. "Iya, Pak."
"Oke."
Mendengar itu, Abid langsung buru-buru menepuk Ryan sekilas. Layaknya satu ucapan pamit ketika sedetik kemudian ia langsung beranjak. Mengikuti langkah kaki dosennya yang langsung menuju ke ruang kerjanya. Meninggalkan Ryan seorang diri.
Ditinggal Abid, Ryan lantas merenung. Dengan wajah tertunduk, ia memikirkan rencana ke depannya. Ia ingat dengan jelas, Vanessa akan berusaha membantunya. Akan mengambil alih proses input nilai akhir keempat mata kuliah yang ia ambil. Dengan harapan semakin cepat nilai akhir keluar, maka peluang Ryan untuk ujian di detik-detik terakhir, bisa terwujud. Namun, tentu saja. Itu dengan catatan semua dosennya berkenan untuk menguji di hari akhir itu.
Mengembuskan napasnya perlahan, Ryan diam-diam berdoa di dalam hati. Semoga saja semua bisa berjalan sesuai dengan rencana. Rasanya mungkin akan menyakitkan melihat perjuangan Vanessa menjadi hal yang tak berarti apa-apa
Hanyut dalam pikirannya untuk beberapa saat, adalah suara langkah seseorang yang menggugah kesadarannya. Mengira bahwa itu adalah Fatma, Ryan mengangkat wajahnya. Namun, sosok cowok berkacamata itu tentu saja bukan Fatma.
"Selamat pagi, Pak Nathan."
Nathan melirik pada Ryan. Tampak ekspresi wajahnya datar, tapi ia mengangguk sekali. Membalas singkat seraya terus berjalan. Melewati Ryan yang sontak mengekori cowok itu dengan pandangan matanya.
Membiarkan sosok Nathan pelan-pelan menghilang dari matanya, Ryan lantas mendengar namanya dipanggil.
"Ryan, udah lama kamu sampe?"
Ketika Ryan menoleh, ia mendapati Fatma yang baru saja tiba. Maka ia pun segera berdiri. Menyambut kedatangan dosen pembimbingnya itu. Bersalaman dan menjawab.
"Nggak terlalu lama, Bu."
Fatma mengembuskan napas lega. "Oke. Kita langsung ke ruangan saya."
Berada di ruang kerja Fatma, Ryan mengeluarkan draf skripsi miliknya yang sudah direvisi. Sesuai dengan arahan Fatma beberapa waktu yang lalu. Tanpa melupakan draf lama, Ryan menyerahkan kedua draf itu pada Fatma. Membiarkan dosennya untuk memeriksa sejenak.
"Jadi ... kapan kamu rencananya mau sidang?" tanya Fatma seraya melepas sejenak kacamata yang ia kenakan. "Akhir bulan Juli atau awal Agustus?"
Di balik meja, Ryan meremas kedua tangannya. Mendadak saja jantungnya berdebar dengan tak nyaman. Nyaris membuat ia gugup ketika menjawab pertanyaan sang dosen. Takut-takut.
"Rencananya sih kalau terkejar, saya mau ujian tanggal 19 Juli besok, Bu."
Jawaban yang membuat dahi Fatma berkerut. Maka tidak heran sama sekali kalau Fatma bertanya demi meyakinkan.
"Bukannya itu mepet dengan jadwal UAS ya? Kamu kan masih ada empat MK yang belum keluar nilainya, Yan."
Ryan meringis. "Semua MK saya ujian di minggu pertama, Bu. Jadi kalau nilai cepat keluar, sepertinya mungkin untuk ujian tanggal 19."
Sepertinya Fatma meragukan itu. Hal yang tampak dengan jelas dari ekspresi wajahnya. Namun, ia tidak berniat untuk mengecilkan hati mahasiswa bimbingannya.
"Ehm ... memang bisa sih," ujar Fatma seraya meraih satu buku catatannya di atas meja. Membukanya dan mengecek jadwalnya di sana. "Karena itu masa penghitungan nilai akhir semesteran, saya juga nggak ada janji di tanggal itu. Jadwal saya kosong."
Tidak cukup menenangkan sebenarnya untuk Ryan, tapi cowok itu mengembuskan napas leganya. Setidaknya Fatma bisa menguji dirinya di tanggal itu.
"Tapi ...."
Suara Fatma terdengar lagi. Berhasil membawa kembali fokus Ryan.
"Ada baiknya kamu segera menanyakan jadwal pada dosen lainnya. Kalau misalnya bisa, itu bagus. Dan bila nantinya nilai kamu belum keluar, kita bisa meminta surat keterangan lulus MK saja dulu dari Jurusan. Sayang juga kalau kau nggak bisa ikut wisuda periode ini. Masa harus nunggu sampe periode selanjutnya."
Ryan mengangguk. "Baik, Bu. Habis dari sini saya sekalian juga mau ngasih draf untuk Pak Zidan. Nanti saya tanyakan juga jadwal beliau. Juga dengan dosen penguji lainnya."
Maka dari itu, keluar dari ruangan Fatma, Ryan langsung menuju ke ruang dosen lainnya. Yang pertama adalah ruangan Teguh mengingat letaknya yang tak jauh dari ruangan Fatma.
"Tanggal 19 Juli?" tanya Teguh. "Apa terkejar? Kamu loh juga ada ngulang Biokimia dengan saya kan?"
Ringisan samar lolos dari bibir Ryan. Ia mengangguk. "Iya, Pak. Tapi, ujian Biokimia itu di hari pertama UAS, Pak," ujarnya. "Kata Ibu Fatma, kalau memang nilai akhir belum keluar di portal, bisa diusahakan dengan meminta surat keterangan dari Jurusan."
Teguh merenungkan perkataan Ryan. "Memang sih," ujarnya membenarkan. Lantas, ia mengangguk. "Kalau memang begitu, ya ... saya bisa-bisa saja. Tanggal 19 saya juga kosong."
Ryan seketika mengucapkan syukur di dalam hatinya. Menyadari bahwa harapan di benaknya makin membesar mendengarkan persetujuan dari Teguh. Dan keluar dari ruangan itu, Ryan pun menuju ke ruang Zidan.
Ada seorang mahasiswa yang sedang konsultasi dengan Zidan. Hingga Ryan pun terpaksa mengurungkan niatnya sejenak. Ia harus menunggu terlebih dahulu untuk bisa bertemu dengan dosen pembimbing pendampingnya itu. Dan ketika itulah ia mendadak teringat pada Nathan. Yang jelas sudah datang dan bertemu dengannya di dekat pintu masuk Gedung Jurusan tadi. Tak membuang waktu, Ryan pikir akan lebih baik kalau ia menemui Nathan terlebih dahulu.
Mengetuk pintu ruangan Nathan dengan sopan, Ryan masuk di dua detik selanjutnya. Setelah ia mendengar suara sang dosen yang memberikannya izin. Lantas tak lupa menutup pintu ruangan tersebut.
"Selamat pagi, Pak."
Mata Nathan mengerjap sekali. Ia tampak mengembuskan napas panjang dengan wajah yang terlihat suntuk. Tanpa sadar ia merutuk di dalam hati.
Setelah kejadian tempo hari, ia justru datang ke sini?
Nathan menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk mengenyahkan ingatan memalukan yang terjadi padanya beberapa hari yang lalu. Tepat ketika Vanessa memojokkannya dan membuat ia tidak mampu berkata apa-apa lagi.
"Pagi," balas Nathan datar. "Ada apa?"
Berusaha menenangkan diri, Ryan tidak lupa memasang sikap sopannya ketika bertanya. Mengatakan dengan langsung maksud kedatangannya kala itu. Yang langsung disambut respon syok Nathan.
"Tanggal 19 Juli kamu mau ujian?"
Alarm peringatan mendadak berbunyi di benak Ryan. Melihat dari respon Nathan, ia seperti bisa menerka jawaban apa yang akan ia dapatkan. Terutama karena ekspresi wajah sang dosen yang suntuk dari awal kedatangannya tadi, terlihat semakin suntuk.
Ragu, namun Ryan tetap mengangguk. "Iya, Pak," jawabnya. "Saya sudah menanyakan Bu Fatma dan Pak Teguh. Mereka bersedia menguji di tanggal itu. Dan kalaupun nilai MK saya belum keluar, rencananya saya akan meminta surat keterangan lulus MK dari Jurusan."
Seakan tidak mengacuhkan penjelasan Ryan, Nathan tampak menggeleng beberapa kali. Hal yang tentu saja membuat Ryan membeku.
"Saya mau cuti," ujar Nathan ketus. "Jadi saya nggak bisa nguji tanggal 19 nanti."
Tak pelak lagi, jawaban Nathan membuat Ryan lemas seketika. Hanya satu penolakan. Tapi, itu dengan sukses membuyarkan semua rencana yang sudah Ryan dan Vanessa susun bersama.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro