60. Satu Keinginan
Sejenak, Vanessa memilih untuk tetap diam menanggapi pertanyaan Ryan. Karena bagaimanapun juga, ia tidak pernah menduga bahwa Ryan akan menanyakan hal itu. Entah kebetulan atau bagaimana, di satu sisi, Vanessa pun mendadak merasa tidak enak.
Apa Ryan ada dengar berita apa gitu di kampus?
Mata Vanessa mengerjap. Dalam dugaan bahwa Ryan mendengar hal yang aneh-aneh di luar sana, ia justru balik bertanya.
"Ke-kenapa kamu mendadak nanya gitu?"
Dan Ryan, ketika ia mendapati justru pertanyaan balik yang Vanessa berikan, bisa mengambil kesimpulannya sendiri. Itu respon alamiah. Respon spontan akan sesuatu yang memang terjadi.
"Aku memang dipanggil."
Bingung dan salah tingkah, Vanessa menarik napas dalam-dalam. "Kamu denger dari siapa?" tanyanya lagi. "Siapa yang ngomong kalau kamu dipanggil?"
Ryan menatap Vanessa dalam sorot yang tidak mampu untuk diungkapkan dengan kata-kata. Dan cowok itu menggeleng.
"Nggak ada yang ngomong kalau aku dipanggil," ujar Ryan menjawab pertanyaan Vanessa. "Tapi, kalau ngeliat dari sikap kamu ...."
Vanessa sontak memejamkan matanya sekilas. Mungkin menyadari bahwa setiap rahasia hanya membutuhkan waktu untuk terbongkar.
Pada akhirnya, Vanessa memutuskan untuk menghadapinya. Ia membuka mata. Balas menatap pada Ryan dan ia berkata.
"Kamu nggak dipanggil kok."
Tampak sedikit kerutan muncul di dahi Ryan. "Tapi?"
"Sebenarnya ... kamu memang berencana untuk dipanggil."
Perkataan Vanessa membuat tubuh Ryan mendingin. Ia membeku. Dan untuk pengakuan itu, ia tidak bisa mengatakan apa-apa sebagai responnya. Ia terdiam.
"Tapi, kamu nggak perlu khawatir," ujar Vanessa kemudian. Seulas senyum tampak terbit di bibirnya, berusaha untuk menenangkan Ryan. "Kan akhirnya kamu nggak jadi dipanggil."
Namun, Ryan pasti mengerti. Mustahil sekali dirinya yang semula akan dipanggil, justru tidak mendapati panggilan itu. Maka ia pun bertanya lagi.
"Kenapa? Kenapa aku nggak jadi dipanggil?"
Embusan napas panjang meluncur dari Vanessa. Sekilas, ia menundukkan wajah. Menjawab pertanyaan itu tanpa menatap mata Ryan.
"Karena aku udah klarifikasi langsung ke tim. Jadi, kamu tenang aja. Kamu nggak bakal dipanggil kok."
Butuh waktu beberapa saat bagi Ryan untuk mencerna perkataan Vanessa. Memaknainya dengan pelan-pelan dan teliti. Hingga ia berada pada satu kesimpulan.
"Kamu yang dipanggil?"
Mengangguk, Vanessa lantas kembali mengangkat wajahnya. Masih tersenyum. "Tapi, kamu nggak perlu khawatir. Itu nggak kayak yang kamu pikirkan. Cuma ngobrol doang sih. Ya ... klarifikasi aja. Nggak lebih nggak kurang."
Wajah Ryan tampak datar. "Klarifikasi apa?"
Vanessa membuang napas. Lalu menjawab. "Klarifikasi kalau kamu nggak seperti yang dilaporkan."
Selesai mengatakan itu, Vanessa pun berpikir bahwa tak ada gunanya lagi bila ia berusaha untuk menutupi apa yang terjadi. Maka ia pun memutuskan untuk jujur. Bagaimanapun juga, itu lebih baik ketimbang Ryan menduga yang aneh-aneh.
"Tempo hari," lirih Vanessa seraya menarik udara dalam-dalam. "Yang waktu aku marah-marah nggak jelas sore itu ... kamu masih ingat kan?"
Ryan tidak akan melupakan hal itu. Ketika setelah sekian lama ia tidak melihat Vanessa marah, ia justru mendapati pemandangan ganjil di sore itu. Kala itu, Vanessa memang tidak menceritakan apa penyebab kemarahannya. Tapi, sekarang Ryan bisa menebaknya.
"Itu ... gara-gara kamu dipanggil?"
Dengan dahi yang sedikit mengernyit, Vanessa menggeleng. "Bukan karena aku dipanggil sih sebenarnya yang buat aku marah," ralatnya pelan. "Sebenarnya aku marah karena ada yang laporan ke tim. Kalau kamu selalu berada di sekitaran aku. Dan itu ngebuat pemandangan yang nggak nyaman gitu."
Ryan tertegun. "Siapa yang ngelaporin?"
"Aku nggak tau," geleng Vanessa. "Tapi, ya udahlah. Lagian itu juga udah lewat kok. Dan sekarang ... semua aman-aman aja."
Tuntas mengatakan itu, Vanessa kembali tersenyum. Sorot matanya tampak lembut. Seperti berusaha untuk menenangkan Ryan. Hanya saja, sepertinya Ryan tidak bisa tenang kali ini.
"Gara-gara aku ...," ujar Ryan kemudian dengan suara lirih. "Kamu jadi nyaris kena masalah, Sa."
"Eh?"
"Aku minta maaf."
Sontak saja Vanessa salah tingkah. Ia buru-buru menggeleng. "Nggak, Yan. Ini bukan masalah yang besar kok. Aku cuma dipanggil buat klarifikasi doang."
Namun, Ryan juga tau bahwa masalah itu tidak sekecil itu untuk dianggap remeh. Kalau Vanessa sampai dipanggil, itu tentu saja karena masalah tersebut tidak kecil. Bahkan mungkin bisa dikatakan besar.
"Kalau aku yang ngekorin kamu aja bisa buat kamu nyaris kena masalah, terus ... apa jadinya kalau pernikahan kita mendadak ketauan?" Ryan memejamkan matanya, meringis. "Lagi perkara aku cuma sering ngekorin kamu kok bisa jadi masalah sih?"
"Bukan kayak gitu, Yan. Ya ... namanya aja itu aturan kampus," ujar Vanessa. "Antara mahasiswa dan dosen memang harus ada batasan. Dan itu bukan tanpa alasan, dosen harus menjaga wibawa dan mahasiswa harus menjaga kesopanan. Itu jelas sih. Ada batasan yang mengatur hubungan mereka. Karena kalau sampe kebablasan, itu pasti ngebuat citra buruk. Nggak cuma mencoreng profesi dosen, tapi juga nama institusi."
Mendengar penjelasan Vanessa, Ryan terdiam. Tapi, sejurus kemudian, ia kembali bersuara.
"Tapi, aku kan cuma ngekorin kamu, Sa. Dan kita nggak berbuat aneh-aneh. Lagipula ... kita juga udah nikah."
Hanya saja, ketika Ryan tuntas mengatakan itu, perkataan Vanessa tadi seketika berputar lagi di benaknya. Mengenai batasan antara mahasiswa dan dosen. Dan itu membuat ia mengulang pertanyaannya.
"Gi-gimana ... kalau justru pernikahan kita yang mendadak ketauan, Sa? A-apa yang bakal terjadi?"
Tidak ingin membayangkannya, tapi pertanyaan yang spontan meluncur dari bibir Ryan sontak membuat Vanessa membeku. Wajah cewek itu seketika tampak kaku. Berusaha untuk biasa-biasa saja pun menjadi sulit saat ini. Dan Ryan pun tak perlu mendapatkan jawabannya. Karena ia bisa menebak apa yang akan terjadi.
"Pasti kamu lebih dari kena panggil."
Vanessa menarik udara dan menahannya sejenak di dada. "Mudah-mudahan kita nggak ketauan, Yan. Dan semoga aja, setelah kamu tamat dan kita resepsi ntar, tetap nggak ada yang tau kapan sebenarnya kita nikah."
Karena ada yang namanya kode etik profesi, untuk setiap pekerjaan selalu memiliki aturan disiplinnya masing-masing. Dan untuk apa yang dilakukan Vanessa dan Ryan, tentu saja sedikit banyak sudah menyinggung hal tersebut. Terlepas dari pernikahan yang sah secara agama, namun ada aturan kepantasan yang seharusnya mereka antisipasi dari awal.
Membayangkan hal tersebut, seketika saja kemungkinan-kemungkinan buruk muncul di benak Ryan. Vanessa dipanggil lagi, diinterogasi, dan pasti semua akan berdampak pada kinerja cewek itu. Dan bagaimana bila yang terjadi lebih dari itu? Dikeluarkan dari kampus misalnya? Atau kalaupun tidak dikeluarkan, apa Vanessa bisa bertahan dengan pandangan dosen-dosen lain yang mungkin saja akan berubah? Lantas, bagaimana tanggapan mahasiswa pada cewek itu?
Membiarkan pikiran buruk itu berputar-putar di benaknya, Ryan mendapati dirinya yang tak menyadari bahwa Vanessa sudah beranjak dari tempatnya berdiri. Cewek itu memutari kitchen island dan menghampiri dirinya. Menyentuh tangannya dan itu berhasil menarik perhatian Ryan. Ia berpaling, melihat Vanessa tersenyum.
"Kamu nggak usah mikir yang aneh-aneh," ujar Vanessa seraya menghela napas. "Selagi nggak ada yang tau hubungan kita, mudah-mudahan aku nggak apa-apa kok. Yang kemaren itu ... nggak bisa diomong aku kena panggil sih. Ehm ... cuma klarifikasi."
Ryan meringis. Ekspresi wajahnya tampak terluka. "Cuma klarifikasi?" ulangnya. "Itu cuma bahasa halusnya. Intinya mah sama aja. Kamu dipanggil."
"Nggak," geleng Vanessa lagi. "Kamu tenang aja. Nggak usah mikirin ini, oke?"
Tentu saja itu adalah hal yang sulit untuk Ryan. Bagaimana bisa ia tidak memikirkan itu? Hal yang berkaitan dengan Vanessa.
Berat mengatakannya, tapi kalau nasib buruk membuat mereka dipanggil, Ryan berani bertaruh. Posisi Vanessa akan menjadi berkali lipat sulitnya dibandingkan dengan dirinya. Karena jelas, dalam hitungan bulan, Ryan akan tamat, mudah-mudahan. Sementara Vanessa? Ia masih terus mengajar. Ia akan dilihat mahasiswa dengan cara yang berbeda. Dan rekan-rekan kerjanya juga mungkin akan melakukan hal yang sama terhadapnya.
Ryan meraih tangan Vanessa. "Aku nggak ngira sebesar ini risikonya buat kamu, Sa."
"Yan ...."
Semula, Vanessa ingin menampik perkataan Ryan. Namun, ia tau bahwa bukan itu cara yang terbaik untuk meredakan kegelisahan cowok itu. Maka alih-alih menenangkannya dengan cara seperti itu, Vanessa justru mengatakan hal lain.
"Aku yakin Abid nggak bakal ngebocorin rahasia kita. Dan itu artinya ... mudah-mudahan rahasia kita bakal tetap terjaga. Kita tinggal nunggu berapa bulan lagi, Yan. Sampe akad dan resepsi kita ntar. Semoga aja nggak ada yang terjadi."
Di dalam hati, Ryan mengaminkan hal tersebut. Karena ia bisa menerima semua konsekuensinya. Tapi, membayangkan Vanessa yang menanggungnya, ia tidak bisa.
Vanessa, dosen cantik yang diidolakan banyak orang. Terkenal dengan sikap ramah dan parasnya yang cantik, harus tercoreng oleh satu kasus? Sungguh, Ryan tidak ingin hal buruk itu terjadi.
"Jadi ...."
Suara Vanessa berhasil menarik kembali kesadaran Ryan. Membuat cowok itu menatap pada Vanessa lagi. Mendapati bagaimana ia yang berusaha sebisa mungkin untuk tidak menampakkan rasa takutnya untuk kemungkinan yang bisa saja terjadi.
"Kamu nggak usah mikir yang aneh-aneh. Kamu cukup fokus aja dengan ujian dan sidang kamu. Ya?"
Ryan tidak mampu bicara. Rasa-rasanya membuat dadanya sesak ketika Vanessa memberikan pengertian sedemikian rupa padanya.
"Karena semakin cepat kamu tamat," lanjut Vanessa lagi. "Itu semakin bagus untuk kita."
Ryan bisa merasakannya. Terlepas dari kemungkinan buruk itu, ada ketulusan dalam ucapan Vanessa. Ini bukan seperti Vanessa yang menuntutnya untuk segera tamat. Melainkan karena ada pengharapan di dalamnya. Yang bermuara pada satu keinginan.
"Karena jujur aja ...."
Menarik napas, Vanessa menatap Ryan dengan sorot yang membuat cowok itu merasa lemah tak berdaya.
"Aku juga mau loh jalan-jalan bareng kamu kayak pasangan lainnya."
Selesai mengatakan itu, Vanessa melarikan pandangannya ke arah lainnya. Tampak menggigit bibir bawahnya sekilas. Berusaha untuk tidak mundur ketika ia mendesak dirinya sendiri untuk jujur. Karena ... itu salah satu kunci hubungan kan?
"Masa kita jalannya di depot aja?"
Selesai mengatakan itu, Vanessa melirik. Mencoba melihat ekspresi Ryan akan apa yang ia katakan. Tapi, wajah cowok itu tampak datar. Hingga otak Vanessa menarik kemungkinan lainnya.
Salah tingkah, Vanessa buru-buru berkata.
"I-ini bukan kayak yang aku nggak suka kita main ke depot. Aku suka. Di sana juga tempatnya enak. Cuma---"
Hanya saja, penjelasan Vanessa terhenti cukup di sana. Karena dengan amat mendadak, Ryan bangkit. Meraih tubuh Vanessa dan memeluk cewek itu. Untuk beberapa saat, ia memilih diam.
Ryan tau. Memang begitulah Vanessa. Ia selalu bertindak dengan cara yang jarang dilakukan oleh orang lain, oleh cewek lain. Terlebih lagi caranya ketika berusaha menenangkannya. Alih-alih terus membiarkan ia larut dalam pikiran buruknya, Vanessa akan berusaha mengajaknya melihat pada sudut lainnya. Langsung menyodorkan fakta lainnya yang bisa terjadi andai ia tidak berlama-lama hanyut bersama kekhawatirannya.
Sekarang pun begitu. Ketimbang membiarkan Ryan takut dengan hal yang belum tentu terjadi, Vanessa pun memilih untuk mengungkapkan keinginan hatinya. Yang selama ini tidak pernah Ryan pikirkan. Nyaris ia lewatkan. Bahwa Vanessa juga sama seperti cewek lain pada umumnya. Sesekali, ia pun butuh kesempatan untuk berdua tanpa merasa takut akan tertangkap basah oleh mata yang memandang. Butuh kesempatan di mana mereka bisa menikmati kebersamaan di tempat terbuka. Berpegangan tangan, mengunggah foto berdua, dan menunjukkan pada dunia mengenai hubungan mereka.
Itu bukan permintaan yang berlebihan. Itu adalah hal yang wajar sekali. Namun, hal yang wajar ini sanggup membuat Ryan yang biasanya banyak bicara, mendadak terdiam seribu bahasa.
Hingga dibutuhkan kekuatan yang besar untuk Ryan berjanji.
"Aku bakal berusaha."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro