Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

59. Pemikiran Buruk

Melihat pada papan pengumuman Gedung Kuliah, ada Ryan dan Abid yang dengan kompak mengembuskan napas panjangnya. Pada jadwal ujian akhir semester yang telah terpampang di sana. Dengan teliti, mata keduanya melihat nama mata kuliah yang tengah mereka ambil.

"Menurut kamu ...," lirih Abid seraya melirik sekilas pada Ryan di sebelahnya. "... kamu bakal tekejar buat sidang semester ini?"

Ryan mengangguk. Ingat dengan jelas bagaimana rencana yang telah ia susun bersama dengan Vanessa. Dan demi itu, belakangan ini kantung mata Vanessa sudah mulai bertambah. Membantu beberapa orang dosen yang kebetulan bersama-sama dengan dirinya dalam mengampu mata kuliah yang diambil oleh Ryan.

"Harusnya sih tekejar. Mudah-mudahan aja nggak ada hambatan."

Abid manggut-manggut mendengar perkataan Ryan. "Dan kalaupun kamu jadi sidang semester ini, mudah-mudahan juga semuanya lancar."

Kali ini giliran Ryan yang melirik pada Abid. Wajahnya seketika tampak masam. Dengan cepat bisa menerka ke mana arah pikiran Abid menuju.

"Nggak usah doakan yang macam-macam, Bid. Ntar kalau mendadak dikabulkan Tuhan," delik Ryan. "Kamu mau tanggung jawab?"

"Hahahaha. Tenang, Yan, tenang. Tuhan kayaknya jarang mau ngabulin doa aku. Buktinya ... aku tetap jomlo sampe sekarang."

"Ya iyalah kamu tetap jomlo. Orang di satu tempat ada cewek yang berdoa semoga dijauhkan dari jodoh yang salah."

Ryan menukas dengan seringai lebar di wajahnya. Lalu tanpa basa-basi, ia beranjak dari sana. Meninggalkan papan pengumuman dan berjalan menyusuri koridor gedung. Dan Abid pun menyusulnya dengan wajah manyun.

"Eh, tapi ngomong-ngomong buat responsi Botani besok ...."

Abid menyikut Ryan ketika mereka berdua berjalan menuju pintu keluar gedung. Ia tampak mengedipkan mata sekali. Membuat Ryan mengernyitkan dahinya.

"Kenapa dengan responsi Botani besok?"

Bibir Abid melengkung dalam bentuk senyum yang aneh di mata Ryan. Kembali mengedip-ngedipkan mata. Hingga Ryan bertanya kembali.

"Apaan sih? Kedip-kedip mata nggak jelas. Kelilipan kerikil atau batu bata?"

Abid tertawa. Mengabaikan pertanyaan bernada guyonan itu, ia justru memepet Ryan. Lalu bertanya dengan suara rendah.

"Bagi-bagi soal responsi besok dong."

Langkah kaki Ryan berhenti seketika. "Bagi-bagi soal responsi besok?" tanyanya demi memperjelas maksud Abid.

"Iya?"

Ryan belum mengerti. "Maksudnya?"

"Kan besok kita responsi Botani tuh," kata Abid kemudian masih dengan suara rendah. Ia celingak-celinguk, khawatir kalau ada yang mendengar perkataannya. "Ya ... siapa tau kamu tau dong soal buat besok."

Ryan melongo.

"Secara kamu dan Bu Vanessa udah ...."

Memilih untuk tidak benar-benar memperjelas perkataannya, Abid kemudian justru menyeringai lebar. Lalu ia terkekeh. Tambah bersemangat memepet temannya itu.

"Jadi, bagi-bagi dong."

Mendengar kalimat pamungkas itu, Ryan mengembuskan napas panjang. Tampak geleng-geleng kepala dan lalu ia justru balik bertanya.

"Emang menurut kamu, aku tau soal responsi besok?"

Abid terdiam. Sontak merenung dan memasang tampang polosnya. Lalu menggeleng. "Pasti nggak."

"Ya emang nggak," delik Ryan. "Terus kalau tau aku nggak tau, ngapain nanya?"

Kekehan meluncur dari bibir Abid. "Ini yang namanya usaha dulu. Ya siapa tau kamu tau. Ehm ... biar aku gampang belajarnya."

Tak menanggapi perkataan Abid, Ryan hanya mencibir sekilas. Acuh tak acuh ketika terdengar decakan Abid. Ketika ia melirik, cowok itu angguk-angguk kepala. Persis seperti ayam yang tidak sengaja memakan karet. Hihihihi.

"Tapi, ya sebenarnya mana mungkin juga sih kamu pake acara minta-minta bocoran soal," ujar Abid geli. "Bukan tipe kamu banget."

"Udah tau, tapi masih juga nanya. Buang-buang tenaga aja."

Selesai mengatakan itu, Ryan lantas melanjutkan kembali langkah kakinya. Melewati pintu keluar Gedung Kuliah dan langsung menuju ke motornya. Kendaraan roda dua yang tampak terparkir di bawah satu pohon rindang.

Termenung sejenak di tempatnya berdiri, Abid kemudian menyusul Ryan. Mengadang cowok itu yang terlihat berniat untuk langsung menunggangi kendaraannya. Kunci motor di tangannya berhenti berputar.

"Apa?"

Tampak raut penasaran di wajah Abid. "Masih soal responsi besok," ujarnya pelan. "Walaupun kamu nggak tau soalnya, nggak bisa kasih aku clue? Kira-kira yang masuk yang mana gitu? Biar aku belajarnya jadi lebih simpel."

Menatap Abid untuk beberapa saat, Ryan lantas beringsut. Mendudukkan bokongnya pada jok motor mahasiswa lainnya, entah punya siapa. Bersedekap di depan dada, ia seolah sedang menunggu beberapa saat. Seperti tengah menilai keseriusan pertanyaan Abid.

"Kalau kamu mau tau, tanya aja langsung sama dia," ujar Ryan geleng-geleng kepala. "Kan lagian manusiawi sih kalau mahasiswa nanya clue ujian gitu sama dosen."

Abid mempertimbangkannya. Tapi, ia menggeleng. Menolak ide itu. "Nggak ah. Lagi kamu aja yang deket sama Bu Vanessa aja nggak minta kasih tau. Terus apa pangkat aku yang cuma mahasiswa remahan peyek bayam ini?"

Ryan terkekeh.

"Walau mungkin memang bakal dikasih, tapi tetap aja. Malu-maluin."

Pada akhirnya, Abid mengembuskan napas panjang. Menyadari dengan jelas bahwa ia tidak memiliki pilihan lain untuk menghadapi responsi Botani besok. Selain memang harus belajar dengan tekun malam nanti.

Memikirkan itu, Abid lantas beranjak dari motor Ryan. Berencana untuk langsung menuju ke motornya dan pulang. Di benaknya sekarang hanya berisi rencana selama beberapa jam ke depan. Dan itu berkaitan dengan materi praktikum. Hiks. Mendadak saja Abid seperti merasa tubuhnya lemas seketika.

Hanya saja, ketika Abid sudah akan memutar kunci motornya, di luar dugaan Ryan mendadak menghampiri dirinya. Memukul tangan cowok itu sekilas dan bertanya.

"Ngomong-ngomong, karena omongan kamu tadi, aku jadi penasaran sesuatu deh."

Mata Abid mengerjap lemah. "Penasaran apa?"

Tangan Ryan naik satu. Menunjuk ke hidungnya sendiri. "Menurut kamu, kayak ada bayangan gitu ya kalau aku sampe tau soal responsi besok? Ehm ... atau paling nggak, tau clue-nya gitu?"

Masih mengerjapkan matanya dengan lemah, Abid membuang napas panjang. Ia menatap Ryan dengan sorot 'serius-nanya-gitu?'. Yang tentu saja membuat Ryan mengeryitkan dahinya.

"Coba kamu pikir deh, Yan. Lagi kalau ada mahasiswa yang deket dengan dosen aja pasti sering dibilangin kan sama anak-anak?" balik bertanya Abid. "Eh, ada bocoran soal nggak? Kira-kira yang masuk yang mana? Atau ... tau nilai aku nggak?"

Ryan merenungkan perkataan Abid. Lalu, kepalanya mengangguk-angguk. Tanda setuju. Karena ya ampun. Memang begitu bukan tradisi di kampus? Kalau ada mahasiswa yang terlihat dekat dengan dosen, pasti dicurigai mengetahui banyak hal. Padahal ... belum tentu.

"Itu baru dekat loh."

Suara Abid membuyarkan isi di dalam benak Ryan. Sekarang, alih-alih membiarkan imajinasinya berkeliaran, Ryan tampak fokus pada perkataan Abid selanjutnya.

"Apalagi kamu dan Bu Vanessa yang udah ...." Abid tidak meneruskan perkataannya. Alih-alih, ia mengatakan hal lainnya. "Dan sejujurnya aja, sekarang aku bersyukur juga sih. Seenggaknya yang baru tau hubungan kalian itu aku. Karena ya cuma aku yang tetap percaya sama kamu walau kamu mau segila apa, Yan. Apalagi liat deh. Kamu tuh kayak yang nggak ngotak coba ngambil kelas Bu Vanessa. Apa coba yang bakal orang-orang bilang kalau mereka tau kalian udah ehem dari awal semester?"

Mata Ryan berputar. Lalu mengarah ke langit biru di atas sana. Membayangkan apa yang bisa terjadi. Lalu ....

"Ih!

Ryan bergidik ngeri. Begitu pun dengan Abid.

"Ah," lirih Abid seraya memegang kepalanya. "Sumpah. Ini bukan semacam drama romantis Korea, Yan. Kalian udah ehem dan terus ketemu di kelas yang sama? Aduh!" Abid melepaskan helm yang sudah terpasang di kepalanya. "Apa menurut kamu, kamu dan Bu Vanessa nggak bakal dipanggil sama orang Jurusan? Bukannya ada semacam tim kayak gitu bukan sih?"

"Tim?" Mata Ryan mengerjap-ngerjap. Lalu ia teringat sesuatu. "Ah, yang pas dulu ada kasus ayam kampus waktu KKN nggak sih?"

Abid menjentikkan jarinya. "Nah iya! Si Mbak itu kan dulu dipanggil sama tim-tim itu."

"Eh, tapi kan aku nggak jadi ayam kampus sih."

"Emang nggak," tukas Abid dengan mata mendelik. "Tapi, kamu jadi bebek kampus."

Rasa-rasanya Ryan ingin menghantam kepala Abid dengan helm. Tapi, sayangnya cowok itu sudah sangat hapal dengan sikap Ryan. Sehingga ketika Ryan akan bergerak, Abid sudah terlebih dahulu mengamankan helmnya. Memeluk benda pengaman itu dengan erat.

"Intinya ... walau kalian juga udah sah, apa menurut kamu ini bukan pembohongan publik sih? Lagian ... etis nggak etis juga sih. Kalau kalian nikah mungkin masih masuk akal. Tapi, yang kamu ngambil kelas Bu Vanessa ini loh. Ah, apalagi kamu sering ke ruangan Bu Vanessa. Ngekor ke mana-mana juga." Mata Abid membesar. "Ya ampun, Yan. Kamu beruntung banget nggak ketahuan sampe sekarang. Apa menurut kamu nggak ada orang yang curiga gitu ngeliat sikap kamu sama Bu Vanessa?"

Ryan terdiam. Entah mengapa, perkataan Abid membuat ia sontak merenung. Seperti menyadari sesuatu yang nyaris ia lewatkan selama ini. Hingga kemudian, Abid terkesiap.

"Ya ampun, Yan!"

Ryan melotot. "Apa?"

"Pak Nathan," lirih Abid ngeri. "Menurut kamu, Pak Nathan curiga sama kamu nggak?"

Ryan belum menjawab, tapi Abid langsung bicara.

"Ya pasti curigalah," ujarnya menjawab pertanyaannya sendiri. "Orang dia sampe ngebantai kamu kayak gitu."

Tidak ingin, tapi Ryan merasa tubuhnya mendingin. Hingga untuk bernapas pun ia merasa sulit. Entah mengapa, hanya saja sepertinya perkataan Abid dengan nada ngeri itu berhasil menularkan kengeriannya pada Ryan.

"Ka-kalau Pak Nathan udah curiga ... menurut kamu, dosen-dosen juga curiga nggak sih?" Dahi Abid berkerut. "Ya kali, Yan. Kamu bentar lagi tamat, masa kena masalah segini gede sih?"

Mata Ryan mengerjap-ngerjap. Berusaha menenangkan dirinya, ia pun menarik napas dalam-dalam. Walau jujur saja, itu tak mudah. Buktinya Ryan mendapati dirinya terkesan sulit bicara untuk membalas perkataan Abid.

"A-apaan sih, Bid. Omongan kamu udah ngelantur ke mana-mana coba," ujar Ryan terbata. Seraya mengangkat tangan, ia kemudian mendekati Abid. Meraba dahi cowok itu. "Aaah! Pantas kamu ngelantur. Gejala gila kamu makin parah."

Abid melongo. Dengan mata yang membesar. Dan mulut menganga. Tidak percaya Ryan mengatakan hal itu sementara dirinya benar-benar menunjukkan kepedulian sebagai seorang sahabat.

Astaga. Abid geleng-geleng kepala. Terlebih lagi karena selanjutnya Ryan kembali berkata.

"Jangan lupa periksa ke poli jiwa."

Abid mendelik. Menukas dengan geram. "Asem!"

*

Tim?

Itu tim apaan ya?

Yang aku ingat cuma heboh pas ada senior yang dipanggil gara-gara kasus ayam kampus.

Cuma kalau detailnya ... aku juga nggak tau.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Ryan dipenuhi oleh hal itu. Tidak ingin memikirkannya sih. Tapi, astaga. Ryan perlu mengucapkan terima kasih pada Abid. Berkat ocehan panjang lebar cowok itu, sekarang otaknya terasa penuh.

Masa sih dekat sama dosen bisa sampe dipanggil orang Jurusan?

Masa iya?

Sesampainya di unit, Ryan mendapati rasa penasarannya semakin menjadi-jadi. Hingga bukan hal yang aneh, ketika ia masuk ke unit, ia segera mencari keberadaan Vanessa. Mengabaikan tas ranselnya yang masih tersandang di pundaknya, ia menyusuri tiap ruangannya.

Tapi, kalau Pak Nathan benar-benar curiga sama aku.

Apa itu artinya Vanessa juga bakal kena masalah?

Jantung Ryan rasa-rasanya tidak berdetak lagi ketika kemungkinan itu melintas di benaknya. Hingga nyaris membuat ia panik. Hampir membuat ia abai. Pada suara samar yang berasal dari dapur.

Melangkah dengan cepat, Ryan menuju ke dapur. Dan menemukan Vanessa yang memang sedang berada di sana. Tampak baru selesai memasak makanan untuk makan malam mereka.

"Sa ...."

Duduk di kursi, Ryan membawa tangannya untuk mendarat di kitchen island. Memanggil cewek itu dan mendapati Vanessa yang tersenyum padanya. Sekilas, ia mengelap tangan di celemek yang ia kenakan.

"Ya?" Vanessa mendekat. "Baru balik?"

Ryan mengangguk untuk pertanyaan itu. Lalu ia lanjut bicara. Dalam bentuk satu pertanyaan. Karena ya ampun, ia benar-benar tidak bisa menahan rasa khawatirnya.

"Sa, di kampus itu ada tim gitu ya? Yang ngurus soal masalah mahasiswa. Ehm ... kayak pas dulu ada kasus ayam kampus. Itu dipanggil gitu kan sama orang Jurusan?"

Pulang-pulang dan langsung menanyakan hal itu, tentu saja adalah hal yang tidak dikira oleh Vanessa. Hingga wajar saja bila tampak cewek itu seperti kebingungan. Matanya mengerjap-ngerjap. Namun, sejurus kemudian ia mengangguk.

"Iya," jawab Vanessa. "Itu namanya Tim Kode Etik dan Disiplin Mahasiswa Dosen. Kenapa?"

Ryan manggut-manggut. "Aaah .... Itu kerjanya apaan ya? Manggil kalau ada mahasiswa yang bermasalah gitu? Kayak yang ayam kampus gitu?"

Masih bingung, jujur saja Vanessa tidak mengerti mengapa Ryan mendadak menanyakan itu. Tapi, ia tetap menjawab. Seraya melangkah mendekati cowok itu, membiarkan kitchen island membatasi mereka, Vanessa mengangguk.

"Iya. Kayak kasus ayam kampus gitu. Tapi ...."

Ryan menyipitkan mata. "Tapi?"

"Tapi, tugas mereka lebih luas dari itu," lanjut Vanessa kemudian. "Bukan cuma sekadar ngurusin ayam kampus doang. Ya ... intinya kalau ada perilaku mahasiswa dan dosen yang dianggap nggak etis dan nggak sesuai, mereka bakal ngurusinnya."

Menuntaskan penjelasannya, Vanessa tersenyum. Merasa cukup lengkap dalam menjawab pertanyaan Ryan. Namun, ia tidak mengira bahwa jawaban yang ia berikan justru menarik pertanyaan lainnya dari cowok itu.

"Termasuk kalau ada mahasiswa yang keliatan ngekorin dosennya?"

Ekspresi syok langsung terpampang di wajah Vanessa. Tak sempat menjaga air mukanya, cewek itu sontak gelagapan ketika ditodong pertanyaan tak terduga itu. Lagipula ia tidak mengira sedikit pun kalau Ryan akan menanyakan hal tersebut.

"Sa?"

Menangkap ekspresi Vanessa yang tampak kaget, Ryan pun mengernyitkan dahinya. Hingga kemudian beberapa kilasan muncul di benak Ryan. Ketika ia yang mengira bahwa Vanessa tidak tau soal pembantaian di seminar hasilnya, yang ternyata ia justru tau. Karena Vanessa menutupinya. Dan bahkan dari dulu sebenarnya, untuk beberapa hal yang tidak mengenakkan, Vanessa selalu menutupinya. Walau pada akhirnya, Ryan pun mengetahui yang sebenarnya. Lantas, untuk yang satu ini?

Mata Ryan membesar. "Aku ... juga dipanggil?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro