Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

58. Kenyataan Dan Bayangan Masa Depan

"Abid nggak bakal ngasih tau ke orang-orang kan, Yan?"

Untuk yang kesekian kalinya, Ryan mendapatkan pertanyaan yang serupa dari Vanessa. Yang di hari itu, entah sudah sebanyak apa Vanessa menanyakannya. Dan walaupun jawaban Ryan selalu sama, pada akhirnya selang beberapa saat kemudian, dijamin. Pasti Vanessa akan kembali bertanya.

Ryan mengembuskan napas panjangnya. Menaruh pena di tangannya sejenak ke atas meja. Berpaling ke samping. Pada Vanessa yang juga menjeda pekerjaannya kala itu.

Sekilas menatap Vanessa lamat-lamat, Ryan mendapati di balik lensa anti radiasi yang bertengger di depan kedua matanya, ada berkas kehitaman di sana. Pun kantung mata juga menghiasinya. Lebih dari cukup menjadi tanda bahwa akhir-akhir ini pekerjaan Vanessa semakin bertumpuk.

Melepaskan pena dari tangannya, Ryan lantas beralih beralih jemari Vanessa. Menggenggamnya dengan lembut dan mengangguk. Untuk yang kesekian kalinya pula menjawab pertanyaan Vanessa dengan kata-kata yang ia usahakan bisa menenangkan gelisah cewek itu.

"Tenang aja, Sa. Abid nggak bakal ngomong itu ke orang-orang kok."

Namun, Vanessa tetap gelisah. Hal itu tercetak nyata di wajahnya. "Yang bener?" tanyanya lagi. "Aku takut banget, Yan. Bukan dengan cara kayak gini aku maunya orang-orang tau soal kita. Masa dalam keadaan memalukan kayak gitu sih?"

Ryan terkekeh. Terlepas dari status mereka sebagai dosen dan mahasiswa, rasa-rasanya memang sedikit memalukan ketika tertangkap basah di saat akan berciuman. Yang Vanessa alami sekarang tentulah tidak berlebihan. Malah bisa dikatakan normal.

"Tenang, Sa, tenang," ujar Ryan kembali. "Sampe kiamat Abid nggak bakal ngomong soal itu ke orang lain. Dia pasti pahamlah konsekuensi yang bisa kita dapat kalau berita itu kesebar." Ia tersenyum. "Kamu nggak perlu khawatir. Karena walaupun Abid itu otaknya rada-rada, tapi dia bukan tipe mulut ember."

Panjang napas lega yang Vanessa embuskan ketika mendengar perkataan Ryan. Setidaknya ia bisa meredakan kegelisahan yang menggelayuti perasaannya dari tadi. Walau tentu saja, Vanessa yakin bahwa besok sepertinya ia akan kembali ketakutan dan Ryan harus meyakinkannya lagi. Begitulah. Mungkin ini adalah risiko karena menyimpan rahasia sedemikian rupa besarnya. Hihihihi.

Sementara Ryan yang mendapati ekspresi Vanessa perlahan berubah, mengangkat pelan jemari cewek itu. Membawanya ke depan bibirnya. Memberikan satu kecupan lembut di buku-bukunya.

"Aku takut banget, Yan."

"Udah. Nggak perlu takut. Nggak usah dipikirin. Ketimbang kamu mikirin Abid, mending kamu mikirin aku."

Vanessa manyun. "Sekarang ini yang ada di pikiran aku cuma takut berita kita kesebar, terus sama kerjaan di kampus yang nggak beres-beres," desahnya. "Aku cuma berharap, semuanya bakal aman terkendali sampe pernikahan kita, Yan."

"Kamu tenang aja. Mudah-mudahan semuanya bakal aman terkendali. Kamu nggak perlu khawatir. Dan ... untuk pernikahan kita ... juga."

Berbicara mengenai pesta pernikahan Ryan dan Vanessa, kedua keluarga tentu saja sudah mempersiapkannya dari jauh-jauh hari. Bahkan sebenarnya sudah diurus sejak mereka ijab kabul dulu. Semua hal yang berkaitan dengan resepsi sudah disusun dengan begitu matang.

"Oh iya," lirih Ryan kemudian. "Aku jadi ingat kata Eyang kapan hari."

Bayangan Abid dan kemungkinan berita pernikahan mereka yang tersebar sebelum waktunya, buyar seketika dari benak Vanessa. Tergantikan oleh segala sesuatu yang berhubungan dengan pernikahan mereka. Ekspresi wajah cewek itu berubah cerah.

"Apa?"

"Kan emang rencananya kita mau resepsi aja lagi, tapi Eyang nyuruh mikir dulu. Mau ijab ulang atau nggak," jawab Ryan. "Soalnya kemaren itu juga kan yang hadir cuma keluarga yang deket banget sih." Mata Ryan mengerjap sekali, baru melanjutkan perkataannya dalam satu bentuk tanya. "Menurut kamu gimana?"

"Ehm ...."

Vanessa mendehem dengan penuh irama. Layaknya ia yang sedang berpikir. Karena memang ijab kedua biasanya dilakukan dalam tujuan menyebarkan berita pernikahan. Walau resepsi saja sudah cukup, mungkin memang ada baiknya untuk mereka melakukan hal tersebut. Menghindari pemikiran-pemikiran yang mungkin saja nantinya akan hadir demi mempertanyakan kebenaran dari kapan sih tepatnya mereka menikah? Dan lagipula ijab kedua tidak akan melunturkan ijab yang pertama.

"Kalau aku sih ... terserah kamu aja."

Vanessa berkata dengan senyum yang tampak berbeda di wajahnya. Terutama dengan sorot matanya yang juga terlihat berbeda. Hingga menimbulkan rasa penasaran Ryan yang langsung terjawab di detik selanjutnya. Ketika Vanessa kembali bicara.

"Asal kamu nggak lupa aja nama lengkap aku siapa. Dan juga ... nggak salah cium." Vanessa mengulum senyumnya. "Yang kamu cium itu kening aku, bukan tangan aku."

"Astaga," kesiap Ryan geli. Lalu ia tertawa. "Hahahaha. Aman aman. Ntar kalau yang kedua, aku udah pro dong. Dijamin, nggak bakal salah lagi deh."

"Beneran loh?" Mata Vanessa membesar, seperti tengah memberikan tantangan pada cowok itu. "Kalau kamu sampe buat ijab kita ntar kayak festival badut lagi, awas aja ya."

Ryan menyipitkan matanya. "Kenapa? Kamu mau lempar aku pake mangkuk lagi?"

"Hahahaha. Jangan lupa, Yan. Pot tanah liat kamu masih ada loh."

"Astaga, Tuhan. Hahahaha. Soal ngasih ancaman, kamu emang nggak ada duanya. Hahahaha."

Tertawa mendengar ancaman Vanessa, diam-diam Ryan pun mengembuskan napas leganya. Setidaknya topik soal pernikahan mereka berhasil membuat cewek itu terlupa sejenak akan tragedi yang sempat terjadi. Hihihihi.

*

Ryan menyodorkan sebotol air teh dingin pada Abid. Ketika temannya itu tengah duduk di satu pohon rindang yang berada di sekitar area parkir kampus mereka. Yang langsung disambut oleh Abid, walau dengan ekspresi yang tak bersemangat.

Kala itu tengah hari, terasa cerah. Dengan angin yang sesekali bertiup, Ryan mendapati suasana yang sepi. Lantaran saat itu jam kuliah telah dimulai. Maka tidak heran sama sekali bila Ryan dengan enteng menyinggung mengenai topik sensitif yang menyangkut dirinya dan Vanessa.

"Kenapa?" tanya Ryan. "Masih belum percaya?"

Abid mengembuskan napas panjang. "Aku bahkan sekarang ini nggak tau apa yang harus aku percaya," lirihnya tanpa daya. "Percaya kalau kamu beruntung karena jadi suami Bu Vanessa ... atau percaya kalau Bu Vanessa buntung karena jadi istri kamu?"

"Kamu ini ya, Bid. Nggak gila nggak waras, sama aja hebatnya buat aku jadi emosi jiwa."

Menggerutu, Ryan membuka tutup botol teh miliknya sendiri. Meneguk isinya dengan rakus. Seolah butuh sesuatu yang dingin-dingin untuk meredakan sepercik api yang siap membesar di dadanya. Lalu ia berpaling.

"Emang segitu nggak mungkinnya ya kalau aku nikah sama dia?"

"Ya ampun kolor genderuwo!" kesiap Abid histeris. Wajahnya tampak syok dan matanya membesar. "Emang segitu mungkinnya ya kalau kamu nikah sama Bu Vanessa? Dia? Bu Vanessa yang diberi predikat dosen tercantik sekampus? Nikah sama cowok kayak kamu? Yang bahkan belum lulus kuliah? Wah wah wah! Coba aja ntar kamu sensus. Terus lihat perbandingannya. Antara orang yang percaya dan orang yang nggak percaya. Pasti persentase paling banyak itu orang yang amat sangat nggak percaya."

Ryan sontak manyun. Mengacak-acak rambut pirangnya sekilas dan menggerutu. "Padahal aku lumayan cakep loh. Aku juga tinggi. Ah, jangan lupa kalau aku pinter. Dan kesimpulannya, ya ... aku pantas kok bersanding sama dia."

Abid buru-buru kembali meneguk air tehnya. Membasuh kerongkongannya yang mendadak kering. Bahkan saking keringnya, Abid seperti merasakan ada kerikil di dalam sana. Hihihihi.

"Iya, Yan, iya. Aku juga sadar kok kamu cakep dan pintar. Karena gimanapun juga, aku yang malu kalau temenan sama cowok jelek."

"Asem!"

"Bayangkan ini," kata Abid lagi. "Udah jelek, gila lagi. Mana nggak malang nasib kamu? Ya makanya itu, untung aja muka kamu masih cakep dan pintar. Jadi kalaupun kamu gila, masih bisa dimaafkan."

Ryan mengatupkan mulutnya dan mencoba untuk bertahan. Agar tidak mengumpati Abid sepuas hatinya.

"Bisa-bisanya kamu ngomong gitu," rutuk Ryan seraya kembali meneguk minumnya. "Padahal kamu sendiri udah gila kan sekarang ini?"

Ringisan meluncur dari bibir Abid. Sontak membuat Ryan menoleh. Hanya untuk mendapati ekspresi tak berdaya kembali terpampang di wajah cowok itu.

"Gimana aku nggak gila, Yan? Ini mau dihitung pake rumus apa pun, kayak yang mustahil banget kalau kamu udah nikah sama Bu Vanessa."

Melihat ekspresi frustrasi itu, rasa kesal Ryan karena Abid mengatai dirinya gila, lenyap tak tersisa. Menguap dan tergantikan oleh senyum malu-malu. Disertai mata yang mengedip-ngedip.

"Ya ... mau gimana lagi. Itu kenyataannya. Bahwa ... temen kamu ini jodohnya Vanessa. Hwahahahaha."

Abid tidak merasa heran kalau Ryan bisa tertawa selebar itu. Dengan kenyataan sakral yang sudah mengikat ia dan Vanessa, Abid jamin. Ryan adalah orang paling bahagia se-Indonesia Raya saat ini.

"Lagian, Bid. Kalau kamu dengerin omongan aku selama ini, kamu nggak bakal syok sampe segininya kali. Ingat? Aku udah sering banget ngomong kalau jodoh Vanessa itu aku."

Ya Tuhan.

Rasa-rasanya jantung Abid masih belum cukup kuat. Karena setiap ia mendengar Ryan menyebut nama Vanessa tanpa panggilan 'ibu', itu membuat Abid merasa ingin gila saja. Bagaimanapun juga, ia bahkan bisa merasakan betapa ringannya lidah Ryan mengatakan itu. Layaknya itu memang adalah hal yang biasa ia lakukan.

"Astaga, Yan. Udah aku bilangin. Semua orang waras di dunia ini nggak bakal ada yang kepikiran dikit pun kalau kamu bisa berjodoh sama Bu Vanessa."

Ryan manyun. "Padahal kamu sendiri yang ngomong kalau kamu nggak asing dengan ciri-ciri yang Vanessa omong di praktikum waktu itu," ujarnya seraya melayangkan tatapan dengan mata yang menyipit. "Iya kan?"

Sekarang, mengingat hal itu, Abid langsung meremas rambutnya dengan kedua tangan. Menggeram dan lalu ia terengah-engah. Ia tampak begitu nelangsa.

"Ya walaupun Bu Vanessa udah ngomong kayak gitu, mana mungkin aku kepikiran kalau cowok itu kamu, Yan? Itu kayak yang mustahil banget kalau kamu adalah cowok yang berhasil dapetin hati Bu Vanessa."

Aaah! Rasanya Ryan ingin terbang melayang-layang saat ini. Tinggi, tinggi, ke langit yang biru. Hihihihi.

"Ngebayangin kamu bakal nikah sama Bu Vanessa aja aku udah nggak percaya. Eh, ini malah kenyataannya kamu beneran udah nikah? Ya ampun, Yan. Menurut kamu mana yang wajar? Aku masih waras atau aku mendadak gila?"

Ryan menjawab dengan cepat. "Mendadak gila."

"Tuh kan!" geram Abid. "Emang udah normal banget respon aku."

"Iya, Bid, iya," angguk Ryan. "Selamat." Ia menjabat tangan Abid. "Selamat karena sudah gila."

Menggeram, Abid menarik tangannya. Kembali meneguk minumnya. Menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri. Berusaha untuk menerima kenyataan aneh yang benar-benar di luar nalar akal sehatnya.

"Cuma ... aku masih bingung," ujar Abid dengan suara lirih. Melirik pada Ryan. "Entah aku yang gila karena nggak percaya kenyataan kalau kamu dan Bu Vanessa udah nikah. Atau sebenarnya malah Bu Vanessa yang rada-rada? Kok bisa gitu mau-maunya nikah sama cowok modelan kayak kamu."

Akhirnya, botol air teh di tangan Ryan melayang juga. Mendarat dengan telak di belakang kepala Abid. Hingga cowok itu langsung mengaduh dan mengusap-usap kepalanya.

"Ngomongin aku, oke-oke aja," delik Ryan. "Ini malah ngomongin Vanessa. Di depan suaminya? Wah wah wah! Kamu mau lihat mode suami yang ngamuk heh?"

Abid bertahan agar tidak mual-mual dan memuntahkan isi perutnya di sana. Rasanya sungguh membuat ia pusing ketika melihat Ryan memasang sikap protektif akan dosen mereka. Hiks.

Hanya saja, memikirkan sikap Ryan, seketika saja Abid terpikirkan sesuatu. Hingga ia bergumam rendah. Layaknya ia yang tengah bicara pada dirinya sendiri.

"Jadi ... karena itu kamu selalu ngegas tiap ada Pak Nathan di dekat Bu Vanessa?"

Ryan yang semula ingin meneguk minumnya lagi, mengurungkan niatnya. Ia menoleh. Mendapati Abid menatapnya dan ia pun mengembuskan napas panjang.

"Mana yang normal?" tanya Ryan. "Aku yang EGP atau aku yang ngegas?"

Abid menjawab dengan cepat. "Yang ngegas."

"Nah kan kamu tau jawabannya. Itu normal banget sikap aku. Apalagi dia selalu aja terang-terangan mau deketin Vanessa. Padahal Vanessa udah sering banget nolak dia."

Abid menggaruk kepalanya. "Ya mau gimana lagi. Pak Nathan pasti ngira kalau masih ada peluang buat dapetin Bu Vanessa."

Tak menanggapi perkataan Abid, Ryan memilih diam saja. Membawa tatapan matanya untuk lurus ke depan. Menarik udara dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.

"Sekarang ..."

Suara Abid membuat Ryan melirik.

"... aku jadi ngerasa Pak Nathan keterlaluan nggak sih?" tanya Abid. "Maksud aku, sebenarnya dia loh yang lagi deketin Bu Vanessa. Tapi, malah dia yang ngebantai kamu di seminar hasil kemaren. Ehm ...." Abid mengusap ujung dagunya. Mimik wajahnya berubah serius. "Iya kan?"

Ryan mendengkus sekilas dengan ekspresi geli. Kedua pundaknya naik sekilas dengan senyum lucu yang perlahan muncul di wajahnya.

"Nah itu," ujar Ryan. "Aku jadi penasaran gimana reaksi dia ntar pas dapat undangan pernikahan kami coba."

Mendengar itu, Abid sontak terdiam. Dengan otaknya yang langsung bekerja. Membayangkan Nathan yang menerima surat undangan. Yang menuliskan nama Vanessa dan Ryan. Seketika saja cowok itu memejamkan mata. Merinding.

"Jadi kasihan aku sama Pak Nathan."

Mata Ryan berkedip sekali. "Kasihan?"

"Iya," angguk Abid. "Kalau aku aja nyaris gila, dijamin. Pak Nathan pasti bakal langsung kejang-kejang di tempat."

Ajaibnya, mendengar itu Ryan seketika saja tertawa terbahak-bahak. Hingga Abid yakin akan sesuatu.

Nggak.

Bukan aku atau Bu Vanessa yang gila.

Tapi, Ryan.

Karena cuma orang gila yang bisa tertawa di saat seperti ini.

"Hwahahahaha."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro