53. Cengkerama Malam
"Kamu tuh ya ... berani banget goda-goda aku di depan orang banyak."
Satu colekan mendarat di perut Vanessa. Berasal dari jari telunjuk Ryan yang dengan ahli mencari celah ketika cewek itu berusaha berlindung di balik guling. Tepat ketika Ryan tampak berguling dari sisi kasur menuju pada dirinya yang berada di sisi lainnya.
"Ah!"
Vanessa sontak terpekik. Berusaha untuk menjauh, tapi dirinya sudah terdesak hingga ke tepi tempat tidur. Ia tidak bisa beranjak lebih jauh lagi. Tidak, bila ia tidak ingin berakhir di atas lantai. Terjatuh dari sana.
"Udah dibilangin," kata Vanessa terkekeh seraya mempertahankan gulingnya. "Itu tadi bukannya menggoda Kanda. Itu cuma main-main aja."
"Kalau gitu main-mainnya," goda Ryan kemudian. "Terus yang seriusnya kayak gimana coba?"
Vanessa terkekeh lagi. "Udah ah. Ini udah malem. Waktunya buat bobok."
"Bobok beneran? Atau ... bobok-bobok manja?"
"Hahahaha. Beneran makin eror kan? Seharian ini kamu udah belajar apa aja coba sampe erornya nambah?"
Ryan tampak mencibir gemas. Tapi, sejurus kemudian ia tampak mengembuskan napas. Memilih mendaratkan kepala di atas bantal Vanessa. Lalu melirik.
"Tadi aku belajar tentang pembiakan vegetatif sih. Dari yang konvensional sampe ke yang modern. Khawatir aja gara-gara kamu ngomong dosen sering nanya ke mana-mana," ujar Ryan geli. "Siapa tau ntar aku malah ditanyain tentang kultur jaringan lagi."
Ucapan Ryan membuat Vanessa teringat akan sesuatu. Yaitu, proposal PKM cowok itu. Lantas ia mengangguk.
"Kayaknya bisa jadi sih."
Ryan manggut-manggut. "Dah. Intinya mah selagi aku masih bisa, pelajari aja semuanya," ujarnya lucu. "Perkara ntar bakal ditanyain atau nggak, itu urusan belakangan. Yang penting ... aku udah siap dulu. Kata orang, sedia payung sebelum ujan."
"Ehm ... padahal hujan-hujanan kadang lebih enak loh ketimbang payungan."
Nah, kali ini Ryan yang sontak teringat sesuatu dengan perkataan Vanessa. Hingga ia beringsut sedikit lagi. Membuat raut antisipasi tercetak di wajah sang istri dan dipadu oleh ekspresi geli. Terlebih lagi ketika dilihatnya jari telunjuk Ryan naik kembali. Diiringi oleh seringai di wajahnya.
"Ingat first kiss kita ya?"
O oh.
Vanessa seketika melongo. Hilang sudah ekspresi aneka rupa di wajahnya yang selalu jelita di mata Ryan. Tergantikan oleh mimik yang benar-benar membuat Ryan menjadi bersemangat untuk menggodanya.
"Kenapa?" tanya Ryan geli. "Mau lagi ciuman pas hujan-hujanan? Ehm ... ntar kita flu lagi loh kayak waktu itu. Hahahaha. Kamu kalau lagi flu lumayan rewel loh, Sa."
Itu benar. Karena setelah insiden mereka berciuman di tengah hujan yang mengguyur saat keduanya berada di kebun percobaan kampus, Vanessa dan Ryan langsung terserang flu keesokan harinya. Sungguh. Adegan romantis yang satu itu hanya cocok untuk dilakukan di drama atau film. Di kehidupan nyata, keduanya terbukti tidak memiliki imun yang kuat untuk efek yang bisa ditimbulkan setelahnya. Hihihihi.
Dan memang, selama sakit waktu itu, Vanessa memang terkesan susah untuk diurus. Hingga memaksa Ryan mengelus dadanya. Terlebih lagi karena di waktu itu Vanessa belum membuka diri dan hatinya pada Ryan. Alhasil susah sekali bagi cowok itu untuk mengurusinya selama sakit.
Sekarang, bercengkerama di tempat tidur, mendadak saja ingatan itu kembali melintas di benak mereka berdua. Dengan teramat jelas. Seperti itu baru saja terjadi kemarin sore.
"Masih aja diingat ya?"
Melayangkan pertanyaan itu, Vanessa berusaha untuk menahan pergerakan bibirnya. Namun, gagal total. Kedua sudutnya sudah bergerak. Masing-masing naik ke atas dalam lengkungan senyum yang tak mampu ia tahan.
Ryan pun mengulum senyum geli. "Mana mungkin lupa coba. Atau ... justru kamu lupa?"
"Kamu belum tau hukum mutlak ini?" tanya Vanessa tanpa menunggu jawaban dari Ryan. "Untuk masalah asmara, ingatan cewek itu tiada duanya."
"Oh ya?"
Yakin, Vanessa mengangguk. "Jangankan kapan ciuman pertama, bahkan cewek bisa ingat kapan mereka jalan pertama. Menu makanan pas mereka nge-date pertama. Kapan mereka berantem pertama. Bahkan nih ya, sampe pakaian apa yang pasangannya pake pas mereka berantem pertama, ingat."
Mata Ryan melotot. Tersirat ekspresi tak percaya dan kagum yang secara ajaib tampak muncul bersamaan di wajahnya.
"Yang bener?"
Vanessa kembali mengangguk.
"Berarti kamu ingat juga apa pakaian aku pas kita berantem untuk yang pertama kalinya?"
Kalau Ryan menanyakan itu dengan serius, maka lain lagi dengan Vanessa. Sudut bibirnya terasa berkedut geli. Ketika ia menjawab.
"Kan pas kita berantem pertama kali ... Kanda nggak pake baju. Kan cuma pake celana dalam doang. Hahahaha."
Dooong!
Sedetik melongo, lalu Ryan terpingkal-pingkal. Begitu pun dengan Vanessa yang turut meledak tawanya.
"Astaga," desah Ryan di sela-sela gelaknya. "Pagi itu ya? Hahahaha. Yang kamu lempar aku pake mangkuk melamin itu. Iya ya? Aku cuma pake kolor doang. Ehm ... kolor yang mana ya?"
"Yang warna hitam," jawab Vanessa. "Pinggangnya warna silver."
"Waw!" kesiap Ryan. "Kamu beneran ingat?"
Vanessa tak menjawab, alih-alih makin tertawa. Entahlah. Ia sendiri heran mengapa ia justru ingat tentang hal itu. Mungkin karena pertengkaran yang terjadi di pagi itu benar-benar dramatis? Terutama karena waktu itu Vanessa kan sempat mengira Ryan tewas setelah dilempar mangkuk olehnya. Hihihihi.
Takjub dengan kenyataan bahwa Vanessa benar-benar ingat soal itu, Ryan pun tidak mampu mengabaikan kemungkinan yang bisa saja terjadi. Kala itu ketika Vanessa histeris jerit-jerit melihat dirinya tanpa pakaian.
"Aaah! Ternyata bener dugaan aku. Waktu itu kamu sok-sok aja kan nutup mata? Aslinya malah ngintip kan?"
Berusaha menahan tawanya, mata Vanessa membola. Warna merah langsung membias di kedua pipinya. Jengah dengan tuduhan itu.
"Nggak kok," elak Vanessa. "Aku nggak ngintip."
Jari Ryan mencolek pipi Vanessa. "Iya iya iya. Kamu nggak ngintip. Tapi, emang ngeliat. Sampe diingat banget warna kolor aku. Hahahaha."
Tampak manyun, Vanessa mengerucutkan bibirnya. Matanya mengerjap dengan salah tingkah. Lalu kembali menampik dengan suara lirih.
"Nggak ada."
"Ah, atau jangan-jangan ..." Mata Ryan semakin memancarkan sorot menggodanya. "... bukan cuma warna kolor aku aja yang kamu ingat?"
O oh.
"Tapi, isi di dalam kolor aku juga kamu ingat?"
Malu sih iya. Tapi, rasa malu itu tidak lebih dahsyat bila dibandingkan dengan rasa lucu yang menghantam Vanessa. Hingga pertanyaan menggoda yang dilayangkan oleh Ryan itu langsung mendapat sambutan tawa darinya. Terbahak-bahak dan Ryan kembali bertanya.
"Eh, ternyata beneran ya?"
Vanessa masih terkekeh. "Udah ah. Ini udah malam, Yan. Mending kita bobok aja deh."
"Kan? Dari tadi ngajak aku bobok terus. Ini bobok beneran atau kode ngajak bobok-bobok manja sih?"
"Ya ya ya. Semua itu kode di mata kamu. Hahahaha. Ih, tapi ini beneran. Aku mau bobok."
Ryan menyeringai geli. "Malah diomongin lagi. Ini kayaknya emang beneran kode deh. Iya kan?"
"Nggak," jawab Vanessa. Mata cewek itu tampak membesar dan berusaha menahan tawanya. Dan itu butuh perjuangan yang sangat besar. "Kita beneran harus bobok secepatnya. Kamu itu kalau makin malam makin parah erornya."
"Tapi, eror-eror gini suaminya siapa coba?"
"Sayangnya suami aku."
Ryan mengedip-ngedipkan matanya. "Beneran sayang nih?"
"Beneran lah."
"Kalau emang sayang ...," lirih Ryan seraya beringsut lagi. Tangan cowok itu mendarat di guling yang masih berada dalam pelukan Vanessa. "Harusnya nggak ada yang memisahkan kita lagi. Hahahaha. Ini guling ..." Ryan mengambil alih guling itu. "... nggak boleh menjadi orang ketiga di antara kita."
Tuntas mengatakan itu, tangan Ryan pun bergerak. Melemparkan guling tersebut ke sembarang arah. Tanpa daya mendarat di atas lantai.
Setelah berhasil menyingkirkan guling dari pelukan Vanessa, Ryan sudah mengambil ancang-ancang. Untuk segera memeluk cewek itu. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Malah ia yang mendapati Vanessa memeluk dirinya.
Tertegun sejenak, Ryan perlahan tersenyum merasakan pergerakan samar wajah Vanessa di dadanya. Ketika cewek itu sedikit menggeliat demi mencari posisi nyamannya.
"Yan .... Geser dikit ah. Aku ini udah di ujung tempat tidur loh. Gerak dikit, aku bisa jatuh."
Ryan menunduk. Melihat Vanessa yang mengangkat wajahnya dan mata cewek itu melirik ke belakang tubuhnya.
"Lihat? Aku bisa jatuh kapan pun."
"Oke."
Mengiyakan perkataannya, Vanessa sempat ingin bertanya kembali tatkala ia tidak mendapati cowok itu bergeser di detik selanjutnya. Alih-alih Ryan justru memeluk dirinya. Untuk kemudian ia membuat Vanessa terperangah. Tak percaya. Lalu ia tertawa-tawa. Itu adalah ketika Ryan berputar ke belakang sebanyak 180 derajat. Seraya turut membawa Vanessa di dalam pelukannya.
"Hahahaha."
Berputar sekali, Ryan berhenti. Membiarkan sejenak Vanessa di atas tubuhnya. Ia menyeringai geli.
"Segini udah cukup gesernya?"
Kedua tangan Vanessa di dada Ryan. Matanya menyipit lantaran tawa yang terlontar dari bibirnya. Dan ia menggeleng.
"Belum cukup."
Ryan mengangguk. "Emang belum cukup sih."
Maka setelah mengatakan itu, Ryan kembali bergerak. Berputar lagi sebanyak 180 derajat. Untuk menukar posisi keduanya dan lalu ia berhenti. Tepat ketika ia sudah berada di atas Vanessa.
"Segini?"
Mengulum senyum, Vanessa mengangguk. "Udah. Ini udah cukup."
Jawaban yang membuat Ryan gemas. Hingga ia tak mampu menahan diri untuk tidak menyentuh bibir Vanessa dalam kecupan singkat. Lengkap dengan suara menggelikan yang timbul karenanya.
"Emmuah!"
Hanya saja, seperti biasanya, satu sentuhan memang tidak akan pernah cukup. Itu hanya seperti sentuhan pembuka. Ibarat kayuhan pertama yang kaki lakukan ketika akan melajukan sepeda. Karena sentuhan yang pertama akan selalu menuntut sentuhan yang kedua. Sentuhan yang ketiga. Sentuhan yang selanjutnya.
Maka tidak aneh sekali bila Ryan pun merasakan dorongan itu. Terutama karena seperti biasanya pula. Setelah kecupan itu Ryan labuhkan di bibir Vanessa, cewek itu justru memulas senyum yang menyiratkan kebahagiaan karena sentuhan yang Ryan berikan padanya.
Dan ketika tawa di antara mereka telah menghilang, tergantikan oleh dua pasang mata yang saling menatap dalam sorot yang sama, penuh damba. Ryan pun tidak membuang-buang waktunya. Untuk kembali menyapa bibir Vanessa yang langsung merekah menyambut dirinya.
Dua bibir bertemu. Dua pasang mata memejam. Dan pagutan pun terjadi. Dalam pergerakan sensual yang menuntut kedua anak manusia itu untuk saling mencicipi. Untuk semua sensasi yang tersaji. Untuk semua hal yang telah mengikat mereka dalam satu kata pasti. Pada semua rasa yang tidak hanya mampu ditakar oleh indra perasa, alih-alih diresapi pula sepenuh hati.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro