Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

51. Makna Tersirat

Berkat kejadian tempo hari, di mana Vanessa yang mengajak Ryan menikmati makan malam di luar, alhasil balkon unit apartemen mereka sekarang menjadi salah satu tempat favorit mereka bercengkerama. Selain kamar, tentunya. Hihihihi.

Seperti kala itu, ketika keduanya sudah menuntaskan makan malam dan merapikan keadaan dapur, Vanessa dan Ryan pun memutuskan untuk menikmati suasana malam yang cerah itu. Duduk di sana. Dengan masing-masing dokumen di tangan mereka. Yang berjenis sama, namun berbeda.

Adalah draf skripsi miliknya sendiri yang sedang menemani Ryan kala itu. Dengan satu pena di tangannya, cowok itu memutuskan untuk menghabiskan Minggu malamnya dengan kembali mengecek drafnya. Sesuai dengan arahan para pembimbingnya.

Sementara Vanessa juga ditemani oleh draf skripsi. Walau tentu saja itu bukan miliknya. Melainkan milik Surya. Mahasiswa tingkat akhir yang sudah terancam dikeluarkan dari kampus bila tidak bisa menyelesaikan skripsinya hingga semester genap ini berakhir. Pun dengan satu pena bertinta merah di tangan kanannya.

"Aku nggak tau loh kalau sebelum sidang ternyata dosen juga baca draf skripsi."

Selang beberapa saat kemudian, ketika mereka dengan kompak menarik napas sejenak. Sekadar untuk mengistirahatkan mata dari deretan huruf dan angka yang berbaris di tiap helai kertas.

Menaruh draf skripsi di pangkuannya, Vanessa meraih secangkir coklat panas yang sudah ia siapkan tadi. Sebelum mereka berdua larut dalam bacaan masing-masing. Menyesap isinya yang sudah sedikit mendingin sejenak, kemudian barulah ia merespon perkataan Ryan.

"Kalau dosen nggak baca juga draf skripsi, gimana kami bisa nguji coba?"

Ryan mengerucutkan bibirnya. "Aku pikir ya ... asal nanya aja sih."

Kekehan Vanessa meluncur. Sedikit mengubah duduknya, ia lalu mencibir. "Nggak ada dosen yang asal nanya. Apalagi untuk skripsi."

"Oh ...."

Ryan manggut-manggut. Lantas pandangannya tertuju pada draf skripsi Surya. Menarik napas ketika melihat banyaknya tulisan bewarna merah di sana. Membuat ia bergidik.

"Itu," tunjuk Ryan. "Sebanyak itu yang mau kamu tanyakan ke Kak Surya besok?"

Senyum kecil terbit di wajah Vanessa. Melirik sekilas pada draf di pangkuannya itu, ia justru balik bertanya pada Ryan.

"Menurut kamu?"

Ryan syok. "Wah! Kalau satu dosen aja udah nyiapin sebanyak itu pertanyaan, kayaknya rasa penasaran aku selama ini langsung terjawab deh."

Diam dengan ekspresi geli, Vanessa bertanya. "Rasa penasaran apa?"

Horor, tapi bayangan itu langsung melintas di benak Ryan. Tepat ketika ia menjawab. "Kenapa sidang skripsi itu bisa sampe empat jam."

Sungguh. Bukan hanya nada suara Ryan yang membuat Vanessa lantas tergelak. Alih-alih juga mimik ngeri di wajah cowok itu yang turut membuat ia terbahak-bahak.

"Kamu tau kan, Sa," sambung Ryan kemudian. "Nyaris setiap mahasiswa yang keluar dari ruang sidang, itu pada lemes. Persis kayak manusia yang baru abis donor darah ke vampir coba."

Nyaris saja draf skripsi jatuh dari pangkuan Vanessa ketika tawanya semakin meledak. Bentuk pengakuan tanpa kata-kata. Bahwa Ryan memang tidak pernah gagal dalam memberikan pengandaian dalam bentuk yang dramatis. Hihihihi.

"Tapi, sebenarnya semua coretan ini nggak bener-bener bakal ditanyain sih."

Setelah terjeda oleh tawa beberapa saat, pada akhirnya Vanessa kembali bicara. Menarik napas dalam-dalam dan berpaling. Melihat pada Ryan dan mendapati ada sorot tak percaya di matanya.

Sebenarnya enak sih balik ngangguin dia.

Tapi, buat skripsi kok coba-coba, Bun?

Ntar Ryan malah stres lagi.

Vanessa mengacungkan draf skripsi itu. Memperlihatkannya pada Ryan.

"Sebenarnya ini bukan semua pertanyaan yang bakal ditanyain sih. Cuma lebih ke catatan-catatan gitu."

Dahi Ryan mengerut. "Terus untuk apa catatan-catatan itu?" tanyanya langsung. "Untuk ditanyain kan?"

"Emang," jawab Vanessa dan ia melanjutkan perkataannya dengan cepat sebelum Ryan memotongnya. "Tapi, nggak semuanya. Biasanya ada yang jadi pertanyaan prioritas. Nah, kalau pertanyaan itu nggak bisa dijawab, baru deh diganti sama pertanyaan-pertanyaan lainnya."

Ragu sih, tapi Ryan memastikannya. "Semacam pengganti biar nilai nggak kosong?"

"Ehm ... kurang lebih gitu."

"Terus, gimana jadinya kalau pertanyaan pengganti itu juga nggak bisa dijawab?"

"Menurut kamu gimana lagi? Ya ... itu salah satu penyebab kadang ada sidang ulangan. Karena kalau sampe pertanyaan pengganti atau pertanyaan yang paling mudah pun nggak bisa dijawab, gimana bisa sidang dilanjutkan?"

Muka Ryan langsung berubah masam. Tampak jakunnya yang naik turun. Mungkin benaknya langsung membayangkan seperti apa pastinya suasana di dalam ruangan sidang. Mencekam. Menakutkan. Dan membuat ia gemetaran seluruh tubuh. Iiih!

Vanessa tergelak. Melambaikan tangannya sekali di depan wajah Ryan. Membuyarkan imajinasi mengerikan itu dari benaknya. Lantas berkata.

"Tenang tenang. Sidang itu nggak mengerikan. Asal kita udah menguasai materi. Yang buat ngeri itu kalau kita nggak menguasai materi skripsi kita. Itu yang gawat."

Mengubah sedikit posisi duduknya, Ryan menghadapi Vanessa. "Nggak mengerikan lagi untuk yang udah dua kali ngalamin sidang. Mengerikan untuk yang belum pernah ngalamin sidang."

"Jadi, kamu lebih percaya omongan orang yang belum pernah ngalaminnya atau percaya omongan orang yang udah dua kali ngalaminnya?"

"Ehm ...."

Ryan mengusap ujung dagunya. Matanya menyipit dan sorotnya berubah tajam. Lalu ia angguk-angguk kepala.

"Kamu bener," ujar Ryan kemudian. "Aku percaya omongan kamu aja."

"Makanya ... timbang kamu membayangkan yang aneh-aneh soal sidang," lanjut Vanessa. "Mending kamu belajar bener-bener. Yakin deh. Yang ditanyain dosen itu ya pasti seputar skripsi mahasiswa. Walau mungkin ntar ada pertanyaan yang melenceng, tapi dijamin. Itu paling satu atau dua pertanyaan."

"Contohnya?"

"Pencipta lagu Indonesia Raya. Siapa yang mengetik naskah proklamasi. Atau ... kapan Monas dibangun."

"Yang gituan juga ditanyain?"

Ryan bertanya dengan tampang yang polosnya benar-benar alamiah. Karena memang ia tidak mengira akan ada pertanyaan seperti itu. Lebih ke pengetahuan umum ketimbang dikatakan melenceng dari topik skripsi.

Vanessa mengangguk. "Sesuai dengan visi misi kampus. Harusnya sih di tiap kampus gitu. Karena kan kurang lebih visi misinya pasti mencetak lulusan yang pinter akademik, berjiwa nasionalisme, dan terpuji akhlaknya. Cuma ... memang sih terkadang bagian gini kelewatan buat ditanyain. Soalnya udah capek duluan gara-gara nanyain soal skripsinya. Hahahaha."

"Hahahaha. Ternyata kalau sidang itu bukan cuma mahasiswa yang capek ya? Dosen juga?"

Untuk meyakinkan jawabannya, Vanessa mengacungkan draf skripsi Surya. "Menurut kamu, meriksa ginian yang nyita waktu dan tenaga?"

Ryan terkekeh.

"Dan ini baru permulaan," sambung Vanessa lagi. "Ntar pas udah mau UAS, pasti makin banyak lagi mahasiswa yang ngasih draf skripsi mereka. Ah, dengan makalah seminar proposal dan seminar hasil juga. Ya Tuhan. Ngebayanginnya aja udah berhasil buat kepala aku cenat-cenut rasanya."

Melihat ekspresi Vanessa, Ryan tak mampu menahan godaannya. "Terus ... kalau kerjaan kamu banyak, gimana dengan gosip yang udah kepalang beredar?"

Vanessa yang sedang memijat kepalanya, sontak menghentikan pergerakan tangannya. Menoleh dan mendapati sekelumit senyum di wajah Ryan. Ekspresi tertekannya segera berganti kecerahan yang jelas sekali tidak dibuat-buat.

"Ya apa boleh buat. Kerjaan harus diselesaikan secepatnya. Biar gosip bisa cepat berubah jadi kenyataan."

*

Bertempat di Ruang Sidang Satu, pagi itu Vanessa sudah memulai pekerjaannya sebagai seorang dosen. Bersama dengan ketiga orang rekannya, mereka memulai sidang skripsi Surya. Dimulai dengan pembukaan yang dipimpin oleh Rahmat selaku sekretaris dalam sidang itu. Lantas ia pun membacakan biodata singkat calon sarjana itu.

"Surya lahir di Bogor sekitar dua puluh dua puluh lima tahun yang lalu. Tanggal 12 Desember. Wah! Tanggal lahir kamu cantik juga, Sur. Ehm ... wajar juga kamu ganteng."

Surya yang sudah gemetaran di depan sana, berusaha tersenyum walau jelas terlihat kaku. Bahkan untuk menimpali guyonan dosen pengujinya pun ia seperti sudah tak mampu lagi. Dan itu tidak luput dari perhatian Suwanto selaku pembimbing utamanya.

"Santai, Sur. Jangan gugup. Kami di sini cuma mau nanya-nanya bentar kok."

Surya tampak meneguk ludah. Mengangguk sekali. "I-i-iya, Pak."

"Jadi ...." Rahmat kembali bicara. "Saya, Pak Suwanto, Pak Nathan, dan Bu Vanessa di sini cuma sekadar mau tau saja. Soal penelitian Saudara. Maka dari itu, tenang saja. Yang tau soal penelitian ini hanya Saudara. Santai dan jawab pertanyaan kami sebisa Saudara. Oke?"

"O-oke, Pak."

"Nanti kalau sekiranya Saudara merasa nervous atau apa, coba tarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Atau kalau perlu, silakan minum dulu. Ya?"

Alih-alih langsung menjawab, Surya ternyata malah langsung mempraktekkan apa yang dianjurkan Rahmat. Ia buru-buru menarik napas dalam-dalam. Kemudian, barulah ia mengangguk.

"Ya, Pak."

Rahmat tersenyum. "Oke. Sepertinya calon sarjana kita sudah siap," ujarnya pada ketiga orang rekan dosennya. "Kepada Saudara, silakan."

Kesempatan yang Surya dapatkan, berusaha ia pergunakan semaksimal mungkin. Mencoba untuk tetap tenang ketika ia memaparkan hasil penelitiannya. Sama persis seperti ketika ia seminar hasil tempo hari. Yang membedakannya hanyalah pendengarnya. Kalau di seminar hasil ada mahasiswa yang menjadi fokusnya, sementara kali ini fokusnya adalah para dosen.

Setelah presentasi Surya lakukan, ia dipersilakan untuk duduk kembali. Bahkan diberikan kesempatan untuk membasahi sejenak kerongkorannya. Yang mana itu cukup memberikan waktu untuk Surya bisa menenangkan dirinya sejenak. Hingga kemudian, puncak sidang pun dimulai. Yaitu, sesi tanya jawab.

Berganti-gantian, setiap dosen melayangkan pertanyaannya. Bahkan terkadang bisa menjadi pertanyaan berantai. Yang ketika sudah berhasil dijawab, maka akan disambung oleh pertanyaan lainnya. Namun, ada kalanya pula pertanyaan yang diberikan justru merupakan pertanyaan-pertanyaan yang menggiring Surya ke jawaban yang semula lalai ia ketahui.

"Jadi begini," ujar Vanessa kemudian. "Seperti yang Saudara katakan tadi bahwa tanah ultisol tidak memiliki unsur P. Fosfat di tanah ultisol itu nggak ada. Iya kan? Yang banyak justru Al kan?"

Sekali, Surya mengangguk. "Iya, Bu."

"Oke. Karena tanah ultisol tidak memiliki P, maka kita memberikan kapur dolomit?"

Kembali, Surya mengangguk. "Benar, Bu."

"Sementara kandungan kapur dolomit itu apa?" tanya Vanessa lagi. "Apakah P? Atau unsur lainnya?"

Mata Surya mengerjap-ngerjap. Seperti baru tersadar akan sesuatu. "Bukan P, Bu. Tapi, Ca dan Mg," jawabnya. "Kalsium dan magnesium."

"Oke. Jadi kapur dolomit itu mengandung Ca dan Mg. Tapi, kenapa kalau kita berikan kapur dolomit, justru P dalam tanah meningkat. Kan di dalam kapur dolomit nggak ada P."

"Itu ...," lirih Surya seraya menarik napas. "... karena Al yang semula mengikat P melepaskan P dan justru mengikat unsur kapur dolomitnya, Bu."

"Jadi ... apa benar tanah ultisol tidak mengandung P?"

Wajah Surya seketika berubah cerah. Dengan mantap menggeleng. "Tidak, Bu. Tanah ultisol juga mengandung P. Hanya saja dalam bentuk yang tidak tersedia untuk tanaman karena diikat oleh Al. Sehingga untuk menyediakan P, kita harus menyediakan unsur lain. Yaitu, kapur dolomit. Maka Al akan melepaskan P dan justru mengikat Ca dan Mg. Jadi, P di dalam tanah akan kembali tersedia."

Vanessa mengangguk sekali. "Oke. Begitulah mekanismenya," ujarnya tersenyum. Turut merasa kelegaan yang mungkin sama persis dengan yang dirasakan oleh Surya. Lantas ia berpaling pada Rahmat. "Dari saya cukup, Pak."

Disambung oleh pertanyaan dari dosen selanjutnya, Vanessa yang merasa bahwa pertanyaan darinya sudah tuntas ia berikan, langsung meraih lembar penilaian. Memberikan angka-angka di sana. Sesuai dengan apa yang pantas untuk didapatkan oleh Surya. Terlepas dari fakta bahwa ia terlambat mengadakan sidang skripsi, namun nyatanya cowok itu berusaha untuk bertanggungjawab dengan kuliahnya.

"Sebenarnya ya ... asal mahasiswa itu rajin datang ke kampus, paling nggak nilai C dan tamat empat tahun itu udah pasti dalam genggaman," ujar Rahmat kemudian. "Ya walau mungkin memang ada mata kuliah yang dapat C aja juga susah sih. Tapi, seharusnya nggak sampai dapat ancaman DO juga loh, Sur."

Surya menganggukkan kepalanya. "Iya, Pak."

"Kalian mungkin nggak tau ya. Tapi, kadang kami-kami ini bukan mahasiswa yang pintar loh dulunya. Yang pasti kami adalah mahasiswa yang rajin. Makanya kami-kami sedih kalau liat ada mahasiswa yang seharusnya bisa cepat tamat, tapi justru menyia-nyiakan kesempatan. Jadi, semoga ini bisa memberikan pelajaran buat kamu."

Wajah Surya tertunduk semakin dalam. "Iya, Pak."

"Oke. Kalau gitu, silakan Saudara keluar sebentar. Biar kami bisa mendiskusikan hasil sidang Saudara. Apakah layak lulus atau tidak."

Menguatkan dirinya, Surya bangkit. Langsung keluar dari Ruang Sidang Satu. Memberikan waktu untuk keempat dosennya berdiskusi.

"Padahal dulu Surya ini anaknya rajin sih," desah Suwanto seraya melihat daftar riwayat hidupnya. "Ini pasti pengaruh temennya yang pada nggak bener. Pergaulan anak zaman sekarang memang bisa membahayakan kelancaran studi."

Di sebelah Suwanto, Nathan terdengar menimpali. "Bukan pengaruh temennya, Pak. Tapi, saya dengar-dengar Surya ini banyak pacarnya."

"Ah! Keseringan pacaran dia? Ckckck. Ya memang. Dengan wajahnya itu saya justru heran kalau dia nggak punya banyak pacar."

"Anak zaman sekarang kan? Kalau nggak punya pacar," sambung Rahmat seraya menghitung penilaiannya. "Dibilang nggak laku. Apalagi kalau cowok nggak punya banyak pacar, dibilang nggak laki."

"Padahal ntar mah juga bakal laku," sambung Suwanto. "Buktinya aja Bu Vanessa. Diem-diem bakal langsung nikah kan bentar lagi. Nggak pake gembar-gembor sana-sini malah."

Vanessa yang memang sedar tadi fokus dengan penghitungannya –khawatir kalau dirinya salah menghitung, sontak berpaling. Untuk tak mampu menahan senyumnya yang spontan mengembang. Tak menampik sama sekali.

"Iya, Pak. Doakan aja semuanya lancar."

Perkataan yang langsung mendapatkan lirihan 'amin' dari Suwanto dan Rahmat. Dan itu membuat Vanessa terusik untuk melirik Nathan yang mendadak diam. Hingga ia pun kemudian berkata pada rekan kerjanya itu. Dengan satu senyuman manis di wajahnya.

"Dan saya doakan juga, semoga Pak Nathan secepatnya bisa menemukan calonnya pula."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro