Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Tanpa Rasa Malu

Dua minggu tanpa masa praktikum dan perkuliahan lantaran jadwal ujian tengah semester, terlewati pula. Dan ketika sebagian besar mahasiswa mengeluh lantaran harus kembali mulai belajar dengan jadwal yang padat, ada satu orang mahasiswa yang sebaliknya. Dengan teramat riang gembira menyambut hari Senin itu. Bahkan nyaris saja bersenandung.

"Aku adalah anak Bu Lastri."

"Yang paling tampan dan juga mapan."

Mudah-mudahan saja Tasya Kamila tidak geli sendiri mendengar lagu masa kecilnya diplesetkan sedemikian rupa oleh seorang mahasiswa tingkat akhir. Terutama karena jelas, sebagai penutup, lirik itu diikuti oleh doa.

"Aamiin aamiin aamiin ya rabbal alamin. Udah tampan, mapan lagi. Ehm ... kamu emang cowok idaman, Yan."

Ryan terkekeh. Tak peduli bagaimana beberapa orang mahasiswa tampak geleng-geleng kepala melihat kelakuannya, cowok itu terus saja melangkah. Menaiki tiap anak tangga. Hingga tiba di lantai dua gedung jurusan. Dan menemukan sahabatnya di seberang sana.

"Bid! Abid anak Bu Ramita."

Ya ampun. Abid horor sendiri mendapati sapaan yang lain daripada yang lain itu. Walau tentu saja, Abid tidak akan heran sama sekali. Ia tau dengan pasti bagaimana sahabatnya itu memiliki sistem kerja otak yang tidak seperti orang kebanyakan.

Ryan menghampiri Abid. Tampak cengar-cengir dengan ekspresi yang amat bahagia. Dan itu diperjelas dengan ungkapan rasa syukurnya.

"Akhirnya praktikum dimulai lagi. Ehm ... aku udah nggak sabar buat belajar siang ini."

Nah, ini dia satu alasan lainnya mengapa Abid yakin kalau sistem kerja otak Ryan memiliki gangguan. Lihat? Tidak ada mahasiswa yang suka praktikum loh. Atau bahkan kuliah. Mahasiswa zaman sekarang sukanya kelas kosong, tapi nilai keluar A. Itu baru mahasiswa normal. Yang seperti Ryan, yang semangat untuk praktikum, jelas masuk kategori mahasiswa sebaliknya. Mahasiswa tidak normal.

Ryan tampak mengusap-usap kedua tangannya. Dengan ekspresi senang yang terpampang nyata di wajahnya. Tepat ketika ia dan Abid menyusuri koridor lantai atas. Lalu matanya tertuju pada satu ruangan yang pintunya sedikit membuka. Dan itu, tentu saja tertangkap oleh pengawasan mata Abid.

"Astaga, Yan. Nyebut, Yan, nyebut. Dosa ngeliatin dosen dengan tatapan hentai kayak gitu."

Eh?

Ryan mengerjapkan matanya. Ekspresi senang di wajahnya berganti dengan ekspresi bingung.

"Aku keliatan kayak mesum gitu ya, Bid?"

Tidak menjawab pertanyaan itu, Abid justru bergidik. "Walau Bu Vanessa emang masih lajang, tapi ya kali. Kayak nggak ada cewek lain aja yang bisa jadi objek fantasi kamu. Dosa, Yan, dosa. Dia itu dosen kita. Ckckck. Parah kamu mah."

Ryan mencibir. "Fantasi apaan. Untuk apa coba aku jadiin Bu Vanessa sebagai objek fantasi aku?"

Karena jelas kan.

Udah bukan sekadar fantasi doang dong.

Ha ha ha ha.

Abid merasa, ada yang beda dari Ryan. Itu jelas. Perkataan cowok itu tidak sinkron dengan ekspresi bangga yang tercetak di wajahnya.

"Ckckckck."

Geleng-geleng kepala, Abid memutuskan untuk segera menuju ke ruang praktikum. Dengan satu pemikiran yang melintas di benaknya.

Wajar sih.

Udah siang.

Dia pasti lupa minum obat.

Bersiap dengan kelas praktikum Botani yang akan mereka ikuti tepat di jam dua belas siang itu, Ryan dan Abid langsung duduk di meja praktikum. Dengan beberapa orang junior yang tampaknya juga sudah mulai mengisi tempat masing-masing. Hingga tak lama kemudian, bunyi khas yang terdengar menggema di koridor membuat Ryan menegapkan punggungnya. Itu seperti terompet penyambutan. Yang memberikan isyarat bahwa orang yang ia tunggu akan segera tiba. Dan itu diperjelas dengan adanya suara lembut yang menyapa semua peserta praktikum.

"Selamat siang semuanya."

Ah, merdunya bahkan mengalahkan merdunya suara mesin ATM yang ngeluarin duit coba.

Ryan tersenyum lebar. Turut membalas sapaan itu bersama dengan mahasiswa lainnya.

"Selamat siang juga, Bu Vanessa."

Di depan sana, berdiri di balik mejanya, Vanessa tampak memberikan senyumnya pada semua peserta praktikum. Sekadar sapaan bersahabat yang ia usahakan setiap kali sebelum proses belajar mengajar dimulai. Dan ketika pandangannya beradu dengan tatapan Ryan, sontak saja ia berhenti di sana. Hanya untuk mendapati bagaimana Ryan yang tampak mengulum senyum pada dirinya. Hingga dibutuhkan kekuatan lebih untuk Vanessa memindahkan fokus matanya ke tempat lain. Seraya berkata.

"Oke, jadi hari ini kita akan melanjutkan kegiatan praktikum kita. Dan temanya adalah sitologi. Di mana kita akan melihat bentuk sel, bagian-bagian sel yang hidup dan benda mati di dalam sel. Kita nanti akan melihat amilum, butir aleuron, dan juga kristal ca-oksalat."

Vanessa lantas erpaling pada sang asisten praktikum, seorang mahasiwa tahun ketiga, yang bernama Farrel.

"Farrel, silakan bahan praktikum dibagikan dulu."

Memberikan waktu sejenak untuk Farrel membagikan bahan praktikum yang meliputi kapas, wortel, kentang, tepung ketan, dan juga batang bayam, Vanessa lantas beranjak demi membuka penuntun praktikum. Dengan mengulum senyum, lantaran tau dengan pasti. Bahwa di seberang sana Ryan sama sekali tidak melepaskan mata dari dirinya.

Dan berbicara mengenai Ryan yang tidak berpaling dari Vanessa, tentu saja bukan hanya cewek itu yang tau. Alih-alih, Abid yang duduk di sebelah Ryan pun menyadarinya. Hingga membuat cowok itu memejamkan mata. Dengan ekspresi malu ketika ia berbisik pada Ryan di sela-sela kegiatan praktikum mereka.

"Please, Yan. Kamu yang malu-maluin, tapi kok aku yang berasa malunya? Sumpah. Kamu itu nggak nyadar kalau makin hari halu kamu makin nggak tertolong lagi?"

Ryan yang kala itu sedang mencari fokus pada tangkapan mikroskop yang ia tangani, berpaling sejenak. Dengan dahi berkerut, ia penasaran.

"Maksud kamu apa?" tanya Ryan seraya kembali melihat pada lensa okulernya. "Ah, ini mah kalau pake perbesaran sepuluh aja torsi kapasnya udah kelihatan banget."

Ryan bangkit. Mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan langsung membuka aplikasi kamera. Mengarahkannya dengan tepat di atas lensa okuler dan mengabadikan hasil pembesaran mikroskop itu dalam bentuk foto.

"Maksud aku ...," jawab Abid seraya merendahkan sedikit suaranya. Khawatir perkataannya akan didengar oleh praktikan lain dan membuat sahabatnya itu malau. Walau jelas, Abid sendiri meragukan kalau Ryan masih punya rasa malu. "Kamu itu ngeliatin Bu Vanessa kayak yang intens banget tau nggak sih? Kalau orang-orang nggak tau sifat kamu kayak gimana, udah pasti orang mikirnya kamu beneran suka lagi sama dia."

Klik!

Foto didapat dan Ryan berpaling pada Abid. Dengan wajah sok polosnya ia berkata.

"Lah, kenyataannya emang gitu. Aku emang beneran suka sama dia."

Sumpah!

Abis yang merasa malu mendengar perkataan Ryan yang tanpa tau malu itu. Bahkan saking malunya Abid, cowok itu memejamkan mata. Seperti takut melihat kenyataan. Bahwa cowok memalukan itu adalah temannya!

Sial!

Dari sekian banyak orang waras, kenapa aku justru dapatnya temen yang nggak waras sih?

Mana udah nggak waras, eh ... nggak tau malu lagi.

Sekalinya naksir cewek, malah dosen primadona satu kampus yang diincer!

Berniat untuk menyadarkan temannya kembali ke jalan yang dirahmati oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, Abid pun menepuk punggung Ryan sekilas. Hanya untuk menghentikan rencana Ryan yang akan beralih pada bahan praktikum selanjutnya.

"Yan," kata Abid dengan memasak raut penuh simpatik. "Aku tau kamu itu pinter. Ya kamu juga berasal dari keluarga baik-baik. Kamu juga rajin sedekah. Tapi, ya kali. Mbok ya minta sama Tuhan itu pake urat malu dikit napa? Sedekah seribu perak, eh ... mengharapkan dapat jodohnya sebangsa Bu Vanessa. Apa nggak diketawain malaikat kamu?"

Rasa-rasanya Ryan ingin memukul kepala Abid dengan wortel yang ada di tangannya. Bagaimana bisa Vanessa yang cantiknya tiada tara disetarakan dengan sedekah seribu perak?

"Makin lama omongan kamu ini beneran buat sakit hati ya," delik Ryan. "Kayak yang aib dunia aja kalau jodoh Bu Vanessa itu aku."

Abid sontak mengambil alih wortel di tangan Ryan. Alih-alih menunggu kepalanya dipukul oleh sahabatnya itu, Abid justru dengan sukarela memukul sendiri kepalanya. Seperti ingin meyakinkan bahwa kepalanya masih berfungsi dengan baik.

"Bukan aib, tapi mbok ya sadar diri. Ketimbang sama kamu, ya logis kalau Bu Vanessa jadi dengan cowok lain. Yang sudah teruji secara klinis di IPB dan ITB."

Ryan melongo. Tapi, Abid justru lanjut berkata.

"Ketimbang sama kamu, masuk akal kalau Bu Vanessa jadian dengan Pak Nathan kan?"

Wah!

Harusnya Abid yang dijadikan bahan praktikum, ketimbang wortel!

"Semua orang juga ngeliat betapa serasinya Bu Vanessa sama Pak Nathan coba. Kan?"

Ryan mencibir. "Ketimbang sama Bu Vanessa, mending kita doakan Pak Nathan biar jadian aja sama Bu Emi aja deh. Kasihan loh. Bu Emi itu udah lebih berumur ketimbang Bu Vanessa. Jadi, biar Bu Emi aja yang sama Pak Nathan. Jangan Bu Vanessa."

"Ckckckck. Mana mau Pak Nathan sama Bu Emi. Nggak lihat kalau semua orang pada ngeri sama Bu Emi? Boro-boro mahasiswa, sesama dosen aja kayaknya ngeri sama beliau. Mana susah banget lagi dapat nilai sama Bu Emi. Ck. Satu angkatan, cuma kamu doang yang lulus kelas Pengendalian Gulma."

"Ha ha ha ha."

Ryan tertawa dengan rasa bangga yang mendadak saja menguar dari dadanya. Ketika Abid yang tanpa sengaja menyenggol kenangan tahun lalu. Karena dari enam puluh delapan siswa, hanya Ryan yang berhasil lulus mata kuliah Pengendalian Gulma dengan nilai A. Walau jelas, nilai A yang ia dapatkan adalah nilai yang mepet sekali. Total nilai Ryan hanya 86, 3. Meleset sedikit saja, akan ada tanda minus di huruf A tersebut.

"Itu namanya Bu Emi itu orangnya objektif. Beliau itu profesional. Dan karena itulah aku mendoakan yang terbaik untuk beliau. Agar beliau berjodoh dengan Pak Nathan. Ha ha ha ha."

Masih tidak sependapat dengan Ryan, Abid tampak melambaikan satu tangannya di depan wajah.

"Ketimbang sama Pak Nathan, kayaknya Bu Emi lebih cocok sama Pak Zidan. Perawan tua ketemu sama duda. Ehm ... klop kan?"

Ryan menatap horor pada Abid. "Ini nih yang kelewatan. Masih mending aku mengkhayal membina masa depan yang bahagia sama Bu Vanessa. Lah kamu ngomongin dosen sendiri gitu? Ckckckck. Kelas Pancasila kamu lulus nggak sih?"

"Asem," tukas Abid. Walau jelas, mau tak mau perkataan Ryan membuat Abid merasa bersalah juga. "Ya bukan gitu maksud aku. Lagian Pak Zidan cakep kok. Cocok sama Bu Emi. Saking cocoknya, mereka berdua sama-sama dapat predikat sebagai dosen susah nilai."

"Nggak ada dosen yang susah ngasih nilai kalau kita belajar."

Lagi, Abid terpaksa menelan ludah gara-gara perkataan Ryan. "Ya tau yang jadi anak kesayangan Pak Zidan. Sampe jadi tangan kanannya buat kelas Rancangan Percobaan."

Ryan menyeringai. Dengan satu pemikiran yang membuat ia menatap Abid dengan penuh makna.

"Dan menurut kamu, dengan kualitas aku yang kayak gini, masih belum cukup gitu untuk mendapatkan seorang Bu Vanessa?"

Demi Tuhan!

Sekarang rasa-rasanya Abid ingin menggigit wortel bahan praktikum mereka. Ketimbang menuruti keinginan hatinya untuk menggigit Ryan kan?

Hanya saja, ketika Abid baru saja akan membalas perkataan Ryan, mendadak saja ada suara yang menegur mereka berdua.

"Itu dari tadi Ryan dan Abid ngobrol aja ya? Nggak praktikum kalian?"

Kompak, Ryan dan Abid langsung putar badan. Melihat ke depan pada Vanessa yang tampak berjalan menuju ke meja mereka. Namun, di saat Abid panik, Ryan tampak santai saja ketika berkata seraya menyodorkan ponselnya. Menampilkan beberapa foto di sana.

"Tinggal pengecekan kromoplas pada wortel, Bu."

Vanessa melirik. Pada ponsel Ryan dan mengangguk. "Selesaikan dulu praktikumnya, baru ngobrol."

Mungkin, di situasi lain, mendapatkan teguran dari dosen merupakan sesuatu yang memalukan untuk beberapa mahasiswa. Terutama karena ditegur lantaran dugaan tidak mengikuti kegiatan perkuliahan dengan benar. Tapi, lihatlah Ryan. Alih-alih merasa malu karena ditegur, ia justru tersenyum lebar.

"Baik, Bu," kata Ryan mengangguk. "Nanti abis praktikum kita ngobrol."

Vanessa melotot. Tercengang. Sementara Abid kali ini benar-benar menggigit wortel!

Ampun dah!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro