47. Dalam Praduga
Sebanyak apa Vanessa mengingatnya, entah mengapa hasilnya akan selalu tetap sama. Ia akan merasa geli. Lantaran tragedi yang menimpa Ryan beberapa waktu yang lalu. Ketika cowok itu diuji kesabaran dan kewarasannya oleh sahabat dan karyawannya. Menyedihkan sebenarnya. Namun, memang menggelikan.
"Akhir-akhir ini emang sering banget ya ngeliat Bu Vanessa senyum-senyum sendiri. Keliatan sekali kalau sedang bahagia."
Satu komentar yang datang dengan tiba-tiba membuat Vanessa mengerjapkan matanya. Membuat ia tergugah dari lamunan beberapa saat yang menyita kesadarannya. Salah tingkah, ia tersenyum malu pada Diana yang tadi bicara.
"Ah, Ibu. Maklum sih. Awal bulan."
Terang saja jawaban Vanessa mengundang tawa dari para dosen yang kebetulan berada di Ruang Rapat Jurusan kala itu. Yang kebetulan berada di sana bukan dalam rapat, melainkan sedang duduk bersantai seraya mengerjakan pekerjaan masing-masing. Hal yang seringkali terlihat di kampus. Karena ketimbang bekerja sendirian di ruang mereka, para dosen memilih untuk berkumpul di Ruang Rapat Jurusan.
Namun, berbeda dengan dosen kebanyakan, Vanessa sebenarnya justru lebih menyukai yang sebaliknya. Yaitu, bekerja di ruangannya sendiri. Menurutnya lebih tenang dan menjaga fokusnya. Dan yang paling penting adalah mengenyahkan kemungkinan di mana orang-orang bisa melihat dirinya dalam keadaan yang memalukan. Seperti yang baru saja terjadi ini. Hihihihi.
"Tanggal dua belas masih terbilang baru emang ya buat yang belum nikah."
"Kalau udah bekeluarga atau bahkan udah punya cucu, tanggal tiga aja udah jadi tanggal tua."
Manusiawi sekali bila pada akhirnya Vanessa turut tertawa bersama dengan rekan-rekannya tatkala celetukan itu pecah ke udara. Apalagi ketika ia membalasnya dengan gurauan senada.
"Saya kan masih banyak waktu buat perawatan dan pake skincare, Bu. Jadinya awet muda."
Rahmat yang kebetulan duduk di ujung meja terkekeh. Melepaskan sejenak kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya.
"Nanti kalau udah bekeluarga, baru deh ngerasain ya. Bahkan skincare nggak bisa buat tanggal jadi muda lagi. Hahahaha."
"Tapi, kamu nggak perlu khawatir, Sa," sambung Fatma. "Tanggal nggak apa-apa tua, yang penting isi dompet selalu muda."
Vanessa makin tertawa mendengar perkataan Fatma. Hingga membuat ia sadar akan sesuatu. Bahwa kalau ingin fokus bekerja memang lebih baik di ruangannya sendiri. Karena terbukti, berkumpul bersama di Ruang Rapat Jurusan menyita waktu lebih banyak untuk merumpi. Hihihihi.
"Cuma kamu perlu ingat, Sa. Ini petuah orang yang sudah berpengalaman. Nggak peduli kayak gimana, usahakan ngadain resepsi pernikahan itu di awal bulan. Karena nggak semua orang dompetnya pake skincare."
Celetukan yang dilayangkan oleh Suwanto memperparah tawa yang meledak di ruangan itu. Semua yang berada di ruangan itu, tanpa terkecuali, tertawa. Bahkan Vanessa sampai basah matanya. Hingga ia terpaksa menarik tisu dan mengelapnya.
Vanessa kemudian angguk-angguk kepala. "Baik, Pak," ujarnya geli. "Petuah Bapak akan selalu saya ingat. Dan mudah-mudahan, akan saya terapkan."
"Ah, sepertinya ada yang mau resepsi beneran nih."
Geli di wajah Vanessa menghilang seketika tatkala Diana menarik kesimpulan dari perkataannya. Kesimpulan yang tentu saja dengan cepat berhasil membelokkan topik pembicaraan di Ruang Rapat Jurusan itu. Terbukti. Karena setelahnya semua mata langsung tertuju padanya.
Vanessa mengulum senyum. "Ya ... kan semua orang emang mau ngadain resepsi sih, Bu. Masa ada yang nggak mau?"
"Tapi, saya benar-benar penasaran," lanjut Diana kemudian. Pandangannya lantas berpindah pada rekan mereka yang berada di sana, bergantian menatapnya satu persatu. "Saya perhatikan akhir-akhir ini Bu Vanessa memang bawaannya happy terus. Wajahnya keliatan cerah gitu. Persis kayak orang yang lagi jatuh cinta."
Tidak menampik perkataan itu, Vanessa hanya tersenyum seraya memainkan pena di tangannya. Memutar-mutarnya dan beralih ketika ada pertanyaan lain yang ia dapatkan.
"Jadi ... kapan nih rencananya mau resepsi, Bu?"
Kali ini adalah Rahmat yang bertanya. Dan itu membuat Vanessa sadar. Bahwa walau Rahmat tampak fokus bekerja dengan laptopnya dari tadi, ternyata itu tidak mampu membatasinya untuk tetap menyimak percakapan yang tengah berlangsung di sana.
"Doakan aja secepatnya," jawab Vanessa. "Mungkin Agustus? Atau September?"
Sudah barang tentu perkataan Vanessa membuat suasana geli di Ruang Rapat Jurusan menjadi menghilang. Alih-alih masih diselimuti oleh kekehan, sekarang semua orang justru berubah ekspresi di wajahnya.
"Ibu serius?"
"Nggak becanda kan?"
"Wah! Wah! Wah!"
"Agustus itu sebentar lagi loh, Bu."
"Bentar lagi udah mau Juli. Kan udah mau UAS."
"Ya Tuhan. Libur semester ini, Bu?"
Melihat raut syok dan tak percaya itu, tentu saja Vanessa menjadi geli. Hal yang wajar. Mengingat bahwa selama ini tidak ada gosip atau berita yang mengabarkan bahwa dirinya tengah dekat pada siapa pun. Dan sekarang? Mendadak saja Vanessa mengatakan bahwa ia akan mengadakan resepsi? Di bulan Agustus ini?
Menahan diri, tentu saja Vanessa memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan yang spontan dilayangkan. Khawatir kalau dirinya justru terlepas mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya. Seperti nama yang akan bersanding dengannya kan?
Merapikan perlengkapan kerjanya, Vanessa keluar dari Ruang Rapat Jurusan dengan diikuti oleh raut geregetan rekan-rekan kerjanya. Merasa penasaran sekali. Antara percaya dan tidak bahwa Vanessa akan menikah dalam waktu dekat.
"Dengan Pak Nathan bukan?"
"Kayaknya sih bukan, Pak."
"Nggak keliatan kalau Bu Vanessa ada hubungan gitu sama Pak Nathan."
"Tapi, Bu Vanessa juga nggak keliatan kayak yang mau nikah mendadak dalam waktu dekat."
"Ehm ... kita tungguin aja. Dalam waktu dekat undangan pasti bakal nyebar."
Mengulum senyum, Vanessa melangkah di sepanjang koridor itu dengan tak henti-hentinya membiarkan imajinasi di benaknya meliar. Membayangkan akan sehebat apa kehebohan yang akan terjadi bila resepsi pernikahannya dan Ryan berlangsung. Karena Vanessa yakin, tidak akan ada seorang pun yang akan mengira bahwa ia akan bersanding dengan mahasiswanya sendiri.
Abai sejenak dengan alam nyata, nyaris saja Vanessa terlonjak kaget ketika mendapati ada Emi yang mengadang jalannya. Rekan kerjanya yang juga masih menyandang status belum menikah seperti dirinya itu tampak tersenyum tipis. Memberikan sinyal pada Vanessa bahwa ada sesuatu yang ingin Emi katakan padanya.
"Ke ruangan saya dulu yuk, Bu."
Ada kesan yang berbeda ketika Emi mengatakan itu padanya. Namun, Vanessa tetap menjaga air mukanya. Berusaha untuk menenangkan diri oleh degupan tak nyaman yang langsung mengacaukan irama debar jantungnya. Seperti ia yang mendapat sinyal tak bagus kala itu.
"Saya sebenarnya nggak enak ngomong gini, Bu. Cuma ... kemaren Tim Kode Etik dan Disiplin Mahasiswa Dosen dapat laporan."
Ketika Vanessa sudah duduk di ruangan Emi, rekan kerjanya itu menutup pintu. Menawarinya segelas air mineral kemasan dan langsung mengatakan hal yang membuat Vanessa menahan napasnya sejenak.
"Ada yang ngomong kalau katanya ada satu mahasiswa yang suka mengganggu Ibu."
Dan dibutuhkan kekuatan besar bagi Vanessa untuk mampu menguasai dirinya. Berusaha agar perkataan Emi tidak berdampak pada wajahnya yang bisa saja berubah pucat. Karena jujur saja, saat ini Vanessa bisa merasakan tangannya mendingin.
"Siapa, Bu, mahasiswa yang dimaksud?"
Walau pada dasarnya, Vanessa tidak membutuhkan jawaban. Nalurinya sudah bisa menebak siapa yang Emi maksud. Maka ia pun tidak terkejut ketika mendapatkan jawaban untuk pertanyaannya.
"Ryan, Bu," ujar Emi. "Rizki Adryan Wicaksana."
Vanessa menahan napasnya. Mengeluarkannya perlahan.
"Ibu tentu kenal kan dengan Ryan?"
Berusaha sekuat tenaga, Vanessa memaksa bibirnya untuk tetap tersenyum. Ia mengangguk. "Kenal, Bu. Dan memang beberapa kali dia terlibat sama saya. Seperti yang Ibu tau. Bahkan dia jadi asisten saya untuk Tim PKM."
Emi mengangguk. "Benar, Bu. Maka dari itu, saya berniat untuk klarifikasi langsung ke Ibu. Sesuai amanat Bu Heti juga. Apa memang Ryan terkesan mengganggu atau membuat Ibu tidak nyaman?"
"Bila membantu pekerjaan saya itu termasuk mengganggu, maka jelas Ryan memang mengganggu. Termasuk di dalamnya kalau membantu membelikan saya makan siang. Hal yang sering kita lakukan kan? Meminta tolong pada mahasiswa?"
"Tentu, Bu. Tempo hari saja saya juga minta tolong ke Ryan," jawab Emi seraya menarik napas dalam-dalam. "Karena sejujurnya saja, saya juga termasuk sering berinteraksi dengan dia. Dan sepanjang sepengetahuan saya, dia nggak banyak tingkah sih. Namun, bila dia memang melakukan hal yang dilaporkan maka rencananya Bu Heti mau manggil yang bersangkutan."
Di atas pangkuan, jemari Vanessa bergerak. Meremas dasar celananya. Lalu, ia menggeleng.
"Karena kalau saya merasa terganggu, saya bisa pastikan saya sendiri yang menegur dia, Bu."
Cukup satu kalimat yang Vanessa katakan, tapi tentu saja mampu menjawab semuanya. Dan bila masih ada sedikit saja keraguan yang tertinggal di benak Emi, maka tentulah semuanya benar-benar buyar dengan lanjutan perkataan dari rekannya itu.
"Dan bisa saya pastikan, saya sendiri yang melapor ke Tim Kode Etik dan Disiplin Mahasiswa Dosen. Tidak perlu bantuan dari pelapor lainnya."
*
Pulang sedikit terlambat sore itu, Ryan merasa perasaannya berbunga-bunga. Ada mawar ada melati, pokoknya semuanya indah. Hihihihi. Dan itu berkat satu gosip yang ia dengar di kampus tadi.
Biasanya ya biasanya, yang namanya gosip itu pasti tidak mengenakkan. Namun, sepertinya itu hanya berlaku untuk sebagian orang. Karena untuk orang yang lainnya, mungkin saja gosip itu adalah hal yang menyenangkan. Seperti yang Ryan dengar hari ini. Tatkala ia sedang berkumpul dengan teman-temannya di sekretariat hima. Hal yang sudah jarang ia lakukan ketika ia sudah di semester akhir ini.
Adalah gosip Vanessa yang mewarnai pembicaraan para mahasiswa di sana. Entah dari mana mulanya, mendadak saja beredar kabar bahwa Vanessa mengumumkan dirinya akan melangsungkan pernikahannya dalam waktu dekat. Ugh! Jangan dibayangkan bagaimana perasaan Ryan ketika mendengar hal itu. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata lagi deh.
Maka dari itu, setelah laju motornya berhenti di area parkir, Ryan dengan cepat beranjak dari sana. Setengah berlari menuju ke lift. Tak sabaran untuk segera menemui Vanessa. Dengan beberapa kalimat godaan yang sudah ia persiapkan.
"Cie .... Dinda udah nggak sabar ya mau bersanding dengan Kanda?"
Ryan terkikik. Kurang lebih seperti itulah kalimat pembuka yang akan ia katakan nanti.
Namun, entah mengapa, Ryan tertegun ketika baru satu langkah dirinya masuk ke unit apartemen mereka. Terdiam sejenak, mata cowok itu bergerak memandang sekeliling. Dengan dahi yang mengernyit. Lalu ia mengusap tekuknya.
"Ke-ke-kenapa aura unit ini agak beda ya?" tanya Ryan setengah bergumam. "Be-berasa kayak ada Teh Kunti lewat."
Meneguk ludah, Ryan bahkan merasa bulu kuduknya meremang ketika pintu bergerak. Pelan-pelan menutup di balik punggungnya. Dengan tak lupa menghadirkan suara samar yang turut menghadirkan suasana mencekam.
Masuk dan langsung menuju ke kamar, Ryan menyadari bahwa tidak ada Vanessa di sana. Namun, tas kerja cewek itu membuat ia yakin. Bahwa Vanessa sudah pulang.
Berniat untuk langsung menemui Vanessa, Ryan pun keluar dari kamar. Mencari keberadaannya. Memeriksa di tiap ruangan. Hingga langkah kakinya mengantarkan cowok itu ke dapur.
Tampak berdiri membelakangi Ryan, Vanessa berdiri. Dengan gaun santai kesukaannya. Yang polos putih tanpa ada ornamen sedikit pun. Ditambah pula dengan rambut hitam panjangnya yang terurai.
Lagi-lagi, Ryan meneguk ludah.
Ternyata bukan Teh Kunti, tapi Teh Vanessa.
Mengembuskan napas lega, namun Ryan justru merasakan keanehan lainnya. Entah mengapa, tapi jantungnya mendadak berdegup kencang. Dalam ritme yang membuat ia tak nyaman. Terutama ketika ia melangkah mendekati cewek itu. Seraya memanggil namanya pelan.
"Sa ...."
Ada respon yang Vanessa berikan. Berupa pergerakan tubuhnya yang membuat langkah kaki Ryan terhenti. Berdiri di tempatnya, Ryan membeku ketika melihat Vanessa yang pelan-pelan memutar tubuhnya.
Glek.
Napas Ryan rasanya berhenti di pangkal tenggorokan. Karena ketika matanya beradu dengan mata Vanessa, ia merasakan aura mistis seperti meningkat dengan amat drastis. Seperti nuansa menakutkan itu keluar dari tubuh Vanessa. Berkat wajahnya yang tampak dingin. Tanpa ada senyum sama sekali. Seperti ia yang tengah menahan emosi. Hal yang terpancar jelas di sorot matanya.
"Sa ...."
Kembali Ryan menyebut nama itu. Dengan suara bergetar. Lantaran matanya menangkap pemandangan yang menggetarkan jiwa raganya. Yaitu, ada satu mangkuk melamin yang di tangan Vanessa.
Bayangan masa lalu melintas. Karena sungguh. Ryan sudah amat terlalu lama tidak melihat ekspresi kemarahan itu muncul lagi di wajah cantik Vanessa. Dan Ryan yakin, bila ada mangkuk melamin di tangan Vanessa ketika ia tengah marah, itu pasti bukanlah hal yang bagus.
Mampus aku.
Aku ada salah apa?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro