45. Kekesalan Yang Sesungguhnya
[ Ryancur ]
[ Dinda, kamu udah tidur? ]
Membaca pesan itu, Vanessa tanpa sadar tersenyum kecil. Hingga berhasil menarik perhatian Elin yang kala itu tengah duduk di sebelahnya. Tanpa basa-basi, ia beringsut mendekati Vanessa. Melongok. Lalu terbahak.
"Hahahaha. Dinda? Wih! Merinding aku bacanya, Mbak."
Vanessa cengar-cengir. Menarik ponselnya agar Elin tidak membaca riwayat pesannya dengan Ryan selama ini. Hihihihi. Malu dong.
"Ehm ... itu sebenarnya bukan panggilan mesra sih. Tapi, itu lebih ke panggilan buat nganggu-nganggu gitu."
Elin tampak geli. "Aaah gitu," lirihnya. "Tapi, Mbak nggak habis kesabaran kan kalau lagi digangguin Mas? Mas kan kadang nggak kira-kira kalau lagi ngangguin orang."
Tawa berderai di bibir Vanessa. "Udah kebal. Nggak mempan lagi kalau Mas kamu ngangguin."
"Ting!"
Elin melirik. "Itu pasti Mas lagi. Nggak sabaran gara-gara chat dia belum dibalas. Padahal chat puding mangga aku tadi juga nggak dibalas. Hahahaha."
Dan yang dikatakan oleh Elin adalah satu kebenaran. Karena ketika Vanessa kembali melihat pada ponselnya, memang adalah Ryan yang kembali mengirimi dirinya pesan.
[ Ryancur ]
[ Kamu belum tidur. ]
[ Chat aku dibaca, tapi kenapa nggak dibalas? ]
[ Apakah Dinda tidak merindukan Kanda? ]
[ Seperti Kanda yang merindukan Dinda? ]
Vanessa sungguh tidak bisa menahan rasa gelinya. Maka dari itu, ketimbang ia mempermalukan dirinya sendiri di depan adik iparnya, Vanessa pun memutuskan untuk beranjak dari sana. Meninggalkan Elin yang masih betah menonton drama kesukaannya di televisi sementara ia yang memilih untuk naik ke lantai atas. Menuju ke kamar Ryan. Merebahkan tubuhnya di atas kasur cowok itu.
[ Ryancur ]
[ Maaf, tadi lagi bareng Elin. ]
[ Kamu udah makan malam kan? ]
[ Sekarang masih bahas data? ]
Menyamankan posisinya, Vanessa tersenyum kecil mendapati pesannya yang dibalas dalam hitungan detik yang teramat singkat.
[ Ryancur ]
[ Udah. ]
[ Udah. ]
[ Sekarang jawab pertanyaan aku, kangen nggak? ]
Senyum kecil Vanessa seketika berubah menjadi senyum simpul. Bahkan terkadang diselingi oleh gigitan di bibir bawahnya. Norak? Mungkin sih. Tapi, sepertinya Vanessa seperti kembali ke masa ABG lagi. Hihihihi.
[ Ryancur ]
[ Ya kangen sih. ]
[ Karena kayaknya baru kali ini deh kita pisah kayak gini. ]
Sepertinya ... memang iya. Ini adalah kali pertama Vanessa dan Ryan benar-benar melewati malam di atap yang berbeda. Bahkan dulu ketika mereka masih sering beradu mulut dan bersitegang, nyatanya mereka tetap berada di tempat tinggal yang sama.
Lalu Vanessa diselimuti oleh euforia. Yang timbul lantaran kenangan hari-harinya bersama Ryan yang menampakkan bayangnya. Walau tidak dalam waktu lama. Karena mendadak saja cewek itu terpikir sesuatu.
[ Ryancur ]
[ Kanda, tapi nggak usah mendadak datang ya malam ini? ]
[ Ntar Abid malah curiga loh. ]
Dan keputusan Vanessa mengirim pesan itu adalah hal yang tepat. Terutama setelah ia membaca pesan Ryan selanjutnya.
[ Ryancur ]
[ Beneran, Sa. ]
[ Kalau aku udah nggak ada otak, rasanya pengen banget sekarang aku langsung cabut dari sini. ]
Vanessa tidak akan meragukan hal itu. Hingga ia pun tersenyum geli karenanya.
[ Ryancur ]
[ Besok ya, Kanda? ]
[ Jemput Dinda balik. ]
[ Sekarang lanjut aja sama Abid. ]
[ Biar cepat selesai. ]
Setelah pesan itu Vanessa kirim, maka senyum di wajahnya semakin melebar lagi. Lantaran Ryan yang membalas pesannya dengan berbagai emoticon cinta dan ciuman. Berikut dengan beberapa stiker yang menyertainya. Hihihihi.
*
Kalau Ryan tidak masuk ke golongan cowok yang penuh kesabaran, dijamin. Saat ini cowok itu pasti sudah melakukan pembunuhan mutilasi berencana. Dan tentulah korbannya hanya satu. Yaitu, Abid.
Biasanya tiap aku buka mata ada wajah cantik Vanessa yang nyambut.
Eh, tiba-tiba hari ini justru makhluk astral semacam Abid yang ngebuat aku nyebut.
Ya Tuhan, sabarkanlah hamba.
Ryan sabar disayang Vanessa.
Ryan sabar ntar dapat anak-anak kayak Vanessa.
Ryan sabar ya Ryan sabar.
Entah sebanyak apa mantera yang Ryan ucapkan sedari matanya membuka di pagi itu. Setelah tidur singkat yang ia dapatkan, lantaran dirinya yang turut lembur bersama Abid. Mengolah data penelitian dan berdiskusi beberapa hal terkait skripsi temannya itu.
Sekarang di pagi hari, ketika Ryan sedang membuka jendela di rumahnya, ia mendapati Abid yang beranjak ke dapur. Menyasar pada kabin, membukanya, dan terkesiap ketika melihat isi di dalamnya.
"Wah! Kamu bukan kayak anak bujangan normal pada umumnya, Yan. Kok bisa kabin kamu penuh sama makanan kayak gini?"
Karena berkat Vanessa yang sering ia ajak ke depot, Ryan pun memutuskan untuk menyiapkan stok makanan. Dari mi instan, sarden kalengan, abon, hingga berbagai jenis roti. Yang tentu saja, itu jarang dilakukan oleh seorang bujangan yang lebih sering beli makan di luar.
Ryan mesem-mesem. Turut ke kabin dan menggeser tubuh Abid dengan tubuhnya. "Minggir. Kalau kamu nggak mau makan, ya udah. Aku mah masih anak bujangan normal pada umumnya."
Ups!
Udah nggak lagi sih.
Hihihihi.
"Yang pastinya aku butuh makan pagi ini. Karena cuma anak bujangan nggak normal yang nggak butuh makan pagi."
Abid tergelak sementara Ryan mengambil dua bungkus mi instan. Beranjak seraya turut mengambil dua butir telur. Dan ketika ia menyadari Abid mengekorinya, cowok itu mendelik.
"Masak sendiri yey. Ini mah untuk aku."
Abid manyun. "Dasar!"
Lagi aku aja sebenarnya udah jarang banget masak.
Biasanya disiapin Dinda.
Ya kali aku malah mau nyiapin makan buat orang yang udah buat aku gagal kelonan sama Dinda.
"Huh!"
Abid yang semula akan mengambil mi instan pula sontak menghentikan pergerakan tangannya. Menggantung di udara dengan wajahnya yang berpaling. Melihat pada Ryan yang mendengkus dengan sorot mata tajam padanya.
"Apaan sih, Yan? Kok belakangan mudah amat sensi?"
"Tauk deh."
Semangkuk mi instan dengan telur ditambah oleh irisan cabe rawit dalam waktu dekat sudah tersaji di hadapan Ryan dan Abid. Dengan ditemani oleh segelas air putih, kedua cowok itu duduk di teras depan. Menikmati sarapan mereka dengan ditemani oleh pemandangan bunga-bunga. Hihihihi.
Mengangkat mangkuknya, Ryan menyeruput kuah segar beraroma jeruk nipis itu. Rasa segar khas soto –walau dalam bentuk mi instan, hihihi-seketika menguar memenuhi indra perasa dan pencecapnya. Sejenak berhasil membuat Ryan merasa melayang-layang. Seolah terlupakan bahwa akhir-akhir ini selalu ada yang buat dirinya kesal.
Hingga kemudian, seperti alam ingin kembali menyadarkan Ryan akan kenyataan yang tengah terjadi, ada Anton dan Sahrul yang datang. Tidak langsung bekerja, kedua cowok itu datang ke rumah depot Ryan lantaran melihat ada pemandangan ganjil yang masuk ke retina mata mereka.
"Eh? Si Bos?"
"Kok tumben sarapannya sekarang sama Mas Abid?"
"Wah wah wah!"
"Udah ganti nih teman kencannya?"
"Biasanya kan makannya bareng ...."
Anton dan Sahrul saling melirik. Dan lalu, mereka pun tertawa. Membuat Ryan yang sedang menikmati sensasi kuah mi instannya, tersedak. Terbatuk-batuk dan ia melotot.
"Kalian ini ya. Bisa-bisanya sepagi ini malah udah buat ubun-ubun aku mendidih aja."
Abid yang duduk di sebelah Ryan, menjeda sejenak sarapannya. Dahinya sekarang berkerut. Bukan lantaran menahan sensasi menggetarkan berkat gumpalan bumbu yang ternyata tidak ia aduk dengan rata di mangkuknya. Melainkan karena perkataan kedua karyawan Ryan tadi.
"Eh? Apa tadi? Teman kencan?" tanya Abid penasaran. Ingin meyakinkan bahwa telinganya tidak salah mendengar. "Ryan sering pacaran di sini?"
"O oh."
Ryan memejamkan mata. Menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk tidak mengumpat ketika masih ada mi yang perlu ia kunyah di dalam mulutnya.
Asem dah!
Abid menoleh pada Ryan. "Wah! Ternyata cuma aku yang nggak tau tentang hubungan kamu dengan Dinda, Yan." Ia geleng-geleng kepala, berdecak. "Ternyata kamu udah sering bawa Dinda ke sini ya? Ckckckck."
Wajah Anton dan Sahrul yang semula tampak salah tingkah karena terceplos mengatakan sesuatu yang ternyata masih ditutupi oleh bos mereka seketika bengong. Kembali saling lirik. Dan justru spontan bertanya.
"Dinda? Dinda siapa, Mas Abid?"
"Wah!" kesiap Anton. "Bos bukannya punya cewek lain kan?"
Abid melongo. "Jadi, yang sering dibawa ke sini ... bukan Dinda?"
Tak menjawab, Anton dan Sahrul sama melongo dengan Abid. Dengan benak yang langsung tertarik ke belakang. Layaknya mereka yang sedang mengklarifikasi ingatan masing-masing.
Perasaan nama Nyonya Bos itu Vanessa deh.
Eh, Vanessa kan nama Nyonya Bos?
Terus kenapa Mas Abid bilang Dinda?
Dinda itu siapanya Bos?
Tiga kepala bergerak. Tiga pasang mata tak berkedip. Masing-masing menatap pada Ryan yang tampak mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
Ya ampun.
Emang salah banget ini sarapan pake mi instan.
Jadi nggak cukup buat aku kenyang.
Rasa-rasanya aku mau nelan mereka!
Abid, Anton, dan Sahrul sama melihat pada Ryan. Dengan tatapan yang melayangkan satu sorot. Yaitu, mereka butuh penjelasan. Tapi, alih-alih melakukan apa yang mereka inginkan, Ryan justru menggerutu.
"Kalian ini bertiga emang sama gilanya. Bukan aku yang gila. Tapi, kalian. Udah. Sana. Kalian buat Trio Gila-Gila. Sepagi ini aja udah buat aku emosi jiwa."
Tak peduli, Abid membalas perkataan temannya itu. "Jadi, jujur ke aku, Yan. Sebenarnya kamu ada berapa cewek sih? Wah wah wah! Kamu ini ternyata buaya darat juga ya. Bahkan aku pun yang temen kamu aja nggak tau. Apalagi cewek-cewek itu. Ckckck. Belajar di mana kamu ilmu jadi pakboy gini?"
"Bos beneran pakboy? Ya ampun, Bos. Insyaf, Bos. Kasihan Nyonya Bos."
"Yang namanya pakboy mah kasihan semuanya. Dinda juga kasihan. Itu aja walau aku cuma liat sekilas lewat foto aku bisa langsung menyimpulkan. Dinda udah cinta mati sama dia."
"Tapi, Nyonya Bos juga cinta mati sama Bos."
"Mana kan udah direstui sama Ibu Bos."
"What?!" Abid membelalak. "Parah kamu, Yan. Jadi pakboy kok melibatkan orang tua sih?"
Buru-buru Ryan menyingkirkan mangkuk sarapannya. Khawatir benda itu akan ia banting di lantai dan kemudian ia mengunyah pecahan belingnya. Hiks.
"Argh!"
Sudahlah. Ryan yang baru ingin menenangkan jiwa raganya dengan semangkuk mi instan, merasa usahanya gagal total. Terutama karena Anton dan Sahrul pun turut membuat kepalanya terasa berputar-putar.
"Bos, masa Nyonya Bos digituin sih."
"Kurang apa Nyonya Bos sampe Bos selingkuh sama Dinda?"
"Ya ampun, Yan. Selain Nyonya Bos dan Dinda, jujur deh. Siapa cewek kamu yang lainnya?"
Ryan meremas rambutnya. Kesal. Menggeram. Mengumpat. Menggerutu. Mencak-mencak. Saking bertubi-tubinya emosi itu, hingga ia tak sadar menjerit.
"Mamaaa!!!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro