41. Sekilas Kenyataan
"Hahahaha."
Jangankan Ryan yang mengalami kejadian itu secara langsung, bahkan Vanessa yang hanya mendengarkan cerita bermodalkan satu foto itu pun terpingkal parah karenanya. Berulang kali menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk menahan tawanya, eh ... semua gagal tatkala matanya melihat kembali pada bukti tersebut.
"Ini untung banget muka kamu nggak keliatan, Sa," kata Ryan geli. Kepalanya tampak meneleng ke kanan dan ke kiri berulang kali. "Untung juga karena kamu meluk aku, jadi wajah kamu ketutupan sama helm aku. Ehm ...." Ryan melihat pada Vanessa. "Lain kali jangan lupa meluk aku ya kalau di motor?"
Vanessa bergidik. "Kayaknya besok-besok aku malah ngeri buat boncengan sama kamu."
"Ck," decak Ryan manyun. "Ntar ganti helm aja. Kamu pake helm aku aja. Biar aman."
Seketika Vanessa menggeleng. "Nggak mau ah. Lagi helm yang open itu aja berat banget. Apalagi kalau full gitu?"
Vanessa benar. Tempo hari saja ia sudah mengeluhkan beratnya helm yang ia kenakan, padahal helm itu bertipe open face. Apalagi kalau ia mengenakan helm Ryan yang full face itu? Mungkin kepala Vanessa akan pusing sepanjang jalan.
"Ya udah. Kalau gitu, selama di jalan, kacanya jangan dibuka. Biar muka kamu aman," putus Ryan kemudian. Sekilas ia mengembuskan napas lega, terlepas dari rasa lucu yang mendera dirinya. "Ini untung banget kita tergolong jarang pergi ke mana-mana sih, makanya bisa aman. Tapi, siapa yang tau kalau suatu saat ntar kita apes."
Karena tentu saja keberuntungan tidak akan datang dua kali. Kemarin lantaran Vanessa yang memeluk dirinya dan mendaratkan wajahnya di atas pundak cowok itulah yang menjadi penyelamat. Wajah cantik cewek itu praktis tertutupi oleh helm Ryan. Tapi, siapa yang bisa menjamin lain kali?
"Ah, Yan. Mumpung kita lagi bahas ini," kata Vanessa kemudian. "Gimana kalau kamu juga nggak usah datang ke ruangan aku dulu untuk beberapa waktu?"
Ryan yang masih melihat-lihat pada foto di ponselnya seketika mengangkat kepalanya. "Maksud kamu?"
"Maksud aku ..." Vanessa menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk tetap tenang. Pun agar tidak menimbulkan kecurigaan untuk Ryan. "... akhir-akhir ini kan aku lagi ngoreksi proposal dan banyak mahasiswa yang bakal ngejar buat bisa seminar dan sidang. Ini udah mau akhir semester loh."
"Hubungannya?"
Vanessa beringsut. Memasang senyum di wajahnya dengan mata yang sedikit menyipit.
"Gimana bisa aku konsen kalau kamu muncul terus di depan mata aku coba?"
Ryan diam sejenak. Tidak mengatakan apa-apa. Hanya matanya saja yang menatap tanpa kedip pada cewek itu. Hingga menimbulkan kerutan di dahi Vanessa. Namun, pelan-pelan cowok itu justru menyeringai.
"Aaah .... Ternyata kamu juga suka kan ngeliatin aku kalau aku lagi di depan ruangan kamu?"
Mata Vanessa mengerjap-ngerjap. "Ng ... gak kok. Biasa aja sih."
"Ck. Ternyata gengsinya masih ada."
"Eh? Aku bukannya gengsian."
"Kalau matanya jadi besar gitu, fix. Pasti malu gara-gara gengsian."
Vanessa memejamkan matanya. "Nggak kok. Aku nggak ma---"
Satu kecupan jatuh di bibir Vanessa. Sontak saja membuat ucapan cewek itu terputus. Karena alih-alih terus bicara, yang ada justru kemudian matanya yang berbola bening itu membuka. Tampak Vanessa mengerucutkan bibirnya.
"Apaan sih ...."
Ryan memegang kedua tangan Vanessa, menimangnya samar. "Tapi, terlepas dari kamu masih nyuruh atau nggak buat aku mondar-mandir di ruangan kamu, kayaknya aku emang bakal jarang nongol dulu deh."
"Kenapa?"
Mengembuskan napas panjangnya sekali, Ryan tersenyum. Tak mampu menahan desakan dari dalam dirinya untuk tidak menarik sekilas ujung hidung Vanessa. Gemas.
"Bentar lagi udah mau ujian akhir loh," jawab Ryan kemudian. "Itu artinya bentar lagi juga aku harus sidang. Waktunya mepet. Mau nggak mau, aku harus nyicil belajar mulai dari sekarang."
"Aaah ...." Vanessa melirih seraya angguk-angguk kepala, paham sepenuhnya maksud dari perkataan Ryan. "Iya, kamu benar."
"Aku harus belajar buat UAS dan juga nyiapin skripsi," lanjut Ryan tersenyum. "Terus juga belajar buat sidang. Ehm ... segininya perjuangan buat bisa didampingi kamu pas wisuda ntar."
*
Kembali datang pagi di hari Senin itu, Ryan yang mendudukkan bokongnya di kursi lorong mendadak geli sendiri. Menyadari bahwa belakangan ini dirinya rajin sekali datang ke kampus. Bahkan ketika suasana Gedung Jurusan yang tergolong masih sepi. Padahal ya kan? Datang pagi ke kampus itu sudah tercoret dari aktivitas mahasiswa tingkat akhir. Hihihihihi.
Sudah membuat janji sebelumnya, tepatnya ketika seminar hasilnya kemarin berakhir, Ryan memang berniat untuk menemui pembimbingnya hari ini. Baik itu Fatma maupun Zidan. Demi berdiskusi mengenai jalannya seminar hasil yang sudah ia lalui itu dan membicarakan mengenai rencana ke depannya nanti. Termasuk mengenai sidang.
"Kemaren itu seminar hasil yang bagus, Ryan," puji Fatma seraya tersenyum. "Presentasi kamu tepat dan tidak berlebihan. Cara penyampaian kamu juga tenang dan mudah dimengerti."
Ryan mengangguk dengan sopan. Tentunya tidak mampu menahan senyumnya untuk turut mengembang pula.
"Terima kasih, Bu."
"Jadi, sekarang kita bahas soal sidang kamu lagi," kata Fatma kemudian. "Gimana? Rencana kamu mau sidang kapan?"
Didahului oleh satu tarikan napas yang Ryan lakukan sedalam-dalam mungkin, cowok itu kemudian menjawab pertanyaan sang pembimbing utama. Dengan tenang mengemukakan rencananya. Tanpa melewatkan sedikit pun bagian yang penting.
"Draf skripsi yang tempo hari sudah Ibu koreksi sedang saya pelajari dan perbaiki, Bu. Mudah-mudahan Jum'at besok bisa langsung saya serahkan. Sekalian nanti setelah bertemu dengan Ibu, saya juga akan menemui Pak Zidan. Mau mengambil koreksian dari beliau juga, Bu."
"Oke. Nanti kalau kamu sudah memperbaiki koreksian dari saya dan juga Pak Zidan, langsung serahkan drafnya."
"Baik, Bu."
"Tapi, Ibu harap kamu jangan terlalu berambisi untuk tamat semester ini ya? Karena bagaimanapun juga, kamu kan masih ada mata kuliah yang lagi diambil."
Rasa-rasanya, Ryan ingin menggigit dinding kala itu. Tapi, ia bertahan agar tidak meringis di depan dosen pembimbingnya. Alih-alih, ia mengangguk.
"Siap, Bu. Seenggaknya target saya ya bebas uang semesteran aja deh."
Walau tentu saja, bukan itu yang sebenarnya menjadi target Ryan. Karena sudah bisa dipastikan. Bahwa secepatnya wisuda agar bisa menyiarkan hubungannya dengan Vanessa sudah menjadi keinginan yang membuat Ryan gelap mata. Rasanya sudah di ubun-ubun. Hihihihi.
Selesai bertemu dengan Fatma, Ryan pun keluar dari ruangan itu dengan beberapa catatan yang dosen pembimbingnya berikan. Untuk kemudian ia langsung menuju ke ruangan Zidan. Menunggu sejenak lantaran ada mahasiswa lainnya yang sedang bimbingan pula, Ryan menghabiskan waktunya sekitar setengah jam untuk berselancar di dunia maya.
Bunyi pintu ruangan Zidan yang membuka membuat Ryan menoleh. Buru-buru cowok itu memasukkan ponsel ke dalam saku celananya, bangkit dan menunggu sejenak. Membiarkan seorang seniornya keluar dari ruangan itu terlebih dahulu. Bersikap sopan layaknya junior, Ryan pun menyapa.
Memberikan jeda beberapa saat, selepas kepergian seniornya, Ryan tidak langsung dengan serta merta mengetuk pintu Zidan. Alih-alih menunggu sejenak. Untuk kemudian barulah ia mengucapkan permisinya. Seraya memberikan ketukan sebanyak tiga kali.
"Masuk."
Suara Zidan yang terkesan berat dan menakutkan untuk nyaris semua mahasiswa, terdengar. Yang langsung saja disambut oleh Ryan. Dengan tangannya yang segera menekan daun pintu, membukanya.
"Permisi, Pak."
Zidan tampak melepas kacamata yang ia kenakan. Menyisihkan benda anti radiasi itu di dekat laptopnya dan berkata.
"Duduk."
Ryan segera duduk. Di satu kursi tepat di depan Zidan setelah terlebih dahulu berjabat tangan dengan sopan pada dosen pembimbing pendampingnya itu.
Ada jeda sejenak, itu adalah ketika Zidan tampak menari-cari sesuatu di rak buku berukuran minimalis yang tepat berada di samping mejanya. Tanpa perlu bangkit dari duduknya, ia mengambil satu benda dari sana. Yaitu, draf skripsi Ryan.
"Ini sudah saya periksa," ujar Zidan menyerahkan draf tersebut pada sang mahasiswa. "Kalau ada yang kurang kamu mengerti, nanti chat saja."
Ryan menyambutnya. Mengangguk sekali. "Baik, Pak," katanya. "Kemudian untuk seminar hasil kemarin bagaimana, Pak?"
"Ehm ...." Zidan mendehem sejenak dengan irama yang singkat. Tampak angguk-angguk kepala dengan ekspresi datar di wajahnya. "Secara keseluruhan tidak ada perbaikan dari saya. Itu seminar hasil yang bagus. Terlihat kalau kamu sudah benar-benar menguasai penelitian itu, baik secara teori maupun praktiknya."
Ryan mengembuskan napas leganya.
"Ya ... kalau pun ada satu dua hal yang di luar prediksi, itu namanya juga seminar. Pro dan kontra itu biasa terjadi."
"Iya, Pak."
"Jadi, silakan kamu perbaiki koreksian saya. Serahkan perbaikannya secepat yang kamu bisa. Saya tunggu."
"Baik, Pak. Sekali lagi terima kasih, Pak."
Setelah mendiskusikan beberapa hal lainnya, Ryan pun lantas keluar dari ruangan Zidan. Yang mana tak lama kemudian seorang mahasiswi tampak masuk pula ke ruangan itu. Hingga membuat Ryan sejenak tertegun. Teringat dengan perkataan Vanessa kemarin dan menyadari kebenarannya. Menjelang akhir semester, pasti akan banyak sekali mahasiswa yang mendatangi dosen. Bahkan ironisnya, mahasiswa yang jarang terlihat –bahkan sempat diragukan masih hidup atau tidak, pun mendadak memunculkan diri kembali. Hihihihi.
Memikirkan hal tersebut, Ryan pun pada akhirnya menyadari mengapa Vanessa sampai meminta dirinya untuk tidak muncul dulu di ruangannya. Ia tau, Vanessa pasti akan sibuk pula belakangan ini. Namun, nyatanya Ryan tetap tidak mampu menahan dorongan yang muncul di dadanya.
Nggak muncul kok.
Cuma lewat doang.
Dengar suaranya dikit aja udah cukup kok.
Hihihihihi.
Mengambil jalan yang berlawanan dengan yang biasa ia lakukan, Ryan memastikan bahwa ia tidak akan sampai lewat di depan pintu ruangan Vanessa. Karena ia pun lantas menghentikan langkah kakinya. Tepat di dinding yang ia duga menjadi pembatas antara ia dan Vanessa kala itu. Ehm ... Ryan tau dengan pasti. Di balik dinding itu ada meja Vanessa. Dan sekarang cewek itu sedang berdiskusi dengan seorang mahasiswa. Karena suaranya masih bisa terjangkau oleh indra pendengarannya.
"Jadi, minggu depan kamu mau sidang, Surya?"
Ryan mengerjap-ngerjapkan matanya. Teringat dengan seniornya yang satu itu. Yang sudah terancam drop out. Dan kebetulan sekali, ia pun menyempatkan hadir di seminar hasilnya. Walau tentu saja itu bukan karena tertarik dengan materi skripsinya, alih-alih karena ada Vanessa sebagai dosen pengujinya di sana. Ah, dan jangan sampai lupa. Berkat Surya-lah sehingga Ryan bisa berfoto berdua dengan Vanessa di depan khalayak ramai. Hihihihi.
Membayangkan hal itu, di benaknya Ryan memberikan predikat kejadian itu sebagai salah satu momen yang membahagiakan untuknya. Terutama karena pada saat itu kan hubungan dirinya dan Vanessa belum hangat seperti saat ini. Masih cenderung dingin. Persis seperti suhu di Puncak.
"Iya, Bu. Rencananya minggu depan saya mau sidang. Ehm ... mohon bantuannya ya, Bu?"
Suara Surya membuyarkan lamunan Ryan yang sudah melanglang ke mana-mana. Sekarang, ia fokus mendengarkan pembicaraan itu. Ehm ... atau tepatnya fokus mendengarkan suara Vanessa.
"Tenang saja. Selagi kamu belajar dan berusaha, juga tenang, mudah-mudahan kamu bisa menyelesaikannya dengan baik."
"Saya sih sudah belajar dan berusaha, Bu. Terutama karena ini kesempatan terakhir saya kalau saya nggak mau kena DO. Tapi, kan ...."
"Tapi apa?"
"Tapi, saya jadi takut sama dosen pembimbing saya sendiri, Bu."
"Takut? Takut kenapa?"
"Ibu udah dengar kan? Ryan yang pinter aja kena bantai sama Pak Nathan. Apalagi saya, Bu?"
Seketika saja tubuh Ryan menegang. Lantas satu pemikiran itu pun melintas di benaknya. Terkesan mencemooh dirinya sendiri.
Mustahil banget Vanessa nggak tau soal itu, Yan.
Mustahil banget.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro