40. Olahraga Jantung
Mungkin karena Ryan adalah cowok. Karena cowok memang tercipta menjadi makhluk yang cepat membaik suasana hatinya kan? Lebih gampang menstabilkan perasaan ketimbang cewek? Atau mungkin lebih dari itu? Karena ketika ia pulang, langsung ada kesejukan yang menyambut dirinya?
Entahlah. Ryan tidak tau jawaban mana yang paling tepat untuk tanda tanya di benaknya. Yang pasti, malam itu di luar dugaannya. Ternyata ia bisa mengistirahatkan tubuh dan pikirannya dengan lebih santai.
Bangun di pagi harinya, Vanessa tidak langsung turun dari tempat tidur. Alih-alih ia justru membuang waktunya beberapa saat demi melihat Ryan yang masih nyenyak. Tampak damai dengan laju napasnya yang teratur.
Ada seuntai senyum tipis yang merekah di wajah Vanessa. Tatkala ia mengucapkan syukur di dalam hatinya. Melihat keadaan Ryan semalam, ia bisa menarik kesimpulan yang mampu menenangkan dirinya. Bahwa suasana hati Ryan sudah terkendali lagi. Berbeda sekali dengan keadaan cowok itu ketika termenung di depan pintu.
Selang sekitar lima belas menit kemudian Vanessa memutuskan bahwa sudah saatnya ia untuk memulai aktivitas di Sabtu pagi itu. Dengan membiarkan Ryan untuk tetap melanjutkan tidurnya, ia tau dengan pasti bahwa seminar terkadang bisa menguras tenaga ketimbang yang sempat diperkirakan orang-orang sebelumnya. Hanya saja, ketika ia akan keluar dari kamar, satu denting halus yang berasal dari ponsel Ryan membuat langkah kakinya terhenti.
Vanessa melihat ponsel Ryan sejenak. Karena adalah hal yang nyaris tidak pernah terjadi selama mereka tinggal bersama ada yang menghubungi Ryan sepagi itu. Mungkin saja ada yang penting, itulah yang sempat terbersit di benak Vanessa. Hingga mendorong cewek itu untuk meraih ponsel Ryan. Menarik turun pemberitahuan yang muncul di atas layar ponselnya.
[ Abid: Yan, kamu masih hidup kan? Belum mati kan? Bukannya apa, tapi aku semalam mimpi kamu gantung diri. Makanya aku jadi was-was gini. Udahlah. Lupain aja soal Pak Nathan. Tapi, ya buat jaga-jaga aja. Mulai besok kamu jangan ngekorin Bu Vanessa dulu deh. Aku yakin banget. Pembantaian kamu itu gara-gara Bu Va .... ]
Vanessa tertegun. Merasa frustrasi karena keterbatasan yang ia miliki. Pesan itu panjang. Dan tidak cukup bila dibaca melalui pemberitahuan atas saja. Tapi, rasa penasarannya kalah dengan akal sehatnya.
Menuruti rasa penasarannya, Vanessa ingin sekali membaca keseluruhan pesan itu. Terutama karena ada namanya di sana. Hingga membuat bulu kuduknya terasa meremang semua.
Maksud Abid ini apa?
Nathan ngebantai Ryan gara-gara aku?
Gara-gara Ryan yang suka ngekorin aku ke mana-mana?
Vanessa tertegun. Mencoba memikirkan hal itu. Dengan tubuh yang bergetar dengan kesan tak percaya. Lantaran ingatan yang membayang di benaknya. Karena untuk beberapa kali kesempatan, ketika ada Ryan bersama dengannya, pasti ada Nathan.
Ada kesan tak enak yang langsung membungkus tubuh Vanessa. Dari ujung rambut hingga ke ujung kakinya. Membuat dirinya meremang. Dalam getar-getar yang menghadirkan degup tak nyaman di jantungnya.
Tubuh Vanessa seketika panas dingin. Dengan prasangka yang mendadak saja timbul. Di saat itu ia teringat bagaimana pertemuan terakhir dirinya dan Nathan tempo hari. Ketika Ryan baru saja keluar dari ruangan cowok itu.
Dia ....
"Kriiing!"
Dering ponsel Ryan mengejutkan Vanessa. Berasal dari panggilan masuk. Yang tentu saja adalah Abid orangnya, yang menelepon Ryan lantaran mendapati pesannya belum dibaca.
Tersadar, Vanessa langsung menaruh kembali ponsel itu di nakas. Buru-buru ia masuk ke kamar mandi. Menenangkan diri di sana. Seraya menunggu, karena selang beberapa saat kemudian, ia mendapati dering itu berhenti.
Vanessa mencuci wajah seadanya. Langsung keluar dan melihat Ryan yang malas-malasan mengangkat panggilan itu. Masih dengan memejamkan mata.
"Apa sih, Bid?"
Vanessa memasang sikap acuh tak acuh walau yang ia rasakan justru sebaliknya. Sesekali, ketika ia tak mampu menahan diri, ia pun menoleh. Melihat pada cowok itu.
"Heh? Mau nemuin aku? Oh, iya iya. Datang aja. Aku ada di--- eh?! Mau nemuin aku?!"
Ryan mendadak terlonjak bangkit dari tidurnya. Matanya yang tadi masih memejam pun seketika langsung membuka nyalang. Dengan wajah yang seketika memucat.
"Be-be-bentar," ujar Ryan gagap. "Kamu mau nemuin aku? Ngapain mau nemuin aku?"
Tatapan mata Ryan seketika melayang. Pada Vanessa yang tampak tertegun seraya memegang daun pintu. Saling menatap, mereka layaknya yang tengah berkomunikasi dengan bahasa tanpa suara. Lalu, Ryan menggeleng.
"Astaga, Bid. Aku masih hidup loh. Beneran. Ya elah, timbang chat belum dibalas aja udah ngomongin aku mati. Jadi manusia kok ente ngadi-ngadi?"
Ryan meremas selimut. Tampak wajahnya mengeras. Menggeram dengan ekspresi geregetan.
"Eh?! Loh?! Bid! Bid!"
Ryan melihat ponselnya. Mendapati panggilan itu telah terputus. Hingga ia dengan panik langsung turun dari tempat tidur.
"Kenapa?" Vanessa menghampiri Ryan. "Abid ngomong apa aja?"
Ryan memegang Vanessa. "Aku mau ke depot dulu, Sa. Kayaknya Abid emang ketularan gila aku. Masa dia ngira aku bunuh diri?"
"Hah? Bunuh diri?"
"Ntar aja deh ya aku jelasin lengkapnya gejala-gejala kegilaan Abid," geram Ryan. "Ini kalau dia nggak nemuin aku di depot, dia pasti bakal ke rumah. Nah! Kalau dia nggak nemuin aku di rumah, dia pasti bakal ke kantor polisi. Buat laporan orang ilang." Ryan mengacak rambutnya. "Bukan! Maksudnya dia pasti bingung aku ada di mana."
Alih-alih mengerti, Vanessa justru mendapati dirinya makin bingung sendiri. Namun, ada satu hal yang pasti. Yaitu, ketika Ryan menyenggol soal kemungkinan yang akan terjadi bila Abid tidak menemukan dirinya di depot.
Ya Tuhan. Bukankah tidak ada yang tau kalau Ryan sudah tidak tinggal di depot lagi? Itu tentu saja menjadi hal yang berbahaya bila Abid sampai curiga mengenai keberadaan Ryan.
Argh!
Udahlah baru mau hidup tenang, ini pake acara Abid buat rusuh lagi.
Ryan menghirup udara dalam-dalam. "Kamu di unit sendirian nggak apa-apa kan? Kayaknya aku bakal lama ini di depot. Atau ntar kalau kamu suntuk, main ke rumah aja deh."
"Iya iya iya," angguk Vanessa paham. "Aku nggak apa-apa kok. Ketimbang mikirin aku, mending kamu buruan mandi. Terus langsung ke depot deh."
Napas Ryan berembus panjang. Tapi, sejurus kemudian ia menggeleng. "Aku nggak pernah mandi pagi kalau di depot. Jadi, mending sekarang aku langsung pergi aja kayak gini."
"Kayak gini?"
Vanessa menanyakan itu dengan suara yang terdengar ragu. Karena ketika ia menurunkan pandangannya, ia bisa melihat pada kaus santai dan celana selutut yang Ryan kenakan. Membayangkan di benaknya, cowok itu menaiki kuda besinya yang gagah dengan penampilan seperti itu. Dan sepertinya, bukan hanya Vanessa yang memikirkan hal tersebut. Alih-alih Ryan pula.
Maka tidak aneh sama sekali, bila di detik selanjutnya Ryan memejamkan matanya dengan dramatis. Menggeram. Dan menggerutu dengan kesal.
"Dasar Abid!"
*
"Yan? Yan? Yan? Kamu gantung diri di mana, Yan? Kamar? Kamar mandi? Atau dapur?"
Bukan ucapan salam atau permisi yang Ryan dapatkan kala itu, melainkan kehebohan yang disusul suara grabak-grubuk ketika pintu rumahnya dibuka dengan asal oleh seseorang. Dan seseorang itu sudah pasti adalah Abid.
Ryan segera keluar dari kamarnya. Di waktu yang tepat, kala itu Abid pun berbelok. Mereka bertemu dan Abid seketika mengembuskan napas lega.
"Ternyata kamu masih hidup."
Mata Ryan membesar. "Ya pastilah aku masih hidup."
"Aku pikir kamu udah mati, Yan. Beneran gantung diri."
"Sembarangan kalau ngomong!"
"Soalnya kamu nggak ada kabar beritanya sedikit pun."
"Ngapain juga aku ngabarin kamu?!"
"Biasanya itu yang dilakukan orang-orang kalau lagi depresi."
Mata Ryan yang semula membesar, seketika memejam dengan dramatis. Dengan tangannya yang naik satu, mengepal. Terlalu kentara untuk menunjukkan kalau dirinya tengah menahan emosi.
"Bid ...," lirih Ryan dengan penuh penekanan. "Aku nggak lagi depresi. Tapi, kalau kamu gini, kayaknya aku beneran bisa lupa diri. Jadi, jangan heran kalau justru kamu yang ntar mendadak mati."
"Eh?"
Abid mengerjap-ngerjapkan matanya. Sedetik ia memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa. Tapi, kemudian ia memamerkan cengirannya.
"Cieee ... nggak depresi lagi."
Fix, Abid juga mulai menunjukkan gejala gila.
Ryan beranjak. Membuka kulkas lantaran menyadari bahwa saking terburu-burunya ia meninggalkan unit tadi, ia bahkan tidak sempat sarapan loh. Bahkan untuk sekadar meneguk segelas air putih saja tidak. Dan itu lantaran Abid!
Abid meraba tekuknya. "Ya ... ngeliatin aku biasa aja kali, Yan."
"Dahlah!" tukas Ryan seraya meremas botol air mineral yang sudah ia tandaskan isinya. "Timbang kamu ngoceh nggak tau ujung pangkal, mending kamu bantuin aku kerja aja di belakang. Ada banyak bibit yang siap buat dipindahin."
Mengatakan itu, Ryan langsung membuka pintu belakangnya. Keluar dan mengenakan sepasang sandal jepit andalannya ketika sedang berada di sana. Disusul oleh Abid yang langsung mengernyitkan dahi.
"Eh? Aku datang ke sini buat ngeliatin keadaan kamu aja loh ya. Bukannya dalam rangka mau jadi tenaga Dinas Sosial."
"Aku nggak mau tau ah! Yang pasti, karena kamu udah ngangguin tidur aku pagi ini, berarti kamu harus tanggung jawab," ujar Ryan dengan wajah tertekuk. "Emangnya kamu mau ngeliat aku depresi lagi gara-gara kamu?"
"Eh, tapi, Yan. Timbang kamu kerja, apa nggak lebih enak kalau hari ini kita main aja? Atau keliling gitu? Ehm ... kita cari cewek deh. Siapa tau bisa buat suasana hati kamu lebih tenang. Soalnya bukan apa, dari tadi kamu itu bawaannya emosi aja loh."
Ryan mengembuskan napas panjang. Di dalam hati, ia merutuk sejadi-jadinya.
Ya ampun, Paijok!
Gimana bisa aku nggak emosi kalau pagi-pagi kamu udah buat aku gila?
Lagi enak-enak tidur, malah diganggu.
Mana dikira bunuh diri segala macam lagi.
Eh, sekarang malah ngajak aku nyari cewek.
Dijamin, balik dari nyari cewek, beneran mati aku.
Mati dimutilasi aku sama Vanessa.
Ryan segera menarik pundak Abid. Meremasnya dengan geram hingga temannya itu menyeringai geli, alih-alih meringis perih.
"Bid, kamu kalau mau buat aku hilang kesabaran, mending langsung pergi aja deh ya. Timbang aku jadiin kamu pupuk kompos buat aglonema aku kan?"
Abid langsung buru-buru menutup mulutnya. Mencegah tawanya untuk meledak. Tapi, tentu saja gagal total.
"Jadi, nggak mau nyari cewek nih?"
Mata Ryan menyipit tajam. "Nggak."
"Ehm ... berarti gosip yang beredar bener dong."
"Gosip?" Dahi Ryan mengerut. "Gosip apa lagi?"
Karena memang Ryan adalah orang yang abai dengan gosip sekitar kan? Maka tentu saja ia bingung ketika Abid menyinggung soal gosip terkini. Bisa dipastikan kalau ia tidak tau apa itu.
"Gosip aku suka sama Bu Vanessa?"
"Ehm ... bukan," geleng Abid geli. "Tapi, gosip kalau kamu udah ada gebetan baru."
Ryan melongo. "Eh? Aku ada gebetan baru? Siapa, Bid? Kok aku aja nggak tau ya kalau aku udah ada gebetan baru? Terus, gebetan lama aku siapa?"
"Hahahaha."
Abid terbahak. Mengambil kesempatan untuk mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Membuka aplikasi Whatsapp demi menunjukkan satu pesan dari Lola. Junior mereka yang menaruh hati pada Ryan.
"Semalam Lola chat aku. Dia tuh kayaknya mau ngubungi kamu. Ala-ala cewek yang mau ngasih semangat buat pujaan hati gitu. Cuma ... yang ada dia minta klarifikasi dulu sama aku," ujar Abid seraya menyerahkan ponselnya pada Ryan. "Ini beneran kamu atau bukan? Karena kalau dilihat dari helm, ya ini pasti kamu."
Ryan segera menyambar ponsel Abid. Mengabaikan isi pesan di aplikasi itu. Langsung melihat pada foto yang dikirim Lola pada Abid. Hanya untuk membelalak. Karena pose usap-usap lutut dengan pelukan hangat dari belakang itu jelas adalah hal yang tak mungkin ia lupakan.
Abid menyeringai melihat perubahan ekspresi wajah Ryan.
"Ternyata benar," simpul Abid geli. "Bu Vanessa hanya pengalihan isu untuk menutupi cewek kamu yang sebenarnya."
Glek.
Ryan meneguk ludah. Melihat Abid dengan ekspresi yang tak mampu diuraikan dengan kata-kata lagi. Sumpah! Ryan merasa tubuhnya gemetaran saat ini. Tapi, untungnya ia tidak sampai pingsan di tempat. Karena selanjutnya Abid bertanya dengan tampang soknya yang justru membuat Ryan mengembuskan napas lega.
"Jadi, ini yang namanya Dinda?"
Abid bertanya dengan ekspresi seorang detektif yang berhasil memecahkan kasus pembunuhan di ruang tertutup. Yang mana itu justru disambut oleh puja-puji syukur Ryan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa.
Makasih, Tuhan.
Makasih udah milih cowok dodol ini untuk jadi teman aku.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro