39. Bentuk Lain
Kalau Ryan berpikir bahwa hanya kejutan di depan pintu yang menyambutnya kala itu, maka tentu saja ia keliru total. Karena setelah ia mandi dan mengganti pakaian formalnya tadi dengan stelan santai khas rumahan –paduan kaus dan celana pendek selutut, Vanessa langsung mengajaknya untuk keluar. Ehm ... keluar dari kamar dan menuju ke ....
"Mau ke mana, Sa?"
Semula Ryan mengira Vanessa akan mengajaknya ke belakang. Menuju ke meja makan mengingat kala itu sudah menjelang malam. Namun, ketika mereka tidak berbelok melainkan terus saja mengambil jalan lurus melewati ruang menonton, Ryan tau bahwa dugaannya keliru.
Berjalan di sebelahnya, Vanessa merengkuh tangan Ryan. "Mau ngajak kamu makan."
Ryan menoleh melewati kepala Vanessa. Melihat pada tempat di mana meja makan mereka berada. Dan itu membuat Vanessa terkekeh pelan.
"Nggak," kata Vanessa menggeleng dengan geli. "Untuk malam ini, kita makannya di luar aja. Aku udah siapin semuanya."
"Di luar?" tanya Ryan bingung. "Di luar maksud kamu ..."
Vanessa membuka pintu berbahan kaca tebal itu. Menggesernya ke samping dan membuat Ryan melanjutkan perkataannya dengan geli.
"... di balkon?"
Vanessa mengangguk sekali. "Aku udah nyiapin semuanya."
Maka setelah selangkah kaki Ryan berpijak di balkon, ia lantas tertegun. Melihat bukti bahwa Vanessa memang sudah menyiapkan semuanya. Seperti yang tadi ia katakan.
"Ini ...."
Vanessa tersenyum lebar. Menyambung perkataan Ryan dengan begitu cerahnya. "Candle light dinner dengan kearifan lokal versi aku."
Ryan tak percaya. Hingga ia nyaris menganga. Membuat Vanessa geli dan lanjut berkata.
"Kayaknya kamu beneran udah laper. Sini sini. Kita langsung makan."
Tak menolak ketika Vanessa menarik tangannya, Ryan mendapati di detik selanjutnya ia sudah duduk di satu kursi kayu yang tersedia di sana. Bersama dengan Vanessa di kursi lainnya sementara ada satu meja di hadapan mereka berdua. Dan matanya langsung terpana oleh beberapa hal di sana.
Tercatat baru beberapa bulan Vanessa dan Ryan tinggal bersama di unit itu, ia menyadari bahwa mereka jarang memanfaatkan balkon itu sebagaimana mestinya. Dan itu bukan hal yang aneh sih sebenarnya mengingat sekarang sedang aktif-aktifnya kegiatan perkuliahan. Ada Ryan yang harus belajar dan ada Vanessa yang harus bekerja. Praktis mereka lebih sering bercengkerama di tempat tidur. Ketika sudah malam, menjelang tidur mereka.
Hal itu nyaris membuat Ryan melupakan betapa nyamannya balkon yang mereka miliki. Yang rasanya sayang sekali kalau hanya dipergunakan untuk menjemur pakaian dalam saja. Hihihihi.
Jauh di sisi kanan sana, ada sofa sudut yang tersedia. Yang Ryan pikir belum pernah ia duduki selama ini. Kemudian ada satu set meja kayu yang sekarang diduduki oleh dirinya dan Vanessa. Memberikan suasana nyaman yang dilengkapi oleh kehadiran beberapa pot tanaman hijau. Tampak mencolok lantaran kehadiran satu warna merah yang sedang mekar. Bunga mawar yang Ryan bawa tempo hari.
Vanessa melihat ke mana arah mata Ryan tertuju. Dan ia tersenyum.
"Mawar yang kamu kasih ke aku, lagi mekar-mekarnya. Cantik banget kan?"
Ryan terpana. Tapi, ia masih sanggup mengangguk. "Iya," jawabnya. "Kamu cantik banget."
"Eh?" Vanessa tertawa. "Bunganya, Yan. Mawar itu maksud aku. Hahahaha."
"Ah," lirih Ryan seraya memejamkan matanya sekilas dengan dramatis. Ia tersenyum geli. "Iya, maksudnya bunga mawarnya yang cantik."
Menggelikan, tapi ada banyak hal yang membuat Ryan menjadi terpana kala itu. Pada bintang-bintang yang perlahan menunjukkan wujud di langit gelap. Pada lampu-lampu yang menggantung di pembatas balkon. Pada aroma wangi mawar yang sayup-sayup terhirup olehnya. Pada cahaya lembut lilin di meja. Pun berikut dengan sajian yang menggugah selera.
Itu bukan makanan yang mewah. Bukan menu yang biasa disajikan oleh restoran bintang lima. Juga tidak pernah masuk rekomendasi koki ternama. Tapi, sungguh! Ryan tidak mampu menahan senyumnya untuk tidak melebar karenanya.
Vanessa menggeser kursinya. Mendekati Ryan dan berkata dengan setengah berbisik pada cowok itu.
"Kamu tau?" tanya Vanessa dengan tersenyum. "Dari semua masakan yang bisa aku masak, aku paling suka dengan sambal ijo ikan teri."
Ryan menoleh dan tawanya sontak pecah. "Hahahaha. Jadi ini menu candle light dinner dengan kearifan lokal versi kamu?"
Vanessa mengangguk. Tampak binar di matanya. "Gimana? Keren kan? Ehm ... aku jamin, Yan. Cuma kamu cowok satu-satunya yang dapat kebanggaan kayak gini. Mana ada coba yang lebih romantis dari ini? Candle light dinner dengan menu sambal ijo ikan teri? Ehm ... cuma ada di sini."
Bola mata Ryan bergerak-gerak. Menatap pada manik Vanessa. Lalu ia tak tahan untuk kembali tertawa. Seraya mengangkat tangannya. Menarik Vanessa sejenak untuk mendaratkan kecupan yang tak mampu ia tahan. Di kepala cewek itu.
"Aku jadi nggak sabar buat makan. Kayaknya aku emang udah kelaparan."
Mendengar itu, Vanessa lantas segera memberikan dua sendok nasi ke piring Ryan. Lengkap dengan lauk pauk sederhana nan nikmat yang sudah ia siapkan tadi. Ketika ia memutuskan untuk pulang lebih cepat dari kampus.
"Sambal ijo ikan teri itu enaknya kalau nggak digoreng. Rasanya lebih seger."
Vanessa menjelaskan menu andalannya dengan begitu bersemangat. Seraya memberikan lauk itu di piring Ryan. Yang mana sebenarnya itu adalah makanan kesukaan Vanessa ketika dirinya masih kos semasa kuliah dulu. Lantaran cara memasaknya yang terbilang gampang. Yaitu, ikan teri, cabai hijau, dan tomat direbus. Kemudian langsung diulek seadanya. Praktis sekali kan?
Menyertai menu andalan Vanessa adalah beragam lalapan segar yang ia sediakan. Dari timun, kemangi, kol, dan selada. Di samping itu, ada pula tempe dan tahu goreng.
Sengaja menunggu, Vanessa melihat Ryan yang mencuci tangannya di kobokan. Mengamati cowok itu yang kemudian menikmati suapan pertamanya. Dengan mata yang merem melek dan mendehem dengan penuh irama.
"Aaah!"
Vanessa penasaran. "Gimana? Enak kan?"
Ryan membuka matanya. Menampilkan binar-binar di sana, tanpa ada kebohongan sama sekali.
"Gimana bisa sih, Sa?" tanya Ryan tak berdaya. "Udah cantik, eh ... masak ikan teri aja enaknya kayak gini."
Vanessa mengulum senyum. Tampak tersipu malu-malu. "Segitunya?"
"Segitunya," angguk Ryan. "Kalau nggak percaya, sini aku suapin."
Kursi yang Vanessa duduki semakin bergeser. Diikuti oleh dirinya yang kemudian justru menyisihkan piring yang seharusnya ia gunakan. Karena sepertinya Vanessa memilih untuk makan dengan cara yang lain kali ini.
Vanessa membuka mulutnya. Menerima suapan Ryan dan menikmatinya. Hanya untuk terkesiap setelah makanan itu meluncur masuk ke saluran pencernaannya.
"Ya ampun. Ini istri siapa sih yang masak? Astaga. Enaknya nggak kira-kira."
Ryan tergelak. "Bisa ya bisa. Muji diri sendirinya makin hebat ya? Hahahaha."
"Hahahaha. Iya dong. Soalnya ini emang enak banget," ujar Vanessa. "Selain kita, mana ada yang candle light dinner kayak gini? Makan sambel ijo ikan teri, eh ... disuapin lagi."
Ryan kembali menyuap Vanessa. Sementara dirinya pun yang sontak membuka mulut ketika cewek itu menyodorkan sepotong timun yang sudah dicolek ke sambal. Mengunyahnya tampak mengenyahkan senyum yang mekar di wajahnya.
Ditemani malam yang indah, dengan bintang yang bertaburan, cahaya lilin dan lampu di sekeliling mereka, makanan yang nikmat, dan tawa yang tak berhenti berderai, Vanessa dan Ryan tampak begitu menikmati candle light dinner dengan kearifan lokal versi mereka. Hanya berdua. Menikmati kebersamaan yang terasa begitu menyenangkan. Karena tentu saja, makan malam itu bukan menjadi satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan kala itu.
"Kamu belum ngantuk?"
Selepas makan malam yang romantis menurut versi mereka, Vanessa mengajak Ryan untuk bercengkerama di balkon. Alih-alih langsung masuk. Berbaring di sofa sudut yang empuk, keduanya tampak melayangkan tatapan ke atas sana. Melihat pada bintang-bintang.
Di pelukan Ryan, Vanessa menggeleng. "Belum," jawabnya. "Kenapa? Kamu udah mau tidur?"
Ryan mengeratkan pelukannya. Turut menggeleng. "Nggak. Aku cuma nggak mau kamu masuk angin aja kalau kelamaan di sini."
"Kalau gitu," kata Vanessa semakin beringsut. "Peluknya yang kuat dong. Biar aku nggak kedinginan. Biar aku nggak masuk angin."
"Modus!" tukas Ryan geli.
Vanessa mencari posisi nyamannya. Berbantalkan satu tangan Ryan, ia mendaratkan kepalanya di dada cowok itu. Hingga detak jantung di sana pelan-pelan menjadi suara yang mendamaikan perasaannya.
Hening untuk sesaat, lantas Vanessa merasakan ada yang berbeda dari tarikan napas yang Ryan lakukan. Yang diikuti oleh embusannya yang panjang.
"Sa ...."
Mata Vanessa mengerjap sekali. "Ya?"
"Kamu nggak mau nanya gimana jalannya seminar hasil aku hari ini?"
Seketika, Vanessa tertegun. Tapi, ia sama sekali tidak kaget kalau Ryan pada akhirnya akan menanyakan hal itu. Yang tentu saja sudah ia antisipasi dari tadi.
Maka Vanessa bangkit dari posisi nyamannya itu. Bertumpu pada satu siku, ia membawa tubuhnya ke atas, cenderung menaungi Ryan di bawahnya. Meraba sekilas pada dada bidang cowok itu, Vanessa tersenyum. Dengan matanya yang menyipit.
"Kamu mau pamer heh?"
Ryan melongo. "Pamer?"
"Iya, pamer," ulang Vanessa. "Kamu mau nyombong kalau kamu berhasil menjawab semua pertanyaan pas kamu seminar tadi? Ckckckc. Kanda ..., sombong itu nggak baik loh ya."
Mata Ryan mengerjap. "Emangnya siapa yang mau sombong, Sa?"
"Itu ... buktinya. Kamu mancing-mancing biar aku nanyain soal seminar hasil kamu."
"Ehm ... bukannya mancing-mancing. Tapi, kamu sih nggak ada nanyain." Sorot mata Ryan tampak berubah. Diikuti oleh kerutan di dahinya. Terpikir sesuatu. "Ah, jangan ngomong kalau ...."
Vanessa mengangguk. "Iya, tadi di jurusan udah heboh. Makanya aku nggak perlu nanya lagi ke kamu."
Tubuh Ryan menegang. "He-heboh?"
"Iya. Karena sepanjang sejarah ...," jawab Vanessa kemudian. "Baru kamu yang berhasil tembus nilai sembilan puluh lima pas seminar hasil."
Ryan membelalak. "Hah?! Sembilan puluh lima? Siapa yang ngasih aku nilai segitu gedenya, Sa?"
"Hahahaha."
Vanessa tergelak. Tapi, yang pasti ia juga menggeleng. Memberikan isyarat bahwa ia tidak akan memberi tau soal itu pada Ryan.
"Aku udah bocorin nilai kamu loh, Yan. Tapi, aku nggak boleh bocorin detailnya. Hahahaha. Itu nggak adil."
Ryan menahan pinggang Vanessa. Tau dengan pasti bahwa cewek itu berencana kabur dalam waktu dekat. Ia tidak akan membiarkannya.
"Sa, ih! Aku mau tau. Itu siapa yang ngasih aku nilai segede itu?" tanya Ryan makin penasaran. "Pak Zidan ya?" Tapi, Ryan menggeleng. "Ah, nggak mungkin Pak Zidan. Beliau kan sulit ngasih nilai sih."
Vanessa tertawa.
"Atau Bu Fatma?" Tapi, Ryan kembali menggeleng. "Masa sih?"
Vanessa makin tertawa. Dan itu tentu saja membuat Ryan gemas. Terutama karena cewek itu berusaha untuk melepaskan diri dari rengkuhannya.
"Astaga. Seneng banget ya buat aku penasaran kayak gini?"
"Hahahaha."
Hanya saja, mengabaikan tawa Vanessa, sejujurnya Ryan benar-benar penasaran dengan informasi yang cewek itu berikan. Sembilan puluh lima? Apa itu tidak berlebihan? Karena Ryan sendiri merasa rendah diri lantaran tragedi yang menimpa seminar hasilnya tadi.
Tapi, masa sih Vanessa bohong?
Menarik napas sejenak, Vanessa menghentikan tawanya. Mempertahankan posisinya di atas tubuh Ryan, cewek itu tidak segan-segan untuk benar-benar bertumpu di dadanya.
"Tinggal dikit lagi, Yan."
Semua praduga dan pemikiran macam-macam di benak Ryan, buyar seketika. Sekarang teralihkan oleh wajah cantik Vanessa yang tepat berada di depan matanya. Cewek itu berkata dengan ekspresi yang membuat Ryan merasa luluh jiwa dan raga.
"Bentar lagi kamu udah mau sidang," lanjut Vanessa kemudian. "Aku sih yakin kamu pasti bisa. Tapi, aku tetap mau ngomong ini. Kamu harus tetap berusaha."
Ryan melihatnya. Bahwa Vanessa tidak hanya berkata dengan bibirnya. Alih-alih juga dengan matanya. Dengan segenap perasaannya.
Sejenak, Ryan mendapati lidahnya seperti tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Tidak bermaksud berlebihan, tapi begitulah yang terjadi. Seharian ini, pikirannya benar-benar kusut. Nyaris ingin meledak rasanya. Namun, berkat Vanessa, ia justru tertawa-tawa lagi.
"Sa ...," lirih Ryan kemudian. "Kamu tau sesuatu nggak?"
Mata Vanessa mengerjap sekali. "Apa?"
Dan tangan Ryan terangkat. Membelai pipi Vanessa. Merasakan kehalusan kulit itu. Termasuk mengagumi kecantikannya yang tak akan pernah bosan-bosannya ia puji.
"Dibandingkan dengan skripsi, lebih sulit lagi berusaha ngedapetin cinta kamu coba."
Vanessa membolakan matanya. Namun, tak lama. Karena sedetik kemudian, mata itu justru menyipit lantaran desakan senyumnya yang mengembang. Lantaran menyadari bahwa yang dikatakan Ryan adalah sebuah kenyataan.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro