34. Persiapan Amunisi
Di hari Kamis, Vanessa sengaja pulang lebih cepat dari biasanya. Tidak bermaksud berlebihan, tapi cewek itu berniat untuk membantu Ryan mempersiapkan semua hal yang berkaitan dengan seminar hasilnya besok. Dimulai dari cewek itu yang memastikan bahwa kemeja putih Ryan tersetrika dengan rapi. Padahal sudah tau kan ya? Untuk urusan pakaian, sepasang suami istri itu sudah menyerahkannya pada jasa penatu. Maka dari itulah Ryan bertanya dengan heran.
"Ngapain disetrika lagi, Sa?"
Mengangkat kemeja putih itu dengan bantuan gantungan pakaian yang sudah ia sematkan di dalamnya, Vanessa tampak membolak-balikkannya berulang kali. Melihat dengan begitu teliti. Seraya menjawab.
"Biar rapi."
Ryan memilih duduk. Di satu kursi yang tersedia di ruangan itu. Satu tempat yang ditujukan untuk menaruh pakaian yang telah dicuci, sekaligus tempat untuk menyetrikanya. Yang sebenarnya jarang sekali digunakan oleh keduanya. Hanya sesekali saja. Ehm ... termasuk di sore ini.
"Kan udah rapi, Sa. Orang baru juga aku ambil pas sekalian balik dari kampus."
Ah, benar. Di hari Kamis itu, Ryan yang baru pulang dari kampus di jam empat sore lantaran ada kelas Bioteknologi dan menyempatkan diri mampir ke jasa penatu. Mengambil kemeja dan celana yang ia taruh dua hari yang lalu. Dan ketika ia tiba di unit, ia nyaris terlonjak kaget ketika mendapati ada Vanessa di rumah. Tentu saja, dengan gaun santai rumahan ala Suzanna itu.
Beruntung, kala itu sinar matahari masih bersinar dengan cerah dan menyadarkan Ryan bahwa yang ada di hadapannya adalah sang istri tercinta. Alih-alih kuntilanak yang hobi beli sate madura. Hihihihi.
Namun, kekagetan Ryan ternyata tidak mereda dalam waktu yang lama. Karena saat itu Vanessa langsung menghampirinya. Mengambil alih kemeja yang tertutupi oleh plastik penatu tersebut. Dan membawanya ke ruang pakaian. Ryan pun menyusulnya setelah terlebih dahulu menaruh tas ranselnya di kamar.
"Tapi, tetap aja, Yan," lirih Vanessa seraya kembali melihat kemeja itu. "Biar tambah licin."
Vanessa kemudian menaruh kemeja tersebut di gantungan. Beralih pada celana dasar bewarna hitam dan menyetrikanya.
"Ehm ...." Ryan mendehem seraya menggaruk dahinya yang tidak gatal sama sekali. "Kamu nggak berencana buat ngeliat semut tergelincir di atas pakaian aku kan?"
Sekilas, Vanessa terkekeh. "Ya nggak apa-apa sih. Lagian kan kamu nggak tiap saat bakal seminar hasil. Jadi, ya ... penampilan kamu harus diperhatikan."
Mendengar penuturan itu, Ryan baru menyadari sesuatu. Bahwa hari itu lebih dulu Vanessa yang tiba di unit ketimbang dirinya. Berkat jadwal mengajarnya yang lapang setelah ujian tengah semester, Vanessa memang tidak memiliki jadwal mengajar di hari Kamis.
"Kamu hari ini balik cepet ...," lirih Ryan kemudian seraya menebak-nebak. "... jangan ngomong cuma gara-gara mau nyetrika ulang baju aku, Sa."
Vanessa menekan setrika uap itu di atas celana Ryan. Dengan penuh konsentrasi. "Cerewet ah. Ntar aku nggak fokus loh."
"Eh?"
"Ntar garisnya nggak lurus lagi."
Ryan melihatnya. Bagaimana dengan penuh ketekunan dan kehati-hatian, Vanessa membawa setrika itu untuk menciptakan satu garis di celananya. Lalu ia menaruh sejenak setrika itu. Hanya untuk melihat bahwa garisnya sesuai dengan apa yang ia inginkan.
Mesem-mesem, Ryan pun melayangkan pertanyaannya. "Mau aku ambilkan penggaris dulu? Kali aja itu garis meleset 0,001 milimeter kan?"
Sreeet!
Vanessa menoleh. "Nggak lucu."
Tukasan itu membuat Ryan menjadi ciut. Jelas menyadari bahwa saat ini Vanessa sedang dalam mode serius dan tidak boleh diganggu. Salah-salah, setrika uap akan mendarat di wajahnya lagi. Iiih, mengerikan.
"Oh iya. Timbang kamu di sini ngeliatin aku nyetrikan," kata Vanessa kemudian. "Mending kamu siap-siap untuk besok deh."
Ryan mengerjapkan matanya. "Siapin apa?"
"Makalah untuk peserta seminar?"
"Oh, udah aman di tempat Abid. Besok dia yang bawa langsung ke kampus."
"Cemilan untuk peserta seminar dan kue untuk dosen?"
"Ah, udah di-handle sama Mona. Besok dia yang bawa langsung ke kampus."
"Berkas-berkas untuk dosen? Lembar penilaian?"
"Ehm ... kan kemaren udah aku kasih, Sa. Sekalian dengan makalah dan surat undangannya."
"Kopi lagi, Yan. Kamu nggak bakal tau apa yang bakal terjadi besok. Siapa tau ada dosen yang kelupaan untuk bawa map kemaren."
"Aaah. Oke oke."
"Terus, jangan lupa. Siapkan file cadangan untuk presentasi kamu."
"File cadangan?"
"Iya. Taruh di flasdisk, di hardisk eksternal, dan simpan juga di email. Jaga-jaga kalau laptop kamu mendadak eror. Kamu ada file cadangan."
"Sa ...."
"Ya?"
"Ini kenapa aku berasa kayak prajurit yang lagi persiapan buat perang sih?"
"Eh?"
Pergerakan tangan Vanessa di atas celana dasar hitam itu berhenti seketika. Tapi, tanpa lalai ia menyisihkan sejenak benda elektronik itu sebelum ia berpaling lagi pada Ryan. Dan mendapati cowok itu berkata dengan ekspresi geli di wajahnya.
Ryan bangkit dari duduknya. Menghampiri Vanessa dan mengulum senyum geli.
"Tenang, Sa, tenang. Ini cuma seminar hasil. Aku bukannya mau pergi rapat di Gedung MPR."
Vanessa mengembuskan napas panjang. "Aku tau. Tapi, kan semuanya harus dipersiapkan dengan matang. Jangan sampe perjuangan kamu justru gagal cuma gara-gara hal yang sepele. Lagi pula ... penampilan rapi itu penting. Seenggaknya untuk meningkatkan rasa percaya diri kamu."
"Untuk urusan percaya diri," kata Ryan menyeringai. "Aku nggak ada duanya, Sa. Dijamin."
Vanessa tidak menampik hal itu. Tapi, tetap saja. Bukan berarti ia tidak akan melanjutkan perkerjaannya untuk menyetrika celana Ryan.
Malam harinya, tepat ketika jam baru saja menunjukkan jam sembilan, Ryan sudah selesai mempersiapkan semuanya. Termasuk di dalamnya adalah hal yang menjadi perhatian Vanessa tadi. Berkas cadangan, dokumen cadangan, ehm ... pokoknya semuanya deh. Sampai sepatu hitam yang mengkilap beserta sepasang kaus kaki yang bernada senada pun telah siap. Lalu ... Ryan pun langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Vanessa pun bertanya.
"Kamu mau tidur sekarang?"
Membawa kedua tangannya untuk menopang kepalanya, Ryan mengangguk. "Iya."
"Nggak belajar?" tanya Vanessa kemudian. "Belakangan ini kayaknya kamu belajar presentasi aja. Nggak buka materi."
Ryan menggeleng. "Nggak, semuanya udah tersusun di otak aku. Tiap hari aku selalu baca buku dan jurnal, Sa. Udah dari kemaren-kemaren aku belajarnya. Sekarang ... waktunya untuk istirahat. Biar otak aku fresh untuk dibuat mikir besok."
Turut berbaring di sebelah Ryan setelah ia terlebih dahulu memadamkan lampu utama, Vanessa tersenyum.
"Bener sih. Emang harusnya gitu. Kalau udah mau hari H, mending otak dibawa santai aja."
Ryan berpaling. Menyambut Vanessa yang menuju padanya. "Kamu juga gitu?"
"Iya," kata Vanessa. "Aku juga dulu pas mau seminar hasil atau sidang, ya paling yang aku pelajari itu presentasinya. Kalau untuk materinya, ya namanya aja penelitian kita kan? Otomatis kita udah belajar dari jauh-jauh hari. Ternyata kamu juga gitu."
Merengkuh Vanessa, Ryan membawa tangannya untuk mengusap lengan atas cewek itu. Diikuti oleh kecupannya yang kemudian melabuh di puncak kepalanya.
"Dulu pas kamu mau seminar hasil, kamu deg-degan juga nggak? Soalnya aku kerasa banget sekarang ini deg-degannya."
Vanessa sedikit beringsut. Agar telinganya bisa mendapatkan posisi yang pas di atas dada kiri Ryan. Mendengarkan bunyi yang menggema di sana. Perlahan, senyumnya timbul.
"Aku pikir ini jantung kamu berdebar gara-gara aku," goda Vanessa. "Taunya gara-gara besok mau seminar hasil. Ehm ...." Vanessa mendehem dengan penuh irama. "Kanda buat Dinda kecewa. Hiks."
Ryan jadi geregetan hingga ia pun mendekap Vanessa dengan gemas dan erat. "Kecewa kecewa. Tunggu aja besok ya, Dinda. Setelah seminar hasil, Kanda nggak bakal buat Dinda kecewa lagi. Hahahaha."
*
Jam sembilan keesokan harinya, Ryan sudah berada di ruangan multimedia. Dengan para mahasiswa yang juga sudah mengisi kursi yang tersedia di sana. Saat ini, mereka praktis hanya tinggal menunggu kedatangan para dosen saja. Menyempatkan diri, Ryan membaca pesan yang Vanessa kirimkan padanya.
[ Vanessayang ]
[ Kanda .... ]
[ Semoga sukses seminar hasilnya. ]
[ Tenang dan jangan panik. ]
[ Kalau kamu panik, semuanya bakal kacau. ]
Ryan merasakan dirinya lebih tenang saat ini. Hingga pelan-pelan, jantungnya yang mulai berdegup kencang, mereda kembali. Ia pun bisa menarik napas dengan lebih santai.
Satu persatu, diawali oleh kedatangan Zidan, para dosen pun datang. Secara bergantian. Untuk kemudian ditutup oleh Fatma yang ketika masuk langsung menyapa.
"Selamat pagi semuanya. Maaf karena saya sedikit terlambat."
Adalah Abid yang menjadi moderator seminar hasil Ryan kala itu. Dengan sopan dan penuh semangat ia membuka acara tersebut. Untuk kemudian, ketika sampai pada waktunya, ia pun memberikan kesempatan bagi Ryan untuk menyampaikan presentasi penelitiannya.
Berkat latihan yang telah ia lakukan selama belakangan ini, tidak heran rasanya bila mendapati Ryan yang tampil dengan penuh percaya diri. Tampak tenang dan terkendali ketika menyajikan presentasinya.
Pembawaannya tidak berlebihan, namun yang pasti tatapan matanya tertuju pada setiap peserta seminar itu. Melihat mereka secara bergantian. Menciptakan atmosfer yang membuat semua yang berada di sana terfokuskan pada penyampaian Ryan. Tidak berlebihan, nyatanya ketika ia menjelaskan, semua menyimak.
Begitu pun ketika berlanjut ke tahapan acara lainnya. Kesiapan Ryan kembali dibuktikan tatkala Mona yang berperan selaku mahasiswa pembahas tidak menemukan satu cacat pun dalam makalah tersebut. Bahkan untuk sekadar tanda baca. Maka dari itu, ia pun memanfaatkan kesempatannya untuk bertanya saja.
Ryan menjawab pertanyaan Mona dengan lancar. Pun juga ketika sesi tanya jawab dibuka. Ia meladeni semua rasa ingin tau para peserta seminar lainnya dengan tak kalah lancarnya. Menjawabnya dengan baik. Hingga semua orang bisa menduga bahwa seminar hasil Ryan kali itu akan berakhir dengan sukses.
Namun, semua tatapan takjub yang dilayangkan pada Ryan seketika menghilang. Tepat ketika sesi pembahasan dosen tiba. Mengantarkan satu pertanyaan yang dilayangkan oleh Nathan padanya.
"Penelitian nggak memberikan hasil apa pun. Apakah ini cukup layak untuk disidangkan?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro