Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

33. Ini Baru Namanya Belajar

"Selamat pagi Ibu Dr. Ir. Fatma Agustina, M.Sc. selaku dosen pembimbing utama saya. Selamat pagi Bapak Razidan Syahreza, SP., M.Sc. selaku dosen pembimbing pendamping saya. Juga kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Purwoko Teguh Santoso, M.Sc. dan Bapak Nathan Hadiyaksa, SP., M.Sc., selaku dosen penguji saya. Terima kasih sudah berkenan untuk hadir. Dan terutama untuk pada teman-teman mahasiswa sekalian yang menyempatkan waktunya untuk datang di seminar hasil saya, Rizki Andryan Wicaksana NIM A1A017017, dengan judul Pengaruh Konsentarasi ZPT dalam Pertumbuhan Stek Cabai."

Menarik udara dalam-dalam, Ryan kemudian mengembuskan napasnya sepanjang mungkin. Lalu ia menoleh ke belakang. Pada Vanessa yang tampak mengulum senyum. Menahan geli, namun juga takjub melihat Ryan yang kala itu sedang berlatih di depan cermin lemari pakaian mereka.

"Wih! Aku udah gemetaran aja, Sa."

Ryan mendekap dada kirinya, merasakan bagaimana debar di dalam sana teramat riuh. Bahkan di saat ia baru berlatih saja ia sudah gugup, bagaimana nanti ketika di hari H? Dalam hati, Ryan berdoa agar ia bisa tetap tenang.

"Aku nggak tau kalau kamu juga latihan kayak gini," komentar Vanessa tersenyum geli. "Aku pikir bakal spontanitas gitu."

Berkacak pinggang dengan kedua tangannya, Ryan tampak mesem-mesem. "Spontanitas apaan? Aku ini cuma mahasiswa biasa, Sa. Bukan setipe orang penting yang sering ngasih seminar di depan umum. Ya ... artinya aku harus latihan dong. Timbang aku ada salah ngomong atau apa ntar kan? Ck. Harga diri aku dipertaruhkan. Hahahaha."

Vanessa turut tertawa. "Jadi, kamu butuh bantuan apa dari aku?"

"Ah, itu ...." Ryan beranjak ke meja belajarnya, membuka satu berkas presentasi yang sudah ia buat. "Aku bakal presentasi, ntar coba tanyain deh ya."

"Oh, oke oke."

"Sekalian liatin kurangnya aku di mana."

Memberikan sekali anggukan kepalanya, Vanessa menyamankan posisi duduknya di atas tempat tidur. Dengan memeluk satu bantal dan ditemani oleh sepiring kiwi. Ehm ... Vanessa layaknya saat itu tengah menonton pertunjukan opera ketimbang melihat mahasiswa yang sedang berlatih seminar. Hihihihi.

Selesai Ryan memberikan presentasi, Vanessa pun melakukan apa yang diminta oleh cowok itu. Memberikan beberapa pertanyaan. Yang sebagian bisa dijawab mudah oleh Ryan dan sebagian lagi dijawab setelah Ryan mengambil beberapa detik waktunya untuk berpikir. Begitulah yang terjadi sepanjang malam. Setidaknya, Ryan mencoba berlatih sebanyak tiga kali. Itu pun tidak termasuk dengan latihan-latihan kecil lainnya.

Membuang napas panjang, Ryan membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ada setitik keringat yang terbit di pelipisnya. Mendorong Vanessa untuk menyisihkan garpu kecil di tangannya dan ia mengelap tangannya dengan sehelai tisu. Kemudian ia mengusap peluh itu.

Ryan menoleh pada Vanessa. "Gila. Lidah aku rasanya pegal," ujarnya. "Tes tes tes. Ehm ... tes."

"Nggak usah terlalu diforsir, Yan. Santai aja. Ntar kamu malah sakit lagi."

"Ehm ... iya sih. Tapi, sumpah. Aku nggak mau ada yang salah ntar pas seminar."

"Tenang sih tenang. Masih ada berapa hari lagi. Pelan-pelan aja."

Ryan mengangguk. "Oke oke. Besok-besok aku bakal lebih tenang dan lebih pelan kok. Kamu nggak usah khawatir."

"Eh?" Dahi Vanessa mengerut, matanya menyipir. "Maksud kamu apa heh?"

"Hahahaha," gelak Ryan seraya mengangkat tangannya. Mencubit sekilas ujung hidung Vanessa. "Kamu mikirin apa coba?"

"Kamu itu coba, ngomongin apa?"

"Ehm ... aku ngomongin soal latihan seminar kok." Mata mengedip-ngedip, Ryan memasang wajah tanpa dosa. "Emangnya apalagi yang aku omongin kalau bukan soal latihan seminar?"

Bibir Vanessa maju seketika. Dalam bentuk cibiran dengan ekspresi mencemooh. "Kayak aku yang percaya aja."

"Wah wah wah! Dinda Vanessayang, nggak boleh gitu. Dinda harus percaya sama suami sendiri. Apalagi suaminya kayak Kanda."

"Hahahaha."

Meraih garpu kecil yang telah ditinggalkan oleh Vanessa sejak beberapa menit yang lalu, Ryan menikmati satu potong kiwi yang tersisa. Lalu seraya mengunyah, ia teringat sesuatu.

"Oh iya. Tadi pas kamu liat aku presentasi," ujar Ryan dengan mulut yang sedikit mengembung. "Apa aja kekurangan aku, Sa?"

"Kekurangan?"

Ryan mengangguk, menaruh kembali garpu kecil itu di piring kosong tersebut. "Iya, apa kekurangan aku? Biar aku perbaiki."

"Ehm ...."

"Apa?"

"Kayaknya ...," jawab Vanessa dengan penuh irama dan lantas ada yang berubah di wajahnya. Dengan kehadiran sekelumit senyum dan sorot matanya yang berbeda. "Kamu nggak ada kekurangan. Ehm ... suami yang ideal buat aku."

"Hueeek!!!"

"Hahahaha."

Vanessa tertawa tepat ketika ia melihat bagaimana Ryan yang terbatuk-batuk. Lantaran kaget membuat ketidakselarasan antara mulut dan otaknya. Menyebabkan ia tersedak. Untung saja yang saat itu ia makan adalah kiwi. Kebayang kalau yang ia makan adalah biji kedondong? Bisa putus nyawa Ryan. Hihihihi.

"Hahahaha."

Ryan terperangah. "Wah!"

"Hahahaha."

Vanessa sih memang tertawa, tapi tentu saja mata Ryan tidak akan melewatkan satu perubahan itu. Yang samar-samar timbul di pipinya.

"Cie ... baru digombalin dikit udah kesedak aja nih, Kanda."

Ryan sudah tidak peduli dengan kiwi atau segala macamnya, ia beringsut. Mendekati Vanessa yang matanya sudah basah. Ia meraih tangan cewek itu.

"Udah bisa ngegombal ya sekarang?"

Vanessa terbahak. "Hahahaha. Gitu aja udah kesedak. Kamu lucu. Hahahaha. Sampe sakit perut aku ketawa."

"Yakin ketawanya gara-gara lucu ngeliat aku kesedak?" tanya Ryan menggoda. "Bukan karena kamu mau nutupi malu? Cie ... pipinya merah. Ngegombalin suaminya kok malu sih? Sini sini sini. Gombalin aku lagi, Sa."

"Ih, siapa juga yang malu? Nggak malu kok."

"Beneran nggak malu? Kalau gitu, coba deh. Gombalin aku lagi."

"Hahahaha."

Vanessa berusaha untuk beringsut, namun Ryan menahan tangannya. Tidak memberikan cewek itu kesempatan yang ia inginkan.

"Ayo dong. Gombalin lagi dong."

"Hahahaha. Kamu stres ya? Ada gitu orang yang mau digombalin? Hahahaha. Ada-ada aja."

Ryan menggeliat di atas kasur. Mendekati Vanessa dan lantas mendaratkan kepalanya di paha cewek itu.

"Emang stres kok. Makanya ... aku pengen digombalin lagi," ujar Ryan geli. "Ayo dong. Gombalin yang kayak tadi."

"Hahahaha. Nggak mau."

"Tadi kamu ngomong apa?" Ryan bertanya dengan menggoda. Tak hanya di suaranya, namun juga di gerlingan matanya. "Kamu nggak ada kekurangan? Suami yang ideal buat aku?"

"Hahahaha."

"Gitu bukan ya yang kamu omongin tadi?"

Vanessa geleng-geleng kepala. "Nggak, bukan gitu."

"Terus gimana?"

"Nggak," tolak Vanessa lagi. "Nggak gimana-gimana."

"Ehm ... cemen ah. Disuruh gombalin aku aja nggak mau."

"Bukannya nggak mau. Tapi, ntar kamu keselek lagi loh."

Ryan membuka mulutnya. "Aku lagi nggak makan apa-apa lagi loh sekarang. Nggak bakal keselek lagi. Hahahaha."

Namun, Vanessa keukeuh. Tampaknya tidak akan menuruti permintaan Ryan. Yang ada ia justru semakin tertawa geli.

"Kalau nggak mau gombalin aku," ujar Ryan kemudian seraya menyipitkan matanya. "Ntar aku makan kamu loh."

"Eh?" Vanessa terkesiap, tapi lalu ia tertawa. "Hahahaha."

"Sa, ayo dong. Gombalin lagi. Sumpah. Rasanya deg-deg gitu deh pas kamu gombalin."

Kali ini, Ryan memilih untuk bangkit. Semakin beringsut, ia meraih tubuh Vanessa yang berusaha menghindarinya. Tampak cewek itu yang mulai kesulitan mengatur napasnya lantaran tertawa saja dari tadi.

"Tuh kan. Detak jantung di dada, berdebar tak menentu karna kegombalanmu. Hahahaha."

Vanessa terpingkal parah. Hingga perutnya terasa sakit. Lantas ia memutuskan untuk mencoba menahan tawanya. Menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan dirinya sendiri.

"Ih, Dinda. Kanda minta digombalin coba."

"Kanda," delik Vanessa tanpa marah sama sekali. "Jangan paksa Dinda ngegombal lagi deh. Lihat yang tadi? Sekali aja udah buat Kanda keselek. Gimana kalau Dinda gombalin lagi coba? Ehm ... kali aja Kanda langsung jantungan."

"Hahahaha. Mau dong ngerasain jantungan," gelak Ryan. "Ayo ayo. Apa kekurangan Kanda?"

"Ehm," dehem Vanessa seraya merapikan sekilas rambutnya yang jatuh di depan wajah. Mengulum bibirnya sekali, ia lalu menarik napas dalam-dalam. "Aku nggak mau ngegombal lagi, Yan. Aku udah capek ah. Mau bobok aja."

"Ih, gitu sih."

"Udah udah, mending kamu juga bobok deh. Istirahat. Biar bisa mimpi indah."

Ryan mencibir. "Nggak mau."

"Harus mau dong. Kan siapa tau, ntar di mimpi ... kamu bakal ketemu aku," kata Vanessa kemudian. Pelan-pelan menampilkan senyum di wajahnya. "Seseorang yang sudah melengkapi semua kekurangan kamu."

"Ah!" Ryan mendekap dada kirinya. "Aku beneran jantungan."

"Hahahaha."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro