Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30. Sensasi Permainan

Bila Vanessa tidak mengabarkan orang tuanya akan kedatangan mereka lantaran ingin memberikan kejutan, maka sepertinya itu jelas menjadi hal yang sangat diharapkan. Karena ketika pada akhirnya motor yang dilajukan Ryan memasuki pintu pagar rumah Vanessa, seketika saja orang tua yang duduk di teras itu bangkit berdiri. Sontak beranjak seolah ingin memastikan bahwa mata mereka tidak salah melihat. Bahwa adalah anak dan menantu mereka yang datang sore itu.

"Vanessa? Ryan?"

Ilana, sang ibu, terdengar menyebut nama keduanya dengan nada yang tak percaya. Tepat ketika motor bewarna merah hitam itu berhenti tepat di depan teras rumahnya. Menyilakan cewek yang duduk di atasnya untuk segera turun. Demi menghambur dan memeluk ibunya.

"Ma!"

Karena memang pertemuan orang tua dan anak akan selalu menjadi hal yang mengharukan.

*

"Sebenarnya aku udah mau balik dari kemaren-kemaren loh, Ma, Pa. Tapi, Ryan yang nggak nyuruh."

"Eh? Kapan coba aku nggak nyuruh? Yang ada malah kamu yang nggak mau balik kan?"

"Hahahaha. Sebenarnya---"

"Nggak ada yang benar yang kamu omong mah. Mau fitnah aku aja. Jadi, gini, Ma, Pa. Yang sebenarnya itu---"

"Dari kemaren Ryan udah ngajak mau ke rumah, tapi aku nggak mau. Soalnya dia lagi nyiapin seminar hasilnya."

Eh?

Ryan yang semula ingin kembali memotong perkataan Vanessa sontak mengurungkan niatannya. Melihat pada cewek itu yang tampak enteng saja menikmati sesuap nasi di sendoknya. Lantas mengunyahnya dengan penuh irama.

"Jum'at depan Ryan bakal seminar hasil."

Pemberitahuan Vanessa membuat semua aktivitas di meja makan malam itu berhenti dengan kompak. Diikuti oleh tatapan mata Ilana dan Herman yang langsung menuju pada Ryan. Sontak saja membuat cowok itu salah tingkah.

Herman menaruh sejenak sendok dan garpu di tangannya. "Kamu sudah mau seminar, Yan?"

Mantap, Ryan mengangguk. "Iya, Pa. Mohon doanya biar lancar semuanya sampe wisuda ntar."

"Amin amin amin," ujar Ilana kemudian. "Semoga lancar semuanya."

Ryan tersenyum, begitu pun dengan Vanessa. Walau beberapa detik kemudian, senyum di wajah Vanessa berubah. Seperti ia yang baru menyadari sesuatu.

"Eh? Karena itu kamu ngebet mau ke rumah? Mau minta doa?"

"Hahahaha." Ryan melihat pada mertuanya, bergantian. "Kan katanya Tuhan nggak mungkin nolak doa orang tua kan, Ma?"

Ilana tertawa. "Kamu bisa aja, Yan. Hahahaha."

"Tapi, nanti kalau kamu sudah seminar hasil ..."

Suara Herman terdengar kembali. Menarik perhatian Ryan yang langsung berpaling pada ayah mertuanya itu. Pun dengan Vanessa dan Ilana.

"... itu artinya kamu bentar lagi juga bakal sidang? Berarti sebentar lagi wisuda kan?"

"Ah, itu ...."

Ryan menggaruk tekuknya. Bingung harus menjawab apa untuk pertanyaan yang satu itu. Mencoba berpikir, tapi ditodong oleh tatapan sang mertua, sontak saja membuat Ryan salah tingkah. Dan pada saat itu, Vanessa mendehem.

"Ehm."

Ryan berpaling pada Vanessa yang duduk di sebelahnya. Melihat bagaimana cewek itu tampak mengulum senyum geli. Tentu saja Vanessa mengerti.

"Jadi, Pa, sebenarnya Ryan---"

Satu remasan sekilas yang mendarat di paha Vanessa membuat ucapannya menggantung. Alih-alih terus bicara, ia justru melihat pada Ryan. Cowok itu tampak membesarkan matanya, lalu menyipitkan matanya, kemudian melirik.

Vanessa mendehem lagi. "Jadi, sebenarnya Ryan ..."

Mata Ryan membesar lagi. Meremas paha Vanessa lagi.

Ya, Sa ....

Jangan permalukan suami sendiri dong.

Permalukan aja suami orang.

Hiks.

"... kayaknya sih belum bisa sidang dalam waktu dekat."

Sa!

Ampun dah, Sa!

Mata Ryan tidak bisa membesar lebih besar lagi. Dan kalau ia meremas paha Vanessa lebih keras lagi, ia khawatir kalau akan melukai cewek itu. Hiks.

"Soalnya dia lagi bantuin aku di kampus. Semacam asisten aku. Jadi, ya ... dia belum bisa sidang sekarang."

Mata Ryan mengecil. Remasan tangannya berhenti. Dan ia mendapati Vanessa yang senyum padanya.

"Benar kan?"

Ryan mengerjapkan mata. Untuk beberapa detik seperti berusaha meraba maksud perkataan Vanessa. Dan ketika ia menyadari bagaimana kedua mertuanya menunggu jawabannya, Ryan sontak mengangguk.

"I-i-iya iya," kata Ryan tergugu. "Aku jadi asisten Vanessa di kampus. Jadi ya ... belum bisa sidang cepat." Ryan lalu tersenyum lebar. "Tapi, mudah-mudahan sebelum semester ini selesai aku udah bisa sidang, Pa. Doakan saja semoga semuanya lancar."

Herman mengembuskan napas panjang. Mengangguk berulang kali. "Tentu Papa dan Mama bakal doakan. Toh kalau kamu sudah wisuda, itu artinya resepsi yang tertunda bisa langsung dilaksanakan kan?"

Ah, benar.

Resepsi.

Bersanding dengan Vanessa.

Ya ampun.

Khayalan ini membunuhku.

Hihihihi.

Selepas makan malam, Ryan yang sejujurnya masih merasakan debar-debar lantaran interogasi soal sidang, dengan segera mencari kesempatan untuk bicara berdua saja dengan Vanessa. Dan menemukan waktu yang tepat. Yaitu ketika cewek itu sedang di dapur. Tepatnya di depan wastafel. Bersiap akan mencuci piring makan malam mereka tadi.

"Sa."

Mendekati Vanessa dengan tiba-tiba, mendesis menyebut nama cewek itu, tentu saja Ryan mendapati sang istri yang terlonjak kaget. Nyaris saja melempar spon cuci piring ke muka cowok itu. Ia mendelik.

"Apaan sih? Buat kaget aja."

Ryan tidak peduli dengan hal itu. Alih-alih, ia menarik Vanessa agar ia bisa berbisik padanya.

"Kamu sengaja ya?" tanya Ryan dengan penuh penekanan. "Yang tadi di meja makan? Kamu sengaja mau buat aku jantungan?"

Hilang sudah kesan kaget di ekspresi wajah Vanessa. Langsung tergantikan oleh raut geli yang tak mampu ia tahan. Ia terkekeh.

"Kamu mau tau gimana wajah kamu tadi? Keliatan udah pucat. Hehehehe."

"Tuh kan. Kamu emang sengaja banget. Wah! Bener-bener ya."

"Bener-bener apa?"

"Bener-bener cinta aku."

Kekehan Vanessa menyembur lagi. Bagaimana tidak? Karena ketika Ryan menukas hal itu, matanya tampak mendelik seketika. Yang bukannya buat Vanessa takut, namun justru sebaliknya. Membuat ia merasa lucu. Hihihihi.

"Jadi, kalau emang cinta aku, lepasin ... ah!"

Vanessa menggeliat. Melepaskan diri dari Ryan yang tanpa sadar merengkuhnya dari tadi. Lalu matanya melirik ke mana-mana.

"Ntar diliatin Mama sama Papa lagi."

Yang dikatakan Vanessa benar. Maka Ryan pun menarik diri. Menciptakan jarak yang lumayan aman untuk keduanya.

"Aku mau nyuci piring loh," lanjut Vanessa kemudian. "Timbang kamu di sini ngeliatin aku, mending kamu pergi ke luar."

"Ke luar?"

Vanessa mengangguk. "Tadi katanya kamu nyari martabak."

"Oh, martabak. Iya iya. Martabak."

"Inget. Rasa kacang dan ketan."

Sesuatu terasa aneh bagi Ryan. "Ini sebenarnya kesukaan mertua atau kamu sih, Sa?"

Dan Vanessa tidak menjawab pertanyaan itu, melainkan tertawa seraya menyalakan kran air.

"Ah, sampe lupa. Kamu kalau mau nyari martabak, keluar dari gang, kamu belok kiri deh. Nggak jauh ada kang martabak. Rasanya enak. Dijamin."

Ryan geleng-geleng kepala. "Aku yakin. Ini mah bukannya kesukaan mertua. Tapi, kesukaan kamu."

Tidak menampik hal tersebut, kekehan Vanessa perlahan menghilang ketika mendapati Ryan yang melabuhkan satu kecupan di kepalanya. Sekilas. Tepat sebelum pada akhirnya cowok itu berpamitan padanya.

"Dah, aku pergi dulu."

Vanessa mengangguk. "Hati-hati."

Sejenak, Vanessa tidak langsung meneruskan pekerjaannya yang tertunda. Alih-alih, ia mengekori kepergian Ryan dengan tatapan matanya. Dan ketika sosok Ryan menghilang dari retinanya, maka di saat itulah Vanessa mulai mencuci piring.

Tidak hanya sekadar mencuci piring, setelahnya Vanessa pun mengerjakan hal lainnya. Merapikan meja makan hingga menyapu dapur. Sesuatu yang sebenarnya menjadi rutinitas kesehariannya tatkala ia masih tinggal bersama dengan orang tuanya. Dan walau tadi Ilana sudah melarang ia untuk mengerjakannya, tetap saja. Kebiasaan adalah hal yang sulit untuk diubah.

Entah sudah berapa lama, Vanessa tidak tau dengan pasti. Hanya saja kemudian terdengar suara derap langkah yang halus. Ia menoleh dan mendapati Ilana yang masuk seraya menenteng satu kantung plastik bewarna hitam.

"Ryan beli martabak loh."

Vanessa tersenyum lebar. Mengambil alih kantung plastik itu demi menyajikan isinya di satu piring.

"Terus dia di mana sekarang, Ma?"

"Di depan," jawab Ilana. "Papa mau ngajak dia main catur. Makanya itu, sekalian kamu buatin teh deh. Antar ke depan. Terus kita nonton sinetron. Mama udah lama nggak ada teman nonton."

"Hahahaha. Iya iya. Bentar, Ma."

Maka dengan cekatan Vanessa melakukan apa yang Ilana suruh. Membuat teh yang tidak hanya diperuntukkan bagi Ryan dan Herman saja. Alih-alih juga untuk ia dan Ilana.

Menaruh dua cangkir teh dan satu piring martabak di nampan, Vanessa lantas beranjak ke teras rumah. Demi mendapati dua pria berbeda usia itu tampak tertawa di sela-sela keseriusan mereka bermain.

"Aku nggak tau kalau kamu bisa main catur, Yan."

Vanessa berkomentar seraya menarik satu kursi yang bebas untuk menaruh nampan, mengingat meja di sana sudah dipergunakan untuk tempat papan catur.

Ryan tidak mengalihkan matanya dari papan permainan. Tapi, ia tetap membalas perkataan Vanessa.

"Ya kamu nggak nanya sih. Lagian ya ... masa kamu nggak ngeliat sih dari sikap aku sehari-hari? Ehm ... cowok yang bisa main catur itu biasanya bijaksana. Kayak aku."

Jangankan Vanessa, Herman pun tertawa mendengar perkataan Ryan. Hingga cowok itu mengangkat wajah. Seringai geli terpampang di wajahnya.

"Iya kan, Pa?"

Herman mengangguk berulang kali. "Pasti itu. Karena kita dituntut untuk tetap tenang dan cerdas saat main catur."

Begitulah, pada akhirnya, walau tanpa ada komando, sepertinya di rumah Vanessa terbagi menjadi dua kubu malam itu. Ada kubu pria yang bermain catur di teras dan ada kubu wanita yang menonton sinetron di dalam. Menikmati keseruan masing-masing. Seolah tak peduli bagaimana jarum jam yang terus saja bergerak. Berputar pada porosnya. Mengantarkan mereka dalam malam yang kian melarut.

Kala itu, entah sudah berapa kali sesi permainan yang dilakukan oleh Ryan dan Herman. Nyatanya mereka memutuskan untuk berhenti lantaran hujan yang mendadak saja turun.

"Besok kita sambung lagi, Yan. Sekarang kayaknya udah waktunya kita istirahat."

Ketika Ryan dan Herman masuk, mereka mendapati televisi yang sudah padam. Tak perlu ditanyakan, keduanya tau bahwa Vanessa dan Ilana pasti sudah tidur. Dan itulah yang didapatkan oleh Ryan. Tatkala ia masuk ke kamar Vanessa, cewek itu sudah bergelung di atas tempat tidur.

Perlahan, berusaha agar tidak menimbulkan satu suara pun yang bisa mengusik nyenyak tidur Vanessa, Ryan memadamkan lampu. Lalu beranjak menyelinap di sisi Vanessa. Menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka berdua dan berbaring. Tepat setelah terlebih dahulu mengecup dahi cewek itu.

Dan ketika Ryan akan menutup matanya, ia mendapati bagaimana Vanessa yang menggeliat. Mengganti posisinya. Demi bisa memeluk dirinya.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro