Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. Bentuk Kebiasaan

"Sebenarnya sih Pak Zidan itu baik. Ya ... walau dulu pernah buat aku nyaris beneran gila gara-gara disuruh jadi asisten dia untuk lima kelas praktikum. Argh! Ngebayanginnya aja udah buat aku merinding atas bawah. Apalagi dulu pas ngejalaninnya. Persis kayak mayat hidup aku, Sa. Kamu bayangin lima kelas praktikum Rancangan Percobaan? Otak aku kayak disuruh ngitung terus."

Vanessa manggut-manggut seraya memainkan helaian-helaian rambut Ryan. Terasa halus di tangannya. "Aaah .... Jadi gitu ceritanya?"

"Ya gitu. Bahkan gara-gara itu, makanya aku sama teman-teman dijuluki tangan kanan Pak Zidan. Dan ini, semisalnya aja aku lagi nggak ngerjain skripsi, aku jamin deh. Pasti aku disuruh dia bantu-bantu praktikum Rancangan Percobaan lagi. Hiks. Mana aku nggak tambah gila, Sa? Otak aku disuruh mikir terus."

"Hahahaha. Jadi, kamu gila ini gara-gara Rancangan Percobaan ya?"

Ryan mengangguk. "Ya iyalah. Kamu bayangin aja deh, Sa, gimana aku nggak gila. Rancangan Percobaan itu, satu angka aja yang kita salah input, otomatis aja hasilnya nggak ada yang bener. Hiks. Beruntung aku nggak botak gara-gara jadi tangan kanan Pak Zidan."

"Ehm ...."

Mendehem, Vanessa terlihat manggut-manggut mendengar perkataan Ryan yang terkesan panjang lebar itu. Tanpa memberikan satu komentar apa pun sehingga membuat Ryan terusik. Hingga membuat ia yang saat itu sedang berbaring di atas paha Vanessa menggeliat sedikit.

"Cuma ehm doang?"

Vanessa menunduk dan memperlihatkan ekspresi cemberut di wajahnya. Mengernyitkan hidung dan berkata. "Iya, cuma ehm doang. Soalnya aku kecewa sama kamu."

"Kecewa apaan?" tanya Ryan tidak mengerti. "Gara-gara aku jadi tangan kanan Pak Zidan, bukannya tangan kanan kamu gitu?" Secercah seringai geli penuh aura sok percaya diri terbit di wajah Ryan. "Ya salah sendiri kenapa kamu baru ngajar coba."

Mengerucutkan bibirnya, Vanessa menggeleng. "Bukan itu," katanya seraya membuang napas panjang.

Maka langsung saja seringai geli Ryan menghilang. Tergantikan oleh kerutan yang memenuhi dahinya. Mendapati bagaimana dalam hitungan detik yang teramat cepat, Vanessa tampak manyun. Beda sekali dengan ekspresi wajahnya tadi, ketika mereka memutuskan untuk bercengkerama di ruang menonton walau tanpa menyalakan televisi. Karena alih-alih menikmati tayangan elektronik itu, mereka justru memutuskan untuk bersantai saja. Dengan Vanessa yang duduk sementara Ryan membaringkan tubuhnya, berbantalkan paha cewek itu.

"Perasaan aku dulu ada yang nomong kalau dia itu gilanya gara-gara aku. Sampe tergila-gila gitu. Eh ... ternyata nggak."

Ryan tertawa. Langsung saja mengangkat tangannya demi menarik hidung Vanessa hingga cewek itu pun tersenyum lebar, walau sedikit mengaduh.

"Aku pikir apaan. Ternyata ... ehm ...."

"Ternyata apaan?"

"Ternyata kamu udah ketularan gila aku."

Kali ini bukan hanya Ryan yang tertawa, melainkan juga Vanessa. Bahkan lebih dari itu, bermaksud untuk membalas, maka ia pun melakukan hal yang sama seperti yang baru saja Ryan lakukan padanya. Yaitu menarik hidungnya.

Ketika itu, Ryan menangkap tangan Vanessa. Melabuhkan senyumannya yang lebar di buku-buku jari cewek itu. Lantas, ia bertanya.

"Jum'at ini mau balik ke rumah kamu?"

Mata Vanessa mengerjap sekali. "Ke rumah Mama?"

"Iya," angguk Ryan. "Kapan hari kan katanya kamu mau balik ke rumah Mama sih. Ya kalau mau ... Jum'at besok aja. Gimana?"

Vanessa ingat itu. Beberapa hari yang lalu ia memang pernah mengatakan ingin pulang ke rumah orang tuanya. Tapi, itu kan lantaran dirinya yang ingin melarikan diri dari Ryan karena perkara cemburu dengan Ersya. Hihihihi.

"Ya ... sebenarnya aku tau kok," lirih Ryan seraya menarik napas. "Kan yang tempo hari itu kamu mau balik ke rumah Mama gara-gara mau ngindarin aku. Hahahaha. Gara-gara malu. Malu gara-gara cemburu."

Mata Vanessa membesar. "Ryan."

Ryan mengabaikan delikan itu. "Tapi, kan aku udah janji sih mau ngajak kamu balik. Sekalian kita ngeliat Mama dan Papa kamu. Mereka pasti kangen sama kamu."

Ada kebenaran di perkataan Ryan, tentu saja. Karena mau bagaimanapun juga, entah anak sudah berkeluarga atau tidak, orang tua tetap adalah orang tua. Yang pasti sekali merasa rindu bila tidak bertemu. Maka sudah sewajarnya bila tawaran itu disambut anggukan oleh Vanessa.

*

Vanessa sengaja pulang lebih cepat di hari Jum'at itu. Setelah memberikan kelas pribadi pada Ersya di ruangannya –hiks, ia pun meninggalkan kampus sekitar jam dua siang. Dengan memanfaatkan jasa taksi daring, tak butuh waktu lama bagi cewek itu untuk kemudian sudah melintas di jalanan.

[ Ryancur ]

[ Yan .... ]

[ Aku udah di jalan balik. ]

Mengabari Ryan bahwa dirinya sudah pulang dari kampus, Vanessa pun mengirimkan pesan pada cowok itu. Dan tak butuh waktu lama, pesannya mendapatkan balasan.

[ Ryancur ]

[ Oke .... ]

[ Hati-hati di jalan, Dinda. ]

[ Kanda masih di sini, untuk menunggu. ]

Memang bukan Ryan namanya kalau tidak membuat Vanessa mengulum senyum bahkan hanya dengan pesan yang ia kirimkan. Cowok itu selalu saja memiliki ide. Terutama kalau soal memplesetkan lirik lagu. Hihihihi.

Ketika Vanessa tiba di unit, ia mendapati Ryan yang sudah menyiapkan pakaian miliknya sendiri. Di dalam satu tas ransel yang sering ia bawa ke kampus. Sementara Vanessa? Ya tentu tidak perlu.

"Mau pergi jam berapa, Yan?" tanya Vanessa seraya menaruh tas kerjanya di atas meja. "Hari Jum'at tuh pasti rame loh jalanan."

Itu pasti. Karena biasanya di jam pulang kerja hari Jum'at, orang-orang biasanya akan langsung bersiap untuk menyambut akhir pekan. Jalanan akan menjadi lebih padat dari biasanya.

Menutup laptopnya –Ryan seharian ini fokus dengan persiapan seminar hasilnya loh, cowok itu lantas bangkit. Hanya untuk merengkuh santai tubuh Vanessa dan menuruti dorongan untuk mengecup singkat dahinya.

"Kita siap-siap sekarang aja?" tanya Ryan. "Gimana?"

Vanessa mengangkat wajahnya. Tersenyum dan lantas mengangguk. "Kayaknya ide bagus."

"Ya ... walau nggak bagus-bagus amat sih."

"Kenapa?"

"Soalnya kalau kita pergi sekarang, kayaknya kita nggak bisa beli martabak deh buat Mama dan Papa kamu. Kang martabak yang enak-enak biasanya buka gerobak kalau udah malam sih."

"Martabak?"

Ryan menyeringai geli. "Kamu nggak tau? Biasanya cowok selalu bawa martabak untuk dikasih ke orang tua ceweknya."

Tangan Vanessa naik, mendarat di dada Ryan. Bertahan di sana dan tawanya menyembur. "Hahahaha."

"Sementara aku, Sa," lanjut Ryan lagi. "Udah berstatus jadi menantu aja belum pernah bawain orang tua kamu martabak. Sekali pun nggak pernah coba. Ck. Apa ntar aku nggak dipecat jadi mantu?"

"Nggak," geleng Vanessa. "Nggak bakal dipecat kok. Paling dikasih SP 1 aja. Hehehehe."

"Ah .... Dapat surat peringatan dulu ya? Kalau udah tiga kali, baru dipecat?"

Kali ini Vanessa mengangguk seraya tertawa. "Udah ah. Kamu ini beneran deh. Kalaupun ntar kita datang nggak bisa bawa martabak, kan malamnya kamu bisa keluar bentar. Hahahaha."

Ryan menjawab dengan mantap. "Siap laksanakan, Nyonya."

Selesai dengan bahasan martabak dan kaitannya dengan tradisi cowok ketika mendatangi rumah pasangannya, Ryan dan Vanessa lantas bersiap. Memastikan bahwa keadaan unit mereka aman –dari gas, air, hingga ke pintu balkon. Dan kemudian barulah mereka beranjak dari sana.

Rasa-rasanya sih ini seperti mereka yang sedang mudik di hari raya besar keagamaan. Sensasinya itu loh yang membuat mereka tertawa geli di sepanjang perjalanan.

"Ini yang kurang cuma kue kering dan ketupat untuk mertua, Sa. Beuh! Kalau kita bawa gituan, dijamin kayak kita yang lagi mudik. Hahahaha."

Sambil mengatakan itu ketika perjalanan mereka harus terjeda oleh lampu lalu lintas yang berubah merah, Ryan dengan begitu sengaja memainkan sepuluh jari tangannya di masing-masing lutut Vanessa. Hingga cewek itu semakin tertawa, antara geli karena perkataan Ryan atau justru karena sentuhannya.

"Kamu ini emang kalau soal makanan lancar banget ya. Tadi aja ngomongin martabak, eh ... sekarang malah ngomongin soal kue kering dan ketupat. Ntar kalau udah di rumah, bakal ngomongin apa lagi coba?"

Ryan tertawa. Melihat melalui pantulan kaca spion. Pada Vanessa yang tampak mendaratkan wajahnya di atas pundak Ryan, sementara kedua tangannya melingkar di seputaran perutnya.

Dulu ... bermimpi kalau Vanessa akan bersikap seperti itu saja tidak berani dilakukan oleh Ryan. Bahkan kalau mau menambahkan efek dramatis, ia tidak mendapatkan cubitan selama mereka sedang di atas motor saja merupakan satu prestasi. Apalagi ini? Sungguh. Ryan tidak pernah mengira.

"Soalnya bukan apa sih," kata Ryan seraya menarik napas dalam-dalam. "Seumur hidup aku belum pernah datang ke rumah orang tua cewek. Ehm ... apalagi ke rumah mertua kayak gini."

Vanessa mengulum senyum. Entah mengapa perasaannya jadi sedikit berbeda kali ini. Mungkin karena Ryan berulang kali menyebut kata 'mertua'? Ehm ... bisa jadi.

"Eh, tapi ngomong-ngomong ...." Ryan terpikir sesuatu. Hal yang belum sempat ia tanyakan hingga menimbulkan rasa penasarannya. "Kamu ngomong ke orang tua kamu kalau kita mau datang?"

Dan Ryan bisa mendapati ada yang aneh di sorot mata Vanessa. Hingga kemudian cewek itu memberikan jawabannya dalam bentuk satu gelengan.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro