Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26. Satu Penyebab

Tuh kan. Sekarang Vanessa merasa tubuhnya benar-benar letih tak berdaya. Semua tulang belulangnya terasa copot dari sendinya. Ototnya seperti melemah seketika. Ehm .... Tapi, ia tetap tidak bisa menyingkirkan senyum yang merekah di wajahnya.

Rasanya memang capek. Bahkan sebenarnya ketika ia belum menerima permintaan Ryan saja ia sudah capek. Tapi, hatinya tidak tega menolak keinginan cowok itu. Dan sekarang, walau ia merasa capek berkali-kali lipat dari semula, nyatanya ia merasakan kebahagiaan di dalam dadanya. Hingga ketika pada akhirnya ia mulai memejamkan mata dan pasrah tenggelam di pelukan Ryan, Vanessa tau sesuatu. Bahwa rasa capek terkadang bisa menjadi hal yang sangat menyenangkan.

Di keesokan harinya, Vanessa dan Ryan segera bergegas meninggalkan depot ketika matahari belum keluar dari balik tirainya. Terlalu pagi memang. Tapi, Ryan tidak ingin mengambil risiko kalau Anton atau Sahrul datang cepat lantaran saat itu hari Minggu.

Dan ketika tiba di unit, Vanessa yang menguap langsung menuju ke kamar. Demi membersihkan diri. Berganti pakaian. Untuk kemudian ia mengingatkan Ryan.

"Jangan lupa janji kamu loh. Sekarang ... aku mau tidur dulu."

Ryan menyeringai geli. Tidak mendebat hal itu sedikit pun. Alih-alih, ia justru mencubit kecil ujung hidung Vanessa dan berkata.

"Tidur gih. Ntar kamu bangun, semuanya udah beres."

Maka tentu saja dengan senang hati Vanessa langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Mencari posisi yang nyaman dengan bantal yang empuk itu. Lalu perlahan memejamkan matanya. Menikmati tidurnya sementara Ryan mulai beraktivitas.

Sebenarnya sih tidak terlalu banyak yang harus Ryan lakukan di pagi Minggu yang cerah itu. Tiap hari Vanessa biasanya selalu membersihkan rumah sebelum pergi ke kampus. Jadi, kalaupun ada yang terlewat ... ya itu tidak terlalu banyak juga.

Ryan membersihkan debu di lantai, di kaca jendela, atau di perabotan. Tak lupa mengepel lantainya dengan cairan pembersih dan pengharum. Untuk kemudian lanjut ke pekerjaan lainnya.

Mengingat Vanessa dan Ryan tergolong ke dalam pasangan suami istri yang sama-sama memiliki aktivitas padat, keduanya memang setuju untuk menyerahkan soal pakaian kepada tenaga ahlinya. Alias ke jasa penatu yang tersedia di gedung apartemen. Maka itulah pekerjaan Ryan selanjutnya. Yaitu mengantarkan pakaian kotor mereka ke jasa penatu. Hihihihi.

"Sekarang ... tinggal berurusan dengan pakaian dalam aja."

Ryan tergelak.

Dulu ya dulu.

Ngeliat bra Vanessa di lemari aja aku udah kayak ketiban rezeki dari langit.

Sekarang coba ....

Bukan cuma sekadar ngeliat doang, dengan penuh kehormatan malah aku yang nyuciin bra dia.

Hahahaha.

Dan kala itu, ketika ia terkikik geli lantaran membilas bra Vanessa dengan penuh kehati-hatian, sontak saja satu pertanyaan aneh bin ajaib melintas di benaknya.

Eh?

Apa Vanessa juga sering ketawa kalau lagi nyuci celana dalam aku?

Ryan terdiam. Merenung. Mengingat bagaimana Vanessa yang merasa geli lantaran ada yang mengembang di bagian depannya. Seketika tawa Ryan menyembur kembali. Dan tentu saja, kesimpulan itu menjadi hal yang tak terbantahkan.

Fix!

Dia pasti sering ngetawain celana dalam aku juga.

Hahahahaha.

Selesai menuntaskan cucian pakaian dalam dan menjemurnya di balkon, Ryan pun duduk di ruang menonton. Dengan ponsel yang menampilkan satu aplikasi yang sedang ia buka. Santai, ibu jarinya menggulir layar sentuh itu seraya menggumam.

"Ehm .... Enaknya beli makan apa ya? Biar Dinda cepat segar lagi."

Ah, tentu saja. Untuk soal kesegaran, maka apalagi yang bisa mengalahkan pesona semangkuk bakso dan es campur?

Perpaduan antara pentol daging yang nikmat dengan kuahnya pedas, lalu diikuti oleh rasa segar nan manis es campur. Itu menjadi sajian yang tidak akan mampu ditolak oleh siapa pun juga di muka bumi ini. Termasuk di dalamnya adalah Vanessa. Yang ketika ia bangun, terdorong oleh rasa haus membuat ia ke dapur. Hanya untuk mendapati perutnya yang keroncongan lantaran aroma wangi itu menguar di udara.

Oh, Tuhan.

Ngeliat rumah rapi.

Terus pas bangun udah ada makanan yang tersaji.

Fix mah.

Tiap malam Ryan minta juga kayaknya nggak rugi.

Ups!

Hihihihihi.

*

"Oke. Praktikum hari ini cukup sampai di sini. Kita akan bertemu minggu depan. Terima kasih dan selamat siang."

"Selamat siang, Bu."

Vanessa sudah menutup kelas praktikumnya di Senin siang itu. Sekitar sepuluh menit sebelum jam menunjukkan jam dua. Setidaknya itu cukup memberikan waktu bagi dirinya untuk makan siang dan beristirahat sejenak sebelum lanjut mengerjakan pekerjaannya yang lain.

Namun, sebelum Vanessa benar-benar keluar dari ruang praktikum, cewek itu terdengar kembali bersuara.

"Ryan dan Abid, tolong ke ruangan saya."

Selesai mengatakan itu, barulah Vanessa keluar. Dengan diikuti oleh Farrel di belakangnya yang membawa setumpuk laporan hasil praktikum para praktikan. Sementara itu, di tempatnya duduk, Abid tampak merapikan peralatan belajarnya seraya mengerutkan dahi.

"Yan, kira-kira kenapa ya Bu Vanessa manggil kita?" tanya Abid seraya menarik ritsleting tas ranselnya. Lalu menoleh seraya melanjutkan pertanyaannya. "Apa so---"

Pertanyaan Abid berhenti di tengah jalan. Melongo, ia sontak kebingungan melihat bahwa tidak ada Ryan di sebelahnya!

"Eh?"

Abid mengucek-ucek matanya. Kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan praktikum. Bingung.

"Ke mana Ryan? Perasaan dia tadi ada di sebelah aku."

Entah siapa namanya, karena pada dasarnya tidak semua senior hapal dengan nama juniornya. Tapi, yang pasti adalah seorang junior menjawab pertanyaan Abid.

"Udah keluar, Kak. Kayaknya buru-buru gitu."

What?!

Abid memejamkan mata dengan dramatis lalu merutuki dirinya sendiri. Dengan aneka kata tolol, bodoh, dodol, atau segala macam yang lainnya.

Bu Vanessa loh tadi nyuruh ke ruangan dia.

Ya otomatis aja itu anak gila langsung ngacir.

Maka kemudian mata Abid membuka. Tersenyum dan mengangguk kaku pada juniornya yang sudah menjawab.

"Makasih."

Lantas Abid meremas tas ranselnya. Menggeram seraya bangkit dari duduknya. Keluar dari sana dengan gerutuan.

Kenapa aku harus heran sih?

Kenapa aku harus nanya dia ke mana?

Karena udah pasti bangetlah dia langsung ke ruangan Bu Vanessa.

Dan memang hal itulah yang terjadi. Ketika Abid tiba di depan pintu ruangan Vanessa, mengulurkan tangan demi memberikan satu ketukan permisi, ia sudah mendapati Ryan duduk di sofa dengan rapi. Lalu, Ryan mengangkat satu tangannya. Melambai.

"Sini, Bid, sini."

Abid melongo. Nyaris ia yang seperti melihat ada sapi terbang di depan matanya. Begitu tidak percaya melihat bagaimana entengnya Ryan di sana. Mengajaknya duduk seolah-olah ialah pemilik ruangan itu.

Ya Tuhan.

Tolong tambahkan kriteria tidak tau malu sebagai isi di CV Ryan ntar.

Menebalkan muka, Abid pun langsung masuk dan duduk. Tidak bisa menyapa Vanessa terlebih dahulu. Lantaran sang dosen yang sedang berbicara dengan asisten praktikumnya.

Duduk, Abid langsung mendelik pada Ryan. Mendesis. "Kamu beneran gesit ya kalau itu berkaitan dengan Bu Vanessa. Sampe ninggalin aku nggak pake ngomong-ngomong lagi."

"Ih, ngapain juga aku pake ngomong-ngomong ke kamu," balas Ryan dengan suara lirih. "Pamitan gitu? Ckckck. Kamu bukan orang tua aku kali, Bid."

Ya Tuhan.

Sabar, Bid, sabar.

Orang sabar disayang pacar.

Namun, satu kenyataan itu menampar Abid.

Gimana mau disayang pacar kalau akunya aja jomlo?

Argh!

Berkat temenan sama Ryan, alhasil nggak ada cewek yang mau sama aku.

Asem!

Abid terkekeh aneh dengan mata yang masih membesar. "Walau aku bukan orang tua kamu, Yan, tapi aku jamin laporan aku ke Tante bisa buat Eyang nyari dukun buat jompa-jampi kamu. Udah kelewatan kamu gilanya."

"Ha ha ha ha. Coba aja bilangin," tantang Ryan. "Yang ada malah kamu yang dijompa-jampi."

Tak percaya Ryan dengan begitu entengnya membalas perkataannya, Abid kembali ingin bersuara. Namun, di saat yang tepat Farrel justru mengucapkan permisi pada dirinya dan Ryan. Setelah terlebih dahulu mengatakan hal yang serupa pada Vanessa. Untuk kemudian cowok yang sedang kuliah di tahun ketiganya itu, keluar.

Vanessa berpaling pada Ryan dan Abid. Tersenyum dengan ramah pada keduanya seraya bangkit dari duduknya. Berjalan menghampiri mereka dan memilih duduk di satu sofa yang terpisah.

"Ada yang mau saya diskusikan sama kalian," kata Vanessa kemudian. "Kalian nggak ada jam kan siang ini?"

Membiarkan Abid untuk menjawab pertanyaan itu, Ryan justru berkata di dalam hati.

Ah, Dinda gitu mah.

Padahal kan dia tau jadwal aku.

Hihihihi.

"Nggak ada, Bu."

Vanessa mengangguk mendengar jawaban Abid. "Berarti kalian bisa bantu saya kan? Soal proposal PKM kemaren. Atau kalian mau makan siang dulu? Kalau iya, nggak apa-apa sih. Saya juga rencananya mau makan dulu."

"Oh, baik, Bu," jawab Abid lagi. "Kami permisi makan dulu, ntar baru ke sini lagi."

Dan tepat setelah mengatakan itu, sesuatu langsung melintas di benak Abid dengan teramat cepatnya.

Buruan tarik Ryan, Bid!

Sebelum dia gila dan malah ngajak Bu Vanessa buat makan bareng!

Maka Abid langsung meraih tangan Ryan, menggenggamnya dengan erat. Lantas berdiri hingga mau tak mau Ryan turut pula. Cowok berambut pirang itu melotot pada Abid. Sementara ia yang langsung berkata.

"Permisi, Bu."

Ryan mendelik. "Bi-Bi-Bid---"

Namun, Abid benar-benar menarik Ryan hingga Vanessa melongo bingung di tempatnya duduk. Hingga nyaris terlambat untuk dirinya memberikan anggukannya.

"Ah, i-i-iya."

Di luar, Abid tidak melepaskan Ryan walau cowok itu sudah meronta sejadi-jadinya. Pokoknya sebelum mereka sudah dalam jarak yang aman dengan ruangan Vanessa, Abid akan tetap mempertahankan Ryan. Tidak akan membiarkan cowok itu lepas kendali bak banteng yang melihat kain bewarna merah.

"Ih, kamu apaan?!"

Pada akhirnya, Abid melepaskan Ryan. Persis ketika mereka sudah di ujung lorong. Dan ia langsung buru-buru menarik napas dalam-dalam.

"Aku apaan?" tanya Abid dengan mendengkus. "Aku cuma mau ngindarin Bu Vanessa dari masalah."

Ryan merapikan lengan kemejanya yang jadi kusut lantaran perlakuan Abid. "Masalah apaan?"

"Masalah kalau-kalau kamu dengan nggak tau malunya malah ngajak beliau makan siang bareng."

"Wah!" kesiap Ryan dengan mata membesar. Ia lantas menepuk bahu Abid sekali. "Kamu emang temen aku, Bid. Bahkan isi kepala aku aja kamu udah tau."

"Ya Tuhan ...."

Abid melirih ngeri. Langsung buru-buru kembali menahan tangan Ryan ketika cowok itu menunjukkan tanda-tanda akan kembali ke ruangan Vanessa. Alih-alih menuruni tangga dan menuju ke parkiran motor. Dan di saat itu, mata Abid menangkap satu sosok.

"Yan," desis Abid. "Ada Pak Nathan. Pasti mau ke ruangan Bu Vanessa."

Kaki Ryan yang siap akan melangkah, sontak berhenti. Refleks melihat Nathan yang menaiki anak tangga terakhir dan melangkah di lantai yang sama dengan yang mereka pijak saat ini.

Nathan berjalan. Melihat pada Abid dan Ryan. Dan mengangguk singkat ketika Abid menyapa dirinya. Lalu ia beralih pada Ryan. Mungkin menunggu sapaan yang serupa atau sekadar senyum. Yang pasti, pada saat itu Ryan justru tertegun. Lantaran suara Vanessa yang mendadak saja muncul, menggema di benaknya.

"Ehm ... itu. Ya kadang emang sih dia datang cuma basa-basi gitu. Kadang ngajak makan siang .... Kadang ngajak balik bareng."

Karena ketika pada akhirnya Nathan memutuskan untuk beranjak dari sana, Ryan langsung memutar tubuh. Dan melihat dengan jelas bagaimana Nathan yang menghampiri ruangan Vanessa.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro