25. Rintik Mengundang
Ini mengingatkan Ryan akan adegan FTV yang sering ditonton oleh Lastri di waktu luangnya. Ketika pemeran utama wanita keluar dari balik pintu dan pemeran utama pria seketika menjadi terpana. Saking terpesonanya dengan semua kharisma yang dimiliki olehnya.
Sejujurnya, Ryan tau bahwa memang penampilan Vanessa malam itu jauh dari kata rapi dan elegan menurut standar kecantikan ala putri-putri kontestan. Tapi, tetap saja. Ia dibuat terperangah karenanya.
Berdiri di depan pintu, Vanessa membiarkan rambut panjangnya yang lurus bewarna hitam untuk terurai lepas. Sebagian tampak jatuh ke depan dadanya. Dengan sweater yang kebesaran, cewek itu memberikan kesan polos yang tak akan mampu Ryan tolak. Dan mungkin karena efek mandi setelah seharian bekerja, ia mendapati bagaimana wajah cantik itu tampak merona.
Ya Tuhan!
Jantung Ryan seraya tidak berdetak lagi saat itu. Nyaris semua sel di dalam tubuhnya tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya. Karena ketika itu, semuanya dengan kompak menyerukan satu kesimpulan mutlak.
Vanessa seksi banget.
Terutama ketika selanjutnya mata Ryan menyadari bahwa ada sesuatu yang Vanessa pegang di jari tangannya. Yaitu celana dalam boksernya. Yang kemudian langsung melayang mendarat di lantai kamar ketika Vanessa melempar benda itu ke belakang tubuhnya dengan begitu santai.
Tak cukup membuat Ryan melongo dengan penampilan yang seksi dan adegan pelemparan celana dalam bokser itu, Vanessa pun melakukan hal lainnya. Yang seketika membuat Ryan mengap-mengap. Persis seperti ikan yang terdampar di daratan. Yaitu ketika Vanessa mengangkat sedikit sweater yang ia kenakan demi menunjukkan bahwa di dalam sana ia memang hanya mengenakan celana dalamnya yang minim itu.
Glek.
Jakun Ryan naik turun. Seraya dengan menggemanya suara itu di benaknya.
Aku mana tahan, Tuhan.
Dan seolah ingin membuktikan perkataan itu, sontak saja Ryan seperti kehilangan tenaganya. Hingga otot di tangannya seperti tidak berfungsi lagi. Menyebabkan pegangannya di panci magic com lepas. Membiarkan benda itu melayang dan mendarat tepat di atas ibu jari kakinya!
"Awww!"
Mendengar jeritan Ryan, refleks Vanessa langsung menghambur. Menghampiri cowok itu yang tampak mengaduh-aduh seraya memegang ibu jari kakinya yang kejatuhan panci magic com. Vanessa dengan gesit mengambil benda itu dan berkata dengan lega.
"Ya ampun. Syukur deh nasinya nggak tumpah."
Eh?
Hilang sudah semua bayangan pesona Vanessa di benak Ryan. Tergantikan oleh ekspresi syok lantaran mendengar apa yang lebih dipedulikan cewek itu sekarang.
Menahan rasa sakit, Ryan bertanya dengan meringis. "Kamu lebih khawatir sama itu nasi ketimbang jempol kaki aku, Sa?"
Vanessa mengambil alih serbet dan menyisihkan panci magic com itu ke tempat yang lebih aman. Dengan wajah yang polos, ia mengangguk.
"Soalnya aku udah laper."
"Wah!"
Ryan mengangkat kakinya, menunjukkannya pada Vanessa. "Jempol aku bengkak, Sa. Ya kali kamu lebih mikirin nasi ketimbang suami kamu."
"Hehehehehe."
Vanessa terkekeh. Melihat pada ibu jari kaki Ryan dan mendapati kebenaran perkataan cowok itu. Tampak sedikit bengkak di sana, dengan warna merah yang menyertainya. Dan Vanessa mencibir.
"Ini tuh balasan dari Tuhan. Gara-gara kamu ngerjain aku pake celana dalam bokser kamu itu."
Sudut bibir Ryan geli. Tapi, ia berusaha untuk tidak tertawa. Karena sungguh. Mengingat hal itu ternyata adalah obat yang mujarab untuk membuat ia lupa dengan rasa sakit di ibu jari kakinya. Hihihihihi.
Ryan menurunkan kakinya. "Lagian kamu sih, Sa. Tau aku udah gila kayak gini, eh ... pake acara pamer lagi. Masuk akal? Pamer nggak pake apa-apa? Sistem kerja otak dan tubuh aku jadi berantakan."
Seketika saja pipi Vanessa memerah. "Aku bukannya pamer. Tapi, aku tuh cuma ngasih tau aja sama kamu."
"Ckckckck. Pamer dan ngasih tau itu sama aja maksudnya."
"Beda."
"Sama."
"Beda."
"Sama."
Dan tidak membiarkan Vanessa mampu membalas lagi perkataannya, Ryan mengangkat tangannya. Membiarkan satu jari tangannya menahan bibir cewek itu dan ia berkata.
"Yang ngeliat itu aku, Sa. Jadi aku nganggapnya sama. Kamu itu ya, Dinda, kalau mau godain aku liat-liat situasi dan kondisi coba. Kita ini mau makan."
Vanessa menarik turun jari Ryan dari bibirnya. "Aku bukannya godain kamu. Aku cuma mau ngasih tau."
"Ngasih tau pake acara atraksi lemper celana dalam aku?" tanya Ryan takjub. "Wah! Itu bukannya kode kamu biar aku lepasin juga celana dalam aku?"
"Dasar omes," tukas Vanessa. "Dibilangin juga. Aku tuh cuma ngerasa lega aja karena nggak geli lagi."
Ryan frustrasi. "Ya salam. Iya kamu yang nggak geli lagi, Sa. Tapi, gantinya aku yang geli-geli!"
"Eh?
"Ka-ka-kamu ...." Ryan meneguk ludah. "Di luar hujan loh." Berusaha untuk tetap bernapas ketika ia mencoba untuk bicara. "A-apa kita selimutan aja di kamar? Nggak usah makan?"
Cepat sekali Vanessa lalu mengambil kembali panci magic com. Matanya melotot. Mengancam.
"Mau kepala kamu yang ketiban ini selanjutnya?"
Ryan cemberut. Manyun. Bibirnya tampak maju lima sentimeter. Memilih mengalah ketimbang dahinya benjol lagi seperti kejadian yang dulu itu. Hihihihi.
*
"Katanya tadi mau tidur loh, Yan. Ya udah sih, tidur. Ehm ...."
Menggeliat, Vanessa berusaha melepaskan diri dari rengkuhan yang Ryan lakukan di belakangnya. Namun, baru sedikit mereka berjarak, Vanessa langsung merasakan bahwa punggungnya kembali menempel tanpa celah dengan dada Ryan. Diikuti oleh endusan yang hidung Ryan lakukan di antara helaian-helaian rambut Vanessa.
"Kamu capek nggak?"
Mata Vanessa yang sudah tidur-tidur ayam, seketika membuka. Diikuti oleh tubuhnya yang segera menegang.
"Kamu mau ngapain?"
Suara Vanessa terdengar penuh antisipasi. Pun dengan tangannya yang langsung menahan tangan Ryan di perutnya. Jelas, pikirannya mulai meraba ke mana arah pembicaraan mereka akan bermuara.
"Ehm ...." Ryan masih mengendus-endus aroma rambut Vanessa yang wangi. "Nggak mau ngapa-ngapain sih. Cuma mau tau aja. Jadi, capek atau nggak?"
Alarm peringatan menyala di benak Vanessa. Maka wajar saja bila cewek itu menjawab.
"Ya menurut kamu aja, Yan. Seharian ini kan aku bantuin kamu kerja. Jadi ya ... otomatis dong aku capek."
Bahkan tanpa melihat, Vanessa bisa merasakan bahwa senyum merekah di bibir Ryan ketika mendengar jawabannya. Aneh. Tapi, itulah yang terjadi.
"Oh, kalau gitu ... mau aku pijitin?" tanya Ryan kemudian. "Biar kamu nggak capek lagi."
"Pijit? Kamu mau mijit aku?"
"Iya."
Maka sejurus kemudian Ryan menarik tangannya dari penahanan Vanessa. Dalam tujuan untuk membuktikan perkataannya. Yang mana itu justru membuat Vanessa memejamkan matanya rapat-rapat, menahan napas, dan kemudian menggeram.
"Ya kalau mau mijit, pijit aja kaki atau pundak aku. Bukan payudara aku yang dipijit!"
Ups!
"Ngapain juga payudara aku dipijit?!"
Vanessa langsung menepis tangan Ryan dari payudaranya. Segera membalikkan badan dan mendelik pada cowok itu yang jelas sekali tengah berusaha menahan gelinya.
"Eh? Sorry, Sa. Aku kan cuma mau mijit sih."
Mata Vanessa semakin membesar. "Itu namanya bukan mijit, tapi ngeremas!"
Tawa Ryan menyembur. Dan jari Vanessa langsung menyasar pada perut cowok itu. Memberikan satu cubitan yang membuat Ryan tertawa di sela-sela aduhan rasa sakitnya. Hahahahaha.
Ryan menangkap tangan Vanessa. "Ini gara-gara kamu tadi pamer cuma pake celana dalam sih. Aku kan jadi kepengen, Sa."
Jawaban yang seketika membuat Vanessa tertegun. Diikuti oleh rasa geramnya yang sontak meredup. Matanya mengerjap berulang kali. Pun wajahnya berubah jadi salah tingkah.
"Be-be-beneran pengen?"
Ryan membuang napas. "Tapi, kamu lagi capek. Ya udah sih. Besok aja," lirihnya seraya menarik tubuh Vanessa, tenggelam dalam pelukannya. "Sekarang kita tidur aja."
Mata Ryan memejam. Sepertinya memang akan memutuskan untuk tidur. Karena jelas kan? Vanessa capek.
Toh besok juga bisa.
Hihihihi.
Ryan membesarkan hatinya. Namun, selang beberapa detik kemudian, nalurinya seperti mengatakan sesuatu. Hingga ia pun membuka matanya. Melihat pada Vanessa yang belum tidur.
"Kenapa?"
Vanessa menarik napas. Mendadak saja merasa jantungnya berdetak dengan kencang. Tepat ketika ia memutuskan untuk menjawab seperti ini.
"Ya ... aku emang rada capek sih. Tapi, kalau kamu emang lagi pengen. Ya ... nggak apa-apa."
Ryan mengerutkan dahi. "Beneran?"
"Tapi, sebagai gantinya, besok aku nggak mau masak. Aku nggak mau beres-beres rumah. Aku cuma mau rebahan doang."
Seringai geli muncul di wajah Ryan. "Kamu sengaja heh?"
Vanessa mengulum senyum. "Win win solution loh. Gimana? Mau nggak?"
"Eh?" Sorot mata Ryan seketika berubah seperti api yang menyala. "Malah kamu kayaknya yang jadi pengen."
"Hahahahaha. Ya kamu sih mijitin payudara aku."
Mengatakan itu, Vanessa kemudian bergerak. Bangkit dari posisi tidurannya dan langsung mendorong pelan tubuh Ryan. Dan cowok itu tidak menolak sama sekali ketika Vanessa mendarat di atasnya.
"Jadi ...."
Merasa tak perlu benar-benar menuntaskan pertanyaan, Vanessa kemudian mendapati seringai Ryan.
"Ya jadilah."
Dan setelah mengatakan itu, Ryan segera menarik turun tekuk Vanessa. Agar bibir mereka bertemu dalam satu ciuman yang sama menggebu. Ia memanggut bibir Vanessa, sementara Vanessa melumat miliknya. Tentu tak hanya itu. Ryan lalu melarikan satu tangannya yang bebas. Menyusup ke dalam sweater longgar yang Vanessa kenakan. Masuk. Menuju pada payudaranya. Memberikan sentuhan berulang kali yang membuat tubuh Vanessa seketika menggeliat.
Jenjang kaki Vanessa bergerak tak tentu arah. Membelit kaki Ryan ketika ia merasakan gairah demi gairah semakin memercik berkat sentuhan yang ia terima. Hingga tak butuh waktu lama, desahan dan geraman pun silih berganti terdengar di kamar itu. Dan teredam dengan sempurna oleh suara hujan yang masih dengan teramat lebatnya mengguyur di luar sana.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro