Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23. Rencana Bukan Rencana

Ada dua sosok yang bersembunyi di balik pohon. Dengan dua pasang mata yang menatap lurus ke depan sana. Lalu dua tangan naik, demi mendekap mulut masing-masing yang terancam tidak akan mampu bertahan lagi. Dalam dorongan untuk menyemburkan tawa lantaran satu pemandangan yang tengah mereka nikmati saat itu.

"Yan, udah deh. Ampun dah. Ntar ada yang ngeliat."

"Ck. Tenang. Nggak ada yang bakal liat kok."

"Kamu ini. Itu kalau ntar Anton dan Sahrul datang gimana?"

"Ih, Dinda ini. Mereka kan lagi beres-beres di depan. Nggak bakal ke sini kok."

"Kandaaa, please. Berenti. Ntar aku kasih cacing beneran loh."

"Kalau kamu kasih aku cacing tanah, ntar aku kasih cacing aku loh. Mau?"

"Ryan!"

"Vanessa!"

"Jangan macam-macam loh ya."

"Semacam aja deh. Sini, cum dikit deh."

"Nggak mau. Ntar ada yang liat."

"Ah, kamu ini. Dikit-dikit ada yang liat, dikit-dikit ada yang liat. Tenang aja. Aku cumnya sambil pejam mata."

"Astaga. Kamu ini kenapa sih? Kok gilanya kumat sekarang? Ini bahkan belum siang loh."

"Hahahaha. Kamu ini buat aku gemes aja. Ehm ... kamu tau alasannya aku kumat sekarang?"

"Apa?"

"Soalnya kamu keliatan cantik banget kayak gini. Walau keringatan dan acak-acakan, tapi beneran deh. Kamu cantik banget. Keliatan fresh gitu."

"Tuh kan. Kumatnya emang beneran parah. Di sini? Gombalin aku? Ck."

"Ada kamar kok di rumah. Apa aku gombalin di sana aja?"

Satu pemandangan itu tentu saja melibatkan Vanessa dan Ryan. Dengan percakapan menggelikan yang membuat Anton dan Sahrul nyaris terpingkal-pingkal. Hingga pada akhirnya, tampak cewek itu yang bangkit dari duduknya. Menunjukkan tanda-tanda memilih untuk pergi dari sana.

"Dah. Aku mau pergi aja."

Namun, Ryan dengan gesit menahan satu pergelangan tangannya. Menengadahkan kepalanya dengan tersenyum geli.

"Mau langsung ke kamar?"

Vanessa mendelik. "Kamu---"

"Kalau nggak," potong Ryan cepat. "Mending di sini aja deh."

Sreeet!

Ryan langsung menarik turun tangan Vanessa. Hingga mau tak mau cewek itu kembali mendaratkan bokongnya di dingklik. Duduk dengan bibir yang manyun. Terutama karena di detik selanjutnya, dengan gerakan super cepat, mengalahkan petir halilintar, bibirnya mengecup pipi Vanessa.

"Ryan!"

Ryan terkekeh. "Ssst! Diem. Ntar kalau Anton dan Sahrul denger kamu jerit-jerit, mereka pada kepo mau ke sini."

Mata Vanessa membesar. Pundaknya naik. Seperti ingin membalas perkataan Ryan, namun pada akhirnya cewek itu hanya mencibir.

"Ih, kalau tangan aku nggak kotor, rasanya pengen cubit-cubit."

"Udah deh. Kerja kerja kerja. Katanya ngajak aku ke sini biar semangat kerjanya. Ini malah semangat godain aku."

"Siap, Nyonya. Laksanakan!"

Maka begitulah. Hal tersebut ternyata tidak luput dari perhatian Anton dan Sahrul yang tidak sanggup menahan rasa penasaran mereka. Ketika pada akhirnya, satu pekikan Vanessa tadi mendorong mereka berdua untuk diam-diam mengendap ke belakang. Demi melihat ajang romantis-romantisan ala ludruk. Hahahahaha.

"Sumpah! Aku merinding liat Bos."

Anton mengusap tekuknya. "Aku bukan lagi merinding. Hahahaha. Bulu kuduk aku udah berdiri semua."

"Hahahaha. Emang beda ya kalau lagi kasmaran sih. Bahkan sambil ngaduk sekam bakar dan kotoran sapi aja bisa sambil mesra-mesraan."

"Hahahaha."

Tertawa-tawa, Anton dan Sahrul pada akhirnya memilih untuk kembali ke depan. Sama sekali mereka tidak bermaksud berlama-lama untuk mengintip kebahagiaan pasangan suami istri itu. Sungguh, yang tadi itu hanya demi menuntaskan rasa penasaran saja. Tidak lebih kok. Hihihihi.

Membiarkan Vanessa dan Ryan bekerja di belakang, Anton dan Sahrul pun juga melanjutkan pekerjaan mereka. Dari mencabuti rumput yang tumbuh di pot-pot bunga sambil melayani pembeli yang sesekali datang berkunjung. Hingga tanpa sadar, waktu terus bergulir. Membawa matahari untuk perlahan merangkak di atas kepala. Menjadi pertanda bahwa pagi telah berganti siang.

"Ton!"

Suara Ryan yang menyerukan nama Anton terdengar. Berasal dari ambang rumah kecil depot itu. Tampak Ryan memanggil cowok itu.

"Ya, Bos?" tanya Anton setelah ia bergegas memenuhi panggilan itu. "Manggil aku, Bos?"

Ryan mengangguk seraya membuka dompet di tangannya. "Kamu pergi dulu deh. Beli makan siang. Sama minuman gitu."

"Wih!"

Anton tampak semringah melihat Ryan akan mengeluarkan sejumlah uang di sana. Mengira-ngira sebanyak apa uang yang akan diberikan oleh bosnya itu. Sampai-sampai ia turut menghitung pula di dalam hati berapa lembar uang bewarna merah yang dihitung Ryan.

Tujuh ....

Delapan ....

Mata Anton membesar. Jelas merasa tak percaya dengan kemungkinan bahwa ia disuruh membeli makan siang dengan uang delapan ratus ribu rupiah.

Nyuruh beli bebek ungkep Chef Juna apa yak?

Pergerakan jari Ryan di lembaran-lembaran uang bernominal seratus ribu rupiah itu belum berhenti. Siap berpindah pada lembaran selanjutnya.

Sembilan ....

Sepuluh ....

Sreeet!

Ryan langsung menarik uangnya dan memberikannya pada Anton sebanyak dua ratus ribu. Tampak cengiran di wajahnya melihat longoan karyawannya itu.

"Hehehehe. Aku cuma iseng ngitung aja, Ton."

Anton mencibir sekilas dan menerima uang tersebut. "Bos ini emang deh," gerutunya. "Ehm ... ini mau beli apa, Bos? Nyonya Bos mau apa?"

"Serah kamu aja sih mau beli apa," jawab Ryan entang. "Mau beli ayam geprek, bebek geprek, atau bahkan kalau gajah juga bisa digeprek ... juga boleh kok."

"Nyonya Bos juga?"

Kepala Ryan mengangguk. "Dia nggak pemilih soal makanan."

"Ah ...." Anton angguk-angguk kepala. Belum beranjak dari sana, ia mendadak terpikirkan sesuatu. "Atau aku ke supermarket aja, Bos? Beli bahan mentah. Biar Nyonya Bos masak. Mau nyicip masakan Nyonya Bos."

Mendengar perkataan Anton, Ryan seketika mendelik. "Sembarangan nyuruh-nyuruh Vanessa masak."

"Eh? Bukan gitu maksudnya, Bos."

"Stop!" ujar Ryan cepat. "Vanessa capek. Dan kalaupun dia nggak capek, aku juga nggak bakal nyuruh dia masak buat makan kalian. Ehm ... enak aja. Ntar kalau kalian ketagihan gimana? Kalau kalian sampe tergila-gila sama masakan dia gimana? Ck. Nggak. Pokoknya nggak. Cuma aku yang boleh tergila-gila sama dia."

Anton melongo. Dengan mulut yang benar-benar menganga. Tapi, Ryan tampak santai saja seraya menyuruhnya pergi.

"Udah. Sana. Pergi beli makan siang. Ntar Vanessa kelaperan lagi."

Selesai mengatakan itu, Ryan langsung memutar tubuh. Masuk ke rumah dan mendapati Vanessa yang mengeluarkan satu botol air minum yang masih bersegel dari dalam kulkas. Membukanya dan meneguk isinya.

Mata Vanessa memejam dan desahan nikmat itu lolos dari tenggorokannya. Meresapi sensasi dingin yang membasuh rasa panas yang ia rasakan dari tadi. Dan tidak menolak ketika Ryan mengambil alih minumnya. Turut meneguknya.

"Ehm ... emang lain kalau minum air yang udah diminum sama kamu, Sa," lirih Ryan. "Air biasa rasanya jadi berubah luar biasa. Kayak ada manis-manisnya."

Sebenarnya, Vanessa sudah merasa lelah. Sungguh. Ia sudah lama juga tidak mengaduk sekam bakar dan pupuk kandang, terus lanjut mengerjakan hal lainnya. Tapi, ketika mendengar perkataan Ryan, tentu saja kekehannya tetap lolos.

"Lancar ya, Bun, ngegombalnya. Belajar dari mana? Kayaknya udah pro banget."

Ryan meremas botol plastik yang telah kosong itu. Lalu melemparnya ke satu tempat sampah tanpa silap sedikit pun. Layaknya ia adalah atlet basket yang sedang memasukkan bola ke dalam ring.

"Ngegombal itu nggak perlu belajar kali, Sa. Itu bakat alamiah cowok."

Vanessa mencibir. "Kok aku nggak percaya ya?"

"Eh? Sama suami sendiri nggak percaya?" tanya Ryan dengan menyipitkan matanya. "Terus kamu mau percaya sama siapa? Sama suami orang?"

Vanessa kembali terkekeh. "Udah ah. Jangan buat aku ketawa terus. Aku udah capek. Udah nggak ada tenaga lagi."

Mengatakan itu, Vanessa membuktikan kebenarannya dengan memilih duduk di lantai. Di depan televisi yang sudah menyala walau tidak ia tonton. Bersandar pada dinding, ia tampak mengatur napasnya.

Ryan turut bergabung dengan Vanessa. "Aku udah nyuruh Anton buat beli makan. Paling bentaran doang kok."

"Ehm, oke oke. Terus, abis makan kamu lanjut kerja lagi?"

Ryan mengangguk. "Kayaknya sih iya. Mau mindahin aglonema sumatera bentar. Banyak yang nyariin soalnya."

"Aaah ...."

"Ntar kamu nggak usah bantuin, biar aku aja. Kamu istirahat deh. Abis itu, kita balik."

Sepertinya ide yang bagus. Perencanaan yang cukup matang menurut Vanessa sehingga ia tidak merasa keberatan sama sekali. Lagipula, mana ada manusia yang menolak ketika disuruh istirahat? Hihihihi.

Sejurus kemudian, satu ketukan samar terdengar di pintu. Ryan segera bergegas keluar dan mendapati Anton telah tiba dengan dua kantung plastik di masing-masing tangannya.

"Ini, Bos, makan siangnya. Sekalian minum dinginnya."

Ryan menyambutnya dengan semringah. "Makasih, Ton. Sekalian kamu dan Sahrul makan juga."

"Siap, Bos," kata Anton seraya merogoh sakunya. "Uang sisanya, Bos."

"Udah. Buat beli sarapan besok. Biar kalian nggak ngemilin cabe setan lagi."

Anton sontak terkekeh sementara Ryan langsung masuk kembali. Memamerkan makan siang itu pada Vanessa yang langsung sigap mengambil dua piring.

Duduk melantai, Vanessa mengeluarkan dua porsi makanan dari dalam kantung plastik tersebut. Menyajikannya langsung di piring dan memberikannya pada Ryan. Kemudian barulah menyiapkan untuk dirinya sendiri.

Ada sambal cumi, ayam goreng tepung, dan capcay yang menjadi lauk-pauk makan siang Vanessa dan Ryan kala itu. Dengan pesona cabai hijau dan ditemani oleh es teh manis, tentu saja itu menjadi menu yang pas sekali. Terutama karena mereka baru selesai bekerja. Hingga tidak mengherankan sama sekali bila tidak butuh waktu lama bagi keduanya menghabiskan makanan tersebut.

Tak ada lagi yang tersisa, Vanessa langsung membereskan bekas mereka makan. Berniat untuk langsung mencuci piring yang mereka gunakan sementara Ryan yang memilih untuk beristirahat sejenak. Hingga sekitar lima belas menit kemudian, ia langsung kembali melanjutkan pekerjaannya. Berusaha untuk menuntaskan semuanya secepat mungkin. Agar ia dan Vanessa bisa pulang lebih cepat juga. Namun, sesuatu membuat Ryan mengakui sesuatu. Bahwa terkadang sebagus apa pun rencananya, tetap ada Tuhan pemegang kendalinya.

Itu adalah ketika Ryan mendengar suara kuat yang seolah ingin membelah langit di atas sana. Diikuti oleh menghilangnya sinar terik matahari. Begitu pula dengan hawa panasnya. Semua tergantikan oleh angin yang mendadak berembus tak henti-henti, seraya membawa arak-arakan awan hitam. Dan tak butuh waktu lama, setetes air jatuh mendarat di kepala Ryan.

Hujan pun turun.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro