Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22. Aneka Pekikan

Vanessa memang cantik. Setiap hari makin cantik malah. Kurang lebih, seperti itulah ia terlihat di mata Ryan. Entah ia berpenampilan rapi ala wanita karir ketika mengajar atau berpenampilan santai ketika memasak, semuanya memberikan kecantikan yang tak akan mampu bisa ditepis oleh mata Ryan. Dan di antara semuanya, Ryan menyadari bahwa ia terkadang jarang memiliki kesempatan untuk menikmati kecantikan Vanessa dengan penampilan kasualnya. Toh mereka juga terbilang jarang jalan-jalan keluar. Lantaran khawatir ada mata yang memergoki.

Maka dari itu, sudah bisa dipastikan seantusias apa Ryan ketika Vanessa menerima ajakannya untuk ikut turut menemaninya ke depot. Bahkan nih ya sejujurnya, Ryan yang biasanya datang ke depot di hari Minggu, sengaja sekali mengubah jadwalnya. Karena khawatir akan ada banyak pengganggu kalau ia membawa serta Vanessa di hari itu. Biasanya sih banyak pelanggan. Ck. Terakhir kali malah ibu dan mertuanya yang datang.

Di jam delapan pagi, ketika Vanessa dan Ryan sudah sarapan, mereka kemudian langsung keluar dari unit. Menuju ke parkiran di mana kuda besi Ryan terparkir. Dan tak butuh waktu lama, kendaraan beroda dua itu pun melaju di jalanan. Membawa sepasang suami itu ke tempat yang menjadi tujuan keduanya.

Ketika kemaren Vanessa mengiyakan ajakan Ryan, cewek itu tau dengan pasti bahwa ada risiko yang harus ia ambil. Konsekuensi untuk tindakannya. Yaitu, godaan dari Anton dan Sahrul. Dua orang karyawan Ryan yang ia cap sama gilanya dengan bos pemilik depot bunga itu.

Papan nama Floral Garden mereka lewati ketika Ryan dan Vanessa melintasi pintu masuk depot bungan tersebut. Yang mana kedatangan mereka langsung disambut dengan antusias oleh Anton dan Sahrul. Bahkan nih ya. Kalau mau diperhatikan, sebenarnya ketika sepasang suami istri itu masih beberapa meter sebelum tiba, kedua orang karyawan Ryan itu sudah pada heboh.

"Rul! Rul! Rul! Liat itu. Itu Bos sama Nyonya Bos bukan?"

"Mana? Mana? Mana?"

"Itu tuh tuh! Iya kan?"

"Ya ampun. Iya. Bos sama Nyonya Bos."

Tentu saja bisa dipastikan seheboh apa Anton dan Sahrul ketika pada akhirnya motor besar bewarna kombinasi merah dan hitam itu berhenti bergerak. Tepat di depan satu rumah kecil yang dulunya ditinggali oleh Ryan. Dan berkat pernikahannya dengan Vanessa, nyaris rumah itu bisa dikatakan tidak benar-benar dihuni lagi. Hanya Ryan manfaatkan untuk beristirahat sejenak ketika ia bekerja.

"Pagi, Nyonya Bos."

"Selamat datang, Nyonya Bos."

Bahkan ketika kaki Vanessa baru menapak tanah, cewek itu langsung dibuat salah tingkah dengan penyambutan yang dilakukan oleh Anton dan Sahrul. Tapi, ia mencoba untuk menjaga sikap. Berusaha untuk tersenyum walau terlihat kaku. Dan itu tentu saja membuat Ryan menjadi geli.

Turun pula dari motornya, Ryan melihat bergantian pada Anton dan Sahrul.

"Kalian ini. Pagi-pagi udah buat cewek aku takut aja."

Karena ketika Ryan dan Vanessa datang pertama kali ke Floral Garden dulu, mereka berdua memperkenalkan diri sebagai sepasang kekasih yang terikat dalam hubungan pacaran. Alih-alih hubungan pernikahan. Sungguh. Ryan tidak ingin predikat gila yang ia sandang di hadapan teman-temannya akan turut menyebar ke karyawannya. Bisa hancur reputasi Ryan sebagai bos.

Hanya saja, ada satu hal yang tidak diduga oleh Ryan. Bahwa sebenarnya Anton dan Sahrul tau dengan jelas bahwa Ryan dan Vanessa tidak sekadar berpacaran lagi. Melainkan memang sudah menikah. Dan itu lantaran Lastri, ibu Ryan yang mereka panggil dengan sebutan Ibu Bos itu, sudah membeberkan rahasia tersebut. Dengan peringatan tentunya, agar mereka tidak menyebarluaskannya.

Maka ketika Anton dan Sahrul mendengar Ryan menyebut Vanessa dengan panggilan 'cewek aku', seketika saja keduanya mengulum senyum dengan kompak. Tidak hanya itu. Keduanya juga lantas saling lirik kanan kiri dengan ekspresi yang membuat Ryan mengerutkan dahi.

"Kenapa kalian?"

Anton menggeleng. "Nggak apa-apa, Bos."

"Biasa. Kayaknya mules gara-gara sarapan cabe setan."

Ryan makin bingung. Pelan-pelan ia menoleh pada Vanessa yang turut berpaling padanya. Dan ketika pandangan keduanya beradu, bahu cewek itu naik sekilas. Cukup menjadi tanda bahwa dirinya juga tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

"Aneh ...."

Ryan melirihkan kata itu seraya menggaruk tekuknya yang sebenarnya tidak gatal sama sekali. Kakinya melangkah. Melintasi pintu rumahnya yang sudah membuka, masuk. Dengan diiringi oleh Vanessa di belakangnya. Yang sesekali terlihat menoleh ke belakang. Hanya untuk tersenyum kaku berulang kali ketika ia justru mendapati bagaimana Anton dan Sahrul masih melihat mereka seraya tetap mengulum senyum geli.

"Kalau kamu aja ngerasa mereka aneh," kata Vanessa seraya memutar kembali kepalanya ke depan. "Apalagi aku?"

Langkah kaki Ryan berhenti di ruang tamu yang kecil itu. Melihat pada Vanessa dan ia angguk-angguk kepala.

"Iya sih," lirih Ryan lagi. "Ehm .... Mungkin emang mereka kebanyakan makan cabe setan kali."

Mengibaskan tangannya sekali di depan wajah, Ryan memutuskan untuk tidak memikirkan perilaku aneh kedua karyawannya itu. Alih-alih ia langsung menuju ke kamarnya dan berniat untuk berganti pakaian. Melepas celana jeans hitam dan juga jaket kulit serta kaus yang ia kenakan. Balik mengenakan celana dan baju yang biasa ia kenakan ketika bekerja.

Setelah selasai berganti pakaian, Ryan keluar dan mendapati bagaimana Vanessa yang tampak menyalakan televisi yang tersedia. Terletak di satu ruangan kecil setelah kamarnya yang terhubung langsung dengan dapur ala kadarnya.

"Kamu mau di sini aja?" tanya Ryan kemudian. "Atau mau ikut aku ke belakang?"

Segera saja remot televisi di tangan Vanessa berperan. Dalam memadamkan benda elektronik itu dan ia pun bangkit berdiri.

"Ikut kamu aja deh. Ngapain juga aku ke sini kalau ujung-ujungnya cuma nonton."

Tangan Ryan terangkat seiring dengan tubuhnya yang menunduk sedikit. Demi bisa memberikan satu cubitan kecil di ujung hidung Vanessa dengan gemas.

"Alasan kan? Aslinya cuma nggak mau jauh-jauh dari aku."

Mata Vanessa membesar. Sedikit menarik wajahnya dengan rasa jengah karena Ryan memojokkannya dengan kata-katanya. Namun, ia menepis ide untuk menampik hal tersebut. Alih-alih, ia justru mengatakan hal lainnya. Dengan didahului oleh deheman samar tatkala bibirnya tampak mengerucut sekilas.

"Ehm ... iya dong. Aku emang nggak mau jauh-jauh dari kamu. Kenapa? Kamu nggak suka?"

Ryan menyeringai. "Please deh ya. Kamu nggak usah goda-goda aku. Nggak kamu goda aja aku udah tergoda, apalagi kalau kamu goda coba?"

"Hahahaha. Dasar GR! Yang mau godain kamu siapa?" tanya Vanessa seraya berusaha memasang tampang sok polos. Namun, gagal. "Orang aku cuma mau giniin kamu kok."

Menahan pundak Ryan dengan kedua tangannya, Vanessa lantas memajukan wajahnya. Demi memberikan satu kecupan di bibir Ryan. Tak lupa menyertai sentuhan itu dengan suara yang menggelikan di telinga.

"Emmuach!"

Vanessa mengulum senyum. Beranjak dan berjalan menuju pintu belakang. Meninggalkan Ryan yang melongo seolah dirinya tidak melakukan apa-apa. Tapi, tentu saja semuanya berubah ketika Ryan dengan geregetan langsung menyusul Vanessa.

"Dinda!"

Vanessa memekik. "Ah!" Tapi, kemudian ia tertawa. "Hahahaha."

Ryan merengkuh tubuh Vanessa. Lalu menggelitiknya. Kemudian untuk beberapa saat, mereka seperti lupa apa tujuan mereka semula datang ke sana. Dan ... sepertinya mereka juga abai bahwa di depan ada dua orang cowok yang turut tertawa juga.

"Hayo loh hayo!"

"Bos dan Nyonya Bos ngapain loh!"

"Hahahahaha."

"Ssst! Pura-pura nggak tau aja."

"Hahahahaha."

*

Ini persis seperti khayalan yang sering melintas di benak Ryan ketika teringat cerita yang sering menemani malam masa kecilnya dulu. Ketika Lastri selalu menyempatkan waktu untuk bercerita mengenai dongeng anak-anak. Kadang tentang kancil yang nakal, kura-kura yang cerdik, atau justru ular yang tak tau balas budi. Tapi, yang sering Ryan ingat adalah kalau Lastri bercerita tentang Pak Tani dan Bu Tani yang merawat ladang mereka. Kala itu sih Ryan sering berpikir.

Ke kebun jagung udah.

Ke depot bunga udah.

"Ckckckck. Kita ini emang pasangan penuh dengan kearifan lokal, Sa."

Menyambung isi pikirannya, Ryan ternyata benar-benar menyuarakan apa yang melintas di benaknya kala itu. Tidak sekadar membiarkannya menggema di dalam kepalanya saja. Yang tentu saja menarik perhatian Vanessa.

Cewek itu tampak mengenakan sepasang sarung tangan kerja, duduk beralaskan satu dingklik yang warnanya sudah mengusam, ia tampak tekun mencampur sekam bakar dan pupuk kandang di sana. Bersama-sama dengan Ryan tertentunya.

"Pasangan penuh kearifan lokal apaan," lirih Vanessa geli. "Mentang-mentang kita lagi kerja kayak gini?"

Ryan mengangguk. Lantas beringsut seraya membawa serta dingklik yang ia duduk. Mendekati Vanessa. Dan mendapati bagaimana ....

Ya ampun!

Mau gimanapun penampilan dia, Vanessa emang selalu cantik ya.

Dandan cantik, eh ... keringatan juga cantik.

Emang nggak kaleng-kaleng mah istri Ryan ini.

Hahahaha.

"Kamu pikir deh, Sa," kata Ryan kemudian seraya memecah satu bongkahan pupuk kandang agar bisa bercampur dengan lebih rata. "Mana ada pasangan lain yang kayak kita? Nge-date-nya kerja ginian coba."

"Hahahahaha. Kamu nggak mau jujur kalau sebenarnya kamu ngajak aku ke sini emang buat bantuin kamu?"

"Nggak sama sekali," cibir Ryan. "Aku bisa kerja sendiri kok. Tapi, ya ... aku mau jujur sesuatu deh."

Mengembuskan napasnya, Vanessa yang sedari tadi fokus dengan sekam dan pupuk kandang di hadapannya, berpaling. Menghentikan sejenak apa yang sedang ia lakukan.

"Apa?"

Tak langsung menjawab pertanyaan itu, Ryan justru melayangkan tatapan matanya pada Vanessa. Mengamati keadaan cewek itu. Dengan rambut yang ia kucir kuda, ada lelehan keringat di sisi wajahnya, dan warna merah di kedua pipinya, sungguh! Ryan tidak pernah menduga ada cewek yang akan tetap terlihat cantik bahkan ketika ia dalam keadaan yang berantakan.

Hiks.

Cuma Dinda yang kayak gini.

Yang bahkan sambil megang kotoran sapi aja masih keliatan cantiknya.

Hihihihi.

Ryan lantas kembali mengikis jarak. Dengan terang-terangan membawa wajahnya mendekati wajah Vanessa. Namun, ia mengarah pada telinga cewek itu. Karena ternyata ia hanya ingin berbisik di sana.

"Jujurnya ... aku bukan mau minta bantuan kamu. Tapi ...."

Vanessa menunggu. Dengan dahi yang berkerut. "Tapi ...."

"Tapi, aku tuh sebenarnya cuma mau ditemenin kamu aja. Kamu nggak usah ikutan kerja juga nggak apa-apa. Soalnya ... kalau kerja ditemenin kamu, itu rasanya beda banget. Jadi buat semangat."

Tangan Vanessa bergerak. Menyikut perut Ryan hingga cowok itu terkekeh. Terutama karena menyadari rona merah di pipi Vanessa yang diakibatkan oleh panas, semakin bertambah.

"Apaan sih. Receh banget gombalannya."

Ryan terkekeh. "Orang baru recehan aja kamu udah tersipu-sipu gitu," katanya geli. "Gimana kalau bukan yang recehan coba. Ehm ... kamu beneran mau ngerasain gombalan aku yang bukan recehan? Di sini?"

"Ryan," desis Vanessa mendelik. "Jangan macam-macam deh ya. Jangan aneh-aneh di sini. Ntar orang pada ngeliat."

"Ehm ... kalau nggak ada yang ngeliat gimana? Mau?"

Bluuush!

Vanessa makin mendelik. Hal yang tentu saja bertolakbelakang sekali dengan jengah malu yang ia rasakan.

"Nggak."

Ryan semakin menggoda. "Ehm ... beneran?"

Menahan napas di dada untuk beberapa saat, delikan mata Vanessa kemudian menghilang. Tergantikan oleh sipitan matanya yang tampak menyorotkan ancaman. Diikuti oleh kedua tangannya yang kembali bergerak di tumpukan sekam bakar dan pupuk kandang itu.

"Kamu nggak mau berenti godain aku?" tanya Vanessa dengan aura mengancam. "Nggak mau berenti?"

Ryan menjulurkan lidahnya. "Kalau nggak mau, kenapa?"

"Ehm ... kalau nggak mau," lanjut Vanessa seraya terus mencari-cari. "Ntar aku kasih kamu cacing ya? Biar tau rasa!"

Wajah Ryan seketika berubah horor. Melihat bagaimana kedua tangan Vanessa dengan begitu bersemangat mengaduk-aduk sekam bakar dan pupuk kandang itu.

Ngeri, Ryan pun berkata seperti ini.

"Astaga, Sa. Kalau kamu mau mainan cacing, nggak usah nyari di sana."

Mata Vanessa melirik.

"Bilang aja ke aku," kata Ryan lagi. "Nih aku kasih cacing aku dengan senang hati."

Pergerakan kedua tangan Vanessa berhenti. Menatap Ryan dengan tatapan tak percaya, namun dibalas sorot lugu oleh cowok itu. Dan Ryan mengangguk. Untuk kemudian pelan-pelan ia menurunkan pandangannya. Ke bawah. Diikuti pula oleh Vanessa. Dan kemudian ....

"Ryan!!!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro