Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20. Pengendali Suasana

Kalau saja ada sepasang sayap di punggung Ryan, sudah bisa dipastikan cowok itu akan terbang saat ini juga. Bukan hanya perasaannya yang melayang, alih-alih memang dirinya yang mengambang ke mana-mana. Persis seperti balon yang lepas dari talinya. Dan jangan ditanya alasannya mengapa, karena pasti seluruh semesta tau jawabannya. Hihihihi.

Ketika dirinya sedang merasa gundah gulana, Ryan yakin tak akan ada obat yang lebih mujarab lagi, kecuali Vanessa. Hingga membuat cowok itu geleng-geleng kepala. Tak percaya bahwa sebesar itu efek Vanessa pada dirinya. Terutama ya ... terutama, karena kemaren kan Ryan bisa tinggal sorong. Persis seperti iklan di televisi. Lantaran ia yang tau kalau Vanessa masih berada di masa bebas hambatannya.

Ck.

Perkara soal masa subur Dinda, itu udah hapal luar kepala.

Aku nggak bakal lupa.

"Hwahahahaha!"

Pikiran itu sih memang iya menggema di benaknya saja, namun tidak dengan tawanya. Karena jelas sekali, Ryan benar-benar tertawa sedetik kemudian. Seketika saja membuat Abid menoleh dengan horor.

"Kesambet, Yan?"

Ryan berpaling. "Iya dong. Emangnya ada orang waras yang tingkahnya kayak aku?"

Abid melongo. Bengong mendapat respon Ryan yang seperti itu. Karena kemudian, cowok itu kembali tertawa.

"Hwahahahaha. Aku emang udah nggak waras lagi. Hwahahahaha."

Ekspresi horor itu semakin nyata tercetak di wajah Abid. Hingga sempat saja ia memutuskan untuk tidak lagi membaca ayat kursi. Alih-alih kursinya saja yang langsung ia lemparkan ke Ryan. Siapa tau lebih mujarab untuk menyadarkan cowok gila itu.

"Ckckck. Aku yakin kamu emang beneran gilanya udah nggak tertolong lagi," ujar Abid seraya geleng-geleng kepala. "Berapa hari yang lewat kamu keliatan lesu banget. Sekarang, malah kayak over tenaga. Ehm ... aku baru tau kalau gejala gila tuh kayak gini."

Ah, tawa Ryan seketika berhenti. Lantaran perkataan Abid, ia jadi menyadari sesuatu. Bahwa ternyata perkataan Nathan mempengaruhi dirinya ketimbang yang sempat ia sadari. Dan sepertinya itu memang ... wajar.

Dari segi psikis, tentu saja Ryan akan mudah terpengaruhi ketika mendapati seseorang seperti Nathan mengatakan hal seperti itu pada dirinya. Dengan kesan menuding, menuduh, dan segala macam hingga membuat otaknya terasa penuh. Namun, dibandingkan dengan Nathan, jelas saja Ryan memiliki sesuatu yang lebih mampu lagi dalam mempengaruhi dirinya. Eh, bukan sesuatu sih. Melainkan seseorang. Hihihihi.

"Tapi, ya mau kamu segila apa pun, seenggaknya jangan kumat sekarang. Mau harga diri kamu sebagai senior jatuh di depan para junior?"

"Ah, bener juga. Aku harus masang tampang senior yang penuh wibawa."

Sumpah. Abid tidak tau entah mana yang lebih menakutkan. Entah itu Ryan yang gila atau justru Ryan yang sok waras. Atau bisa saja, semuanya memang menakutkan.

Ryan dan Abid tidak ada kelas di hari Jum'at. Namun, kedatangannya ke Gedung Jurusan jelas lantaran ada kegiatan akademik yang harus mereka lakukan. Berpusat di salah satu ruang laboratorium yang terletak di lantai dua, ketika mereka masuk, tampak beberapa orang junior mereka sudah duduk di sana.

"Eh, ada Kakak Asdos ternyata."

Ryan menyeletuk ketika mendapati bahwa dari delapan orang mahasiswa yang sudah berkumpul di sana, salah satunya adalah Farrel. Cowok yang merupakan asisten dosen untuk praktikum Botani yang Ryan dan Abid ambil.

Farrel tampak cengar-cengir. "Iya, Kak."

Menghampiri Farrel, Ryan menarik satu kursi di dekatnya, memilih duduk di sana. Matanya melirik pada draf proposal yang tergeletak di atas meja. Ryan meraihnya sementara Abid pun duduk di antara mereka.

"Apa judul kamu?" tanya Ryan. Lalu alih-alih menunggu jawaban, ia justru membaca sendiri deretan kata yang terpampang di sana. "Keragaan Dua Puluh Genotipe Cabai Lokal di Dataran Rendah. Woh! Untuk skripsi?"

Farrel mengangguk. "Rencananya sih, Kak. Bareng sama Wahyu."

"Sepuluh sepuluh jadinya?" tanya Abid seraya melihat pada cowok yang duduk di seberang meja mereka. "Iya?"

Wahyu mengangguk seraya memperbaiki letak kacamata yang bertengger di atas hidungnya. "Iya, Kak."

"Oh, bagus."

Untuk beberapa saat lamanya, mungkin sekitar sepuluh menit, keadaan di dalam ruangan itu dipenuhi oleh suara para mahasiswa yang saling berbincang-bincang. Dari topik yang berbobot –berupa judul proposal, tugas kuliah, atau bahkan rencana nanti setelah tamat, hingga ke topik yang benar-benar tidak berbobot sama sekali –seperti gosip artis yang baru keluar dari penjara, artis yang heboh tidak bisa mengupas buah, atau bahkan artis yang pamer malam pertama. Ckckck.

Hanya saja, dari itu semua, adalah satu topik yang membuat Ryan jadi menegang seketika. Dengan telinga yang menajam. Demi mendengarkan dengan saksama satu gosip yang sedang dibicarakan di sudut sana.

"Iya kan? Pak Nathan emang sering banget nyamperin Bu Vanessa di ruangannya? Kemaren juga."

"Ehm ... kasian ya liatin Pak Nathan. Tapi, kayaknya Bu Vanessa emang nggak ngasih kesempatan deh. Dikit aja nggak keliatan lampu ijonya."

"Padahal Pak Nathan kan cakep gitu. Cocok sama dia."

"Kayaknya sih emang Bu Vanessa memang nggak suka sama Pak Nathan deh."

"Oh, bukan tipenya ya? Bu Vanessa nggak suka cowok yang ramah kayak Pak Nathan? Atau suka yang cool-cool kayak Pak Zidan?"

"Eh, masa?"

Karena itu sudah menjadi rahasia umum bahwa mahasiswa cenderung memiliki hobi untuk membicarakan para dosennya. Terutama kalau dosennya masih lajang. Mungkin mereka memiliki kesenangan untuk jadi mak comblang kali ya? Hihihihi.

Hanya saja, ketika mendapati ada beberapa orang mahasiswa yang membicarakan dosen, tentu saja yang lainnya menjadi turut tertarik. Tak sedikit yang turut bergabung dengan pembicaraan itu. Namun, ada juga yang hanya jadi pengamat setia. Contohnya ya dua orang itu. Ryan yang mengamati junior mereka yang sedang menggosipi Vanessa dan beberapa orang dosen cowok lainnya. Sementara Abid? Oh, tentu saja. Bukannya mengamati laju gosip itu, melainkan justru mengamati laju perubahan ekspresi wajah Ryan yang cepat sekali berubah-ubah.

Suntuk.

Semringah.

Suntuk.

Semringah.

Suntuk.

Semringah.

Ckckck. Begitu saja berganti-gantian, tergantung dari percakapan yang sedang terjadi. Nathan mencoba mendekati Vanessa? Wajah Ryan suntuk. Vanessa memberikan sinyal penolakannya? Wajah Ryan semringah. Dan Abid tidak heran sama sekali. Hihihihi.

"Ehm!"

Lantas semua percakapan gosip itu terhenti ketika Ryan mendehem. Dengan wajah yang sok penuh wibawa –ia teringat perkataan Abid tadi, ia berkata.

"Kalian ini ya. Bisa-bisa gosipin Bu Vanessa. Pada sibuk ngebahas jodohnya lagi. Ehm ... padahal jelas banget. Kalau Bu Vanessa nolak Pak Nathan, itu artinya ada cowok yang lebih gini dibandingan dia."

Mengatakan itu, Ryan mengangkat dua ibu jarinya. Dengan ekspresi yang mencetak jelas kebanggaan di wajahnya itu. Hingga tentu saja membuat keriuhan yang semula tercipta, menjadi hilang seketika. Tergantikan oleh longongan kebingungan. Maka wajar saja bila kepala para mahasiswa di sana bisa ditebak apa isinya.

Ke-ke-kenapa kayak kak Ryan yang senang gitu ya?

Duduk kembali dengan tenang di kursinya, Ryan tidak peduli bagaimana Abid yang tampak salah tingkah melihat pada juniornya itu. Dengan ekspresi di wajahnya yang seperti menyiratkan rasa permohonan.

Maklumin aja ya.

Belum jam minum obat sih soalnya.

Hihihihi.

Dan untunglah, semua situasi itu terselamatkan berkat suara ketukan hak sepatu yang terdengar di lorong. Membuat semua perbincangan seputar gosip dosen muda itu berhenti cukup sampai di sana. Tergantikan oleh pergerakan kepala yang dengan kompak melihat ke pintu. Melihat pada sosok cantik itu masuk seraya melemparkan sapaan hangatnya.

"Selamat siang."

Vanessa masuk dan mendapatkan balasan sapaan yang serupa dari total dua puluh orang mahasiswa yang hadir di ruangan itu, termasuk di dalamnya adalah Ryan. Yang langsung saja memberikan senyum lebarnya pada cewek itu. Hingga untuk beberapa detik, Vanessa jadi salah tingkah sendiri. Tersenyum kaku dan pada akhirnya memilih untuk langsung duduk di mejanya yang telah tersedia.

Membuka pertemuan itu, Vanessa tampak mengedarkan pandangan ke setiap mahasiswa yang berada di sana. Melihat mereka satu persatu seraya berkata.

"Sebagai permulaan, saya akan mengabsen kalian dulu secara per kelompok."

Ada daftar nama yang dibawa Vanessa tadi. Di dalam satu map. Berisi nama setiap mahasiswa dan judul proposal yang sudah diajukan ke Jurusan. Berpegang pada itulah untuk kemudian Vanessa mengabsen satu persatu mahasiswa di sana.

"Jadi," lanjut Vanessa kemudian. "Kalian sudah membawa draf proposal seperti yang saya minta kemaren?"

"Sudah, Bu."

Tidak hanya menjawab pertanyaan itu dengan kata-kata, beberapa orang mahasiswa tampak mengangkat draf proposal mereka yang telah dicetak. Mengacungkannya di udara. Memamerkannya dengan rasa bangga.

"Baiklah. Kalau gitu, silakan kumpulkan dengan Ryan dan Abid ya? Nanti akan coba saya periksa."

Ryan dan Abid bangkit dari duduknya. Langsung mengumpulkan draf proposal tersebut dan maju. Menaruhnya di meja Vanessa

"Untuk hari ini, pertemuan kita segini dulu. Biar saya pelajari dulu draf kalian. Untuk pertemuan selanjutnya, nanti kita bicarakan lagi di grup."

"Siap, Bu."

Langsung menutup pertemuan hari kali itu, Vanessa kemudian meminta Ryan dan Abid untuk membawa draf proposal tersebut ke ruangannya. Yang tentu saja dilakukan dengan senang hati oleh mereka berdua. Ehm ... apalagi Ryan.

Vanessa membuka pintu ruangannya. Masuk dan mempersilakan Ryan dan Abid untuk turut masuk pula. Membiarkan kedua orang mahasiswa itu menaruh draf tersebut di atas mejanya.

Basa-basi, Vanessa bertanya.

"Kalian udah nggak padat lagi kan jadwal kuliahnya? Udah semester akhir soalnya."

Ryan langsung menjawab hingga membuat Abid takjub. "Cuma ngulang empat mata kuliah, Bu. Selain itu sih nggak ada."

"Aaah ...."

Sebenarnya sih target pertanyaan yang Vanessa lontarkan itu bukan Ryan, melainkan Abid. Karena jelas kan? Jangankan jadwal kelas Ryan selama satu semester, lebih dari itu saja Vanessa juga tau kok.

Vanessa berpaling pada Abid. "Kalau kamu gimana, Bid?" tanyanya lagi. "Sama?"

Tak ingin sebenarnya, tapi Abid hanya bisa mengangguk. "Iya, Bu. Saya sama dengan Ryan. Ditambah dengan skripsi juga sih yang lagi masuk panen."

Vanessa angguk-angguk kepala. "Oh, oke oke. Kalau gitu, berarti ntar kalian nggak terlalu sibuk berarti ya? Ehm .... Ntar saya coba periksa drafnya. Paling nanti kalau sudah keliatan apa kurangnya, saya mohon bantuannya untuk bantu ngebimbing junior-juniornya ya? Nggak keberatan kan?"

"Nggak, Bu," jawab Ryan mantap. "Nggak berat sama sekali. Ringan malah."

Ehm ... sepertinya Vanessa merasakan ada makna yang berbeda di kalimat itu. Tapi, ia hanya memamerkan senyumnya dan mengangguk saja.

"Oke. Kalau gitu, ntar saya hubungi kalian kalau ada apa-apa," kata Vanessa kemudian. "Sekarang saya mau siap-siap dulu."

Ryan mengerutkan dahi. Mengignat bahwa sepertinya semalam ada yang mengatakan bahwa ia tidak sibuk hari ini.

"Mau ngajar, Bu?" tanya Ryan. "Atau seminar? Rapat?"

Abid menoleh horor. Tak percaya bahwa Ryan dengan entengnya menanyakan jadwal seorang dosen. Memangnya dia siapa coba? Ckckckck.

"Oh, itu ...." Vanessa menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. "Saya ada janji sama Ersya."

"Mau ngajarin dia Matematika ya, Bu?"

Vanessa meringis mendengar pertanyaan Ryan. Yang tentu saja, itu benar. Ia mengangguk.

Anggukan itu, membuat Ryan mengulum senyum. Hingga Vanessa merasa salah tingkah. Tapi, ia berusaha agar ekspresi wajahnya tidak berubah. Lantaran ada Abid di sana. Walau tentu saja, ia bisa menerka ke mana arah pikiran Ryan. Dan Vanessa hanya bisa merutuk di dalam hati karenanya.

Ih, dia masih bahas soal itu?

Dasar!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro