2. Pembuka Yang Sempurna
"Selamat ... siang, Bu."
"Selamat siang juga."
Hanya satu sapaan sopan yang dibalas dengan hal serupa oleh Vanessa. Ketika di jam sepuluh itu, ia masuk ke Gedung Jurusan. Ia dapatkan dari seorang mahasiswi yang kebetulan berpapasan dengannya. Namun, ketika Vanessa akan kembali lanjut melangkah, ia mendapati satu pujian menghampirinya.
"Ibu keliatan cantik banget hari ini."
Vanessa mengerjapkan matanya. Tampak kaget dengan pujian mendadak itu, namun ia tetap tersenyum sebagai bentuk sopan santunnya.
"Makasih."
Selanjutnya, Vanessa benar-benar beranjak. Dengan menebalkan wajah di saat ia berpapasan dengan beberapa orang mahasiswa dan karyawan di sana, Vanessa terus melangkah. Bibirnya tampak mengerucut. Seperti tengah menahan rasa sebal. Jelas, itu karena sapaan yang ia dapatkan adalah selamat siang. Alih-alih selamat pagi seperti biasanya.
Tuh kan, Ryan.
Emang dasar.
Omongan cowok mana ada yang bisa dipercaya.
Tadi juga janjinya bentaran doang, eh ... nyatanya?
Tanpa sadar, Vanessa mendengkus kesal. Tepat ketika ia akan menaiki tangga dan ia justru mendapati ada seseorang yang turun. Mereka pun sontak menghentikan langkah masing-masing. Pun juga sama dengan menampilkan ekspresi kaget.
"Bu Vanessa."
Vanessa tersenyum tipis. "Pak Nathan."
Pria itu, yang tepat berdiri di depan Vanessa, mengenakan pakaian formal perpaduan antara kemeja lengan panjang dan celana dasar. Dilengkapi oleh sepasang sepatu hitam yang tampak mengilap. Dengan satu kacamata berbingkai tipis yang bertengger di pangkal hidungnya, Nathan termasuk dosen yang menjadi idola para mahasiswi. Tak perlu berdusta, Nathan memang tampan.
"Tumben baru datang, Bu," kata Pak Nathan kemudian. "Pantas saja saya lewat depan ruangan Ibu dan masih gelap begitu. Ternyata Ibu baru datang."
Vanessa meringis. "Ya ... ada satu dua hal yang urgent tadi," kilahnya salah tingkah.
"Aaah ...." Nathan angguk-angguk kepala. "Tadi saya malah mikir Ibu nggak masuk karena sakit. Tapi, melihat Ibu, sepertinya kekhawatiran saya berlebihan," lanjutnya seraya tersenyum kembali. "Karena alih-alih sakit, Ibu justru terlihat lebih segar hari ini."
"Eh?"
Entah mengapa, tapi Vanessa sontak mengangkat satu tangannya yang bebas. Menangkup pipinya yang sontak merona. Hal yang justru membuat Nathan menjadi terpana. Karena jelas, ia tak pernah melihat Vanessa seperti itu sebelumnya. Tampak lebih cantik dari biasanya.
Namun, ketika Nathan masih terpukau dengan kecantikan Vanessa, cewek itu langsung bersuara.
"Ka-kalau begitu, saya permisi ke ruangan, Pak," kata Vanessa terburu-buru. "Permisi, Pak."
Mata Nathan mengerjap berulang kali. Hanya bisa tergugu ketika tanpa menunggu balasan perkataannya, Vanessa sudah keburu meninggalkan dirinya seorang diri di anak tangga itu. Dan Nathan hanya bisa mengembuskan napas panjang dengan senyum yang tersungging di wajahnya.
Sementara itu, di lantai dua Gedung Jurusan, Vanessa dengan segera mengeluarkan kunci ruangan dari dalam tas kerjanya. Membuka pintunya dan tergesa-gesa masuk. Hanya untuk menaruh bawaannya di atas meja dan lalu menangkup kedua pipinya.
"Argh! Ini pasti gara-gara pagi tadi."
Vanessa tidak tau, ia harus merutuk kesal atau justru bersyukur untuk hal yang telah terjadi. Oke, Vanessa adalah wanita dewasa. Dan ia tau dengan pasti beberapa efek positif untuk wanita bila melakukan hubungan intim di pagi hari. Salah satunya adalah memberikan efek kemilau pada kulit dan rambut.
Maka dari itu, seraya memejamkan matanya, Vanessa memilih untuk duduk. Dan ia sama sekali tidak merasa heran bila kedatangannya hari itu di kampus membuat ia mendapati beberapa pujian. Terlihat cantik, terlihat lebih segar, atau bahkan berseri-seri. Itu pasti karena ....
Menggeram, Vanessa mengeluarkan bedak dari dalam tasnya. Hanya untuk becermin. Melihat keadaan wajahnya. Apa memang terlihat seperti itu?
Dan Vanessa meneguk ludah. Menyadari bahwa memang kulitnya terlihat lebih cerah dari biasanya. Tak mengherankan sama sekali bila orang-orang mengatakan dirinya tampak lebih cantik hari itu.
Mata Vanessa mengerjap dengan salah tingkah seraya mengembalikan kembali bedak itu ke dalam tas kerjanya. Ia pun lantas berpikir di benaknya.
Tapi, walau emang ada sisi positifnya, tetap aja.
Melakukan hubungan suami istri di pagi hari itu tetap ada sisi negatifnya.
Telat misalnya.
Dan untuk itulah maka Vanessa berjanji di dalam hati.
Awas aja kamu, Yan!
Jangan harap kamu bisa buat aku telat lagi!
Tepat setelah Vanessa menjanjikan hal itu di benaknya, satu ketukan mendarat di pintunya. Menggugah kesadarannya bahwa saat itu ia telah berada di kampus. Bahwa ia harus bekerja. Termasuk melayani mahasiswa yang ingin bimbingan.
Vanessa bersuara. Mempersilakannya untuk masuk.
"Masuk."
Tak butuh waktu lama, pintu itu pun membuka. Tampak seorang mahasiswi bernama Mona yang tempo hari pernah datang ke ruangannya seraya menangis tersedu-sedu karena judul penelitiannya ditolak empat kali, masuk. Namun, berbeda dengan sebelumnya. Kali ini wajah Mona tampak ceria. Tanpa ada air mata. Yang ada justru senyum lebar.
"Siang, Bu."
Vanessa membalas senyum dan sapaan itu. "Siang juga," balasnya seraya menyambut tangan Mona yang ingin bersalaman dengan dirinya. "Hari ini keliatannya lagi senang. Ada berita bagus?"
Tak langsung menjawab, Mona justru menaruh satu map di atas meja kerja Vanessa. "Akhirnya, Bu," jawabnya kemudian. "Judul penelitian saya diterima juga."
"Syukurlah," desah Vanessa senang. "Selamat ya."
"Terima kasih, Bu. Dan ini saya lagi nunggu jurusan buat menentukan dosen pembimbing saya. Semoga saja dapat ibu deh."
Vanessa terkekeh. "Kita liat aja ntar."
"Saya berdoa banget biar bisa dapat ibu sebagai pembimbing. Biar saya semakin semangat buat ngerjain skripsinya, Bu," ujar Mona sambil terkekeh pula.
Dan ketika mereka sedang berbincang-bincang dengan santai, Vanessa kemudian mendapati ponselnya berbunyi. Lantaran ada pesan yang masuk. Maka ia pun berkata pada Mona.
"Bentar ...."
Vanessa mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Langsung mengusap layarnya dan mata cewek itu sontak membesar ketika mengetahui pesan dari siapakah yang masuk.
Ehm ... seharusnya Vanessa tidak perlu heran. Itu pasti adalah Ryan yang menghubunginya.
[ Ryancur ]
[ Wahai Dinda .... ]
[ Apakah Dinda sudah sampai di kampus dengan selamat sentosa? ]
[ Karena saat ini Kanda rasa-rasanya telah sampai ke surga .... ]
[ Surga dunia .... ]
"Astaga, Tuhan. Ini cowok ...."
Horor ketika membaca pesan yang Ryan kirim padanya, membuat Vanessa lupa bahwa di depannya ada Mona yang masih duduk dengan setia. Dan ketika ia sadar, Vanessa mendapati bagaimana Mona tampak mengerjap-mengerjapkan matanya. Membuat Vanessa salah tingkah. Berusaha untuk berkilah.
"Ehm ... bi-biasa. Ada teman saya yang emang orangnya rada usil. Ja-jadi---"
"Ting!"
Pesan kembali masuk. Membuat ucapan Vanessa terputus dan spontak ia menundukkan wajahnya. Kembali membaca pesan yang memang lagi-lagi dikirim oleh Ryan.
[ Ryancur ]
[ Dinda Dinda Dinda .... ]
[ Pelet apakah yang Dinda gunakan pada Kanda? ]
[ Mengapa baru sejam kita tidak bertemu, tapi Kanda sudah merasakan rindu? ]
Dan Vanessa, butuh waktu sejenak untuk memejamkan matanya. Menarik napas dalam-dalam. Berusaha menenangkan diri. Tapi, semua sepertinya tidak berhasil. Lantaran suara Mona kemudian membuat ia terguguh.
"Kenapa wajah Ibu merah?"
Astaga!
*
"Senangnya hatiku."
"Turun naik pinggangku."
"Kini aku bermain dengan riang."
"Vanessa oh Vanessa oh Vanessa!"
Sepertinya efek depresi lantaran mimpi wisuda benar-benar mempengaruhi kejiwaan Ryan. Lihatlah. Siang hari dengan matahari yang bersinar dengan terik, Anton dan Sahrul hanya bisa geleng-geleng kepala ketika melihat bos mereka mengangkat satu pot bunga seraya bersenandung dengan riang.
"Itu bukannya lagu iklan ya, Rul?"
Anton bertanya seraya menghampiri Sahrul yang tampak melongo seraya memegang satu sapu lidi. Dan rekannya itu mengembuskan napas panjang. Pun menganggukkan kepala sebagai jawabannya.
"Iklan jadul banget itu malah," jawabnya seraya melirik sekilas. "Aku bahkan udah lupa kalau dulu ada iklan obat penurun panas anak-anak."
Sekarang, Anton pun ikut-ikutan geleng-geleng kepala. "Sumpah. Aku benaran nggak tau kalau bos bisa segila ini kalau lagi jatuh cinta."
"Benar. Bahkan gilanya melebihi orang yang gila beneran malah."
Dan kegilaan yang dilihat oleh dua karyawan itu, belum terlalu gila hingga pada akhirnya ada beberapa orang pelanggan yang datang. Dengan sigap, Ryan selaku pemilik tempat usaha depot bunga itu menghampiri mereka sebelum Anton dan Sahrul sempat menyambutnya. Lantas, Ryan berkata dengan tangan yang terkembang.
"Selamat datang di Floral Garden. Surganya surga dunia untuk anda pencinta bunga." Ryan tersenyum lebar. "Ada yang bisa kami bantu?"
Kompak, Anton dan Sahrul memejamkan mata. Menepuk dahi dan bergumam rendah.
"Itu bukan bos aku, Ton."
"Bukan bos aku juga, Rul."
Namun, mendapat sambungan sehangat itu tentu saja adalah hal yang menyenangkan bagi pelanggan. Merasa benar-benar seperti seorang raja yang sedang dilayani, mereka mendapati Ryan yang dengan senang hati mendampingi mereka seraya sedikit memberikan tur kecil.
"Terkenal dengan istilah mawar gurun," kata Ryan seraya memamerkan satu pot adenium. "Adenium memiliki banyak jenisnya, Bu. Dan adenium obesum bisa dikatakan sebagai adenium sejuta umat. Nyaris semua pecinta adenium memiliki jenis ini, Bu."
"Ah, begitu ya?"
"Susah nggak, Mas, ngerawatnya?"
Dengan penuh irama, Ryan menggeleng. "Karena itulah mengapa ia menjadi adenium sejuta umat, Bu. Karena perawatannya yang terbilang mudah. Dan uniknya, jenis ini memiliki cabang tanaman yang bervariasi."
"Ehm ... gitu."
Memamerkan bunganya, Ryan pun lantas lanjut berkata.
"Ini kalau kuncup bunganya mekar, ini bakal cantik banget, Bu. Bunganya kayak bergerombol gitu. Rimbun. Mana warnanya cerah, perpaduan merah dan garis putih. Beuuuh! Dijamin, semua orang nggak akan meragukan jiwa nasionalisme ibu-ibu deh."
"Hahahahaha."
"Mas ini bisa aja deh."
"Berapa harganya, Mas?"
"Untuk penglaris istirahat siang," kata Ryan kemudian. "Satu potnya saya jual Rp 500.000,-. Ini karena cabang gemuknya udah pada banyak gini, Bu. Ini yang susah ngebentuknya dari awal."
Sembari mengatakan itu, Ryan pun lantas menunjukkan bagian yang ia maksud. Yaitu, percabangan adenium yang tampak membengkak. Buah ketekunan Ryan selama ini dalam merawatnya. Dan itu tentu saja memerlukan waktu yang tidak sedikit. Ada waktu dan keterampilan yang dihargai di sana.
Setelah terjadi tawar-menawar, yang merupakan hal lumrah dalam proses jual-beli, Ryan pun memanggil Anton dan Sahrul untuk membantu mengangkat satu pot adenium obesum. Tanaman bunga yang cantik itu berpindah ke satu mobil. Dengan teramat berhati-hati mereka berdua memastikan bahwa adenium itu akan tetap aman dari guncangan selama perjalanan nanti.
Dan nyatanya, tak hanya adenium yang berhasil masuk ke sana. Tercatat ada sepuluh polibag tanaman lili paris yang turut bergabung.
"Tanaman lili paris ini bagus untuk pembatas taman, Bu. Nanti kalau misalnya ini cocok di taman rumah Ibu dan Ibu butuh lebih banyak lagi, silakan datang lagi, Bu. Stok kami masih banyak di belakang."
Ibu tersebut mengangguk. "Saya mau ngeliat dulu hasilnya gimana. Kalau bagus, ntar biar mampir sini lagi."
Ryan mengangguk. Dan setelah beramah-tamah ala kadarnya, Ryan pun mengantar kepergian pembelinya itu. Wajahnya tampak semakin semringah. Hingga setelah mobil itu benar-benar berlalu, ia pun memutar tubuh. Bersiul-siul seraya menoleh ke kanan dan ke kiri secara bergantian dengan kedua tangan di balik pinggang. Semakin membuat Anton dan Sahrul tak habis pikir.
"Ehm ... kalau awal harinya aja udah menyenangkan," kata Ryan setengah menggumam. "Ya wajar dong kalau sepanjang hari jadi tambah menyenangkan."
Ryan terkekeh. Beranjak ke satu rumah yang tersedia di Floral Garden. Satu bangunan yang dulu memang menjadi tempat tinggalnya. Namun, ketika ia menikah maka otomatis saja rumah itu tidak ia tempati lagi. Alih-alih ia tinggal bersama dengan Vanessa di unit yang merupakan hadiah pernikahan yang mereka terima dari Gusnandar, kakek Ryan.
Duduk di teras, Ryan mengeluarkan ponselnya. Melihat bahwa Vanessa sudah membalas pesannya.
[ Vanessayang ]
[ Rindu? ]
[ Please, Yan. ]
[ Jangan ngegoda aku sih. ]
[ Aku mau kerja ah. ]
[ Dan sekali lagi nanya pelet-pelet, awas aja. ]
[ Bukan pelet yang kamu dapetin. ]
[ Tapi, santet! ]
Dan tentu saja, balasan itu membuat Ryan tertawa terbahak-bahak. Karena jelas, walau bunyi pesan itu terkesan ketus, kenyataannya Ryan tau bahwa Vanessa mengetiknya dengan pipi yang merona. Sesuatu yang sontak menimbulkan kehangatan di hatinya. Hingga tanpa sadar ia kembali bersenandung.
"Jatuh cinta berjuta indahnya."
Hal yang membuat Anton dan Sahrul menarik napas dalam-dalam. Berusaha menabahkan diri untuk perilaku menggelikan bosnya.
Harap maklum.
Sedang kasmaran.
Hihihihi.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro