19. Lantunan Perasaan
Lembut ....
Semuanya terasa amat lembut.
Sentuhan jemari Vanessa di pipinya, embusan napas yang menerpa kulitnya, dan kecupan manis di bibirnya. Semuanya terasa lembut. Teramat lembut. Hingga nyaris membuat satu pemikiran menggelikan muncul di benak Ryan.
Kalau aku gerak, Dinda nggak bakal luka kan?
Mungkin pertanyaan itu tidak sepenuhnya karena Ryan takut melukai Vanessa, alih-alih lebih menyerupai satu bentuk pembelaan diri. Ia tidak bergerak karena tidak ingin melukai Vanessa. Padahal yang terjadi sebaliknya, lantaran ia yang kaku seluruh badan ketika sentuhan ia Vanessa berikan padanya.
Ciuman itu hanya sekejapan. Bahkan tidak memberikan cukup waktu untuk Ryan mengedipkan mata. Karena selanjutnya, wajah Vanessa bergerak. Ia menarik diri. Mengangkat sentuhan yang ia berikan pada cowok itu.
Pelan-pelan, Vanessa membuka mata. Menatap pada Ryan yang jelas sekali menyorotkan syok di sana. Jelas tidak mengira bahwa Vanessa akan mendadak mencium dirinya.
"Va---"
Ucapan Ryan kembali terputus. Namun, kali ini bukan karena ada jari halus Vanessa di atas bibirnya. Melainkan karena Vanessa yang kembali melabuhkan ciuman di antara bibir Ryan yang membeku.
Astaga.
Kali ini, Ryan bukan lagi ia yang kaku seluruh badan. Alih-alih ia justru merasa mungkin akan pingsan sebentar lagi. Pingsan dalam sensasi yang tak mampu ia ungkapkan dengan kata-kata.
Hanya saja, bukankah saat ini memang kata-kata tidak lagi diperlukan? Karena ketika bibir Vanessa dengan lembut mengecup bibirnya, Ryan merasakan bagaimana jantungnya menjadi berdebar-debar tak keruan. Dengan keadaan seperti itu, mustahil sekali Ryan yang biasanya banyak bicara bisa bersuara. Alih-alih, ia justru terbawa oleh buaian yang Vanessa berikan padanya. Hingga kemudian, Ryan pun tidak menjadi pihak yang hanya bisa menerima sentuhan itu. Namun, juga menjadi pihak yang memberikan hal yang serupa.
Tangan Ryan terulur, meraih pinggang Vanessa. Menimbulkan erangan lirih meluncur dari tenggorokan cewek itu. Karena tanpa ada sedikit pun penolakan, ia justru tampak pasrah mengikuti tarikan tersebut. Hingga tubuhnya dan tubuh Ryan merapat. Tanpa ada celah sedikit pun yang memisahkan keduanya.
Ryan memiringkan wajahnya. Memberikan keleluasaan bagi Vanessa untuk memperdalam ciuman mereka. Menikmati bagaimana bibir lembut itu melumat bibirnya. Mengecup tiap sisinya. Hingga lalu ada sentuhan hangat yang membuat Ryan merasa tubuhnya seperti terbakar.
Teramat sensual sentuhan ujung lidah yang Vanessa berikan hingga Ryan pun tak mungkin menolak. Untuk membuka mulutnya. Dengan penuh rasa senang, membiarkan Vanessa memasuki rongganya dengan kehangatan yang ia miliki.
Dua lidah bertemu. Berjumpa dalam satu rasa yang padu. Hanya untuk menuntaskan semua fantasi demi bisa saling memuja. Dalam belitan, lilitan, dan gigitan yang mewarnai di tiap detiknya. Menimbulkan sulutan yang tak mampu ditahan oleh Ryan. Hingga satu tangannya yang bebas, bergerak. Mengambil inisiatifnya. Untuk menarik tekuk Vanessa. Menyusup di antara helaiannya halus. Agar bisa memperdalam ciuman mereka. Semakin dalam. Semakin dalam lagi. Hingga sentuhan yang semula hanyalah ciuman, lantas berubah menjadi cumbuan yang tak mampu untuk keduanya hentikan.
Jemari Vanessa tergelincir dari pipi Ryan. Terjatuh di pundaknya lantaran pergerakan yang cowok itu lakukan. Ketika ia yang semakin terdorong untuk semakin menikmati ciuman itu. Dan sekarang, Vanessa bukan menjadi pihak yang memegang kendali. Alih-alih, Ryan.
Dan tak hanya bibir Ryan yang melakukan godaannya, alih-alih ada juga sepasang tangannya yang mengelak untuk tetap diam saja. Karena ketika Vanessa memasrahkan diri dalam kendali yang ia ciptakan, tangan cowok itu bergerak. Demi meraih tubuh Vanessa, mengangkatnya dari kursi yang ia duduki. Lantas mendaratkannya di atas pangkuannya. Menciptakan posisi yang lebih intim lagi untuk keduanya.
Ryan merengkuh Vanessa, pun dengan cewek itu yang membalas tindakannya. Hingga membuat semua terasa gelap di mata Ryan. Makin lama, hasrat yang semula hanya setitik itu, dengan cepat berkobar.
Karena ketika tubuh Vanessa tenggelam dalam rengkuhannya, ketika tangan Vanessa mengalung di lehernya, dan ketika erangan Vanessa menyapa gendang telinganya, Ryan pun merasa bahwa malam itu ia tidak akan puas hanya dengan satu ciuman saja. Ia menginginkan lebih. Dan itulah yang ia lakukan kemudian. Melepaskan ciumannya, hanya untuk menjelajahi kulit Vanessa dengan bibirnya.
Mata Vanessa memejam. Bibirnya terbuka. Berusaha untuk menarik udara ketika kelembaban sensual itu meremangkan setiap sentimeter kulit wajahnya. Untuk kemudian pelan-pelan, semakin turun, semakin menyentuh. Mendorong ia untuk mengangkat wajahnya tinggi-tinggi. Menyilakan bibir Ryan untuk melakukan penjelajahan yang ia pun menginginkannya.
Bibir Ryan mengecup. Menikmati wangi di kulit leher Vanessa. Dan mencecap rasa manis di sana. Demi menarik desahan itu untuk mengalun. Samar, namun begitu mampu membuat hatinya bergetar.
Jemarinya menjelajah. Meraba di tiap lekuk tubuh Vanessa. Ke mana-mana. Melewati pinggang ramping itu. Berpindah ke lekuk punggungnya. Lalu bermuara pada payudaranya.
Lima jari Ryan bermekaran. Laksana mahkota bunga yang sudah waktunya untuk membuka. Tepat untuk menangkup kelembutan yang ditawarkan bagian feminin Vanessa yang satu itu. Tapi, lantas semua berhenti.
Deru napas Vanessa yang kacau, memenuhi udara di sekeliling mereka. Cewek itu tampak terengah-engah. Menunggu. Namun, bibir Ryan tak lagi mengecup. Jemarinya pun tak lagi menggoda. Perlahan, mata Vanessa membuka. Dan di saat itu, Ryan bertanya.
"Besok kamu nggak sibuk?"
"Aaah ...."
Vanessa tersenyum. Lantas tangannya yang mengalung di seputaran leher Ryan, bergerak. Dengan jemarinnya, ia mengusap rambut Ryan yang terasa sejuk di indra perasanya. Dan ia menggeleng.
"Nggak kok."
Seiring dengan dua kata yang ia ucapkan, Vanessa lantas menarik Ryan. Untuk kembali membawa mereka berdua ke dalam ciuman yang mendorong jemari cowok itu lantas bergerak. Dalam lantunan pergerakan sensual. Yang menggoda payudara Vanessa. Dengan begitu ahli menerbitkan erangan yang berpadu dengan desahannya.
Rengkuhan semakin erat, ciuman semakin dalam, dan godaaan semakin menyulut. Hingga baik Vanessa atau pun Ryan saling terpacu. Tanpa peduli bahwa geliat tubuh mereka menimbulkan riak yang mengacaukan keadaan di sekeliling keduanya.
Tangan Ryan bergerak, tanpa sadar menyenggol buku di atas meja. Dan benda itu terjatuh. Begitu pula dengan Vanessa. Mengabaikan bagaimana tanpa sengaja kakinya menyenggol tumpukan jurnal. Hingga kertas-kertas itu berhamburan. Tepat ketika Ryan dengan terburu-buru bangkit. Dengan membawa serta Vanessa di gendongannya. Membiarkan kedua kaki jenjang itu melingkari pinggangnya. Mantap, kedua kakinya pun kemudian melangkah dengan pasti. Hanya untuk mencapai tempat tidur. Lalu menjatuhkan tubuh mereka berdua di atas kasur yang empuk itu.
Tiga kali, sebanyak itulah pantulan yang diberikan kasur itu ketika ada Vanessa dan Ryan yang jatuh ke sana. Untuk kemudian, tak ada lagi lonjakan yang tercipta. Alih-alih justru cumbuan yang terasa makin memuja.
Ryan menggeram. Merasakan bagaimana jemari Vanessa yang lentik meninggalkan lehernya. Bergerak turun. Menyusuri tulang selangkanya. Dan kemudian mendarat di dadanya, demi memberikan usapan lembutnya di sana.
Gemas, gigi Ryan menggaruk kulit Vanessa. Seiring dengan ia yang memutus ciuman mereka, lalu perlahan merayap turun. Mengabaikan sepasang tangan Vanessa yang kemudian memilih untuk mendarat di kepalanya. Meremas helaian rambutnya. Tepat ketika Ryan menarik turun pundak gaun tidur yang Vanessa kenakan. Lantas melabuhkan ciuman sensual di kulit payudaranya yang tersingkap.
"Yan ...."
Karena ketika Ryan makin menggoda, maka gelora Vanessa pun makin menyala. Hingga wajar saja kalau detik demi detik, cewek itu makin tak mampu mengendalikan dirinya. Menggeliat. Menarik Ryan. Lalu melantuhan racauan yang teramat erotis bagi siapa pun yang mendengarnya.
Sudah. Ryan tidak akan mempu bertahan lagi. Hingga ia memutuskan untuk bangkit sejenak. Dengan amat terpaksa harus menjeda cumbuannya. Demi bisa meloloskan kaus di tubuhnya, pun berikut dengan celana yang terasa mengekang kehendaknya. Untuk kemudian, membantu Vanessa melucuti pakaiannya. Menampilkan pemandangan feminin yang polos itu di matanya. Terbaring. Penuh pasrah. Dengan sorot yang mendamba.
Bertahan pada satu tangan, Ryan menarik napas dalam-dalam. Menyempatkan diri sejenak untuk memberikan usapan seringan bulu di sisi wajah Vanessa. Hingga bola mata cewek itu berputar sekali, untuk kemudian matanya memejam. Dengan napas tertahan. Dengan menggigit bibir bawahnya. Gemetaran lantaran menunggu sementara bayangan-bayangan kemungkinan itu bermain di benaknya. Demi menggoda. Demi membuat ia semakin tak sabaran.
Perlahan, Ryan lantas turun. Mendaratkan tubuhnya di tubuh Vanessa. Membiarkan cewek itu merasakan bobot dirinya. Dan ia mengecup bibir Vanessa. Dengan teramat lembut. Selembut sentuhan payudara yang Ryan rasakan di dadanya. Hingga napasnya terasa sesak. Membuat ia tak lagi mampu mengulur-ulur waktu. Untuk kemudian, ia pun menyatukan dirinya dan Vanessa. Dalam satu hunjaman yang membuat sepuluh kuku itu menancap di kedua pundaknya.
"Aaah ...."
Lirihan Vanessa terdengar. Terdengar begitu sensual hingga membuat Ryan yakin, bahwa cewek itu baik-baik saja. Malah lebih dari itu sebenarnya. Karena satu kecupan yang ia labuhkan di rahang Ryan, cukup menjadi bukti. Bahwa Vanessa sangat menginginkannya.
Ryan menarik diri. Pinggangnya mundur, lalu mendorong lagi. Membawa kejantanannya untuk masuk kembali ke dalam lembah kewanitaan Vanessa. Yang terasa hangat, liat, dan erat. Membuat ia seperti gelap mata. Hingga melenyapkan semua permainan yang melaju dalam irama perlahan. Tergantikan oleh pergerakan yang semakin lama semakin meninggi kecepatannya.
"Aaargh! Aaargh! Aaargh!"
Ryan menahan pundak Vanessa. Mencumbu kulit lehernya ketika ia semakin mendesak cewek itu. Makin menindihnya. Melesakkan tubuh ramping yang pasrah itu untuk lenyap ke dalam kungkungan yang ia ciptakan. Tertahan oleh kasur yang empuk, terperangkap dalam rengkuhan yang tak terelakkan.
"Oh, Ryan ...."
Mata Vanessa memejam. Menggigit bibir bawahnya. Merasa tak berdaya dengan setiap hunjaman yang ia terima. Hingga desakan gairah itu membuat ia seperti melayang. Terombang-ambing dalam lautan yang tak tau di mana pantainya.
Vanessa hanyut. Membiarkan setiap rasa itu diberikan oleh suaminya. Pasrah. Menikmatinya. Merasakan bahwa tak hanya kejantanan Ryan yang mendesak dirinya untuk hilang dari akal sehatnya. Alih-alih, bibir cowok itu. Jari tangannya. Dan semua yang ada pada diri Ryan membuat ia semakin tak berdaya. Terbuai dalam beragam sensasi yang meloloskan desahan demi desahan untuk makin mengalun.
"Oooh .... Oooh .... Oooh ...."
Napas Vanessa semakin kacau. Semakin menggebu. Dan rasa itu, membuat sifat serakahnya sebagai manusia, timbul.
Kaki Vanessa naik. Mendarat di atas pinggang Ryan, mengalung di sana. Demi menarik cowok itu untuk semakin menindih dirinya. Agar hunjaman itu bisa melaju semakin mendalam.
"Aaah ...."
Ryan mendesakkan kejantanannya. Menuju pada satu titik yang membuat Vanessa mengerang. Seiring dengan kepalanya yang terangkat. Dan dadanya yang kemudian membusung. Membuat Ryan tersadar bahwa ada satu hal yang belum benar-benar ia lakukan sedari tadi.
Maka mulut Ryan membuka. Menuju pada payudara Vanessa yang bagai memberikan tantangannya. Dan tentu saja, Ryan menerima tantangan itu dengan senang hati. Melenyapkan putingnya dalam kehangatan rongga mulut yang ia miliki. Melumatnya pelan-pelan. Mengecupnya. Lalu menggoda bagian itu dengan ujung lidahnya yang nakal.
Vanessa tak berdaya. Erangan demi erangan semakin lancar lolos dari tenggorokannya. Matanya pun memejam dengan semakin rapat. Dan jemarinya, dengan tak kuasa membutuhkan pegangannya. Hingga meremas rambut Ryan sekuat yang ia bisa.
Mungkin saja rambut Ryan akan rontok mengingat betapa kuatnya Vanessa meremas bagian yang satu itu. Namun, Ryan tak peduli. Karena alih-alih melepaskan cumbuannya, ia justru semakin menggila. Kali ini, tidak hanya mulutnya yang menggoda. Namun, begitu juga dengan jemarinya. Yang dengan teramat lincahnya, mengusap-usap ujung puting Vanessa yang lainnya. Membelainya. Memutirnya. Hingga tentu saja, Vanessa semakin menggeliat sensual di bawah tubuhnya.
"Aaah .... Yan .... Yan ...."
Ketika Ryan pada akhirnya menarik cumbuannya di sepasang payudara Vanessa, maka putingnya yang merekah adalah satu kenang-kenangan yang ia tinggalkan di sana. Lantas ia mencium kulit halus payudara itu. Menimbulkan lebih banyak lagi cendera mata yang tak akan mungkin mampu menghilang dalam hitungan jam.
Keringat menetes di dahi Ryan. Membuat ia mengerjap sekali tanpa menghentikan setiap pergerakan yang ia lakukan. Hingga semakin lama, maka semakin banyak pula peluh yang memercik. Tak hanya dari tubuhnya, alih-alih juga dari tubuh Vanessa.
Dua tubuh polos, tanpa ada sehelai benang pun yang melekat, tampak merengkuh semakin erat. Kehadiran hangatnya keringat, membuat mereka semakin menggeliat dengan teramat liat. Saling merengkuh. Tidak ingin terpisahkan.
"Aaah .... Aaah .... Aaah ...."
Vanesssa makin memejamkan matanya dengan erat. Karena semakin lama, hunjaman yang ia terima semakin kuat. Semakin cepat. Semakin membuat ia tak berdaya. Seperti ia yang pelan-pelan sedang dilambungkan. Ke titik tertinggi. Hingga semua lenyap dalam pandangannya. Yang ada hanyalah semua sensasi yang melingkupi dirinya. Dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.
Ryan menghunjam, kejantanannya masuk dan keluar dengan begitu teratur. Namun, juga teramat menggebu.
Ryan mencumbu, mulutnya melumat daun telinga Vanessa dengan begitu sensual. Namun, juga teramat bernafsu.
Ryan meremas, jemarinya menggoda payudara Vanessa dengan begitu intim. Namun, juga teramat terpacu.
Semuanya, membuat Vanessa merasa mabuk. Ia tak berdaya. Terombang-ambing dalam lautan gairah yang berusaha menarik dirinya. Untuk tenggelam. Tak kuasa. Mengikuti tarikan gelora yang semakin lama semakin memerangkapnya. Merengkuhnya dengan erat. Tak akan melepaskannya. Hingga ia pun tak kuasa untuk mengelak. Dari terpaan gelombang kenikmatan yang kemudian menghantam dirinya.
Vanessa merengkuh Ryan dengan teramat kuat. Pun kedua kakinya menarik pinggang Ryan dengan tak kalah kuatnya. Ia meracau. Lalu mengerang. Kemudian menggigit pundak Ryan.
"Aaah!!!"
Sensasi itu membutakan mata Vanessa. Menghadirkan kesan yang membuat Ryan semakin terpacu. Untuk kembali menghunjam. Kembali mendesak. Kembali mendorong. Berulang kali. Hingga suara napas keduanya terdengar dengan amat nyata memenuhi sekeliling kamar mereka.
Kembali meracau, Vanessa makin tak berdaya saat sensasi itu kembali membutakan matanya. Hingga ia hanya bisa merengek. Tak ubahnya seperti anak kecil yang diganggu oleh teman sepermainannya. Walau jelas, kali ini Vanessa bukannya diganggu. Alih-alih sedang dipuja oleh teman hidupnya.
Vanessa pikir ia akan pecah berkeping-keping. Karena ia makin merasa tak berdaya. Merasa tenaganya sudah berada di ujung pertahanan. Untuk selanjutnya, ia merasakan bagaimana Ryan memeluknya dengan cara yang berbeda.
Menahan tubuh Vanessa, Ryan mengeratkan satu tangannya di pinggang cewek itu. Untuk kemudian tangannya yang lain memerangkap satu pergelangan tangan Vanessa. Tidak memberikan celah baginya untuk mampu bergerak. Demi menuntaskan gairah yang sudah mendidihkan ubun-ubunnya.
Ryan menggeram. Mendorong pinggangnya dengan cepat. Dengan kuat. Hingga menimbulkan suara-suara erotis itu di telinganya. Hingga pada akhirnya, semua sajian yang kewanitaan Vanessa berikan padanya, memerangkap akal sehatnya.
Itu terasa hangat. Namun, juga menyejukkan. Ah, termasuk di dalamnya ada cengkeraman yang kuat dan erat. Seolah tidak mengizinkan Ryan untuk pergi dari sana.
Membuai. Melenakan. Itu adalah godaan yang teramat mustahil untuk Ryan tolak. Hingga pada akhirnya, hanya satu kata itu yang mampu mewakili Ryan. Yaitu, pasrah.
Roboh tak berdaya, semua bukti cinta itu tercurah tanpa sisa. Membuktikan bahwa semua pertahanan yang Ryan miliki tak memiliki kuasa. Bila itu berhadapan dengan ... Vanessa.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro