Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Rasa Percaya

Samar sih, tapi Vanessa yakin seperti mendengar suara Ryan yang berbicara dengan seseorang. Hingga membuat ia yang semula ingin lanjut kembali bekerja seraya menikmati camilan yang sudah dibawakan oleh cowok itu, mengurungkan niatnya. Alih-alih, ia bangkit berdiri. Membuka pintu dan mendapati bahwa ternyata ada Nathan yang berbicara dengan Ryan. Tepat sebelum Ryan yang kemudian tampak berpamitan, lantas berlalu dari sana.

Tertegun sejenak melihat kepergian Ryan, Vanessa nyaris melupakan Nathan. Hingga ia tak bisa melarikan diri ketika rekan kerjanya itu melayangkan tatapan matanya pada dirinya. Tentu saja, Vanessa tidak mungkin berpura-pura tidak melihat dan langsung menutup pintu ruangannya. Terutama karena Nathan sekarang berjalan ke arahnya.

Vanessa tersenyum. "Selamat siang, Pak."

"Selamat siang, Bu," balas Nathan. "Nggak ngajar?"

"Nggak. Kebetulan lagi jam kosong sekarang. Ehm ...." Vanessa mendehem sejenak. "Tadi sebenarnya saya lagi ngoreksi proposal. Tapi, karena ada suara-suara, saya jadi penasaran. Ternyata Bapak lagi ngobrol sama Ryan."

Kepala Nathan mengangguk. "Oh, iya. Tadi saya dan Ryan emang ngobrol sebentar."

"Ehm ... ngobrolin apa ya, Pak?"

Tersenyum, Nathan menjawab. "Soal kapan dia mau seminar hasil."

"Aaah ...."

Vanessa manggut-manggut. Jelas ia mengetahui bahwa Nathan adalah dosen penguji skripsi Ryan. Maka adalah hal yang wajar bila rekan kerjanya itu menanyakan hal tersebut padanya.

"Ehm ... kalau gitu, saya permisi dulu, Bu. Ada praktikum jam dua belas siang ini."

Vanessa mengerjap. Mengangguk dan tersenyum. "Iya, Pak. Silakan."

*

Malam itu, Vanessa yang baru saja selesai dari kamar mandi melihat Ryan yang tampak serius di meja belajarnya. Dengan satu laptop yang menyala, satu buku besar yang membuka, dan berpuluh-puluh jurnal ilmiah yang menumpuk. Cowok itu tampak serius ketika menggerakkan pena di tangannya, dengan sesekali diselingi oleh pergerakan ujung jarinya di touchpad.

"Serius banget kamu, Yan. Lagi ada revisian ya?"

Vanessa bertanya seraya menghampiri Ryan. Memilih untuk duduk pula di kursinya. Bertopang pada satu siku di atas meja, ia melihat wajah cowok itu dari samping.

Ryan menggeleng. "Sebenarnya nggak ada revisian sih. Malah kalau boleh jujur, kalau aku nggak ngulang kelas, aku pasti udah seminar sekarang."

Senyum kecil timbul di wajah Vanessa. Tapi, ia memutuskan untuk tidak menggoda Ryan. Lantaran ia seperti melihat ada sorot yang beda di sepasang mata cowok itu. Yang mengaakan bahwa ada satu hal yang sedang mengganjal pikirannya.

"Tapi, ya ... aku cuma mau belajar aja. Biar ntar pas ujian, aku bisa jawab dengan lancar semuanya."

"Ehm ...," dehem Vanessa dengan penuh irama. "Kamu ini emang cowok rajin ya? Pantas aja nilai kamu tinggi."

"Ck. Nilai tinggi itu pasti karena ada usahanya. Kalau nggak belajar, ya ... artinya nyontek."

"Hehehehe. Kamu bisa aja."

"Ya mau gimana lagi. Orang yang paling jenius aja juga belajar kok. Mana ada ceritanya itu Einstein nggak belajar."

Ryan mengembuskan napas panjang. Memutar-mutar pena di tangannya. Sekarang, tatapannya di buku berubah menjadi tak fokus. Tepat ketika ia melirih.

"Apalagi aku, harus belajar beneran biar orang-orang tau kalau nilai aku bagus emang karena usaha aku."

Vanessa mengerutkan dahi. "Eh? Maksud kamu?" tanyanya bingung. Perkataan Ryan membuat otaknya berputar, mengira-ngira sesuatu yang tak pasti. "Ada yang ngomong kalau nilai kau nggak pantas gitu?"

Pena kembali berputar. Dan Ryan lagi-lagi mengembuskan napas panjang. Namun, ia menggeleng.

"Nggak sih," jawab Ryan datar. "Cuma ya ... aku kepikiran aja."

"Kepikiran apa?"

Kali ini putaran pena di jari Ryan berhenti. Dan cowok itu tampak berpaling pula. Melihat pada sepasang mata Vanessa dan memamerkan senyum gelinya.

"Kepikiran aja kalau mungkin selama ini orang-orang pada takjub gitu ngeliat aku," jawab Ryan kemudian. "Cowok cakep, baik-baik, udah punya usaha sendiri, eh ... pinter lagi. Orang-orang pasti mikir mustahil kan ada cowok kayak aku? Mereka bahkan mungkin aja mikir kalau nilai aku selama ini karena curang. Iya kan?"

Dooong.

Vanessa melongo sedetik, tapi kemudian tawanya langsung pecah. Diiringi oleh cengiran Ryan.

"Eh, bener kan yang aku bilangin? Ntar orang-orang mungkin pada mikir lagi kalau nilai aku bagus, terus akademik aku lancar, dan yang lain sebagainya, itu gara-gara bantuan dosen gitu. Iya kan?"

"Hahahahah. Yan, ya ampun. Kamu ini. Hahahaha. Ada-ada aja pikiran kamu."

Pena lepas dari jari Ryan. Sekarang cowok itu justru membawa tangannya untuk naik. Demi bisa meraih anak rambut Vanessa yang lepas dari ikatannya. Membawa helaian-helaian wangi itu ke balik daun telinganya.

"Tapi, bener kan yang aku bilangin?" tanya Ryan lagi. "Kadang mentang-mentang mereka nggak kayak kita, eh ... jadi mikir nggak mungkin kita bisa loh. Ehm, gimana sih ngomongnya? Padahal mereka aja yang nggak tau perjuangan di balik layar gimana. Mereka begadang gara-gara nongkrong, aku begadang gara-gara belajar. Terus pas nilai aku tinggi, mereka yang julid. Aneh deh."

Vanessa kembali tertawa. "Yan, astaga. Kayaknya selama kita nikah, baru kali ini deh kamu ngebahas soal ginian. Kenapa? Siapa yang meragukan nilai kamu?"

Ryan menyipitkan matanya. "Kamu mau tau? Kenapa?"

"Ehm ... biar aku bisa pentung kepalanya pake mangkuk. Terus aku lempar pake pot tanah liat. Hahahaha. Bisa-bisanya dia meragukan kamu."

"Hahahahaha."

Kali ini Ryan yang tertawa. Tak mengira sama sekali bahwa Vanessa akan mengatakan hal seperti itu. Yang tentu saja membuat perutnya merasa geli seketika.

"Bisa-bisanya kamu ngomong gitu, Sa. Astaga. Tapi, kalaupun kamu bakal ngelakuin itu, kamu bakal repot deh. Karena sebenarnya emang banyak sih yang meragukan aku. Ehm ...."

Tawa Vanessa berhenti. Matanya tampak polos menatap Ryan. Karena sungguh. Ia tak habis pikir bila ada orang yang meragukan kepintaran Ryan. Lihat saja dari usaha yang ia jalankan dan juga catatan akademiknya. Masa iya mencontek bisa memberikan efek sedemikian hebatnya? Jelas, hal curang seperti itu hanya akan memberikan dampak di nilai akademik. Tidak termasuk dengan proposal PKM yang lolos, beasiswa yang didapatkan, dan juga kepercayaan dosen yang sering meminta bantuannya.

"Tapi ...." Ryan menghela napas panjang, tersenyum. "Kayaknya kalau mereka nggak percaya juga nggak apa-apa sih. Yang penting kamu aja deh percaya sama aku. Itu lebih dari cukup."

Biasanya ... biasanya ... biasanya .... Ryan selalu mengatakan hal yang lucu dan menggelikan pada Vanessa. Bahkan ketika cowok itu merayu pun hasil akhirnya tetap adalah tawa terbahak di antara mereka. Tapi, ada apa dengan kali ini?

Vanessa tertegun. Matanya mengerjap sekali ketika menatap pada Ryan. Cowok itu tampak tersenyum tipis. Antara ingin dan tidak. Pun ekspresi wajahnya terlihat tenang. Kesan jahil dan nakal yang biasanya tidak lepas bahkan dari sorot matanya itu, seperti menghilan sejenak. Tergadaikan oleh raut yang tampak lebih ... dewasa.

"Mungkin karena keseharian aku yang kayak gini kali ya? Somplak, sering dibilang gila, dan yah .... Nggak aneh juga sih kalau ada orang-orang yang meragukan aku."

Dahi Ryan tampak sedikit berkerut. Menyadari bagaimana teman-temannya pun mungkin meragukan dirinya. Maka sudah pasti dong kalau ada satu atau dua pemikiran yang menduga bahwa pencapaiannya selama ini tidak murni karena usahanya sendiri. Menjilat kanan kiri misalnya. Terutama karena semua orang tau bahwa usaha Ryan yang bergerak di bidang tanaman hias itu sering disinggahi oleh dosen-dosen dan petinggi lainnya. Untuk kepentingan pribadi atau justru hal yang berkaitan dengan kepentingan kampus.

"Jangankan itu," lanjut Ryan kemudian. "Toh awal kita nikah, kamu juga nggak percaya sama aku kan?"

"Eh?"

Vanessa tergugu. Tidak mengira bahwa Ryan akan menanyakan hal tersebut. Jujur, membuat Vanessa menjadi mengira-ngira. Apakah ada yang merisaukan perasaan cowok itu. Namun, ia tidak mendapat petunjuk apa pun. Bahkan ketika mengingat ke belakang, bukankah mereka dalam keadaan yang adem ayem ya? Tadi pun mereka sempat berciuman di kampus loh.

"Ehm ... kayaknya wajah aku ini emang termasuk golongan wajah yang nggak bisa dipercaya ya?"

Menanyakan itu pada dirinya sendiri, Ryan lantas mengembuskan napas. Mengusap-usap ujung dagunya seperti ia yang tengah berusaha meraba dirinya sendiri. Dan ketika itulah, ia merasakan satu tangan menahan pergerakan tangannya. Membawanya ke arah yang berlawanan. Pada Vanessa.

"Yang dulu ... itu bukan aku yang nggak percaya sama kamu, Yan."

Suara Vanessa terdengar berbisik. Walau samar, Ryan jelas bisa melihat ada senyum di wajah cantik itu. Dan juga ... di matanya.

"Tapi, aku justru nggak percaya sama diri aku sendiri," sambung Vanessa kemudian. "Kamu pikir cuma kamu yang mikir gitu? Aku dulu bahkan mikir, segininya aku, tapi masih aja ketiban nasib sial. Terus apa itu artinya aku cukup berharga untuk cowok kayak kamu? Yang masih muda dan tentu aja punya banyak kenalan yang lebih dari aku yang dipanggil ibu." Vanessa menarik napas dalam-dalam. "Aku yang ngerasa nggak percaya sama diri aku sendiri setelah kejadian itu."

Ryan mengerjap. Sekarang, mendadak saja ia merasa tidak nyaman. Sungguh. Ia tidak bermaksud untuk mengungkit hal itu.

"Sa ..., aku---"

Jari Vanessa naik. Mendarat di bibir Ryan. Tau dengan pasti apa yang dipikirkan oleh cowok itu. Maka ia pun menggeleng.

"Nggak apa-apa kok. Sekarang aku udah nggak ngerasa sedih lagi. Karena ... ternyata kebahagiaan yang aku rasakan sekarang jauh lebih banyak dari kesedihan aku waktu itu," ucap Vanessa memutus perkataan Ryan. "Aku nggak percaya ke diri aku sendiri kalau aku pantas untuk dicintai. Dan aku pikir, itu juga yang bakal terjadi sama kamu. Suatu saat nanti, kamu juga pasti bakal ninggalin aku."

Ryan meraih tangan Vanessa, menurunkannya dari bibirnya. "Nggak mungkin."

"Aku tau," angguk Vanessa seraya tersenyum dengan matanya yang berkedip sekali. "Lebih dari itu. Kamu udah ngebuat aku percaya ke diri aku lagi. Bahwa aku berharga. Dan cara kamu ngeliat aku ... itu kayak aku cewek yang paling cantik di dunia."

"Astaga," desis Ryan. "Serius? Kamu nggak tau betapa cantiknya kamu? Ya Tuhan, Sa."

Vanessa terkekeh. "Kalau kamu yang ngomong, ya ... aku percaya. Dan ...."

Ryan menunggu. Untuk kelanjutan perkataan Vanessa yang tak kunjung ia dapatkan beberapa detik kemudian.

"Dan ...?"

Dan Vanessa tidak tau harus mengatakan apa lagi. Karena rasanya seperti semua warna itu berkumpul ketika ia merenungkan bagaimana hari-harinya yang gelap telah berubah aneka warna lantaran Ryan. Yang kemudian berhasil membuat ia percaya diri kembali. Bisa melihat pada dirinya sendiri sebagai sosok yang berharga. Karena kegagalan percintaan dengan tragedi perselingkuhan akan selalu meninggalkan luka.

Hingga rasa sakit itu membuat Vanessa pun sempat ragu, apakah dirinya pantas untuk kembali dicintai. Toh, orang yang sudah lama saja mencampakkan dirinya. Apalagi Ryan yang belum ia kenal kala itu.

Tapi, di sinilah ia berada sekarang. Di mana tak ada satu pun hal yang bisa membuat ia ragu. Ia merasa seperti satu-satunya cewek yang dilihat oleh Ryan. Hingga ia merasa mantap untuk berkata.

"Aku cinta kamu, Yan."

Tak hanya mengatakan itu, Vanessa pun kemudian menggeser duduknya. Mendapatkan posisi yang tepat. Untuk tangannya lepas dari genggaman Ryan. Demi menangkup wajah cowok itu. Dan kemudian, melabuhkan satu kecupan di bibirnya. Dengan mata yang terpejam. Dengan sepenuh hati. Hingga Ryan merasa bahwa saat itu jantungnya tak lagi berdetak, seketika saja berhenti.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro