Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Dalam Lingkaran

Ya Tuhan.

Mengapa Engkau memberikan cobaan yang begini besar untuk teman hamba ya, Tuhan?

Kasihan Ryan ya, Tuhan.

Dia nggak bakal kuat menghadapi cobaan ini ya, Tuhan.

Cobaan ini terlalu berat untuk Ryan ya, Tuhan.

Ryan nggak bakal sanggup melewati ini semua ya, Tuhan.

Sekurang-kurangnya itulah yang Abid doakan di dalam hati. Ketika Iis pada akhirnya benar-benar mengatakan sesuatu yang membuat cowok berambut sedikit ikal itu ketakutan dari tadi, lantaran satu kemungkinan yang melintas di benaknya. Yang mana ... kemungkinan itu justru menjadi kenyataan dalam hitungan detik yang teramat singkatnya.

Lihatlah. Abid berpaling. Menoleh tanpa daya pada Ryan yang duduk tepat di sebelahnya. Cowok berambut pirang itu tampak melihat pada Vanessa dan tersenyum, seraya mengangguk-anggukkan kepala. Persis seperti anak ayam yang termakan karet. Hiks.

Belum benar-benar barengan aja dia udah menunjukkan gejala-gejala kegilaan, apa lagi ntar?

Semoga aja Bu Vanessa kuat menghadapi dia.

Kalau aku sih, jujur aja.

Mungkin bentar lagi bakal nyerah.

Karena ketika Abid memindahkan fokus matanya, ia bisa melihat bagaimana ekspresi kaku tercetak di wajah Vanessa. Seperti tidak tau harus berekspresi seperti apa ketika mendapati Ryan masih saja menatap pada dirinya seraya mengulum senyum malu-malu.

Lalu mata Abid mengerjap. Tepat ketika ia merasakan gejolak di dalam perutnya. Hingga ia pun buru-buru menutup mulut dan berusaha untuk berkata.

"Maaf, saya permisi ke toilet sebentar."

Abid segera keluar dan menuju ke kamar mandi yang tersedia. Hanya untuk menyasar pada wastafel. Demi memuntahkan isi perutnya.

Sial!

Abid benar-benar muntah!

Hahahahaha.

*

"Jadi, selanjutnya gimana, Bu? Saya siap menerima arahan dari Ibu."

Dengan teramat sopan, mengatupkan kedua tangannya di depan tubuh, Ryan berkata pada Vanessa. Saat itu mereka sedang berada di lorong jurusan. Sudah keluar dari pertemuan bersama dengan tim besar tadi dan sekarang sepertinya mereka sedang membahas rencana ke depannya.

Berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja, Vanessa tersenyum dengan santai. "Ah, iya. Kalau begitu, mungkin nanti kamu dan Abid bisa mendata kelompok kita. Terus tanyakan, jadwal kosong mereka kapan. Biar kita bisa kumpul sebentar."

"Siap, Bu. Nanti saya cek di daftar yang udah dikasih sama Bu Emi tadi," kata Ryan cepat. "Nanti biar gampang saya buat grup chat aja sama mereka. Ehm ... apa nanti saya boleh masukin Ibu--- eh?" Ryan mengerjap. "Maksudnya masukkan Ibu ke grup chat-nya?"

Mengusap sekilas hidungnya dengan buku jari tangan, Vanessa mengangguk sekali dengan rasa kaku di wajahnya.

"Ya, silakan."

Ryan mengangguk. "Baik, Bu. Abis ini saya langsung buat grupnya. Terima kasih, Bu."

"Oke," ujar Vanessa. "Kalau gitu, saya ke ruangan dulu."

"Siap, Bu. Sampai jumpa di praktikum nanti."

Abid buru-buru membalikkan badan. Lebih memilih melihat dinding saja ketimbang melihat kenyataan. Hiks.

Hingga kemudian, bunyi ketukan hak sepatu Vanessa di lantailah yang menjadi isyarat bagi Abid. Menunggu sejenak sampai suara itu menghilang di indra pendengarannya. Dan barulah ia berbalik. Hanya untuk melayangkan satu tangannya. Mendarat tepat di belakang kepala Ryan. Menimbulkan kekagetan yang disertai dengan kesiapnya.

"Aduh!"

Ryan langsung menoleh dengan mata yang membesar. Mengusap kepalanya yang dipukul Abid. Bersiap untuk mendamprat cowok itu, namun justru ia yang mendapati geraman darinya.

"Yan! Buruan deh. Kita cari dukun dulu. Kayaknya kamu perlu dijompa-jampi!"

Mata Ryan membesar. "Timbang nyuruh aku ke dukun, mending kamu ke dokter jiwa deh. Heran. Hobi banget rese' sama kebahagiaan orang. Kayaknya mental kamu terganggu. Kena penyakit iri dengki. Nggak bisa ngeliat temannya bahagia."

"Aku bukannya nggak bisa ngeliat kamu bahagia," geram Abid geregetan. "Tapi, aku nggak bisa ngeliat kamu gila!"

Ah, sudahlah.

Ryan langsung melambaikan tangan ke kamera. Eh, maksudnya ke Abid. Memilih tidak meladeni pembicaraan yang ia nilai tidak penting itu. Namun, ketika baru saja kakinya bergerak dalam beberapa langkah, tampak seorang mahasiswi menghampiri dirinya.

"Yan."

Menghentikan langkah kakinya, Ryan melihat pada Mona. Teman satu angkatannya yang tampak menyodorkan satu map padanya.

"Apa?" tanya Ryan dengan tangan yang refleks menyambut map bewarna hijau itu, membukanya. "Proposal kamu?"

Selagi Ryan menanyakan itu, Abid pun menghampirinya.

"Kamu mau seminar?" tanya Abid pula.

Mona tersenyum. "Akhirnya aku seminar proposal juga," katanya bangga. "Tolong kamu jadi mahasiswa pembahas aku dong. Bingung aku mau minta tolong sama siapa."

Dahi Ryan mengernyit. "Loh? Kenapa nggak minta sama Sella aja? Kan kalian temenan sih."

"Ehm .... Sella lagi sibuk ngurus seminar hasilnya. Kayaknya sih minggu depan dia mau daftar gitu."

"Wah!" Abid terkesiap. Menoleh pada Ryan dan menyenggol temannya itu dengan siku. "Kena langkah kamu, Yan."

"Ck. Kayak yang penting banget buat aku tamat cepat."

Ehm ....

Sebenarnya penting sih.

Tapi, hiks.

Salah siapa coba yang malah ngulang kelas?

Berpaling lagi pada Mona, Abid kemudian bertanya. "Berapa IPK dia sekarang?"

"Ehm ...." Mona mendehem dengan ekspresi berpikir, walau ia tetap saja menjawab dengan tak yakin. "Tiga koma lima bukan ya?"

"Yes! Masih tinggian Ryan."

Ryan melongo. Kali ini dia yang mendorong kepala cowok itu. "Apaan coba, Bid? Norak banget kamu."

"Ini bukan norak. Tapi, seenggaknya aku bisa bersyukur walau dikit," delik Abid seraya mengusap kepalanya. "Karena ternyata walau gila, kamu masih lebih pintar dari orang waras."

Mata Ryan turut membesar. "Nyadar kamu?"

Sontak saja, Abid rasanya ingin menggigit dinding. Merutuki dirinya sendiri yang membuat lubang perangkap untuk dirinya sendiri pula. Ck. Menyedihkan memang.

"Kapan seminarnya?"

Mengabaikan Abid, Ryan kemudian bertanya pada Mona. Seraya memasukkan map berisi proposal penelitian temannya itu ke dalam tas ranselnya.

"Rencananya sih Rabu minggu depan, Yan. Kamu nggak ada kelas ngulang kan hari itu?"

"Mesti kamu pertegas pertanyaan kamu dengan istilah kelas ngulang? Ck. Nggak ada."

Mona terkikik. "Oke oke. Ntar aku chat ya kalau ada apa-apa."

Setelah mengatakan itu, Mona pun meninggalkan Ryan dan Abid. Yang kemudian, mereka berdua langsung menyusuri lorong. Menuju ke pintu belakang. Pada masing-masing motor mereka yang menunggu di area parkir.

"Makan dulu?" tanya Abid seraya menaiki motornya. Pun lantas memasang helm di kepala. "Atau kamu bawa bekal lagi?"

Biasanya sih memang Ryan selalu membawa bekal---efek karena ada seseorang yang begitu telaten dengan urusan dapur di pagi hari. Hihihihi. Namun, itu tidak termasuk untuk siang Senin. Lantaran dirinya yang hanya memiliki satu jadwal, yaitu praktikum di jam dua.

Biasanya, sebelum pergi ke kampus, Ryan akan makan terlebih dahulu. Namun, sepertinya ada yang berbeda hari ini. Dan itu semua berkat panggilan mendadak sang ketua jurusan.

Mengusap perutnya, Ryan pun menjawab. "Nggak sempat bawa. Soalnya tadi juga buru-buru."

Maka pergilah Ryan dan Abid menuju ke warung makan yang telah menjadi langganan mereka selama ini. Memesan makan siang dan menikmatinya walau kala itu hari masih menunjukkan jam setengah dua belas. Masih terlalu cepat sebenarnya. Tapi, ketimbang justru kelaparan saat praktikum kan?

Kembali menuju ke Gedung Jurusan, Ryan dan Abid melewati pintu seraya bersendau gurau. Layaknya mahasiswa pada umumnya yang sering membicarakan banyak hal. Hingga kemudian, gurauan mereka terhenti ketika mendapati ada Nathan yang baru keluar dari ruang tata usaha laboratorium.

Ryan dan Abid kompak menghentikan langkah kaki mereka. Dengan sopan mengganti candaan mereka dengan satu sapaan sopan yang terkesan kompak.

"Selamat siang, Pak."

"Siang, Pak."

Diam sejenak, Nathan seperti memfokuskan retinanya di balik kacamata yang ia kenakan. Lalu, ia tersenyum tipis. Mengangguk samar.

"Siang."

Menunggu sejenak, Ryan dan Abid sama-sama bergeming di tempat mereka berdiri. Membiarkan Nathan untuk beranjak lebih dulu dari sana. Hingga kemudian, di saat sosok dosen muda itu menghilang dari pandangan keduanya, Abid menoleh pada Ryan dengan menampilkan ekspresi bingung di wajahnya.

"Kok aku berasa ada yang lain sama Pak Nathan?" tanya Abid. "Kamu ngerasa nggak?"

Ryan mengerjapkan matanya sekali. Lalu berpaling dan menggeleng. "Emangnya apa yang lain sama Pak Nathan?" tanyanya balik. "Perasaan kayak biasa aja. Masih pake kacamata. Masih pake baju dan celana. Kayak manusia normal pada umumnya."

Mata Abid terpejam dengan dramatis. Tangannya pun terangkat, demi menepuk dahinya sendiri dengan gerutuan di benaknya.

Ya ya ya.

Lagi ada cewek naksir dia aja dia nggak peka.

Apalagi semacam memperhatikan sesama cowok.

Kayak yang Ryan peduli aja sama orang sekitar.

Kan yang dia pedulikan cuma satu orang.

Bu Vanessa!

"Eh, emangnya ada apa sama Pak Nathan?"

Suara Ryan yang kembali bertanya membuat mata Abid membuka. Tapi, cowok itu justru dengan pintarnya membalas perkataan Ryan.

"Ada apa? Perasaan biasa aja. Pak Nathan masih pake kacamata. Masih pake baju dan celana juga kok. Persis kayak manusia normal pada umumnya."

Sudut bibir Ryan berkedut. Rasa-rasanya ingin mengumpati Abid. Terutama karena sejurus kemudian, cowok itu tampak meninggalkan dirinya. Melenggang dengan santai seolah tidak melakukan apa-apa padanya. Ck.

Tiba di ruang praktikum, Ryan menyadari bahwa saat itu masih ada waktu sekitar sepuluh menit sebelum kegiataan akan dimulai. Maka dari itu, selagi menunggu, Ryan pun menarik satu berkas dari dalam tas ranselnya. Yaitu, rekapan data mahasiswa yang proposal PKM-nya akan ditangani oleh Vanessa.

Maka selagi Abid sibuk dengan aktivitas berselancar rianya di sosial media, Ryan pun dengan cekatan langsung menyalin semua nomor ponsel setiap mahasiswa yang ada di daftar tersebut. Hingga setelah semua ia simpan di kontaknya, Ryan segera membuat satu grup pesan di aplikasi Whatsapp. Menambahkan anggota di dalamnya. Hingga kemudian, ibu jarinya menekan pada satu nama yang membuat ia mengulum senyum.

Anggap aja kita lagi latihan ngebimbing anak-anak untuk masa depan ntar, Sa.

Hihihihihi.

Dan ketika Vanessa sudah bergabung di grup tersebut, dengan cepat Ryan menyapanya.

[ Selamat siang, Bu Vanessa. ]

[ Saya Ryan dan selamat datang di grup kita. ]

[ Mohon bimbingannya, Ibu. ]

Pada saat itu, Ryan menghitung di dalam hati. Mengira-ngira di detik ke berapakah Vanessa akan membalas pesannya. Tapi, semua angka tersebut menghilang di benaknya. Lantaran pesan yang masuk ke grup tersebut.

[ Selamat siang juga, Ryan. ]

[ Mohon bantuannya ya? ]

[ Dan selamat bergabung untuk semuanya. ]

[ Semoga kita bisa belajar bersama. ]

Tentu saja, bukan hanya Ryan yang membaca pesan itu. Melainkan Abid juga. Hingga wajar saja, bila sedetik setelah ia membacanya, cowok itu langsung berpaling. Menatap horor pada Ryan yang berkata padanya.

"Bu Vanessa ngarepin bantuan aku coba, Bid."

Padahal ... padahal ... padahal .... Itu jelas adalah basa-basi demi sopan santun. Tapi, Abid memilih untuk tidak menjelaskan hal itu pada Ryan. Karena ia tau itu percuma saja. Dan ketimbang berusaha menyadarkan sahabatnya itu, Abid justru mengambil tindakan lain. Yaitu, bangkit dari duduknya.

Mending aku pindah tempat duduk aja deh!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro