13. Tak Terbayangkan
"6,4; 6,8; 6,2; 6,6; dan 6,8."
"Oke!"
"6,2; 5,8; 5,8; 6; dan 6,1."
"Sip!"
"8,2--- eh? 8,2?"
"8,2? Yang bener? Kamu kalau gila jangan sekarang dong kumatnya, Yan. Ini menyangkut nasib skripsi aku."
"Iya! Nih! 8,2. Kalau nggak percaya, hitung aja sendiri."
Setelah mengatakan itu, Ryan langsung melempar sebuah tomat yang telah dipotong secara horizontal ke arah Abid. Beserta dengan satu penggaris. Kaget, tapi Abid dengan sigap melepaskan pena di tangannya. Langsung menangkap kedua benda itu. Nyaris dalam waktu yang bersamaan. Lalu mengukurnya.
"Eh? Gila! Lebarnya beneran 8,2 sentimeter."
Ryan misuh-misuh. Mulutnya maju manyun-manyun. "Eh, ada yang gila juga. Bukan aku aja ternyata yang gila di sini."
Tawa Abid sontak saja pecah. "Hahahaha. Alah! Ngambek. Gitu doang, ngambek. Katanya cowok. Hahahaha."
Membiarkan Abid untuk puas tertawa, Ryan yang sedari tadi merasakan pinggangnya kaku, memilih bangkit. Berdiri sejenak dari duduknya. Dan merenggangkan tubuhnya.
"Aduh! Masih muda, tapi badan udah tua. Hahahaha."
Ryan segera berpaling. Pada temannya yang menukas dirinya, yaitu Susi. Yang tampak duduk melantai bersama dengan Indri, sedang menimbang buah tomat. Turut membantu pengamatan penelitian Abid.
Bermaksud untuk membalas perkataan Susi, Ryan justru tidak siap ketika dari arah lain terdengar tukasan lainnya. Kali ini berasal dari Ozy. Cowok itu bersama dengan Farhan, Yoga, dan juga Sella, yang bersama-sama mengukur tingkat kemanisan dan juga kekerasan buah.
"Udah tua, nggak nyadar lagi. Ngekorin Bu Vanessa ke mana-mana coba."
Nah, kali ini bukan hanya satu atau dua orang yang tertawa. Alih-alih semua temannya yang berada di ruang pengamatan itu tertawa. Dengan kompak meledek Ryan. Sementara cowok itu, ketika nama Vanessa diangkat ke permukaan, ia hanya cengar-cengir saja. Seolah penuh dosa. Eh? Maksudnya seolah tanpa dosa. Hihihihi.
Ryan menggaruk kepalanya. "Ya ... siapa tau kalau aku deket-deket sama Bu Vanessa, aku bisa ketularan awet mudanya gitu kan. Hahahahaha."
"Nggak mungkin. Yang ada justru kamu makin tua. Karena pelan-pelan menyadari kalau Bu Vanessa berada di luar jangkauan tangan kamu. Hahahaha."
Ryan menatap tajam pada Abid. Kali ini tangannya langsung menyambar satu buah tomat yang kebetulan berada dalam radius yang dekat dengannya. Mengangkat buah itu dan mengancam.
"Aku hancurin ini tomat ya? Biar kapok!"
"Hahahahaha."
Ryan tidak serius, begitu pun dengan Abid. Tapi, bukan berarti tawa dan ledekan di sana selesai. Yang terjadi malah sebaliknya, berbagai celotehan lainnya kembali terdengar.
"Tapi, Yan. Beneran deh. Kamu nggak risi apa diliatin ama yang lain?" tanya Susi penasaran. "Kamu itu nyaris kayak yang beneran lagi deketin Bu Vanessa loh."
Sella menyahut. "Lagian coba. Ngapain juga kamu ngulang empat mata kuliah?"
"Betul!" imbuh Indri. "Kami pikir, kamu itu rada gaje ngulang kuliah yang nilainya pada bagus. Eh, sampai pada akhirnya kami sadar. Itu mata kuliah semuanya diajar sama Bu Vanessa."
Ryan terkekeh. Garuk-garuk kepala dan memilih duduk lagi.
"Gila! Kamu bukannya yang beneran naksir sama Bu Vanessa kan?"
Kali ini Yoga yang bertanya dengan nada horor di wajahnya. Hingga nyaris melupakan bahwa Farhan sudah meneteskan air tomat murni di alat refraktometer yang berada di tangannya.
"Oi, buruan liat."
Yoga tersadar. Lalu mengangkat alat untuk mengukur kemanisan buah itu ke depan matanya. Menutup satu matanya, ia memfokuskan retinanya yang lain. Melihat pada alat itu dan berkata.
"Lima."
Lalu Sella langsung menulis angka itu di lembar pengamatan. Untuk kemudian, ia kembali bergabung dalam percakapan menggelikan itu.
"Kalau kamu sampe naksir sama Bu Vanessa, Yan, aku bilangin deh. Kamu beneran nggak tau diri."
Abid menjulurkan lidahnya pada Ryan. "Kan ...."
"Bu Vanessa ...," sambung Indri. "Laksana dewi kayangan dengan semua kesempurnaannya. Udah cakep, pintar, lemah lembut, ckckckck. Aku bakal jadi orang pertama yang bakal melindungi beliau kalau kamu sampe naksir beneran, Yan!"
Ryan melongo.
"Mbok ya kamu tu nyadar diri coba, Yan. Kamu itu lah masih kuliah, eh ... sebangsa manusia yang mimpi buat ngedapetin bidadari coba kan?"
Kali ini Sella yang membuat Ryan semakin melongo.
"Lagi Pak Nathan yang gitu aja belum dapat lampu ijo sampai sekarang, apalagi kamu yang bahkan wisuda aja belum dapat lampu ijo. Hahahahaha."
"Hahahahaha."
Ryan geleng-geleng kepala. Melihat bagaimana semua temannya di sana tertawa-tawa dengan begitu lepas. Hingga ia berdecak berulang kali.
"Senang deh ya ngeliat kalian bisa ketawa bahagia kayak gini," kata Ryan manyun. "Kayaknya ngeledekin aku bisa buat kalian pada senang."
Sekarang, kata tertawa sudah tidak mampu untuk menggambarkan keadaan yang terjadi. Mereka semua sudah terpingkal. Terbahak-bahak. Hingga masing-masing mata mereka tampak berair karenanya.
"Kan ... udah aku bilangin," gelak Abid. "Bukan aku doang loh yang ngomong. Hwahahahaha."
Mengusap matanya yang berair, Ozy kemudian menarik napas dalam-dalam. "Timbang kamu ngarepin Bu Vanessa, kenapa itu Lola nggak diembat aja. Kan lumayan buat ngangetin malam Minggu."
Wajah Ryan seketika horor. "Wah, Zy! Kalau ada yang denger omongan kamu, bisa putus nyawa aku."
Ryan seketika celingak-celinguk. Mencoba melihat keluar melalui pintu ruangan yang terbuka setengah. Berharap semoga tidak ada Vanessa yang mendadak lewat dan mendengarkan celetukan itu. Siapa yang bisa menjamin cewek itu tidak salah paham coba? Padahal jelas, yang tadi itu cuma gurauan belaka.
"Tapi, kalau menurut aku jangan deh sama Lola. Lagian ... kalau aku jadi Lola, aku nggak bakal mau lagi sama Ryan."
Semua mata kini beralih pada Sella. Cewek itu tampak mengangkat pena di tangannya. Menuding pada Ryan.
"Sumpah, Yan. Aku nggak ngira kalau kamu beneran nggak punya perasaan kayak gitu. Masa tega sih nolak di tempat umum? Mana banyak orang lagi."
"Kamu tau? Abis itu Lola nangis-nangis loh balik dari kampus. Beneran nangis. Kayak lagi syuting FTV."
Semula Ryan ingin membela diri, tapi ketika ia mendengar perkataan Susi, sontak juga ia merasa tidak enak.
"Ya ... mau gimana lagi coba," lirih Ryan kemudian. "Dia juga sih buat aku kesal. Udah aku bilang baik-baik pas praktikum. Eh, masih aja nekat. Ck."
Mendengar penjelasan Ryan, kompak teman-temannya geleng-geleng kepala. Hingga kemudian, Abid pun menukas.
"Menurut kamu, Bu Vanessa mau gitu sama cowok yang nggak punya perasaan kayak kamu?"
Dan Ryan tidak bisa berbuat apa-apa ketika tawa kembali meledak di sana. Terutama diikuti oleh celetukan-celetukan lainnya.
"Ini nih sebenarnya berawal dari ide Pak Suwanto," terang Abid kemudian. "Kalau waktu itu beliau nggak mendadak buat sayembara waktu seminar hasil Kak Surya, kejadiannya nggak bakal gini. Nah! Semenjak Ryan berfoto sama Bu Vanessa, semua petaka ini dimulai." Abid berpaling, melihat horor pada Ryan. "Mendadak aja dia jadi gila!"
"Hahahaha. Foto legend itu kan?"
"Sampe di-repost sama akun gosip kampus coba. Hahahaha."
"Kebayang deh aku gimana cemburunya Pak Nathan."
"Selama ini kan Bu Vanessa nggak pernah tuh foto berdua sama cowok. Lah, sekalinya foto. Eh, malah sama Ryan."
Entahlah, apa saja yang diledekkan teman-temannya kala itu pada Ryan. Yang pasti, pada akhirnya Ryan memilih untuk tidak menggubrisnya saja. Walau itu adalah hal yang sulit untuk ia lakukan. Bagaimana pun juga, sisi kemanusiaan Ryan ingin sekali memamerkan pada teman-temannya.
Noh!
Yang gila bukan aku aja.
Buktinya Dinda Vanessayang juga udah tergila-gila sama aku.
Hanya saja, untuk saat ini, Ryan tidak bisa melakukan itu. Karena tau, kalau ia sampai terceplos mengatakan soal hubungannya dengan Vanessa, maka cewek itu akan terpojok.
"Dah," lirih Ryan. "Anggap aja aku gila. Biar dunia aman sentosa."
*
Sebenarnya dari sore tadi, ketika Vanessa pulang, cewek itu sudah merasakan ada yang tidak beres dengan Ryan. Karena walau suaminya itu tersenyum menyambut dirinya, tapi ada yang berbeda di sana. Seperti ia yang tengah memikirkan sesuatu di benaknya.
Hingga pada akhirnya, di saat mereka berdua bersiap untuk tidur, Vanessa beringsut menuju pada Ryan. Bukan hal yang aneh sih sebenarnya. Toh sekarang mereka memang selalu tertidur dengan posisi yang saling melekat satu sama lain.
Ryan menoleh. Menyambut Vanessa yang langsung mendarat di dadanya. Bertahan di sana dan menunduk. Melihat pada matanya dengan dahi yang berkerut.
"Kamu lagi ada masalah?" tanya Vanessa. "Dari tadi aku perhatiin, kamu kok kayak yang lagi mikirin sesuatu gitu. Ehm ... ada apa?"
Tak langsung menjawab pertanyaan itu, Ryan memilih untuk mengembuskan napas panjangnya. Di bawah sana, satu tangannya bergerak. Untuk balas mendarat di lekuk tubuh Vanessa. Tepat di atas bokongnya.
Membawa tangannya yang lain ke bawah kepalanya, Ryan lalu menatap mata Vanessa. Lalu barulah ia bersuara.
"Seharian ini, aku dan anak-anak pada bantuin Abid pengamatan," kata Ryan dengan nada datar. "Tapi, kamu tau nggak? Sepanjang pengamatan, yang jadi topik pembicaraan mereka itu aku. Bayangkan. Aku ada di sana, eh malah aku yang dighibahin. Masuk akal nggak?"
Vanessa menggeleng dengan geli.
"Tapi, dibandingkan dengan itu, ada yang lebih penting lagi," lanjut Ryan kemudian. "Kamu tau spesifiknya apa topik yang mereka angkat?"
Vanessa kembali menjawab dengan gelengan kepalanya.
"Spesifiknya adalah tentang aku yang dianggap nggak sadar diri kalau sampe beneran naksir sama kamu. Sang dewi kayangan sementara aku adalah binatang jalang dari kumpulan yang terbuang."
"Hahahahaha."
Sungguh, Vanessa tidak berniat untuk tertawa. Tapi, mungkin dengan Ryan akan selalu ada banyak alasan untuk dirinya tertawa. Bahkan bila itu menyinggung puisi legendaris milik Chairil Anwar.
Mata Ryan membesar. "Kan, kamu juga ketawa."
"Hahahaha. Maaf, Kanda. Tapi, ya ... kayaknya manusiawi kok kalau mereka mikir kayak gitu."
Ada hal-hal tertentu yang Ryan dan Vanessa sadari selama pernikahan mereka yang masih terbilang baru. Salah satunya adalah Ryan yang mengetahui bahwa Vanessa menggunakan kata 'kanda' hanya untuk di situasi-situasi tertentu. Seperti tengah meledek cowok itu. Termasuk sekarang.
Namun, Vanessa yang semula mengira bahwa Ryan akan manyun dengan ledekannya, justru mendapati respon yang berbeda. Ekspresi wajah cowok itu tampak datar. Dengan dahi yang sedikit berkerut.
"Karena itulah, Dinda," kata Ryan kemudian. "Setelah aku renungkan, emang kayaknya mustahil banget aku bisa dapetin kamu. Mana sampe bisa rebahan-rebahan manja kayak gini coba."
"Eh?"
Alih-alih membuat Ryan manyun, Vanessa justru mendapati dirinya yang bingung.
"Makanya ... seharian ini aku jadi mikir. Kira-kira amalan apa coba yang pernah aku buat sampe Tuhan ngasih berkah nggak kira-kira kayak gini? Ehm .... Aneh."
Kebingungan Vanessa menghilang, tergantikan lagi oleh kekehannya. Hingga ia menutup wajahnya di dada cowok itu. Dan Ryan pun menyeringai geli.
"Astaga. Ryan Ryan. Hahahaha. Kamu ini."
Tubuh Vanessa bergetar di atas tubuh Ryan. Dan cowok itu menikmatinya. Seperti dirinya dan Vanessa tidak ada lagi pembatas saat ini. Yang mana itu tentu saja ... benar.
Beberapa saat kemudian, Vanessa mengangkat wajahnya. Menunjukkan pipinya yang memerah dan matanya yang basah. Lalu ia menghirup dalam-dalam udara, berusaha menahan gejolak tawanya. Dan melihat sang istri sudah mulai bisa mengendalikan diri, Ryan pun berkata.
"Soalnya bukan apa. Kalau aku tau, aku ntar bakal ngasih tau ke anak-anak kita. Biar mereka juga dapat rezeki nomplok kayak aku. Hahahahaha."
Nah, kali ini hanya Ryan yang tertawa. Karena alih-alih tertawa, Vanessa tampaknya justru tertegun untuk satu kata yang cowok itu katakan.
Anak-anak kita?
Dan sepertinya, sedetik kemudian, Ryan pun baru menyadari apa yang ia katakan. Hingga selanjutnya, bukan hanya Vanessa yang tampak salah tingkah. Melainkan Ryan pun juga. Dengan satu pemikiran di benaknya.
Satu Vanessa aja udah ngebuat dunia aku jadi penuh warna.
Gimana kalau ada Vanessa Dua? Vanessa Tiga?
Lalu bayangan balita dengan pipi tembam, berkuncir dua, dan berlari-lari di kakinya, melintas di benak Ryan. Dengan sangat ampuh membuat kewarasannya yang tak seberapa itu menghilang. Tergantikan oleh kegilaan tak terbendungkan. Hingga ia menyeletuk.
"Buat anak-anak yuk?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro