Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Dalam Pikiran

[ Ryancur ]

[ Dinda .... ]

[ Vanessayang ]

[ Sa, ntar mungkin aku balik agak telat. ]

[ Aku lupa ngasih tau kamu pagi tadi. ]

[ Sore ini aku dan anak-anak mau bantu Abid panen tomat. ]

Vanessa membuka pesan itu sebelum ia memutuskan untuk memesan taksi sore itu, ketika akan pulang dari kampus. Melihat dari jam masuknya pesan tersebut, ia yakin. Ryan pasti sudah berada di tempat penelitian sekarang. Tapi, ia tetap membalas.

[ Ryancur ]

[ Oke oke ]

Cuma itu balasan yang Vanessa kirimkan. Sedikit merasa tidak ingin mengganggu Ryan di sana. Agar cowok itu bisa membantu temannya. Tapi, Ryan tetaplah Ryan. Yang sependek apa pun balasan pesan Vanessa, ia tetap akan membalasnya.

[ Ryancur ]

[ Kayaknya sih nggak bakal lama. ]

[ Ini anak-anak yang lain juga bakal ikut bantu. ]

[ Btw, kamu mau tomatnya juga nggak? ]

[ Buat masak atau maskeran gitu. ]

Vanessa tak mampu menahan senyum lucunya ketika membaca pesan tersebut. Namun, bukan berarti ia menerima tawaran Ryan.

[ Ryancur ]

[ Dah, bagi-bagi aja untuk teman-teman kamu. ]

[ Tomat di kulkas masih banyak. ]

Untuk pesan yang Vanessa kirimkan, ia mendapatkan balasan berupa 'oke' dari cowok itu. Diikuti oleh beberapa emoticon cinta dalam berbagai warna. Dan eh, ternyata setelahnya Ryan berkata.

[ Ryancur ]

[ Karena cinta, punya banyak warna. ]

[ Tapi, cinta cuma punya satu nama. ]

[ Vanessa. ]

Ah, sudahlah. Senyum lucu di bibir Vanessa yang mulanya sudah akan menghilang, mendadak melebar lagi. Dengan semakin geli pastinya. Seperti ia yang tidak habis pikir.

Bisa-bisanya dia seharian ini ngegombolin aku kayak gini coba?

Hahahahaha.

Dia pikir umur aku masih tujuh belas gitu?

Sampe digombalin gini?

Memutuskan untuk tidak membalas pesan itu, Vanessa lantas langsung memesan taksinya. Yang mana, ketika ia sudah berada di dalam mobil itu dan melintas di jalanan, ia justru kembali melihat pesan tersebut. Hanya untuk tersenyum-senyum geli lagi karenanya. Ya ... mungkin karena ia menyadari sesuatu. Mau tua atau pun muda, gombalan pasangan ternyata memang memiliki sensasi tersendiri.

Walau nggak buat tersipu, ya paling nggak buat lucu.

Hihihihihi.

Tiba di unit apartemen, Vanessa sempat tertegun sejenak di depan pintu. Satu kakinya yang sudah masuk ke dalam, berhenti bergerak. Dan ketika tangannya menahan daun pintu tersebut, Vanessa membawa matanya untuk melihat ke dalam unit. Seperti tengah mencari-cari sesuatu.

Ini bentar lagi bakal malam.

Kira-kira ... bakal ada setan nggak ya?

Jemari Vanessa meremas daun pintu. Terancam seorang diri di unit untuk waktu yang tidak bisa diperkirakan sampai kapan, sontak membuat cewek itu teringat kejadian beberapa bulan yang lalu. Ketika ada makhluk halus yang mengganggu dirinya dan Ryan.

Tatapan mata Vanessa turun. Pada daun pintu di tangannya. Ia tidak akan lupa bagaimana kala itu Ryan yang tidak bisa membuka pintu. Berbeda sekali dengan sekarang.

Dahi Vanessa mengernyit. Dengan satu dugaan di benaknya.

Apa itu artinya setannya udah nggak ada lagi?

Mempertanyakan hal tersebut, entah bagaimana ceritanya, Vanessa justru teringat akan hal lainnya. Yaitu, ketika Ryan berkata demi meyakinkannya.

"Tenang aja. Selagi kita tenang, damai, dan nggak pake acara ribut-ribut, setannya nggak bakal nongol kok."

Memikirkan hal itu, Vanessa pun mengembuskan napas lega. Tanpa sadar bahkan turut memejamkan matanya.

Sekarang kan aku dan Ryan nggak pernah ribut lagi sih.

Adem ayem malah.

Maka dari itulah, Vanessa pun lantas tidak ragu-ragu lagi untuk masuk. Merasa yakin bahwa dirinya akan aman. Tanpa ada gangguan setan. Hihihihihi.

Walau tetap saja. Semakin waktu beranjak, rasa-rasanya Vanessa merasa tidak nyaman pula. Tinggal seorang diri di unit yang terbilang luas itu, memberikan kesan sunyi. Padahal biasanya selalu ramai. Dan itu berkat coletahan Ryan.

Vanessa mengembuskan napas. Menyadari sesuatu. Bahwa Ryan memang sudah menjadi bagian dari hidupnya.

*

Itu adalah tradisi tak tertulis yang berlaku di Fakultas Pertanian, sepertinya. Yaitu ketika ada yang penelitian, maka nyaris semua mahasiswa akan saling bantu-membantu. Karena untuk mengerjakan seorang diri, pastilah menjadi hal yang berat.

Penelitian yang dikerjakan oleh mahasiswa pertanian jelas bukanlah penelitian yang ringan untuk dikerjakan oleh satu orang saja. Dari objek penelitian hingga banyaknya sampel, merupakan dua hal yang setidaknya menjadi alasan mengapa mereka harus saling membantu. Maka dari itu, tidak mengherankan sama sekali bila yang membantu Abid panen tomat kala itu tergolong banyak.

"Mampuslah aku."

Abid melirih horor ketika pada akhirnya semua buah yang sudah menunjukkan kematangan, telah dipanen semua. Memberikan pemandangan begitu banyak kantung plastik di atas tanah. Sampel yang siap menunggu antrean untuk segera diukur olehnya.

Ryan terkekeh. "Udah aku bilangin kapan hari. Kamu ambil komoditi jagung manis aja kek. Atau apa gitu yang panennya sekali doang. Lihat ini lihat. Kebayang kamu bakal panen kayak gini sebanyak delapan kali?"

Tentu saja hal itu sudah terbayang di benak Abid. Apalagi dengan satu fakta. Yaitu panen pertama ini belum menjadi panen dengan hasil yang terbanyak. Biasanya hasil terbanyak itu di panen ketiga sampai kelima. Tapi, melihat hasil panen pertama saja sudah menggunung, apa ceritanya dengan panen keempat nantinya?

Sungguh, Abid tidak ingin membayangkannya. Karena bagaimana pun juga, bayangan menakutkan itu membuat ia berpaling pada Ryan dengan ekspresi horor.

"Please, Yan," desis Abid kemudian. "Kamu jangan gila dulu sekarang."

Ryan mengerutkan dahinya. "Eh?"

"Kalau kamu gila sekarang, terus yang bantuin aku ntar siapa?"

"Asem!"

Setelah memastikan semua buah tomat telah dipanen, Abid dan teman-temannya membawa hasilnya ke laboratorium. Berbekal satu kunci yang sudah ia pinjam sebelumnya, mereka bisa dengan leluasa menyimpan buah tersebut di ruang penyimpanan. Yang suhunya sudah diatur sedemikian rupa sehingga tidak akan merusak buah tersebut. Besok, karena mereka tidak ada jadwal kuliah, rencananya pengukuran akan segera dimulai. Semoga saja bisa cepat selesai dan tidak dikejar oleh panen kedua yang akan membayang.

Menolak tawaran Abid yang mengajaknya untuk makan-makan bersama dengan teman seangkatan mereka yang sudah membantu, Ryan beralasan ibunya sudah menyuruhnya pulang. Yang mana tentu saja karena Vanessa sebenarnya. Karena ketimbang makan makanan di luar, tentu saja Ryan lebih memilih makan masakan dindanya yang tercinta. Hihihihi.

Ryan memarkirkan motornya di area parkir gedung apartemen ketika jam di tangannya nyaris menunjukkan jam setengah sembilan malam. Langsung melesat dan menaiki satu lift yang kebetulan sekali membuka ketika ia tiba di sana. Waktu yang tepat.

Langsung masuk ke unit, Ryan pun menyerukan nama Vanessa. Hingga suaranya terdengar menggema. Seperti memantul-mantul di sana.

"Dinda Vanessayang ...."

Dan ketika ia melangkah semakin masuk, Ryan masih lanjut berseru. Mencari keberadaan Vanessa.

"Oh, Dinda. Di mana kini kau berada? Jangan biarkan diriku, dalam keseorangan."

Lalu, Ryan tergelak.

"Hahahaha."

Sementara itu, di waktu yang tepat, ketika Ryan memang akan menuju ke kamar, ia justru mendapati pintu kamar yang membuka. Menampilan sesosok wanita yang ia cari-ari keberadaannya.

Tampak mengenakan satu gaun malam bewarna putih dengan potongan sederhana, Vanessa mengurai rambut panjang bergelombangnya. Dengan wajah cerah ia menyambut Ryan.

"Udah pulang?"

Sementara itu, Ryan yang tadi tergelak, justru mendapati jantungnya nyaris copot melihat Vanessa. Hingga tanpa sadar tangannya naik. Mendekap dada kirinya. Seraya merutuk horor di benaknya.

Ampun dah.

Ini Vanessa kenapa hobi banget sih pake itu baju Suzanna?

Mana makenya tiap aku baru balik lagi.

Emang sengaja mau buat aku jantungan kali ya?

Dan Vanessa yang mendapati Ryan tidak menjawab pertanyaan, maju selangkah. Mengerutkan dahi dan mengangkat wajahnya.

"Yan?"

Ryan mengerjapkan matanya. Seperti ia yang baru tersadarkan dari rasa kagetnya sepersekian detik itu.

"Kamu kenapa?" tanya Vanessa lagi. "Aku nanya kok kamu malah diem aja?"

"Oh ... itu ...."

Ngaku kalau aku kaget ngeliat dia?

Nyaris ngira dia setan lagi gara-gara dandanan ala Suzanna-nya itu?

Ho-oh!

Tidak mungkin, Ferguso.

Lalu Ryan menarik sedikit sudut bibirnya. Membalas tatapan mata Vanessa dan berkata.

"Padahal baru bentar nggak ketemu, tapi ngeliat kamu kok aku ngerasa kayak terpana ya?"

Mata Vanessa membesar. "Eh?"

"Bahkan jantung aku rasanya deg-degan ngeliat kamu, Sa," kata Ryan dengan penuh perasaan. "Kayak aku yang baru ngeliat bidadari turun dari langit."

Vanessa mengerjap. "Apaan sih."

"Hehehehe."

Ryan terkekeh. Tapi, sejurus kemudian tangannya terulur. Demi meraih kepala Vanessa dan mendaratkannya di dadanya.

"Dengerin deh. Ada suaranya kan?"

Tanpa benar-benar mendengarkannya, tentu saja Vanessa tau jawabannya. Maka dari itu ia menarik diri dan mendelik sekilas.

"Ya iyalah ada suaranya. Kan kamu masih hidup. Otomatis aja jantung kamu berdetak."

Ryan berdecak sekilas. "Bukan suara detak jantung aku, Sa," ujarnya kemudian. "Tapi, suara yang manggil-manggil nama kamu."

"Hahahahaha."

Bukan tersipu, bukan malu-malu. Tapi, reaksi spontan Vanessa adalah ia yang langsung tertawa lucu.

"Astaga, Ryan. Kamu ini beneran receh ya gombalannya."

Ryan cengar-cengir. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. "Yang penting kamu suka loh. Buktinya, kamu ketawa. Hehehehe."

"Udah deh. Berenti gombalin aku," kata Vanessa geli. "Seharian ini kamu udah berapa kali gombalin aku? Ntar bisa-bisa aku jadi gila kalau kebanyakan ketawa."

Dan Ryan mungkin akan mengatakan satu atau dua patah kata sanggahannya. Namun, Vanessa justru melanjutkan perkataannya.

"Timbang kamu gombalin aku, mending kamu mandi sekarang. Kamu belum makan kan?"

"Belum. Makanya itu aku balik cepat. Aku udah lapar soalnya."

"Jam setengah sembilan kamu bilang cepet? Terus lamanya jam berapa?"

Ryan tergelak. Beranjak ke meja belajarnya dan menaruh tas ranselnya di sana. Tidak menjawab pertanyaan Vanessa sementara cewek itu yang kemudian tampak akan keluar dari kamar.

"Aku siapin dulu makan malamnya. Abis mandi, baru makan. Aku juga udah laper soalnya."

Fakta yang terlewatkan oleh Ryan. Hingga membuat ia yang semula akan langsung menuju ke kamar mandi, mengurungkan niatannya. Justru melayangkan pertanyaan yang juga membuat Vanessa menghentikan langkah kakinya.

"Kamu belum makan?"

Menahan daun pintu di tangan kirinya, Vanessa menoleh. "Belum sih. Lagian tadi juga aku ada kerjaan. Nyusun materi buat Ersya. Makanya aku belum makan."

Walau ada penekanan di nama mahasiswi itu, Ryan tidak menghiraukannya. Alih-alih dirinya fokus dengan fakta bahwa Vanessa yang belum makan malam itu.

"Astaga, Sa. Apa karena nggak ada aku makanya kamu nggak makan? Segitunya ya kamu mau makan bareng aku?"

"Eh?" Mata Vanessa membesar. "Nggak usah GR deh ya. Aku belum makan bukannya karena nungguin kamu balik."

Namun, Ryan tidak percaya. "Iya iya iya. Aku tau kamu itu gengsian orangnya. Nggak usah jujur. Aku pura-pura nggak tau deh."

"Aku bukannya gengsian."

Angguk-angguk kepala, Ryan tidak menampik perkataan Vanessa. "Iya, kamu juga nggak gengsian."

Walau terang saja, itu bukannya menenangkan Vanessa. Alih-alih sebaliknya. Membuat cewek itu merasa panas di kedua pipinya. Bahkan ada warna merah di sana. Dan itu membuat Ryan terpikir sesuatu.

"Eh, atau jangan-jangan ... selain kamu belum makan malam," lanjut Ryan dengan dahi mengerut. "Kamu juga belum mandi ya? Saking mau nungguin aku balik? Biar bisa mandi bareng aku?"

"Kamu mulai gila, Yan. Sudah! Sana! Mandi! Biar otak kamu jadi dingin. Siapa tau ntar waras lagi."

Vanessa menggerutu dan memutuskan untuk langsung keluar dari kamarnya. Menyiapkan makan malam yang sempat menjadi niatannya tadi. Namun, baru selangkah ia berjalan, ia mendengar tawa Ryan yang pecah mendekati dirinya.

"Hahahaha."

Tau-tau, Vanessa sudah mendapati Ryan di belakang dirinya. Dengan kedua tangan cowok itu yang langsung melingkari perutnya. Sontak saja membuat Vanessa terkesiap.

"Yan! Keringat kamu. Aku udah mandi."

Ryan tergelak. "Yah ... kalau gini kamu kotor lagi dong. Ayo, mandi aja lagi. Biar bersih lagi."

Tubuh Vanessa menggeliat. Berusaha melepaskan diri dari pelukan Ryan. Namun, cowok itu tidak membiarkannya lepas. Malah yang ada, Ryan sampai mengusap hidungnya di helaian rambut Vanessa. Menghirup aroma wangi di sana.

"Yan, jangan aneh-aneh deh ya," delik Vanessa. "Aku lagi dapet."

Ajaib, tapi tawa Ryan sontak berhenti kali ini. Pun dengan gerakan hidungnya di rambut Vanessa. Sempat membuat cewek itu mengira bahwa Ryan akan melepaskan dirinya dalam waktu dekat. Yang mana, tentu saja itu tidak terjadi.

Masih mempertahankan posisi Vanessa di dalam rengkuhannya, dengan tangan yang masih melingkari perut ramping itu, Ryan lantas justru mengambil posisi di sisi kepalanya. Demi bisa berbisik tepat di telinganya.

"Aku nyuruh kamu mandi loh. Terus apa hubungannya dengan kamu yang lagi dapet?"

Pertanyaan yang berhasil membuat Vanessa mati kutu. Hingga ia memejamkan matanya, rapat-rapat. Lalu menggigit bibir bawahnya, kuat-kuat. Rasanya ... malu!

Terutama karena selanjutnya Ryan kembali menggodanya.

"Hayo .... Kamu mikirin apa coba di kamar mandi?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro