11. Memang Jodoh
Kadang kalau mau dipikir-pikir, Ryan memang sering menyadari bahwa dirinya sesekali pantas untuk menyandang predikat sebagai orang gila. Bukannya apa sih. Tapi, ketika ia teringat bagaimana ia menggoda Vanessa malam itu, ia jadi geli sendiri.
Ngajak buat anak-anak?
Hahahaha.
Ryan Ryan.
Otak kamu di mana?
Orang Vanessa aja lagi diserbu pasukan berbendera Jepang coba.
Dan lagipula, kalaupun Vanessa sedang dalam keadaan bebas hambatan seperti jalan tol, tetap saja. Mereka tidak bisa melakukan itu. Ya ... maksudnya sih bisa. Tapi, kalau tujuannya demi mewujudkan keberadaan Vanessa Satu, Vanessa Dua, atau bahkan Vanessa-Vanessa selanjutnya, tentu saja itu tidak bisa.
Ryan membayangkan, akan seheboh apa dunia persilatan kalau tersiar kabar Vanessa hamil sementara berita pernikahan mereka belum tersiar.
Gila! Dosen cantik ini melakukan tindakan asusila dengan mahasiswanya sendiri! Cek faktanya, nomor tiga akan membuat kalian terkejut!
Amit-amit deh ya. Ryan benar-benar tidak ingin Vanessa sampai diberitakan seperti itu. Ya walau mereka sebenarnya memang sudah menikah, tapi tau sendirilah bagaimana ahlinya para netizen dalam menggoreng berita.
Maka selama niatan mulia demi melestarikan spesies manusia di muka bumi harus ditunda untuk sejenak, Ryan pun dengan senang hati melakukan program BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional). Yaitu, menggunakan pengaman.
Toh, kalau aku rajin beli helm, itu artinya aku lagi membantu perekonomian negara kan?
Ha ha ha ha.
Memang mulia sekali hidup kamu, Yan.
Hingga itulah yang melintas di benak Ryan. Bahwa ia memang harus sering-sering beli pengaman. Agar bisa mempertahankan mata pencarian manusia.
Ck. Pemikiran yang aneh memang. Saking anehnya, Abid yang berjalan di sebelah Ryan pun langsung komat-kamit baca mantera. Eh, baca doa maksudnya. Khawatir kalau-kalau penyakit gila Ryan akan menular padanya. Hihihihi.
"Yan."
Demi menghentikan gejala gila Ryan agar tidak semakin kumat mengingat mereka saat itu sedang berada di kampus, Abid pun menyebut nama temannya itu. Berharap bisa menarik perhatiannya dan mampu membawa Ryan keluar dari alam kegelapan, menuju ke alam yang terang benderang seperti yang Abid rasakan saat ini. Amin.
Ryan menoleh, seraya melepaskan risleting jaket kulit yang ia kenakan. Sedikit merasa gerah ketika matahari mulai merangkak ke atas ubun-ubun.
"Ya?"
Memasuki gedung jurusan dari pintu belakang, Abid mengerutkan dahinya.
"Ngomong-ngomong," lanjut Abid bicara. "Kira-kira ngapain ya Bu Kajur manggil kita? Tumben-tumbenan banget."
Sama, Ryan pun turut mengerutkan dahinya. "Tau deh. Aku juga nggak tau kenapa mendadak kena panggil Bu Kajur. Ehm ...." Ia mendehem sejenak. "Kita lagi nggak ada buat masalah kan, Bid?"
"Kalau aku sih nggak," jawab Abid polos. "Nggak tau deh kalau kamu."
"Asem!"
Merutukkan satu kata itu, Ryan pun ingat bagaimana pagi tadi ketika ia masih leha-leha di atas tempat tidur sementara Vanessa sudah pergi ke kampus. Saat itulah mendadak saja ada satu pesan masuk ke ponselnya. Berasal dari nomor baru yang ternyata adalah milik dari ibu ketua jurusan. Yaitu, Iis.
Tidak dijelaskan alasannya, namun yang pasti Iis meminta Ryan untuk menemuinya jam sepuluh pagi di ruang jurusan. Dan entah kebetulan atau bukan, Abid menghubunginya. Heboh mengatakan padanya bahwa ia dipanggil ketua jurusan. Yang mana tentu saja, ketika ada orang penting memanggil, itu hanya ada dua kemungkinan. Kabar baik atau kabar buruk.
Menuju ke ruang jurusan, Ryan menarik napas dalam-dalam. Pun begitu juga dengan Abid. Untuk kemudian, Ryan mengangkat tangannya. Mengetuk pintu ruangan itu dan mengucapkan permisinya. Kemudian menekan daun pintu.
Mendorong pintu untuk membuka, Ryan pun langsung melangkah masuk. Dan matanya seketika membesar saat pemandangan yang pertama kali mendarat di retinanya adalah satu wajah cantik itu. Yang tampak sama terkejutnya ketika melihat kehadirannya. Terutama karena lidah Ryan pun segera bergerak. Menyebut namanya.
"Bu Vanessa ...."
Dalam hati, Abid pun segera merutuk.
Astaga.
Pasti Ryan nambah gila ini mah.
*
Ketika pagi itu tiba di kampus, Vanessa langsung menuju ke ruang jurusan. Beberapa orang dosen yang tergabung dalam kelompok bimbingan penyusunan prosopal PKM sudah berkumpul. Dengan agenda pertemuan berupa jadwal kegiatan.
Iis, selaku ketua jurusan menunjukkan daftar nama mahasiswa yang mendaftar.
"Banyak. Ini sih di luar perkiraan kita," kata Iis. "Setidaknya ada delapan puluh enam mahasiswa yang terbagi menjadi dua puluh delapan kelompok. Jadi, mungkin setiap dosen akan membimbing setidaknya empat atau lima kelompok."
Waw!
Itu adalah satu kata yang langsung menggema di benak Vanessa. Benar-benar syok dengan bilangan yang disebut oleh ketua jurusan. Membimbing empat atau lima kelompok? Yang itu artinya antara dua belas hingga dua puluh orang? Ckckckck. Membayangkannya saja sudah membuat kepala Vanessa berdenyut-denyut ria. Apalagi kalau itu sudah menjadi kenyataan?
Meringis samar, Vanessa lantas meratapi nasibnya. Bagaimana tidak? Rasa-rasanya baru beberapa hari yang lalu ia bergembira lantaran beban pekerjaannya yang mulai meringan. Eh, tidak menunggu lama. Tanggung jawab lainnya sudah membayang di depan mata. Hiks. Memang benar kata orang, pekerjaan dosen itu lebih banyak yang di luar rencana ketimbang yang berada di dalam rencana. Contohnya ... ya ini.
"Tapi ...."
Suara Iis menarik perhatian Vanessa. Membuat wajahnya yang sempat menunduk, terangkat kembali. Demi bisa melihat bagaimana ada senyum di wajah wanita paruh baya itu.
"Bapak dan Ibu nggak perlu khawatir. Karena mahasiswa yang mendaftar banyak, maka dari itu jurusan juga meminta bantuan para mahasiswa yang dulu pernah lolos PKM. Jadi, ya dikit banyak mudah-mudahan bisa memperingan pekerjaan kita."
Menambahkan perkataan Iis, adalah Emi yang kemudian turut menjelaskan.
"Bu Iis sudah menghubungi beberapa orang mahasiswa yang kebetulan masih aktif di kampus. Jadi, rencananya jam sepuluh nanti kita akan bertemu dengan mereka semuanya."
Merasa lega dengan hal tersebur, Vanessa sama sekali tidak memikirkan siapa saja mahasiswa yang akan bergabung dengan mereka. Hingga tibalah saat itu. Ketika beberapa orang mahasiswa satu persatu mengetuk pintu jurusan dan masuk. Dari yang Vanessa kenal hingga yang lupa-lupa ingat. Sampai pada akhirnya, seseorang yang lebih dari kata 'kenal' masuk ke ruangan itu. Disusul oleh sapaan lirihnya. Seakan menyiratkan keterkejutan yang sama.
"Bu Vanessa ...."
Maka sontak saja Vanessa balas melirih. "Ryan?"
Ketika Vanessa dan Ryan masih diliputi keterkejutan untuk beberapa detik, mendadak saja ada suara kekehan yang terdengar di udara. Membuat semua mata beralih. Pada Suwanto yang tampak lucu.
"Eh, ini Rizki Ryan kan?"
Cengar-cengir, Ryan mengangguk. Menghampiri Suwanto dan bersalaman dengan sopan. Pun bergiliran melakukan hal yang serupa dengan dosen-dosen lainnya.
Suwanto masih terkekeh. Menunjuk-nunjuk pada Ryan. "Kamu ini ya. Di mana ada Bu Vanessa, kamu juga ada. Hahahaha."
Mata Vanessa mengerjap. Merasa salah tingkah dan buru-buru berkata.
"Kebetulan kemaren dia ada bantu saya ngurus penelitian, Pak."
"Oh," angguk Suwanto. "Ternyata kamu rajin juga ya?"
"Bapak lupa? Ini kan Ryan yang punya depot bunga itu loh, Pak. Floral Garden. Yang sering kita kunjungi."
Suwanto seketika berpaling pada Iis. Matanya membesar. "Oh, Rizki Adryan toh!" kesiapnya. "Kamu bilang nama kamu Rizki Ryan."
Ryan meringis.
Kapan juga aku pernah ngomong nama aku Rizki Ryan?
"Bapak kan sering mampir di sana, tapi kamu jarang keliatan. Ke mana?"
Ke kamar, Pak.
Kelonan.
Ryan cengar-cengir. Sumpah. Ia tidak akan mengatakan hal itu. Hihihihi.
"Saya biasanya di belakang, Pak. Yang ngurus depan emang yang lain."
Suwanto manggut-manggut. "Pantas mah kalau kamu lolos proposal PKM. Pekerja keras kamu ya?"
"Begitulah, Pak. Nggak kerja saya nggak makan, Pak."
Perkataan polos itu tentu saja mengundang gelak tawa orang-orang di sana. Tanpa terkecuali. Termasuk di dalamnya adalah Vanessa.
Maka setelah sesi tawa-tawa ria itu dilewati, Iis pun menjelaskan maksud dan tujuan mengapa ia memanggil para mahasiswa itu. Yang mana tentu saja membuat Ryan dan Abid mengembuskan napas lega. Seperti beban ratusan kilogram terangkat dari pundak mereka.
"Dari judul proposal yang diajukan, nanti dosen pembimbing dan mahasiswa pendamping akan memberikan arahan pada kelompok yang menjadi tanggung jawabnya. Ya ... bisa dikatakan seperti praktikum biasa."
Setidaknya ada enam bagian yang terbagi sesuai dengan keahlian dosen masing-masing. Dari pemeliharaan plasma nutfah terancam punah, perbanyakan tanaman secara vegetatif atau generatif, teknik budidaya ramah lingkungan, pemanfaatan hasil panen melalui tindakan pasca panen, pengolahan limbah tanaman, dan penerapan teknologi dalam pertanian. Walau tentu saja, tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada topik proposal yang tidak termasuk ke dalam enam kelompok itu. Dan untuk itu maka tidak ada jalan lain, kecuali melihat pada kompetensi dosen yang sekiranya bisa menanganinya.
Untuk Vanessa sendiri, bidang keahliannya adalah morfologi dan molekuler tanaman. Otomatis bisa menjurus pada pemeliharaan plasma nutfah terancam punah dan penerapan teknologi dalam pertanian. Sehingga diperlukan peninjauan lebih lanjut lagi proposal mana yang lebih tepat untuk Vanessa, begitu pun dengan dosen lainnya. Tim akan melihat kembali kelompok-kelompok yang sekiranya tepat untuk masing-masing dosen asuh.
Hingga kemudian, Iis yang dibantu oleh Emi pun melihat pada daftar riwayat proposal pkm terdahulu yang lolos dan mendapatkan pembiayaan.
"Nella, Marwin, dan Umi, judul proposal kalian dulu JARAH HARTA kan? Jahe Merah Hangat Rahasia Tahan Adem."
Sekelompok mahasiswa tampak mengulum senyum geli. Pun dengan Ryan dan Abid yang menyadari bahwa memang begitulah mereka biasa menulis judul proposal PKM untuk bidang kewirausahaan. Yang menarik. Agar terkesan segar dan mampu mendapatkan minat orang.
Seorang mahasiswi yang mengenakan kemeja kotak-kotak mengangguk. "Iya, Bu."
"Nah, kalau gitu kamu nanti bantu Pak Suwanto ya. Untuk penanganan pasca panen."
Maka begitulah. Satu persatu Iis mengalokasikan setiap mahasiswa ke dosen masing-masing. Hingga tiba pada akhirnya ia pada satu judul yang mendorong ia melihat pada Ryan dan Abid.
"Kalian berdua judulnya Variasi Keragaan Anggrek Lokal Dengan Iradiasi Sinar Gamma? PKM bidang penelitian?"
"Iya, Bu."
"Iya, Bu."
Ketika selesai menjawab pertanyaan Iis, mata Ryan seketika membesar. Seperti sel-sel saraf otaknya mendadak bekerja. Demi memperkirakan sesuatu yang lantas melintas di benaknya.
Variasi keragaan?
Sinar gamma?
Ryan sontak berpaling. Menoleh pada Vanessa. Yang juga melihat pada dirinya.
Tuh kan!
Kalau jodoh mah nggak bakal ke mana!
Hahahaha.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro