11. Lantaran Perasaan
Selesai mengisi kuliah Biokimia yang lagi-lagi diwarnai oleh tawa berkat Ryan, Vanessa langsung kembali menuju ke gedung jurusan. Dan tidak segera ke ruangannya, cewek itu teringat oleh janjinya tadi pada rekan kerjanya. Yaitu untuk menemuinya di ruang jurusan.
Ketika Vanessa masuk ke ruang jurusan, ia mendapati ada beberapa orang dosen yang berkumpul di sana. Tidak mengerjakan sesuatu yang serius, melainkan hanya bercakap-cakap. Tampak ada Emi dan juga Nathan di sana.
"Bu Vanessa, sudah selesai ngajarnya?"
Vanessa mengangguk sebagai jawaban untuk pertanyaan Emi. Dan ia menarik kursi di sebelah rekannya itu, duduk di sana. Setelah menyempatkan diri untuk memberikan satu senyum ramah pada Nathan di hadapannya.
"Jadi," kata Vanessa seraya menaruh tas laptopnya di atas meja. "Gimana soal yang tadi, Bu?"
Emi melihat pada Vanessa, lalu beralih pada Nathan sekilas. "Kita mulai aja ya sekarang? Kayaknya yang lain masih ada kerjaan lain."
Vanessa dan Nathan setuju. Mereka berdua mempersilakan Emi untuk menjelaskan kegiatan yang rencananya akan diemban oleh beberapa orang dosen tersebut.
"Intinya," ujar Emi mulai menjelaskan. "Bu Iis mau ngebentuk tim bimbingan proposal PKM. Ada enam dosen yang diminta jadi pembimbing. Saya, Bu Vanessa, Pak Nathan, Pak Zidan, Pak Suwanto, dan Pak Teguh. Nanti untuk semua mahasiswa yang ingin mengajukan proposal, akan mendaftar di jurusan. Dan selanjutnya akan diarahkan ke pembimbing yang sekiranya sesuai dengan kompetensi masing-masing."
Vanessa paham. Ia mengerti sekali bahwa bila ada kegiatan seperti ini, memang biasanya kampus cenderung akan menunjuk dosen-dosen muda untuk menanganinya. Sebagian mungkin menganggap itu senioritas. Namun, yang sebenarnya adalah secara langsung atau tidak, hal itu ditujukan untuk media pembelajaran dosen muda itu sendiri. Sehingga dalam satu kegiatan yang akan diselenggarakan, bukan hanya mahasiswa yang belajar. Alih-alih, dosen muda juga.
Tapi ....
Itu artinya ada Nathan juga dong?
"Aaah ...."
Tanpa sadar, Vanessa menghela napas panjang dan melirih. Seperti mengeluh. Hal yang tentu saja membuat Emi dan Nathan kompak melihat pada cewek itu.
"Eh? Kenapa, Bu?" tanya Emi kemudian. "Ibu nggak bersedia atau---"
Vanessa tersadar. Buru-buru menggeleng. "Nggak, Bu," jawabnya cepat. "Maaf. Ini bukannya saya nggak bersedia. Cuma ...." Mata Vanessa mengerjap. "Saya baru sadar, saya belum minum dari tadi. Sa-saya kepanasan, Bu. He he he he."
Berusaha untuk tidak menyinggung siapa pun di sana, Vanessa justru tidak menduga bahwa Nathan yang sedari tadi nyaris tidak bersuara, bangkit. Seraya berkata.
"Bentar, Bu. Biar saya ambilkan minum dulu."
Ya ampun.
Vanessa ingin menolak. Tapi, tentu saja tidak bisa. Terkesan tidak sopan sementara bukan hanya mereka berdua yang berada di sana. Tak berdaya, pada akhirnya Vanessa menerima segelas air sejuk yang diberikan Nathan padanya. Menikmatinya dalam dua teguk yang tak seberapa.
Beberapa menit kemudian, setelah Emi menjelaskan hal-hal lainnya, pertemuan ala kadarnya itu pun berakhir. Setelah ia mengatakan hal terakhir pada kedua rekannya.
"Nanti saya buat grup WA. Biar kita bisa lebih mudah komunikasinya."
Keluar dari ruang jurusan, Vanessa lantas langsung menuju ke ruangannya. Mungkin terkesan terburu-buru. Tapi, sungguh. Vanessa merasa bahwa dirinya masih harus menjaga jarak dengan Nathan. Rekan kerjanya yang bisa dikatakan sudah mengungkapkan perasaannya secara tidak langsung.
Hingga pada akhirnya, ketika Vanessa sudah tiba di ruangannya, ia mengembuskan napas lega. Persis seperti seorang cewek yang berusaha melarikan diri dari kejaran sang penjahat. Hiks.
Namun, tidak bermaksud berlebihan. Vanessa hanya ingin menjaga diri dari semua kemungkinan. Karena ia ingat persis bagaimana Nathan yang tetap berusaha mendekatinya walau ia dulu sudah pernah terang-terangan menunjukkan keberatannya. Untuk semua perlakuan yang cowok itu lakukan padanya. Yang seolah mengundang gosip untuk menyebar.
Terakhir kali, ketika Vanessa sudah merasa kesal terhadap Nathan, ia pun memberikan ketegasannya. Bahwa saat itu ia sedang dalam tahap pendekatan dengan cowok lain. Yang sebenarnya adalah ... ia sedang dalam fase menerima kehadiran Ryan di dalam hidupnya.
Pada saat itu, Vanessa yang belum menerima Ryan seutuhnya saja sudah berusaha menjaga jarak dengan Nathan. Apalagi sekarang? Praktis manusiawi sekali bila Vanessa terkesan menghindarinya.
Hanya saja dengan pekerjaan yang Vanessa emban, rasanya mustahil untuk benar-benar bisa menghindari Nathan. Terutama dengan kelompok bimbingan yang sudah berada di ambang mata. Praktis, interaksi dirinya dan Nathan juga akan semakin sering terjadi. Bahkan tidak menutup kemungkinan, bisa saja ia dan Nathan membimbing kelompok yang sama. Mengingat jalur keahlian mereka yang nyaris sama. Toh, itu dibuktikan dengan seringnya ia dan Nathan bersama-sama menguji skripsi mahasiswa.
Di saat itu, Vanessa yang memilih untuk duduk di sofa, alih-alih di kursi kerjanya, berpikir. Akan satu hal yang membuat ia mengernyitkan dahinya.
Kira-kira Ryan bisa cemburu juga nggak ya?
*
Selesai dengan kuliah yang berakhir di jam dua siang, Ryan memutuskan untuk singgah ke kos Abid. Alih-alih langsung pulang seperti yang ia lakukan belakangan itu. Toh dengan satu pemikiran menggelikan di benaknya.
Balik cepat juga percuma.
Nggak bisa kelonan sama Dinda.
Hahahahaha.
Walau sebenarnya bukan itu alasannya. Melainkan karena sore itu rencananya Ryan akan membantu penelitian Abid. Tomat yang menjadi komoditi skripsi sahabatnya itu sudah berbuah. Dan mereka akan melakukan panen pertama hari itu.
Tiba di kos Abid, Ryan langsung masuk dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Merogoh saku celana jeans-nya, ia langsung membuka aplikasi Whatsapp. Demi memastikan sesuatu.
[ Vanessayang ]
[ Dinda .... ]
Ryan menunggu beberapa detik. Hanya untuk menyadari bahwa istrinya itu belum mengaktifkan kembali ponselnya. Namun, itu tidak mengurungkan niatannya untuk mengirim pesan selanjutnya.
[ Vanessayang ]
[ Sa, ntar mungkin aku balik agak telat. ]
[ Aku lupa ngasih tau kamu pagi tadi. ]
[ Sore ini aku dan anak-anak mau bantu Abid panen tomat. ]
Acuh tak acuh, Abid yang menaruh tas ranselnya di atas meja, bertanya. Dengan maksud menyindir tentunya.
"Udah pamitan sama Yayang Bebeb kalau mau bantuin aku panen? Diizinin nggak? Apa perlu aku sekalian yang ngomong? Biar Yayang Bebeb percaya gitu."
Menggeliat di atas kasur Abid, Ryan persis seperti ulat bulu. Demi bisa mencapai bantal yang di atas sana. Dan setelah ia berhasil mendaratkan kepalanya di sana, ia pun berpaling pada Abid. Mendapati cowok itu yang geleng-geleng kepala melihat kelakuannya. Ryan terkekeh.
"Emang. Barusan aku chat Yayang Bebeb. Takut ntar dia bingung nyariin aku. Gawat banget kalau dia kepikiran aku justru pergi jalan sama cewek lain padahal aslinya bantuin kamu panen. Kamu nggak tau kan? Yayang Bebeb aku tuh kalau cemburu, gawat banget. Iiih! Buat merinding aja."
Mungkin memang membuat merinding. Soalnya Abid merasakan tubuhnya yang seperti menggigil seketika mendengar perkataan Ryan. Hingga ia yang semula ingin mengambil minum, mengurungkan niatannya. Alih-alih, ia menarik kursi belajarnya. Mendekati Ryan dan duduk. Tangannya terulur.
"Coba sini. Aku mau liat chat kamu sama Yayang Bebeb kamu. Mana? Aku mau bukti, bukan ocehan halu kamu aja."
Refleks, Ryan mendekap ponselnya di depan dada. Lengkap dengan kedua tangannya. Jelas khawatir kalau Abid mendadak merebut ponselnya dengan tiba-tiba.
Sial.
Ntar aku harus ngunci WA aku.
Sama galeri aku juga.
Bisa mampus Dinda kalau Abid sampe tau.
Bertekad untuk tidak membiarkan Abid mendapatkan ponsel miliknya itu, Ryan menyipitkan mata.
"Kepo heh? Mau liat kemesraan aku sama Dinda? Ckckck. Ngenesnya kamu, Bid."
Abid melongo. "Hah?! Yakin aku yang ngenes? Bukannya kamu?"
"Aku?" Ryan memutar bola matanya sekilas, berpikir. "Ngapain juga aku ngenes? Nggak tau aja kamu kalau saat ini aku adalah cowok paling bahagia di dunia."
Abid berdecak. Geleng-geleng kepala dan bangkit dari duduknya. Kali ini benar-benar beranjak untuk mengambil air minum di kulkas satu pintu yang tersedia di kamar kosnya itu.
"Saking ngenesnya ...," kata Abid seraya meraih satu botol air putih dari dalam sana. "Aku bisa nebak kalau kamu punya dua akun Whatsapp di satu ponsel."
Mata Ryan membesar. Seketika langsung bangkit dari rebahan nyamannya. Jelas, ia bisa menebak ke mana arah pikiran Abid.
"Kamu ngirim chat sendiri, terus kamu baca sendiri. Terus kamu balas sendiri, eh kamu terima sendiri."
Abid mengembuskan napas panjang. Ekspresi wajahnya tampak begitu bersimpatik pada Ryan. Seperti mengetahui penderitaan cowok itu.
"Segitunya ya efek Bu Vanessa buat kewarasaan jiwa kamu, Yan?"
Mulut Ryan menganga dengan mata yang membola tanpa kedip. Seperti ia yang pasrah saja dengan vonis yang akan kembali dijatuhkan Abid pada dirinya.
Mendekati Ryan, Abid lalu menepuk pundak cowok itu. Duduk di sebelahnya.
"Kalau menurut aku, emang lebih bagus kamu nyari cewek deh, Yan. Aku tuh serius. Lama-lama aku beneran khawatir dengan kewarasan kamu. Ya ampun. Bentar lagi kamu beneran gila deh gara-gara Bu Vanessa."
Menangkap tangan Abid di pundaknya, Ryan mengembuskan napasnya sekilas. "Kamu nggak salah. Aku emang beneran gila sama Bu Vanessa. Dan ... aku rela gila demi dia."
"Ya Tuhan," desis Abid horor. "Yan, insyaf. Insyaf. Nyebut."
"Kayak aku yang lagi buat dosa aja."
Lalu Ryan bangkit dari duduknya. Dengan manyun di wajahnya. Memutuskan bahwa tidak akan berguna membicarakan soal itu.
Tunggu ya tunggu.
Tunggu aku wisuda dan Dinda Vanessayang jadi pendamping aku.
Kamu yang bakal langsung gila di tempat, Bid.
Aku jamin.
Mengartikan tindakan Ryan sebagai bentuk kesal, Abid merasa tidak enak juga. Hingga ia menyusul cowok itu yang memilih untuk duduk lesehan saja di lantai.
"Yan, gimana kalau malam Minggu ntar kita kencan buta? Mau nggak?"
Mata Ryan melotot. "Kencan buta?" tanyanya ngeri. "Ini abad berapa, Bid? Masih ada kencan buta heh?!"
"Ck. Gimana? Mau nggak?"
"Nggak ah nggak," tolak Ryan seraya menjauhi Abid. "Lagi buka mata lebar-lebar aja masih sering salah pilih pasangan. Apalagi kalau beneran buta?"
Namun, Abid tidak menyerah. "Dijamin. Kamu nggak bakal nyesel. Anak-anak sering ngumpul kalau malam Minggu. Nggak dikit yang sukses dapat pacar di kencan buta."
"Kencan buta kencan buta," ulang Ryan dengan nada horor di suaranya. "Aku jamin, Bid. Kalau aku ikut gituan, nggak diragukan lagi. Balik dari kencan buta, aku bakal buta beneran."
Karena di benak Ryan, seketika saja melintas bayangan Vanessa yang berdiri di belakang pintu, menunggu dirinya pulang. Dengan dua tangan yang mengacung padanya. Satu tangan memegang mangkok melamin dan satu lainnya memegang pot bunga tanah liat.
Dijamin!
Kalau satu dari dua benda itu melayang ke mata aku, beneran buta aku mah!
Maka dari itulah, Ryan kemudian bangkit. Dengan kaki yang terbuka lebar, satu tangan berkacak di pinggang, ia menunjuk Abid dengan tangan lainnya. Ia benar-benar tidak ingin menerima ajakan Abid yang satu itu.
"Kamu harus tau, Bid."
Ryan berkata dengan yakin. Hingga membuat Abid di lantai mengangkat wajah dan melihatnya dengan penuh keseriusan yang nantinya akan ia sesali.
"Tanpa kamu ngajak aku ke kencan buta, aku aja udah buta duluan," lanjut Ryan percaya diri. "Karena jelas, hanya ada satu orang yang bisa aku lihat." Dan ia menutup perkataannya dengan tawa yang membahana. "Hwahahahaha."
Abid menepuk dahinya.
Dahlah.
Aku mau nanya ke Bu Vanessa besok.
Pake minyak wangi apa sih?
Sampe bisa buat anak orang gila segininya?
Karena di hadapannya, Abid merasa kelakuaan Ryan dan orang gila memang tidak ada bedanya sama sekali. Persis! Mirip! Hingga Abid berencana untuk mengubah nama kontak Ryan di ponselnya nanti. Menjadi: Orang Gila!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro