Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Masih Kuliah Tapi Menikah

Ini season 2 ya, Guys. Jadi sebelum baca ini pastikan kamu sudah baca season 1 yang berjudul: Kuliah Tapi Menikah 🥰

=============================================

"Kuliah, tapi ternyata sudah menikah?"

"Kenapa nggak? Kalau menikahnya dengan keadaan yang sudah siap jasmani, rohani, dan finansial, ditambah lagi calonnya kayak kamu ... aku bakal selalu memilih pilihan ini."

"Besok kita harus tetap bersama ya?"

"Aku cinta kamu."

"Aku juga cinta kamu."

"Kalau gitu, sini dong. Cuuum dulu."

"Ehm ... males ah."

"Males? Kenapa?"

"Soalnya kamu belum mandi."

"Mandi? Eh?"

Kok ngomong soal mandi sih?

Kan nyata-nyata aku lagi wisuda.

Ya otomatis aku udah mandi dong.

Masa pergi wisuda nggak mandi?

"Ryan ...."

Ehm ....

Suaranya ini ....

"Yan, mandi dulu gih. Ini udah pagi."

Pagi?

Ryan merasa tubuhnya berguncang. Bumi terasa bergoyang-goyang. Gempa? Tapi, anehnya ketika ia berusaha untuk melindungi sosok cantik yang berada tepat di sebelahnya, ia mendapati bagaimana sosok itu yang perlahan memudar. Dan tak hanya itu, yang lainnya pun mengalami hal yang sama. Teman-teman wisudanya, orang tuanya, bahkan gedung wisuda pelan-pelan lenyap. Tergantikan oleh cahaya yang teramat menyilaukan. Membuat kepalanya terasa pusing. Memaksa ia untuk memejamkan mata. Hingga kemudian terdengar suara lembut.

"Udah bangun?"

Memaksa sekuat tenaga, Ryan pun membuka mata. Menyadari bahwa cahaya silau tadi adalah sinar matahari pagi yang menerobos masuk melalui jendela yang telah dibuka tirainya.

Eh?

Ryan mengerjap-ngerjapkan matanya. Berpaling dan mendapati seorang cewek yang duduk di tepi tempat tidur. Tampak wajah cewek itu setengah kesal padanya.

"Vanessayang ...," lirih Ryan pelan dengan kesan gamang. Seolah dirinya yang masih bingung dengan keadaan yang sedang terjadi. "Dinda?"

Wajah cantik itu tampak mengerutkan dahi. Sekarang sepertinya dirinya ikut-ikutan bingung karena mendapati kebingungan yang tercetak nyata di wajah cowok itu.

"Iya, Yan. Ini aku," kata cewek itu dengan nada sedikit ketus. "Dinda Vanessayang atau apalah kamu nyebutnya."

Dan mendapati penjelasan itu, Ryan justru memutar bola matanya. Mengitari keadaan sekeliling dan mendapati langit-langit kamar menjadi fokus matanya.

Bukan langit cerah karena baru keluar dari gedung wisuda?

Melihat Ryan yang kembali terdiam, Vanessa pun bertanya.

"Kamu malam tadi tidur jam berapa sih? Kok susah banget dibangunin? Ini udah pagi loh, Yan."

Ryan masih mengerjap-ngerjapkan matanya. Tampak semakin bingung. Hingga kemudian ketika Vanessa beranjak bangkit, Ryan pun turut bangkit pula. Duduk di kasur itu. Dengan menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak terasa gatal, Ryan bergumam rendah. Seperti tengah bicara pada dirinya sendiri.

"Aku ... kecapekan wisuda atau ...."

Vanessa yang semula akan keluar dari kamar, menghentikan langkah kakinya. Memutar tubuh, ia mendengkus geli. Lucu.

"Yan, mending kamu buruan mandi deh. Aku udah buatin sarapan."

Setelah mengatakan itu, Vanessa pun benar-benar beranjak dari kamar. Menuju ke dapur demi menyelesaikan pekerjaannya tadi yang sempat tertunda ketika membangunkan Ryan. Heran. Tidak biasanya Ryan telat bangun. Tapi, Vanessa maklum. Malam tadi Ryan memang begadang menyelesaikan revisian skripsinya.

Langsung menuju ke kitchen island, Vanessa memastikan bahwa bekal yang ia siapkan sudah tersimpan dengan rapi dan aman di kotak bekalnya. Lalu memasukkannya dengan hati-hati di satu eco bag. Menyisihkannya. Tepat ketika ia mendengar derap langkah seseorang. Dan itu pasti adalah Ryan.

Ryan langsung menghampiri Vanessa. Melayangkan pertanyaannya dengan tiba-tiba. Hingga nyaris membuat Vanessa melonjak kaget karenanya.

"Sa? Aku udah wisuda belum?"

Vanessa yang semula akan beranjak, sontak saja mengurungkan niatnya. Alih-alih, ia tampak menatap lekat pada Ryan. Untuk beberapa saat, cewek cantik itu hanya diam. Lalu, pelan-pelan ia mengerutkan dahi.

"Wisuda?" tanya Vanessa balik. "Wisuda S1 maksud kamu?"

Ryan langsung mengangguk. "Iya. Aku udah wisuda atau belum?"

Wajah Ryan tampak teramat serius ketika menanyakan hal itu. Namun, berbanding terbalik dengannya, Vanessa justru tertawa terbahak-bahak sedetik kemudian.

"Hahahahaha. Ryan Ryan. Hahahaha. Jangan ngomong kalau tadi itu kamu mimpi kamu udah wisuda. Hahahahaha."

Dooong!

Ryan melongo. "Mimpi?" tanyanya syok. "A-a-aku mimpi?"

Vanessa yang semula sudah akan berhenti tertawa, sontak tak mampu bertahan lagi. Kembali tawanya menyembur. Kali ini bahkan lebih terbahak-bahak lagi. Hingga membuat ia tanpa sadar memegang kedua tangan Ryan, bertahan di sana ketika rasa geli di perutnya membuat ia terbungkuk-bungkuk.

"Hahahahaha. Ya ampun, Kanda. Pagi-pagi kamu udah buat aku ketawa aja. Hahahaha. Kamu mimpi wisuda? Astaga. Hahahahaha."

Mengabaikan tawa Vanessa yang masih meledak, bahkan cenderung makin parah di tiap detiknya, Ryan mencoba untuk mencerna keadaan yang sedang terjadi padanya saat itu. Pelan-pelan. Jangan sampai otaknya salah berpikir.

Aku ujian tengah semester.

Terus aku bimbingan.

Terus aku ....

Mengerjap-ngerjapkan matanya, Rya meringis. Kembali bertanya walau tak yakin ia tujukan pada siapa pertanyaan itu. Vanessa-kah? Atau dirinya sendiri?

"A-a-aku belum wisuda?"

"Hahahahaha!"

Vanessa kembali terpingkal.

"Yan, ya ampun. Hahahaha. Segitunya kamu mau wisuda? Sampe kebawa dalam mimpi?"

Ryan meringis. "Astaga. Aku beneran mimpi?" tanyanya lagi tak percaya. "Tapi, itu mimpi kayak nyata banget." Mengangkat tangannya, Ryan mengusap wajahnya. Tak peduli dengan Vanessa yang lantas berpegang pada tepian kitchen island, masih tertawa. "Astaga. Aku bahkan masih ingat banget rasanya pas oake toga. Dan ... dan ... kamu ngedampingi aku wisuda, Sa! Temen-temen aku pada heboh gara-gara kamu jadi pendamping aku. Terus mereka lebih heboh lagi pas tau kita nikah. Mereka pada nggak percaya kalau dosen secantik kamu mau nikah sama mahasiswa kayak aku."

Ah, sudahlah.

Semakin Ryan mengatakan itu maka semakin besar pula tawa yang meledak dari bibir Vanessa. Hingga cewek itu pun merasa kepayahan karena rasa lucu yang semakin mendera dirinya. Membuat ia tak berdaya. Sampai pada akhirnya ia pasrah saja mengikuti gaya gravitasi bumi. Terduduk di lantai dan lalu memeluk perutnya yang terasa geli.

"Hahahahaha. Kanda, ya ampun. Mimpi kamu paket komplit banget. Udah ngalahin bakso aja. Hahahahaha."

Memejamkan matanya dengan dramatis, ekspresi wajah Ryan lantas tampak gusar.ia pun mendengkus dengan kesal. Seraya menunduk, ia menukas.

"Heran ya, Sa. Kamu ini emang paling seneng kalau ngeliat aku menderita. Sama suami sendiri juga."

Mendengar perkataan itu, sontak saja tawa Vanessa berhenti. Dan itu membuat mata Ryan menyipit dengan sorot curiga dan waspada. Walau ia memang kesal karena ditertawakan seperti itu, tapi tetap saja ia menjadi tidak enak karena tawa itu berhenti. Maka ia pun bertanya dengan ekspresi antisipasi.

"Kenapa diam? Sakit perut?"

Mengganti tawa terbahak-bahaknya dengan satu senyuman geli, Vanessa perlahan bangkit kembali untuk berdiri. Dengan mata yang menatap lurus pada Ryan, mendadak saja raut wajah Vanessa berubah. Tampak seperti dirinya yang penasaran akan sesuatu.

"Ehm ...," gumam Vanessa kemudian dengan perlahan. Layaknya ia yang ingin mendramatisir keadaan kala itu. "Suami? Ehm ... siapa suami siapa?" Vanessa menelengkan wajahnya ke satu sisi. "Kamu mimpi apa lagi sih, Yan?" Lantas kedua tangan Vanessa naik, mendarat di mulutnya yang membuka karena terkesiap. "Ya ampun. Jangan ngomong kalau kamu mimpi kita nikah."

Ryan membeku. Melongo. Wajahnya tampak membeku.

"Kamu mimpi kita nikah, Yan?" tanya Vanessa lagi. "Astaga. Gimana bisa kita nikah? Dosen secantik aku? Nikah sama mahasiswa kayak kamu?"

Deg!

Ryan merasa jantungnya bagai tidak berdetak lagi. Aliran darahnya di pembuluhnya pun terasa bagai tersumbat. Pun dengan napasnya yang bagai tercekat di pangkal tenggorokan. Dan dibutuhkan kekuatan untuk Ryan mencoba untuk mencerna hal itu. Berpikir.

A-a-aku dan Vanessa ....

Tentu saja, Rizki Adryan Wicaksana adalah seorang mahasiswa. Tercatat sedang menjalani tahun keempat masa kuliahnya, ia membuat heboh para dosen lantaran mengulang empat mata kuliah yang nilainya bagus. Hingga dosen pembimbingnya merasa tak habis pikir karena tindakannya itu tentu saja berimbas pada jadwal tamatnya yang tertunda.

Ryan yang seharusnya bisa tamat di semester tujuh, pada akhirnya justru kembali menjalani perkuliahan di semester delapan. Beberapa orang mengatakan ia bodoh, bisa-bisanya mengulang mata kuliah yang nilainya bagus. Tapi, siapa yang mengira bahwa Ryan mengulang mata kuliah itu demi satu tujuan. Yaitu, agar selalu bisa bertemu dengan sang pujaan hati yang telah resmi menjadi istrinya.

Adalah Vanessa Mariska. Dosen di Fakultas Pertanian Universitas Cakraloka. Memiliki fokus di bidang morfologi dan molekuler tanaman. Yang lajang hingga usianya menginjak angka dua puluh tujuh tahun, harus merasakan patah hati karena pengkhianatan yang dilakukan oleh mantan kekasihnya. Namun, semua belum benar-benar menjungkirbalikkan dunianya hingga tiba keputusan orang tuanya untuk menjodohkan dirinya. Dengan seorang cowok yang kebetulan adalah mahasiswanya sendiri.

Vanessa mungkin bisa bernapas lega karena mengetahui bahwa mahasiswa itu akan segera tamat. Tapi, siapa yang menyangka bahwa cowok itu termasuk ke dalam spesies cowok langka. Saking langkanya, mungkin baru kali ini Vanessa menemukan mahasiswa yang mengulang mata kuliah yang nilainya A+. Apa dia ingin mendapatkan nilai A++? Entahlah. Yang pasti, sejak hari itu, Vanessa harus rela diekori ke mana-mana oleh mahasiswa yang telah resmi menjadi suaminya.

Eh?

Masih kuliah, tapi menikah?

Dan menikahnya dengan dosen?

Karena kalau tidak menikah, mustahil kan Ryan dan Vanessa berada di tempat yang sama? Di pagi hari? Dengan keadaan yang masih berantakan? Dan tadi, jelas sekali loh Vanessa yang membangunkan Ryan di kamar. Kalau bukan sudah menikah, tentu saja mereka tidak bisa melakukan hal itu kan?

Kali ini, Ryan tanpa sadar terkekeh. Dengan kedua tangan yang berkacak di pinggang, ia tampak geleng-geleng kepala dengan geli.

"Dinda .... Dinda ....," lirihnya pelan. "Bisa-bisanya kamu memanfaatkan situasi ya?"

Ryan lantas mengangkat wajahnya. Dengan sorot mata yang tampak berubah di maniknya yang gelap, ia kemudian menyeringai.

"Bisa-bisanya ya kamu mau ngerjain suami sendiri?"

Mata Vanessa membola. "Loh?" kesiapnya dengan ekspresi pura-pura lugu. "Apa aku harus ngerjain suami orang?"

"Vanessa!"

"Ryan!"

Dan tepat setelah mengatakan itu, Ryan langsung maju. Menghambur demi meraih tubuh Vanessa sebelum cewek cantik itu berhasil melarikan diri. Kali ini, Ryan yang terpingkal.

"Hahahaha. Hayo loh hayo! Mau kabur ke mana, Dinda Vanessayang?"

Vanessa tak mau, tapi jelas kedua tangan Ryan yang memeluk perutnya itu terasa menggelikan. Terutama karena di menit selanjutnya, cowok itu dengan teramat sengaja menggerakkan jarinya dalam sentuhan-sentuhan abstrak yang membuat ia terkekeh.

"Kanda Ryan ...cur," ujar Vanessa di sela-sela rasa geli itu. "Aku mau mandi. Lepasin. Aku mau siap-siap ke kampus."

Ryan terkekeh. Mengeratkan rengkuhannya di perut Vanessa. Dan ia menggeleng.

"Nggak mau. Aku nggak mau lepasin. Salah siapa coba?" tanya Ryan geli. "Siapa coba yang nyuruh ngerjain suami sendiri pagi-pagi gini? Ya ... sekarang tanggung sendiri risikonya."

Astaga.

Tubuh Vanessa membeku. Dan hal itu dimanfaatkan dengan baik oleh Ryan. Hingga dalam hitungan detik yang teramat cepat, tubuh ramping itu pun melayang. Jatuh ke dalam gendongan Ryan dan Vanessa buru-buru mengalungkan kedua tangannya di leher Ryan.

"Ryan!" pekiknya kaget. "Kamu mau ngapain?"

Melayangkan lirikan menggoda, Ryan menjawab seraya melangkah. "Mau ngerjain istri sendiri dong. Masa ngerjain istri orang."

Bluuush!

Warna merah merona seketika saja membias di kedua pipi Vanessa. Pikirannya dengan teramat pintar menghadirkan kemungkinan yang akan terjadi lantaran perkataan Ryan itu. Hingga ketika Vanessa kembali bisa menguasai dirinya, ia mendelik.

"Aku mau ke kampus, Yan. Jangan macam-macam deh."

Masih terus melangkah, Ryan menyeringai. "Iya iya. Satu macam gaya aja ya? Oke. Sip sip. Bisa diatur."

Wajah Vanessa kian memerah. "Ryan! Aku mau ke kampus. Ntar aku telat."

"Ah, kan lagi masa tenang setelah UTS sih. Telat dikit juga nggak apa-apa," kata Ryan seraya melintasi ruang menonton. "Paling juga telat satu jam doang."

"Satu jam?" Mata Vanessa semakin membesar. "Nggak!"

Ryan terkekeh. "Setengah jam?"

"Nggak!"

"Lima belas menit?"

"Nggak!" tukas Vanessa kembali ketika mereka makin dekat menuju ke kamar. "Lima menit."

Langkah kaki Ryan berhenti tepat ketika baru selangkah ia masuk ke kamar. Dengan ekspresi horor, ia menunduk. Melihat pada Vanessa yang tampak mengerjap-ngerjapkan matanya dengan kesan lugu.

"Lima menit?" tanya Ryan syok. "Lima menit mah masuknya doang. Belum keluarnya kali, Sa."

Lalu, untuk perkataan itu, Vanessa hanya bisa menjeritkan satu kata. Tepat sebelum Ryan membawa mereka berdua mendarat di kasur yang empuk itu. Dan satu kata itu, tentu saja adalah.

"RYAAAN!!!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro