Bab 2
"Ra, serius?" Entah, ini keputusan benar atau tidak, tapi yang penting ini adalah satu-satunya cara agar aku bisa lebih dekat dengan Gema.
Aku pun mengangguk dengan mantap. "Syarat vaksin harus makan dulu kan, Bel?" kataku sambil memegang piring lalu mengambil nasi dengan beberapa lauk yang sudah Nenek siapkan untuk sarapan.
Nenek memang terbiasa masak sebelum berangkat ke pasar, dan aku memang hanya tinggal berdua saja dengan Nenek.
Mendengar jawabanku yang di luar nalar, Bella pun mendelik dan memutar bola matanya malas. "Tapi nggak gini juga caranya kalo masih cinta, Ra. Ngorbanin kesehatan demi bucin."
Tanpa memedulikan omelannya, aku terus menikmati makanan ini sampai tandas.
"Jadi panitia juga bisa berada di barisan pasien, kok. Inget, Ra. Kesehatan nomor satu. Aku nggak mau kau kenapa-kenapa, ya. Punya penyakit asma nggak boleh vaksin, Ra. Kau inget, kan?"
Setelah makanan ini habis, aku tetap masih berpura-pura tuli kemudian mengambil tas beserta ponsel yang sebelumnya aku letakkan di atas meja, aku melangkah menuju pintu keluar. "Ayo berangkat!"
"Ra, dengerin aku dulu dong!"
Tepat setelah sampai di halaman rumah, aku mengembuskan napas pasrah saat omelan Bella yang nyerocos sedari tadi terasa berdengung di telinga.
Aku pun berbalik saat Bella sudah berada tepat di belakangku, kini kami pun saling berhadapan. Melihat temanku yang masih waswas dengan keputusan dan ide konyolku, aku pun berusaha menenangkannya.
Kedua tanganku meraih bahu Bella lalu menatap tajam kedua matanya.
"Percaya deh. Aku nggak apa-apa, Bel. Lihat, aku sehat kan? Lagian penyakit asmaku nggak yang terlalu parah banget kok."
Ekspresi ketakutan yang semula tercipta di wajah Bella berangsur pudar, tergantikan dengan tarikan paksa di bibir sambil memutar bola matanya malas. Dia pun memakai maskernya lagi.
Iya, mungkin dia kesal dengan sikapku yang tidak berubah sejak SMA. Jika aku sudah memutuskan sesuatu, maka tidak bisa diganggu gugat.
"Ayo, Bel, keburu telat!"
Terdengar helaan napas Bella yang panjang kemudian menurut. Entah, melihat keraguan pada wajah temanku tiba-tiba saja secuil keraguan ada.
Segelintir ketakutan itu datang.
Munafik jika aku berkata tidak memedulikan kesehatan. Namun, bukankah kesempatan ini tak akan datang dua kali? Aku tak ingin menyia-nyiakannya.
Aku sangat merindukan Gema dan ingin bertegur sapa. Menjadi panitia mungkin akan efisien tapi akan menciptakan jarak antara diriku dengan dirinya.
Sebenarnya aku juga heran, mengapa aku bisa seperti ini? Apakah ini bukan perasaan cinta, melainkan obsesi? Menjadi penyebab tak ada hari sedetik pun untukku tak memikirkan laki-laki itu. Entah, aku sendiri tak paham. Apa aku sedang diguna-guna olehnya?
Aku tertawa miris jika menyadarinya. Kemudian menggeleng. Tidak mungkin Gema seperti itu, mengingat dulu yang memutuskan hubungan adalah aku, tapi malah aku sendiri yang merasa terbuang. Bagaimanapun ini adalah kesalahanku yang terlalu mencintai dia melebihi diriku sendiri. Akulah yang pantas disalahkan untuk semua ini. Jujur aku hampir gila karenanya.
"Ra, pake helmnya dong biar aku yang nyetir." Suara itu berhasil menyadarkan lamunan. Aku menggeleng berusaha menghilangkan pikiran tersebut lalu mengambil helm yang Bella berikan.
"Oke," jawabku asal lalu memakai helm tersebut. Melihatku yang baru tersadar dari lamunan, membuat Bella tersenyum jahil.
"Gimana, Ra? Jantung aman?" Lalu menyenggol bahuku sesaat sebelum menaiki motor. Aku yang belum tersadar dari realita hanya menatap Bella bingung karena tidak tahu harus merespons apa.
Embusan angin yang terasa masuk ke pori-pori kulit saat motor ini melaju. Telingaku tiba-tiba saja berdesir. Aku memang belum mengenakan masker sehingga angin itu berhasil menyapu wajahku. Bertepatan dengan itu, bulu kudukku terasa berdiri, jantungku berdegup kencang tidak seperti biasanya. Belum apa-apa, aku sudah merasakan sesak. Entah, sesak karena penyakitku yang memang pagi ini terasa sangat dingin, atau sesak karena akan bertemu Gema?
Aku pun melihat Bella yang sedang fokus menyetir seperti sedang asyik dengan dunianya sendiri, membuat suasana bertambah hening. Bayang-bayang sosok Gema tiba-tiba saja berputar dalam ingatan. Belum bertemu laki-laki itu aja, badanku udah panas-dingin tak keruan.
***
Badanku terhuyung ke depan saat Bella mengerem mendadak. Refleks aku segera menepuk pundaknya dengan segala omelan yang keluar dari mulut. Namun saat Bella menoleh dan melepaskan helmnya ke arahku, ada sosok lain di belakangnya. Dia sedang duduk di motor yang ada di depan.
Lantas aku segera menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. Wajahku yang semula bete berganti semringah saat melihat wajah itu. Wajah yang biasanya aku tatap melalui foto kini bisa menatapnya langsung.
"Hai, Cowok," ucapku kikuk dan refleks berkata demikian.
Sungguh, kata itu tiba-tiba saja meluncur dari mulut. Membayangkan bahwa aku dan Gema masih menjalin hubungan sehingga terbiasa mengucapkannya saat bertemu di jalan. Memori yang lama tersimpan seperti kembali lagi ke masa itu.
"He, gila nih anak. Sapa yang kau godain." Berbeda dengan Bella yang masih melihat ke arahku, sehingga tidak melihat sosok di belakangnya, dia pun menelusuri ke mana mataku melihat. Setelah menemukan sosok itu, bukannya kagum Bella malah terlihat syok. "Eh, Gundul!" Lalu dia membekap mulutnya sendiri karena kaget.
Bella menoleh lagi ke arahku dengan berbisik. "Eh, Ra. Dia siapa sih? Kok kayak kenal?"
"Gema."
Mendengar nama itu disebut, membuat Bella menahan senyum. "Etdah, cepet banget nih anak ngenalin wajahnya, padahal sekarang botak cling gitu." Berbeda dengan masa SMA dulu meskipun pernah melihat laki-laki itu yang tidak berambut karena tuntutan Paskibra, sekarang benar-benar devinisi botak yang sesungguhnya seperti Dedy Corbuzier.
"Tapi dia tetep ganteng," kataku sambil cengengesan seperti tak mempermasalahkan penampilan Gema sekarang. Lelaki itu menggunakan baju batik berwarna biru bercampur kuning dengan celana jeans hitam yang tampak memperlihatkan kaki jenjangnya saat Gema berdiri beberapa detik yang lalu tepat saat aku menyapanya. Aku tersenyum saat Gema menggunakan sandal gunung yang berdominasi hitam dengan warna merah di bagian depan.
Lelaki itu tersenyum ke arahku. Mendadak atmosfer di sekitar berubah saat sekujur tubuh bergemetar. Aku menggigit bibir bagian bawah saat mencoba untuk menetralkan degup jantung saat memaksakan diri untuk bekerja keras, memompanya dengan sangat kencang padahal sebelumnya sudah kembali netral. Bibirku tercekat setelahnya saat melihat Gema sedang memasang masker hingga membuatku tak bisa mengeluarkan kata-kata lagi, terasa berhenti sampai tenggorokkan.
Rencana sebelumnya aku yang ingin sekali mengajak Gema masuk untuk mengantre bersama selahi menunggu giliran divaksin, tapi gagal seketika saat Bella—yang sepertinya mengerti kondisiku yang sedang panas dingin tak keruan—melepaskan helm dan meletakkannya ke spion motor.
Dengan cepat, Bella menarik tubuhku dari tempat itu saat aku benar-benar tak berdaya saat mendapatkan biusan senyuman Gema seakan menghipnotisku di tempat. Iya karena menurutku Gema adalah laki-laki terganteng di dunia. Aku benar-benar tersihir dengan auranya.
Bahkan kalau ingat dulu sewaktu sekolah Bella sampai bosen saat aku menceritakan sosok Gema, seperti mengidolakan seseorang dan bisa memilikinya bukankah itu keberuntungan yang sangat mutlak?
Aku benar-benar jatuh hati kepada sosok Gema Pratama.
Sejujurnya, dulu aku memutuskan Gema bukan karena alasan. Komunikasiku buruk saat dia terpilih menjadi pasukan pengibar bendera (Paskab).
Salah satu temanku yang kebetulan menjadi fotografer dalam acara tersebut memberitahukanku bahwa Gema berfoto bersama perempuan cantik yang bertugas memegang nampan. Dia tak lain adalah kakak kelasku. Iya, memang kuakui dia lebih cantik—tidak, bahkan sangat cantik--daripada aku, dan termasuk jajaran orang paling tercantik di sekolahku dulu.
Awalnya aku tak pernah mempermasalahkan hal tersebut, hingga kecurigaan itu terbukti saat aku membaca ada notifikasi masuk pada layar ponselku yang tertulis kalau kakak kelasku mengucapkan terima kasih karena Gema telah memberikan banyak like pada postingan yang dia unggah di Facebook.
Bukankah dulu saling tukar akun sosmed adalah salah satu gaya berpacaran pada zamannya? Kebetulan aku memang memegang akun Gema di ponselku. Namun, saat aku membuka pesan itu tiba-tiba saja kosong.
Kecurigaan itu bertambah saat aku memergoki mereka saling adu pandang dan lempar senyum sewaktu di sekolah.
Aku menggeleng saat mengingat betapa hancur dan sakitnya aku kala itu. Namun mengapa malah aku yang tersiksa saat memutuskannya?
Aku sendiri pun bingung, mungkin karena aku sangat mencintainya sehingga memaklumi kesalahan yang pernah dia perbuat. Aku pikir putus dengan Gema adalah solusi yang tepat. Nyatanya aku salah tapi yang pasti setelah itu duniaku tidak baik-baik saja.
Gema aku rindu.
***
Jangan lupa meninggalkan jejak
29 Juli 2023.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro