Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1


Senja itu indah tapi sesaat.

Sore ini angin terasa kencang hingga menusuk ke pori-pori kulit. Terasa dingin, tidak seperti biasanya. Kenanganku kembali pada masa itu. Sebuah kilas balik masa lalu tiba-tiba saja terputar bagaikan film dalam ingatan. Aku tidak tau, hidupku seakan tertinggal. Jiwaku kosong seperti zombie yang terus menjalani hari tanpa arah dan tujuan yang pasti. Ternyata, melanjutkan hidup setelah kehilangan itu menyakitkan.

Ah, rasanya lucu sekali. Aku tertawa—tidak—lebih tepatnya mentertawakan diriku sendiri yang masih terbelenggu dan terpenjara oleh kenangan bersamanya. Rasa-rasanya aku ingin memiliki pintu ke mana saja milik Doraemon dan ingin tinggal selamanya di masa itu. Iya, hari di mana aku menemukan cinta pertamaku sekaligus patah hati yang begitu hebat.

Aku membencinya tapi juga sangat mencintainya. 

Aku Ara, Aurora Zalfa Prasetyo. Iya, benar. Prasetyo adalah nama ayahku. Dia seorang wartawan koran di daerah tempat tinggalku, lebih tepatnya di kabupaten Jember.

Kala itu Jember masih sejuk dengan keindahan ceritanya. Kala itu juga, Jember masih menjadi kota favoritku sampai kapan pun. Iya, perlu dipertegas lagi kala itu. Sebelum insiden kematian Mama yang membuatku trauma sampai sekarang.

Aku menoleh, sebuah suara membuyarkan lamunan. "Ra, ayo masuk! Sebentar lagi Magrib. Pamali kalo kata orang masih di luar."

Kedua tanganku menyilang, mengusap bahu sampai lengan berusaha menghilangkan rasa dingin untuk menciptakan kehangatan. "Sebentar, Nek." Aku kembali menatap ke luar rumah lalu tersenyum miris sembari menutup jendela ini bersamaan dengan suara tarhim yang seakan membuatku merindukan masa lalu. 

"Gema aku rindu."

Setelah salat, seperti biasa aku langsung kembali ke kamar. Tentu itu semua aku lakukan setelah menghabiskan sepiring nasi beserta sayur-mayur yang kupaksakan untuk kutelan dengan bantuan segelas air putih. Begitulah Nenek, kita harus hidup sehat meskipun tidak menyukai makanan ini. Katanya, suatu saat nanti aku akan menyukai sayuran yang terasa pahit ini dengan sendirinya, tanpa paksaan di saat aku benar-benar merasakan pahitnya dunia.

Penglihatanku sekarang menyorot langit-langit kamar. Tanganku terangkat membentuk segi tiga sambil menutup salah satu mataku tepat di bawah sinar lampu. Wajah itu, senyuman indahnya masih terekam jelas di ingatan. Iya, aku rindu semuanya tentang dia.

Waktu itu aku masih berumur 16 tahun. Masih cukup muda untuk merasakan cinta. Masih cukup rentan untuk mengalahkan ego bahkan dalam menjalin hubungan, ego lah yang paling mendominasi.

Pertemuanku dengannya dimulai saat Mos. Iya, Masa Orientasi Siswa di periodeku adalah angkatan terakhir menggunakan istilah tersebut karena selanjutnya nama itu diganti menjadi MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah).

Lelaki berpawakan tinggi bahkan dia yang paling tinggi di kelasku waktu itu. Bentuk hidungnya berjenis nubian. Kalian pernah memperhatikan hidung milik Presiden Obama? Ya, seperti itu hidung dia. Berbentuk lurus hingga pangkal dengan ujung hidung mengarah ke bawah. Aku shearching di Google pemilik hidung berjenis ini memiliki kerendahan hati yang paling menonjol. Em, dan ya aku merasakannya. Sifat itulah yang membuatku jatuh hati sejatuh-jatuhnya. Dia laki-laki pertama yang berhasil membuatku mengenal apa itu cinta. Laki-laki bernama Gema Pratama. Akhirnya untuk pertama kalinya dalam hidup, aku mempercayai kata 'jatuh cinta pada pandang pertama' itu benar adanya.

Hal yang paling aku suka dari Gema adalah matanya. Pemilik bulu mata lentik dengan sorotan yang meneduhkan. Aku suka tatapan itu, tatapan yang sering kali membuatku terbius dan mampu sejenak melupakan masalah dunia. Ditatapnya berhasil membuat detak jantungku berpacu lebih cepat bahkan setiap denyutannya bisa kudengar sangking kencangnya. Bola matanya yang jernih sering kali mengatup dikala dia sedang tersenyum. Gemas sekali.

Mataku terpejam. Perasaan sakit saat mengingatnya ternyata masih sama.

***

Entah sudah berapa kali mencoba memulai hubungan baru dengan yang lain tapi dirasa percuma. Perasaan ini tak bisa berbohong, masih mencari sosoknya pada tubuh orang lain. Sejahat itukah diriku?

Mataku langsung melebar tatkala mendengar suara seseorang yang meneriaki namaku. "Ra, bangun dong!"

Aku menggeliat sambil beberapa kali mengucek bola mata. "Apaan sih!" Lalu menatap jam yang berada di dinding menunjukkan pukul enam pagi. "Kuliahku masih nanti sore kale, Bel."

Kuliah daring!

Pandemi memang mengubah segalanya. Lucu memang, kalau diingat-ingat terakhir kali kuliah offline saat pengumuman libur hanya seminggu. Namun, mengapa sampai akhir tahun tak kunjung ke kampus lagi? Apalagi kalau bukan karena virus Covid-19 yang menjadikan umat manusia harus menghindari kerumunan, bahkan segala kegiatan diharuskan untuk bekerja dari rumah.

"Idihhh. Jangan pura-pura lupa gitu deh, Ra." Bella menurunkan maskernya hingga ke leher.

Aku mendesah frustrasi, mencoba mengintipnya di sela-sela mata yang terpejam.

"Apaan?" ucapku agak sarkas. Benar-benar si Bella merusak tidur indahku. Masih pagi udah bikin ribut aja.

"Vaksin, Ra. Sekarang vaksin. Ikut aku buat jadi panitia vaksin." 

Oh my God. Aku baru ingat, jika  memiliki janji dengannya. 

"Haduh." Aku menguap. Berpura-pura lupa karena rasa kantuk yang mendominasi.  "Mataku berat banget rasanya, Bel."

Aku mencoba meraih guling, tapi dengan paksa Bella mengambilnya. "Ayolah, Ra. Meskipun kau nggak boleh vaksin karena riwayat penyakitmu, tapi setidaknya kasihanilah temanmu satu ini."

Aku meliriknya lalu mengembuskan napas pasrah saat dia berkata dengan nada memelas dan memohon. Emang bener-bener, kalau bukan sahabat baik dari SMA mah udah aku buang jauh-jauh. "Iya-iya. Dasar, si Paling Anak Kesehatan."

Aku langsung berdiri dengan setengah sadar saat mataku tetap terpejam. Bella adalah teman sebangku selama 3 tahun di SMA hingga lulus. Dia saksi bisu perjalanan cintaku yang harus berakhir kandas.

Terdengar suaranya yang cengengesan. "Makase ya, Ra." 

Setelah lulus SMA, kita memang berpisah. Dia mengambil jurusan Kesehatan Masyarakat di Politeknik Swasta yang ada di Surabaya, sedangkan aku mengambil jurusan Penerbitan di Politeknik Media Kreatif Jakarta. Syukur karena pandemi ini bisa bertemu lagi. Biasanya ketemu hanya setahun sekali, itu pun sewaktu lebaran aja. 

Dengan malas, sesekali aku menguap dan melangkah ke kamar mandi. Setelah selesai dengan segala tetek bengek, aku kembali menghampiri Bella yang sekarang berada di ruang tamu. 

"Gila, makanya lama banget. Ngapain pake keramas segala sih, Ra?" protesnya. Dia mengolesi tangannya dengan cairan kental. Aroma khas handsinitizer langsung menguar di indra penciuman. 

"Gerah tau, Bel," ucapku sambil mengeringkan rambut menggunakan handuk kecil.

"Udah telat banget ini." Dia mendesah kesal, lalu menatap ponsel. Di detik selanjutnya aku terperanjat kaget saat Bella yang tiba-tiba saja berteriak tepat di telingaku.

"Idih apaan sih, Bel?" Tanganku yang semula mengeringkan rambut dengan handuk, berganti memegangi telinga. Takut jika gendang telingaku rusak gara-gara teriakan Bella. "Kaget tau!"

Bukannya menjawab, dia malah menatap wajahku penuh selidik. "Ra, kau tau nggak?"

"Ngaak!" 

Itulah kebiasaan Bella, dia selalu bercerita tanpa menjelaskan judul ceritanya terlebih dahulu. Kan jadi bingung yang diajak ngomong.  

"Dih, ngegas muluk!"

Emang kalo ngomong sama Bella tuh bawaannya gitu. Ngeliat wajahnya aja emang udah bikin orang emosi.

"Apaan?"

"Terakhir ketemu Gema kapan?"

Seperti terkena sengatan listrik, hanya mendengar namanya saja sudah membuat jantungku berdegup kencang.

Aku menggeleng. 

Move on, Ra. Move on.

Ingatanku lagi dan lagi kembali pada masa SMA.

 Gema.

Satu kata itu berhasil membuatku hampir gila. Bahkan yang lebih parahnya lagi setelah tidak dengannya, tiap kali dekat dengan laki-laki lain aku malah merasa sedang berkhianat. Jiwaku benar-benar tertinggal di masa itu.

"Kenapa?" tanyaku tak acuh karena terakhir bertemu Gema adalah sewaktu perpisahan SMA. 

Rasanya malu jika harus mengaku kalau aku masih belum move on. Meski kenyataannya Bella yang paling memahami.

Aku sempat menunda kuliah selama setahun dan menjadi penyebab aku kehilangan semua informasi tentangnya, dan tiba-tiba saja nama itu muncul kembali ke permukaan, membuatku kepanasan sendiri, padahal cuman denger namanya aja.

"Gema Pratama itu ...." Ada jeda beberapa detik kemudian Bella melirikku. "Dia kan?"

Mengerti maksud dari tatapan Bella, aku hanya mengangguk antusias lalu menunduk dan menatap kertas yang sedang dia pegang. "Kenapa?"

"Nama dia ada di daftar pasien yang mengikuti vaksin hari ini."

Astaga. Aku langsung mendongak dan bersitatap dengan Bella. Seperti kehilangan napas, aku melongo sambil mematung di tempat dengan sekujur tubuh yang mendadak panas dingin tak keruan.

Badanku membeku, ada getaran yang membuatku berdesir aneh. Sepertinya perasaan itu masih sama. 

Bagaimana bisa aku jatuh cinta berkali-kali dengan orang yang sama?

***

Jangan lupa meninggalkan jejak. 

22 Juli 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro