Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

T W O

Mora kembali memasukkan satu gulungan kecil kudapan ke mulut, mengunyahnya sambil mendengarkan celoteh Tira dan Xura. Mereka tengah terlibat pembicaraan soal pernikahan dua anggota klan. Dua kakak tertua, Caira serta Zhora, hanya diam mendengarkan.

"Sesuai dugaan, jodoh Ira adalah Thura. Sungguh akhir yang membahagiakan," cetus Tira. Gadis bermata sayu itu tak henti mengunyah sambil memegangi kudapan yang akan ia santap berikutnya di tangan.

"Itu sudah kuduga sebelumnya. Mereka serasi dan memang sering berduaan," timpal Xura, si bungsu. Pemuda yang berambut ikal pendek itu kembali mencomot kudapan dan dengan rakus melahapnya.

Saira kembali menaruh sepiring kudapan dari berrea, buah jingga berukuran kecil bulat kenyal berair tanpa biji, yang biasa tumbuh liar di hutan. Mora, Tira, dan Xura pun segera menyerbu piring kedua hampir bersamaan.

"Jangan berebut," tegur Saira melihat tingkah ketiga anaknya itu. "Sisakan untuk Borra, Caira, dan Zhora."

Mora menoleh pada kedua kakaknya yang hanya berdiri mengamati mereka. "Caira! Zhora! Ayo, bergabung sebelum kalian kehabisan. Berrea gulung panggang buatan Corra sangat enak."

"Kalian makan saja. Aku dan Zhora menunggu Borra."

"Corra, aku akan memetik berrea lebih banyak lagi nanti agar kau bisa sering membuat kudapan manis seperti ini," celetuk Tira pada ibunya.

"Iya, nanti kita pergi memetiknya bersama," jawab Saira.

Suara deham terdengar saat seorang lelaki sedikit berumur keluar dari kamar. Ia menenteng sebuah tas berukuran sedang dari anyaman akar yang cukup tebal. Dia memasukkan kotak bekal dan satu kantong dari bahan kulit hewan liar, berisi air minum yang telah disediakan Saira di meja kecil.

"Borra!" teriak Xura tiba-tiba saat melihat kehadiran sang ayah. "Kau jadi akan berburu hari ini?"

"Hmm, siapa yang akan menemaniku?" tanya lelaki itu sambil menghampiri, lalu membungkuk, meraih kudapan.

"Aku, Borra!" sahut Caira dan Zhora serempak seraya ikut meraih masing-masing segulung berrea panggang.

Lelaki berambut ikal kelabu setengkuk itu menegakkan tubuh kembali sambil mengunyah kudapan di mulut. Ia terlihat mengernyit. "Caira, kau tidak terlalu sabar menggunakan pesona untuk menghipnotis turenoa liar. Buruanku selalu berhasil kabur lebih dulu. Sebaiknya Mora atau Tira saja yang pergi bersama Zhora menemaniku."

"Tira akan pergi bersamaku nanti memetik berrea, Khora," ujar Saira pada suaminya. "Mora saja."

Caira spontan cemberut. Ia melirik sekilas ke arah adik perempuannya sebelum kembali berdiri, menyandarkan diri ke dinding kayu sambil melipat kedua tangan kali ini.

Ekor mata Mora menangkap lirikan penuh cemburu dari sang kakak tertua. Otaknya segera berpikir cepat untuk mencari alasan. "Aku sedang malas keluar hari ini. Semalam aku tak cukup tidur gara-gara menjaga kebun Barrowl. Aku ingin tidur saja setelah sarapan."

"Kau ini, alasan saja. Kau selalu tidur sepanjang nera. Sedangkan saat yang lain memilih lebih banyak tidur selama eira berlangsung, kau malah sibuk bermain-main di salju dan tak tidur semalaman karena berburu azora," omel Saira.

"Karena, sinar berwarna-warni itu tidak muncul saat langit malam terang di musim panas, Corra," kilah Mora.

Saira terlihat sekali gemas menatap putrinya yang nomor tiga. Ia paham, tak akan bisa menang berdebat dengan Mora.

Khora berdeham. "Sudahlah. Kalau begitu, Xura saja. Setidaknya ia bisa membantu memancing perhatian turenoa liar saat aku dan Zhora menyumpit mereka dengan canella."

"Siap, Borra!" sahut Xura sambil kembali mencomot dua gulung berrea panggang.

"Borra, aku perlu shenoa atau oxnoa untuk membuat mantel baru yang akan kupakai saat eira nanti," celetuk Mora, mengedip-ngedipkan mata berkali-kali dalam gerakan cepat sambil memamerkan senyuman termanisnya.

Melihat itu, Zhora dan Caira mengembuskan napas berat bersamaan. Tira serta Xura tergelak, sementara Saira hanya bisa menggeleng disertai senyuman. Ia tahu, Mora pasti akan memintanya untuk membuatkan mantel bertudung berbulu putih atau merah dari kedua turenoa liar itu.

Khora tertawa lebar melihat tingkah putri kesayangannya. "Baiklah, jika aku menemukan mereka nanti."

***

Mora tersentak bangun saat mendengar teriakan histeris Xura, disusul suara gaduh dari sahutan Caira yang mengomel menyuruhnya tenang. Ia segera saja turun dari pembaringan, buru-buru keluar kamar menuju luar rumah.

"Ada apa?" tanyanya, melangkah sedikit sempoyongan sambil mengucek mata.

"Mereka ... mereka menangkap Zhora! Borra ... ia ...." Xura malah menangis histeris tanpa menyelesaikan kalimatnya.

"Mereka siapa?!" bentak Caira. "Borra kenapa?!"

"Klan Catra ...!" raung Xura.

Mora terkesiap. Wajah Caira pun memucat.

"Corra!" Caira segera menjerit histeris memanggil ibunya.

Ia segera mengambil sebuah tongkat kayu kecil dan memukulkannya pada sebuah kentungan yang tergantung di depan rumah. Dia terus meneriakkan nama ibunya yang tengah memetik berrea liar di sekitar hutan dekat kediaman klan.

Beberapa penghuni klan berdatangan, ribut menanyakan apa yang terjadi. Saira dan Tira muncul tak lama kemudian, berlari tergopoh mendatangi Mora yang tengah berusaha menenangkan Xura.

"Ada apa?" tanya Saira bingung, disertai tatapan yang sama dari Tira, memandangi dua kakak perempuannya bergantian.

"Borra dan Zhora sepertinya berpapasan dengan kelompok catra yang tengah berburu. Mereka menangkap Zhora," sahut Mora cemas, yang langsung mendapat gumam dan berbagai reaksi dari penghuni klan yang hadir.

"Xura, katakan apa yang terjadi pada Borra!" bentak Caira.

Xura berusaha menahan isaknya. "Aku tidak tahu. Borra terluka dan Zhora menghalangi mereka agar aku bisa kabur." Ia kembali menggerung.

"Kau ikut aku! Bawa aku ke tempat itu!" suruh Mora sigap.

"Tidak! Aku saja! Kau di rumah, jaga Corra dan Tira!" sergah Caira.

"Aku lebih mengenal situasi di hutan pedalaman, Caira! Jika aku tak menemukan Borra dan Zhora di tempat berburu, aku bersumpah akan mendatangi sarang catra bagaimanapun caranya demi membebaskan mereka!" sahut Mora tegas.

Suara gumam terdengar, diikuti berbagai ucapan memberi dukungan dan juga kecemasan pada keputusan Mora. Saira menatap kedua putrinya cemas, tak tahu harus menjawab apa.

Ia paham, Mora lebih dapat diandalkan dalam berburu. Putrinya itu pun mampu berpikir cepat serta tanggap meski kadang bisa bertindak terlalu berani, juga nekat. Namun, dia tak semahir Caira dalam bertarung.

"Kalian pergi bertiga saja," ujar Saira sedikit tegang.

"Corra, salah satu dari anak tertua Ketua Klan harus berada di tempat, berjaga-jaga jika terjadi sesuatu padaku. Kau tahu itu! Caira lebih dibutuhkan di sini untuk menjaga kalian!" Mora tak ragu menentang mata ibunya.

Caira tampak gusar, tetapi tak bisa membantah kata-kata Mora. "Dia benar, Corra. Biarkan ia dan Xura pergi. Aku akan di sini menjaga kalian dan klan."

"Baiklah. Kalian pergilah," ujar Saira pasrah, "tapi ingat, berhati-hatilah dan lekas kembali!"

Mora mengangguk sebelum menarik lengan Xura, memaksanya bangkit dengan satu tangan. Mereka segera menjelma menjadi dua ekor lumira sebelum terbang menuju tempat perburuan.

***

"Tidak ada! Mereka sudah tidak ada di sini!" teriak Xura panik, mengedarkan pandangan dengan wajah tegang.

Mora setengah berjongkok, mengamati jejak-jejak kaki di tanah berumput. Ia pun memperhatikan batu-batu dan batang-batang pohon di sekitar yang berlumut.

"Kenapa kalian berburu di sini? Ini cukup dekat dengan kawasan kediaman catra," ujarnya gusar.

"Kau meminta Borra menemukan shenoa atau oxnoa, bukan? Di tempat berburu kita yang biasa, dua turenoa itu tak terlihat. Karena itu, ia mengajak kami ke sini. Ini salahmu!"

"Aku tak bermaksud memaksa Borra untuk menangkap hewan-hewan berbulu tebal itu." Mora menatap adik lelakinya dengan penuh sesal dan nada suara melunak.

"Ya, tapi kau tahu, Borra tak pernah ingin mengecewakanmu," sahut Xura dengan mata berkaca-kaca.

Mora mendesah resah. Saat menemukan jejak kaki yang tampak diseret paksa, dia pun mulai mencemaskan nasib ayah dan kakak lelakinya.

"Aku akan ke sarang mereka. Kau pulang saja, beritahu Corra bahwa aku hanya akan kembali dengan membawa Borra dan Zhora," ujarnya tegas.

"Kau? Sendirian?" Xura menatap Mora cemas sambil meremas ujung dari baju tanpa lengan dan berbahan kulit.

Mora mengangguk. "Aku tahu apa yang harus kulakukan. Kau pergilah."

Xura memandanginya beberapa saat sebelum memilih mengangguk dan segera menjelma menjadi lumira kembali. Ia segera terbang menuju kediaman kini.

Mora terus mengawasi, hingga sosok adiknya tak terlihat lagi. Ia segera berbalik ke arah jalan menuju sarang catra, meneguhkan diri sebelum melangkah cepat penuh keberanian dalam hati.

***

Mata biru keunguan gemerlap milik Mora tak berkedip saat mengamati beberapa lelaki yang tampak sibuk mondar-mandir, memperlihatkan otot-otot perut dan dada. Mereka hanya mengenakan bawahan dari bahan kulit berbulu cokelat sebatas pangkal paha.

Di sisi lain, beberapa wanita pun tampak tak kalah kekar, mengenakan baju berbahan sama, berbulu cokelat tanpa lengan dengan bawahan mirip dengan yang dipakai para lelaki. Melihat ukuran tubuh mereka cukup membuat Mora diam-diam bergidik.

Ia mengendap-endap penuh waspada dan hati-hati di antara rerimbun semak belukar, pohon pinera, dan batu-batu berlumut. Matanya kemudian tertuju pada dua buah kandang besar berisi beberapa hunoa yang sepertinya tertangkap saat perburuan budak, dan turenoa liar berkaki empat.

Mereka menempatkan budak di kandang, berdampingan dengan persediaan makanan musim dingin, batin Mora geram.

"Di mana lumira jantan hasil tangkapan kita tadi?" tanya seorang lelaki. Rambutnya yang panjang cokelat berbentuk seperti kepangan tali.

Jantung Mora berdebar. Mereka pasti membicarakan tentang borra dan Zhora. Ia kembali fokus mendengarkan.

"Maksudmu yang tampan itu? Retra sudah menyimpannya untuk teman tidurnya malam ini, Botra," sahut temannya sambil tertawa. Ia berambut panjang cokelat, terlihat kusut tak beraturan.

"Sial! Beruntung sekali dia. Sulit sekali mendapatkan lumira betina." Botra terkekeh kemudian. "Kita terpaksa masih harus bergantian memakai budak lumira yang lama, atau kau mau salah satu hunoa itu, Detra?"

"Buatmu saja," sahut Detra. "Aku lebih baik tidur dengan Lotra malam ini. Mungkin seterusnya, jika dia tak menendangku pergi."

Botra terkekeh. "Nikahi saja dia. Kau sudah lama menyukainya."

Detra tertawa lebar. Tawanya langsung terhenti saat seorang gadis berambut cokelat yang diikat menggulung ke atas menghampiri.

"Budak untuk Zetra sudah kalian siapkan?" tanya gadis itu seraya menaruh satu tangan ke pinggang.

"Sudah, Retra. Lotra sedang menyiapkannya." Botra menyeringai, ditimpali kekeh Detra. "Zetra pasti cukup terhibur dengan hunoa hasil tangkapan kita."

"Bagus. Aku akan sibuk malam ini," ujar Retra tersenyum penuh arti. "Jangan ada yang menggangguku, kecuali sangat penting."

"Selamat bersenang-senang," sahut Detra tersenyum lebar.

Retra mendengkus sebelum berbalik dan pergi meninggalkan mereka. Tatapan Mora terus mengikuti arah langkah gadis itu. Ia terpaksa harus menunggu sampai Botra dan Detra kemudian pergi.

Zhora pasti bersama Retra. Aku harus tahu di mana kamarnya.

Mora kembali mengendap-endap sambil mengikuti arah Retra tadi. Ia menduga gadis itu pergi ke arah salah satu bangunan kayu yang panjang di sisi kanan.

Saat Mora sibuk berpikir apa yang harus dilakukan, seorang gadis terlihat muncul, berjalan ke arah berlawanan, melewati belakang bangunan kayu panjang dekat dengan tempat ia bersembunyi. Dia mencium aroma lumira dari tubuhnya.

Dia meraih sebuah dahan pinera dan menggoyang-goyangkannya. "Psst .... Psst ...." Ia mengipas-ngipas tubuh agar aromanya menguar dan tercium oleh gadis itu.

Gadis itu menoleh. Mora tak mengenalinya, tetapi segera memberi isyarat agar ia mendekat.

"Kau ..., kenapa kemari?" tanya gadis itu cemas, begitu mengenali Mora dari jarak lebih dekat.

"Kau siapa? Apakah mereka menangkapmu?" Mora malah bertanya balik.

Ia mengangguk sambil memeriksa keadaan. "Aku sudah di sini sejak dua musim dingin berlalu."

"Kenapa kau tak kabur saja?" Mora menatapnya heran.

"Tidak bisa. Adikku ada di tangan mereka," ujar gadis itu sendu.

Mora menatapnya iba. "Siapa namamu?"

"Lira," jawabnya.

Mata Mora membulat. "Astaga, kau putri Umira yang lama ia cari?"

"Bagaimana keadaan ibuku?" balas Lira cepat. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Ia ...." Mora berpikir tak mungkin memberitahu Lira bahwa Umira telah meninggal karena sakit merindukan dua putrinya yang hilang.

"Dia baik-baik saja." Mora memasang senyum sebisa mungkin agar Lira percaya.

Lira mengangguk, tersenyum lega. "Itu bagus. Setidaknya aku tahu bahwa ibuku baik-baik saja. Ia sudah terlalu sedih saat ayah kami tiada. Aku tak ingin melihatnya menderita."

"Ia tak menderita lagi. Ibumu sudah tenang kini." Mora menatap ke arah lain. "Mmm, kau tahu di mana kamar Retra?"

"Retra? Kau mau apa? Dia sangat kejam terhadap budak wanita."

"Dia menculik kakak lelakiku," ujar Mora lirih.

"Apa?" Wajah Lira menegang. "Kalau begitu, kau harus segera menyelamatkannya atau kakakmu akan mati kelelahan melayaninya."

"Tolong tunjukkan kamarnya," pinta Mora.

"Setiap bangunan di sini berisi tiga kamar. Kamar Retra ada dekat kamar Zetra, Ketua Catra. Letaknya paling di ujung sana." Lira menunjuk ke satu arah sisi kanan.

Mora mengangguk paham. "Terima kasih. Aku tak akan melupakan jasamu. Aku menyesal dulu tak mengenalmu karena aku jarang bergaul dan lebih suka bermain sendiri. Kau mau pergi bersamaku?"

"Aku tak bisa meninggalkan adikku," sahut Lira lirih.

"Di mana dia? Aku akan menyelamatkannya juga," ujar Mora tandas.

"Di kamar budak." Lira menatapnya ragu. "Itu sangat sulit. Ada dua catra yang selalu menjaga di sana bergantian." Ia tersenyum pahit memandangi Mora yang terdiam.

"Tak usah pikirkan aku," imbuh Lira setelah beberapa saat. "Aku sudah terbiasa di sini melayani Botra dan Detra. Adikku juga terkadang ditugaskan membantu budak yang menjadi pelayan di dapur. Hunoa di sana memperlakukannya dengan baik dan menjaganya."

Tubuh Lira mendadak menegang seakan melihat sesuatu. "Kau harus segera pergi. Cari kakakmu saat mereka makan malam bersama di depan api unggun. Mereka biasa melakukan itu saat merayakan hasil buruan baru."

Belum sempat Mora menjawab, Lira bergegas pergi. Ia terlihat berjalan terburu-buru sebelum seseorang terdengar menghardiknya.

Mora memikirkan kata-kata Lira. Ia pun memutuskan menunggu sampai acara api unggun tiba.

*** 

24/10/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro