T H R E E
Acara api unggun tengah berlangsung. Para catra tengah asyik berpesta memanggang tiga ekor turenoa hasil buruan mereka yang berukuran cukup besar sambil menikmati minuman bersama. Botra dan Detra pun terlihat di sana.
Mora merasa lega saat menangkap sosok Retra bersama gadis lain tengah asyik berbincang. Mereka sesekali tertawa cekikikan sambil bersulang.
Ia berpikir ini saat yang aman untuk mulai mencari Zhora dan menyelamatkannya. Dia segera saja melangkah hati-hati menuju bangunan sesuai petunjuk Lira.
Mora berjalan sangat pelan, nyaris tak mengeluarkan suara sedikit pun saat menginjak tangga kayu. Ia sempat bingung beberapa saat, memilih kamar yang di sebelah kanan atau kiri sebelum segera mengambil keputusan pada ssalah satu.
Dia melangkah tanpa ragu ke kamar ujung kanan. Dibukanya pintu perlahan.
Tak terkunci, batinnya lega.
Dia tak berpikir panjang lagi, langsung masuk, dan mengunci pintu dengan penuh kehati-hatian. Matanya mengedar mengamati sekeliling ruangan.
Sebuah pembaringan cukup besar dengan alas tidur berbulu cukup tebal tampak di sudut kanan ruang. Di sebelahnya ada satu rak pakaian. Di meja terdapat sepinggan buah-buahan liar, serta satu tempat air minum terbuat dari sejenis buah hutan yang dikeringkan, dilengkapi sebuah kayu bulat kecil sebagai penutup.
Tak banyak barang lain lagi yang terlihat di ruangan berbahan serba kayu. Selain tali yang tergantung di dinding, keadaannya tak jauh berbeda dengan kamar Mora.
Tunggu. Di mana Zhora? Telinga Mora menangkap suara kecipak dari balik pintu di pojok kiri. Mungkinkah kakak keduaku itu ada di kamar mandi?
"Zhora ...," bisik Mora tertahan. "Zhora ...!" Ia mencoba mengeraskan bisikan.
Terdengar kecipak terhenti, lalu tak lama segera berganti bunyi derit pintu di sudut kiri kamar yang dibuka seseorang. Mora kaget bukan kepalang.
Ia tak sempat melarikan diri. Sosok bertubuh tinggi kekar berotot, telanjang dada, memakai bawahan pendek berbahan kulit, yang menutupi bagian selangkangan hingga sebatas pangkal paha, telah berdiri di hadapannya.
Lelaki itu berambut mirip seperti Botra, hanya saja tampak setengah basah. Mata cokelat kehijauan gemerlap miliknya menatap Mora penuh hasrat.
"Kau budak baru yang disiapkan untukku?" tanyanya.
Suara rendah, mata tajam, dan wajah kokoh memesona milik lelaki itu membuat jantung Mora berdentam-dentam. Ia bingung antara mengangguk atau memberi gelengan.
Melihat gadis di hadapannya diam tak menjawab, lelaki itu melangkah sambil menyunggingkan senyum penuh hasrat. Ia mendekati Mora yang gemetar dengan wajah memucat.
"Botra sangat tahu seleraku rupanya. Lumira betina, kau tak tahu berapa lama aku menunggu dan menginginkanmu," ujarnya. "Sarang kalian sulit sekali ditemukan. Malam ini sungguh sebuah keberuntungan."
Itukah Zetra?
Mora mundur perlahan. Ia merasa gugup bercampur panik, menyadari lelaki di hadapannya pastilah Zetra, sang Ketua Catra.
Ia berpikir mungkin bisa mencoba menggunakan sihir pesonanya untuk menghipnotis Zetra. Dia segera saja memasang senyuman termanis dan menatap lekat-lekat lelaki itu.
"Waktunya untuk tidur, Darea," ucap Mora lirih dengan nada menggoda tanpa mengalihkan tatapan matanya yang berkilau memesona.
Zetra terpukau seketika. Mendengar gadis itu memanggil dengan gelar kepemimpinan, membuat jantung si ketua berdenyut kencang. Kejantanannya pun ikut menegang.
Hanya sekejap ia terlarut dalam rasa terpukau, lalu segera sadar akan sihir pesona yang digunakan lumira betina itu. Dia pun menggeram, secepat kilat menangkap pergelangan lengan Mora yang berusaha kabur setelah mengira usahanya berhasil.
Tanpa banyak kata, dia membopong si gadis lumira yang meronta-ronta dan berteriak histeris sebelum melemparkannya ke peraduan. Mora panik, buru-buru beringsut ke pojokan.
Zetra menyeringai. Ia melepas kasar kain penutup area bawahnya. Mata Mora sontak memejam.
Dia membuka mata kembali lebar-lebar saat menyadari Zetra naik ke ranjang dengan tanpa busana. "Tidak! Aku bukan budak!"
Jeritannya sia-sia. Sekuat apa pun ia mencoba berontak dan melawan, tetap dia kalah tenaga dengan Ketua Catra yang perkasa.
Zetra mencabik penutup dada yang Mora kenakan. Gadis lumira itu menjerit sebelum disumbat oleh lumatan. Ia merasakan nasib sama terjadi pada bagian bawahan.
Kedua tangan si Ketua Catra sangat kuat merentangkan dan menahan dua tangan dan paha Mora. Tanpa menunggu, ia pun membenamkan diri, menyatukan tubuh mereka, disusul gerakan mengentak hebat.
Mora terus mengerang dan memekik cukup lama, sampai si Ketua Klan mengeratkan pegangan tangan dalam posisi tubuh menegang beberapa saat sebelum memelankan gerakan, hingga berhenti.
Zetra merebahkan diri ke samping gadis lumira yang meneteskan air mata perlahan. Sementara itu, sang Ketua Klan justru tersenyum penuh kepuasan.
Ia merangkul tubuh Mora. "Aku benar-benar beruntung mendapatkanmu. Ternyata benar, lumira perawan sangat memuaskan."
Pikiran dan perasaan yang kacau, membuat Mora menangis tertahan. Ia membenci lelaki yang tengah memeluknya erat, tetapi anehnya, jantung gadis itu justru menggila penuh debaran.
"Shh, diamlah. Aku tak akan membiarkan mereka mengembalikanmu ke kamar budak, apa lagi ke kandang. Kau milikku. Kau aman bersamaku," ujar Zetra.
Ia mengecup kening Mora. Lelaki itu merasakan sesuatu yang tak pernah dirasakannya selama ini terhadap betina mana pun.
Entah kenapa, perasaan itu membuat ia yang terkenal dingin, bengis, dan kasar, tak bisa berhenti tersenyum sambil memeluk serta mengecupi si gadis lumira. Zetra merasa seakan mendapat harta paling berharga.
Mora hanya bisa beristirahat sebentar sebelum Zetra kembali menggaulinya, hingga tertidur karena kelelahan. Si Ketua Catra pun kemudian ikut tidur sambil mendekap gadis itu erat dengan bibir mengukir senyuman.
***
Mora terbangun saat merasakan sesuatu bergerak di sampingnya. Ia spontan membuka mata.
Zetra tampak tersenyum memandanginya. Dia masih dalam keadaan tanpa busana.
Buru-buru gadis itu menutupi tubuhnya dengan selimut bulu. Ia gemetar, beringsut menjauhi Zetra.
Si Ketua Catra bangkit dan melangkah menuju sebuah rak pakaian. Ia mengambil satu bahan berbulu cokelat, memakainya untuk menutupi bagian pinggang hingga pangkal paha.
Dia meraih sebuah tali. Ia kembali menghampiri Mora yang masih meringkuk di pojok ranjang, menatapnya penuh rasa benci.
Zetra mencondongkan tubuh, menarik paksa lengan gadis itu saat ia mencoba berontak, mengikat kedua tangannya ke tiang dengan tali. "Tali ini sudah direndam lama dalam cairan limia. Kau tahu apa fungsinya. Jadi, jangan sia-siakan tenagamu."
"Keparat kau! Aku akan membalasmu!" teriak Mora berang.
Ia berdiri kemudian, menatap Mora dengan seringai. "Tunggu aku di sini. Aku akan menyuruh seorang budak pelayan mengantarkan sarapan untukmu. Jangan keluar kamar. Aku segera kembali. Kita akan bersenang-senang lagi nanti."
Mora tak mampu berkata apa-apa lagi. Otak gadis itu masih belum mampu bekerja dengan baik sejak Zetra menindih dan menggaulinya habis-habisan semalam. Kini ditambah lagi dengan tali yang direndam cairan limia, tanaman pelemah sihir.
Pandangan gadis itu nanar, mengikuti punggung Zetra yang berjalan tegap dan gagah meninggalkan ruangan. Tangisnya mulai pecah meski terdengar sedikit tertahan.
***
Sesuai ucapan Zetra, seorang anak perempuan datang mengantarkan makanan. Karena melihat Mora terikat, ia pun duduk di tepi pembaringan sambil menyuapinya perlahan.
Mora mencium aroma lumira dari tubuh anak itu. Dia pun teringat ucapan Lira tentang adiknya.
"Kau adik Lira?" tanyanya lirih.
Anak kecil itu manatapnya takut-takut. "Kau siapa? Aku mencium aroma lumira darimu, tetapi aku tak mengenalmu."
"Kita memang belum pernah bertemu sebelumnya. Aku hanya mengenal ibu kalian, Umira. Itu pun saat dia menemui ayahku, Khora, ketika datang ke rumah untuk meminta bantuan mencari kalian. Kami telah berusaha, tapi gagal. Kini aku tahu penyebabnya."
"Kau putri Ketua Klan?"
Mora mengangguk. Mereka saling bertatapan beberapa saat.
"Siapa namamu? Aku Mora."
"Namaku Nira." Ia menatap heran pada Mora. "Kenapa kau bisa tertangkap?"
"Aku ingin menyelamatkan kakakku, Zhora, tetapi malah terjebak di kamar Ketua Catra."
"Ah, kau senasib dengan kakakku, Lira. Ia bahkan tak bisa bangun setelah semalaman melayani dua catra. Aku tak bisa apa-apa," ujarnya lirih.
"Aku akan membawa kalian pergi," ucap Mora tandas.
"Itu sangat sulit. Aku tak ingin membuatmu dalam bahaya," ujar Nira cemas. "Kau putri Ketua Klan. Seharusnya kami yang melindungimu."
"Tidak, tugasku sebagai putri Ketua Klan adalah melindungi kalian," sahut Mora.
Nira menunduk. "Terima kasih. Aku hanya mencemaskan nasib kakakku, Lira."
"Dia baik-baik saja."
"Tidak, kau tak tahu bagaimana ganasnya catra. Mereka sangat buas dan kasar."
Mora mendesah. "Aku tahu. Aku mengalaminya semalam."
Nira meringis seakan ia turut merasakan. "Apakah sangat ... sakit?"
Mora bingung harus menjawab apa. Ia tak ingin membuat Nira ketakutan.
"Mereka tak menyentuhmu, bukan?" tanyanya hati-hati.
Demi apa pun, Nira masih kecil. Sungguh biadab jika mereka tega menyentuhnya.
Nira menggeleng. "Zetra berpesan pada catra yang lain agar tidak menggangguku sampai aku cukup dewasa."
"Zetra? Ia berkata begitu?" Mora nyaris tak percaya pada pendengarannya.
Nira mengangguk. "Karena, ia bilang aku mengingatkannya pada mendiang adiknya yang tewas saat hendak dibawa oleh prajurit altragon saat perburuan budak untuk istana."
"Oh ...." Mora mulai berpikir mungkin Zetra tak seburuk yang lain. "Namun, tetap saja, lelaki itu membunuh ayahku." Tangannya gemetar saat mengepal erat. Tatapan lumira betina itu penuh dendam kesumat.
"Nira, keluarlah!"
Mora dan Nira kaget mendengar suara Zetra yang muncul tiba-tiba. Rahang lelaki itu tampak mengeras dengan tatapan memancarkan aura bahaya. Sang bocah pun buru-buru bangkit dan pergi setelah menaruh sisa sarapan di meja.
Mora kembali beringsut. Ia berjaga-jaga untuk melawan lelaki itu sekuat tenaga jika harus.
Tatapan Zetra tajam menusuk. Dia mendekat perlahan, lalu dengan cepat merenggut rambut Mora kasar, hingga membuat lumira itu menengadahkan wajah. "Kau bukan budak pelayan yang disiapkan Botra. Ia tak jadi mengantarkannya ke kamarku semalam karena mendengar teriakanmu. Dia berpikir, aku tengan bercinta dengan catra betina." Napasnya menderu menerpa kulit wajah Mora. Jadi, siapa kau?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro