S I X
Mora termangu di teras, menatap pepohonan. Beberapa anggota klan tampak mondar-mandir melewati teras rumahnya. Sesekali ia menjawab lirih sapaan mereka.
Pikiran Mora melayang pada kejadian beberapa waktu lalu saat berhasil pulang bersama Zhora. Tangis histeris Saira, Caira, Tira, dan Xura menyambut mereka, sementara para anggota klan hanya membisu dalam air mata, menyadari sang pemimpin tak kembali untuk selama-lamanya.
Mora mendesah sembari memejamkan mata saat wajah Zetra melintas tanpa permisi. Lelaki itu telah mengganggu tidurnya akhir-akhir ini.
"Nera akan segera berakhir, Mora. Apakah persediaan makanan kita sudah cukup untuk menyambut eira tiba?" tanya Saira seraya menghampiri putrinya.
Seketika bayangan wajah Zetra buyar. Mora menoleh, menatap Saira yang muncul dari pintu utama. "Sepertinya begitu, Corra. Tapi tadi Tira telah mengajakku mencari lebih banyak berea untuk tambahan persediaan kita. Kami akan pergi bersama."
Saira mengangguk paham. Dia tersenyum teduh meski masih terlihat gurat kesedihan di wajahnya. Ia mendudukkan diri perlahan pada kursi kayu di samping Mora. "Kau masih memikirkan Borra?"
Mora menggeleng lemah sebelum memutuskan mengangguk pelan. "Terlintas begitu saja, Corra. Aku belum bisa lupa."
Tentang apa yang dilakukan Zetra. Aku tak mungkin memberitahunya.
Zhora pun turut tutup mulut tentang hal memalukan yang menimpanya. Itu suatu aib yang tak bisa dibagi pada keluarga mereka.
"Kau sudah memutuskan soal menjadi pengganti Borra? Pilihannya hanya kau dan Caira, sejak Zhora memutuskan mundur."
Saira mengamati ekspresi Mora. Sejujurnya, ia lebih berharap gadis itu yang akan menggantikan posisi ketua klan. Caira sedikit lebih sulit untuk diandalkan.
"Biar Caira saja, Corra. Aku tak berminat menjadi ketua," jawab Mora pelan.
Saira tercenung sejenak. "Aku tak memaksamu, tetapi coba pikirkan lagi. Ini demi kepentingan klan. Kau tahu bagaimana Caira."
"Aku yakin Caira akan berubah, Corra. Ia cukup bertanggung jawab meski terkadang emosinya sedikit berpengaruh pada setiap keputusannya. Menurutku, dia pasti bisa bertindak adil."
Saira mendesah. "Baiklah, jika kau berpikir begitu."
Mora bukannya tak menyadari keraguan di nada suara ibunya, tetapi ia sungguh tak ingin direpotkan dengan urusan kepemimpinan klan. Di sisi lain, dia cukup tahu bahwa jabatan itu adalah sesuatu yang Caira harapkan.
Terdengar langkah kaki berderap dari dalam rumah sebelum sebuah wajah muncul di ambang pintu. Tira melangkah riang dan tampak antusias sambil memegang sebuah keranjang kecil dari bahan jalinan daun. "Waktunya mencari berea!"
Saira menggeleng seraya tersenyum melihat tingkah sang putri bungsu. "Jangan pergi mencari berea terlalu jauh dan lekaslah kembali."
"Kami hanya akan pergi ke hutan di sekitar kediaman klan, Corra," jawab Tira.
Mora bangkit dari kursi, mengecup pipi tirus Saira sebelum melangkah meninggalkan teras tanpa kata. Dari arah belakang, Tira melakukan hal sama pada sang ibu sebelum buru-buru menyusul kakaknya.
Saira menghela napas panjang. Entah kenapa, hatinya merasa tak tenang.
***
"Kenapa kau tak mau menggantikan posisi Borra sebagai ketua klan, Mora?" Tira bertanya tanpa menoleh. Jemarinya lincah memetik dan memasukkan beberapa tangkai berea ke dalam keranjang.
Mora meraih sebuah tangkai berea dalam gerakan lambat. Ia menatap fokus pada buah di hadapannya. "Aku tak berminat menjadi pemimpin. Caira lebih cocok menjadi ketua daripada aku."
"Hmm ... benarkah begitu? Atau ... itu hanya alasanmu saja karena kau tak mau berselisih dengan Caira?"
Jemari Mora terhenti di udara. Ia merapatkan bibir membentuk garis lurus beberapa saat. "Aku hanya berpikir Caira memang lebih pantas memimpin."
Tira menaruh keranjang ke tanah. Ia kemudian menatap gusar ke arah Mora yang terlihat berusaha menghindari adu tatapan dengannya. "Tapi kita semua tahu bagaimana watak Caira. Aku berkata ini untuk mewakili para anggota yang memintaku berbicara padamu. Mereka ingin kaulah yang menjadi ketua."
"Berikan kesempatan pada Caira. Ia pasti berubah dan bisa menjadi ketua yang baik seperti Borra."
Mereka saling berpandangan kini. Bibir Tira mengerucut lucu, membuat Mora tak dapat menahan tawa kecil keluar dari mulutnya.
"Aku tidak yakin Caira bisa memimpin sebaik Borra. Ia justru akan membuat kita semua tegang dalam pengawasannya. Belum lagi aturan-aturan baru yang sudah pasti akan lebih menyulitkan," gerutu Tira sambil kembali lanjut memetik berea.
"Kita lihat saja dulu. Jangan berprasangka buruk pada kakak perempuan tertua kita," sahut Mora tenang.
"Seharusnya Zhora tak mundur begitu saja. Ia laki-laki, saudara tertua kita. Seharusnya jabatan Borra menjadi tanggung jawabnya," celoteh Tira lagi.
Mora memilih tak menjawab ucapan Tira. Benaknya kembali sibuk mengingat kejadian di kediaman catra.
"Kau memikirkan apa?" selidik Tira.
Mora tersadar dari lamunan. "Tidak memikirkan apa-apa."
Tira mendengkus. "Kita perlu bergeser ke sebelah sana. Di sini sudah tak ada berea yang bisa dipetik."
Tanpa menunggu balasan, Tira segera mengambil keranjang, lalu melangkah mencari berea ke arah lain. Mora mengikutinya tanpa kata, masih dengan benak yang sibuk mengingat Zetra.
Namun, Mora kemudian segera menyadari bahwa mereka telah berjalan mendekati tanah lapang di pertengahan hutan, di luar area sarang lumira. Meski sangat kecil kemungkinan bertemu catra di sekitar tempat itu, tetapi prajurit altragon biasa berkumpul di situ saat melakukan perburuan budak.
Seharusnya aku lebih waspada. Kenapa otakku terus memikirkan Zetra. Kau ceroboh, Mora!
Mora menoleh sedikit panik pada adiknya. "Tira ...."
Terlambat. Mendadak terdengar suara gemuruh dari langit. Mata Mora dan Tira melebar saat melihat beberapa altragon tampak menukik cepat ke arah mereka.
"Tira, lari!" teriak Mora spontan.
Panik, Tira segera lari secepat yang ia bisa dengan keranjang berisi berea di tangan. Mora menghadang beberapa altragon yang telah berubah rupa menjadi prajurit-prajurit berseragam.
Pakaian mereka yang putih keemasan membuat Mora sedikit menyipitkan mata. Namun, ia berdiri tak gentar, selama bisa mencegah para prajurit mengejar Tira.
Ada sepuluh prajurit yang mendarat dan langsung mengelilingi Mora. Salah satu dari mereka maju, meneliti dirinya.
"Bawa gadis ini! Athara Allera telah memesan budak kamar khusus untuk perayaan hari kelahiran Athora Dracon!" titahnya.
"Tunggu! Aku bukan seorang perawan!" teriak Mora.
Sia-sia. Mereka tak mendengarkannya. Dalam sekejap, Mora telah diikat dengan tali pengikat siluman. Apalah arti kekuatan seorang lumira. Melawan altragon sungguh tak ada gunanya.
Mora memejamkan mata. Ia merasa begitu sial. Masalah tak berhenti mendatanginya.
Namun, setidaknya Mora merasa lega. Adiknya selamat dari bahaya. Ia hanya berharap bahwa kali ini dia pun akan mendapatkan kesempatan untuk kembali bertemu keluarganya. Meskipun, itu mungkin hanya sebuah harapan belaka.
Dalam keadaan terikat, Mora pun pasrah tanpa kata. Ia memilih bungkam kali ini seraya sibuk memikirkan cara menyelamatkan dirinya.
Prajurit yang bertugas mengikat, berubah rupa kembali menjadi sosok hewan putih besar bersayap lebar dengan sebuah tanduk runcing di dahi di antara surai tebal keperakan. Ia segera menyambar tubuh Mora, mencengkeram erat di sela jari kaki sebelum membawanya terbang memelesat ke langit, diikuti oleh prajurit-prajurit lain.
Mora benar-benar tak berdaya. Otaknya bahkan tak bisa berpikir apa-apa.
"Borra, lindungi aku ...," bisiknya lirih di antara gemuruh kepak sayap prajurit altragon.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro