S E V E N
Mata Mora mengerjap-ngerjap saat prajurit altragon yang membawanya, mendarat di pelataran yang terhubung ke sebuah bangunan tinggi dan besar terbuat dari batu. Para penjaga tampak berjaga-jaga dengan tombak di sekeliling tempat itu.
Mora melihat beberapa lelaki dan wanita berseragam khusus terlihat mondar-mandir memasuki sebuah pintu. Mereka sepertinya sibuk mempersiapkan sesuatu.
"Madera!" seru si prajurit yang membawa Mora pada seorang wanita yang kemudian bergegas menghampirinya. "Bawa gadis ini ke pengurus. Suruh ia mempersiapkannya untuk hadiah Athora Dracon nanti malam,"
"Baik, Latora." Pelayan itu pun segera menarik tali pengikat tangan Mora, membawanya memasuki bangunan besar dan tinggi.
Beberapa kali Mora hampir terjerembap akibat perlakuan kasar sang pelayan wanita. Tali pengikatnya terus ditarik agar berjalan lebih cepat, tanpa ia sempat mengeluarkan sepatah kata.
Mora mengawasi setiap lorong yang ia lewati. Melihat banyaknya penjaga, dia pun mulai kehilangan nyali.
Ditambah adanya tali pengikat siluman, ia tak berdaya, sepenuhnya dalam kendali mereka. Meski begitu, Mora berharap dia bisa memanfaatkan situasi jika tali itu dilepaskan oleh si wanita.
Langkah Mora terhuyung-huyung saat ditarik memasuki sebuah ruangan yang tak terlalu besar. Ada beberapa wanita berpakaian lusuh tampak tengah memilih pakaian sebelum satu per satu membawanya masuk ke dalam tirai.
Mora begitu fokus memperhatikan mereka. Sampai-sampai, ia tak menyadari, hampir saja menubruk meja batu di depannya.
"Shaera, kau diminta menyiapkan gadis ini untuk hadiah Athora Dracon nanti malam," ujarnya pada seorang wanita setengah baya.
Wanita itu mengamatinya sejenak. "Tinggalkan dia di sini. Aku akan mengurusnya. Kau kembali ke tugasmu."
Pelayan berseragam yang membawa Mora mengangguk patuh, lalu meninggalkan ruangan tanpa berkata apa-apa lagi. Beberapa saat, wanita yang dipanggil shaera ganti mengawasinya kini.
Suara sedikit gaduh terdengar saat wanita terakhir menjatuhkan kain sesaat sebelum masuk ke dalam tirai. Seorang pelayan berseragam di belakang si pengurus buru-buru melemparkan kembali pada si empunya setelah meraihnya dari lantai.
"Kalian ganti baju seragam lama sekali!" bentak si pengurus tak lama kemudian sambil memalingkan wajah kepada beberapa wanita di balik tirai, yang kemudian segera muncul terburu-buru, berbaris di hadapannya dengan memakai kain dan tudung yang terlilit di tubuh dan kepala.
Hunoa, batin Mora saat mengenali mata hijau mereka sebagai ras yang dianggap rendah di Marvania karena tak bisa beralih rupa. Seragam mereka tampak berbeda, hanya kain yang dililitkan sedemikian rupa untuk menutupi bagian tubuh dan kepala.
Bukan sebuah kesalahan jika itu merupakan pilihan. Terkadang kebebasan memang menuntut pengorbanan. Jika sudah memilih untuk hidup bebas, kenapa malah menjadi budak pelayan di istana?
Mora tak tahu, apakah harus mengasihani atau justru menyalahkan pilihan mereka. Jika ia ada di posisi wanita-wanita itu, dia tak akan sudi hidup menjadi budak pelayan di istana.
"Noa, kau ikut aku mengurus gadis ini ke kamar Athora Dracon! Alra, kau bawa hunoa lainnya untuk membantu pelayan di bagian dapur!" perintahnya cepat.
Seorang wanita bertudung dan berkain hijau terang yang dipanggil Noa segera maju dan menunduk hormat pada si pengurus itu. Pelayan berseragam bersama para hunoa lain melakukan hal sama sebelum meninggalkan ruangan lebih dulu.
Mora semakin gemetar dan hampir putus asa. Si pengurus segera menarik tali pengikatnya, melangkah cepat keluar ruangan, diikuti oleh Noa.
***
Mora dibawa menuju sebuah kamar. Saat memasuki ruangan, ia pun tercengang. Dia belum pernah melihat ruang yang begitu mewah sebelumnya.
Sebuah ruang tidur sebesar rumahnya, berisi berbagai perabotan yang membuat Mora melebarkan mata. Ada sebuah ranjang besar, tertutup seprai dan selimut ungu dari bahan berbulu tebal, serta satu set kursi mewah, terlihat nyaman serta empuk.
Di tengah ruangan, terlihat sebuah meja batu bundar cukup besar. Di atasnya terdapat berbagai camilan, buah, dan sebuah tempat minum keperakan berukuran sedang, beserta sebuah gelas perak.
Si pengurus mengambil sebuah gelang dari saku seragamnya, lalu memakaikan benda itu ke pergelangan tangan kiri Mora. Setelah itu, ia melepaskan tali pengikat.
Mora kecewa. Rencananya gagal. Meski kedua tangannya telah terbebas, ia tak akan memiliki peluang untuk beralih rupa dan kabur dari istana.
"Mandikan dia, lalu ganti bajunya. Aku akan menyuruh salah satu madera untuk mengantarkan gaunnya nanti. Budak kamar ini sudah kupakaikan gelang pengendali siluman, kau aman. Ia tak akan bisa melepasnya," ujar si pengurus.
Noa mengangguk patuh, lalu segera menggiring Mora menuju tempat pemandian. Di sana, sang lumira kembali tercengang melihat isi ruangan yang tiga kali lebih besar dari kamarnya, yang hanya muat untuk sebuah ranjang kecil saja, ditambah satu lemari pakaian.
Ada bak mandi berbentuk seperti cangkang telur raksasa yang tebal, terbuat dari batu, dengan satu pancuran pada bagian atas, berisi air yang sangat jernih bercampur bunga-bunga beraneka warna. Aroma harum semerbak menguar, menyapa indra penciuman Mora. Sebuah cedok air terbuat dari kayu tampak di tepinya.
Noa melepaskan baju Mora dengan hati-hati. Ia terlihat takut, tetapi berusaha memberanikan diri.
"Kau ... seorang hunoa ... pelayan baru?" tebak Mora mencoba mengajak Noa berbicara.
Noa menggeleng, tetapi kemudian segera mengangguk. Mata hijaunya yang menjadi ciri khas hunoa mengerjap-ngerjap.
"Kau dilarang berbicara?" bisik Mora.
Wanita itu kembali menganggukkan kepala. Ia berhasil melepaskan pakaian Mora.
Jemarinya menunjuk ke dalam bak. Ia tampak meminta Mora masuk ke dalamnya.
Mora menurut dan membiarkan wanita hunoa itu menggosok-gosok kulit tubuhnya dengan kelopak-kelopak bunga yang ada di air bak. Ia diam-diam mengamati gelang di pergelangan tangan.
Gelang yang sangat jelek dan kusam. Ada kunci berupa simbol. Bagaimana cara membukanya? Mora bingung. Ia sama sekali tak memiliki petunjuk.
"Noa, bisakah kau membantuku? Aku ...."
Noa buru-buru bangkit, meraih sebuah kain penyeka tubuh dari rak di dinding. Ia menyodorkannya pada Mora.
"Aku belum mencuci rambutku," ujar Mora, sengaja berusaha mengulur waktu.
Ia serba salah, melihat ketakutan di mata Noa. Dia tak ingin memberi masalah pada wanita hunoa itu.
"Maksudku, bisakah kau bantu aku mencuci rambutku?" pinta Mora kemudian, mencoba menenangkan Noa.
Berhasil. Noa tampak bernapas lega. Ia mengangguk dan segera menaruh lagi kain penyeka tubuh itu ke rak.
Si wanita hunoa kembali ke belakang tubuh Mora. Ia meraih cedok kayu, dan menggunakannya untuk menyiramkan air, membasahi rambut ikal panjang Mora.
Noa mengambil sesuatu dari sebuah wadah dari kayu, mengoleskannya ke rambut Mora. Jemarinya segera sibuk memijat-mijat lembut tanpa jeda.
Usai memijat, Noa segera mengguyurkan air ke kepala Mora, membersihkan semua sisa minyak yang ia oleskan sebelumnya. Wangi bunga semerbak sontak menguar dari rambut dan memenuhi ruangan.
Mora menyukai aroma wangi itu. Ia berpikir apakah mungkin bisa membuat minyak yang sama nanti.
Mora menebak wanginya seperti berasal dari neira. Karena, dia belum pernah mencium aroma sedemikian harumnya, kecuali mengetahui soal keharuman bunga seputih salju yang terkenal langka dan hanya mekar di pertengahan antara dua musim. Letak tumbuh tanaman liar itu sulit dijangkau karena biasanya dijaga oleh penjaga altragon.
Kenapa hanya bangsawan yang boleh menggunakan tumbuhan liar neira? Bukan mereka yang menanam, tetapi karena berkuasa, siluman lain seakan tak berhak memilikinya.
Sadarlah, Mora. Kau bahkan tak tahu sampai kapan akan menjadi budak di sini, malah sibuk memikirkan bunga neira. Dasar bodoh!
Si Lumira mendesah resah saat Noa menepuk lembut bahunya, memberi isyarat untuk berdiri. Wanita hunoa itu telah kembali meraih kain penyeka, siap membantu mengelap dan mengeringkan tubuh Mora.
Mora kembali pasrah. Ia biarkan si hunoa mengeringkan rambut dan sekujur tubuhnya.
Setelah selesai, Noa menaruh penyeka, ganti mengambil sebuah kain untuk menutupi tubuh telanjang Mora. Ia membimbingnya kemudian meninggalkan ruang pemandian.
Mereka melangkah mendekati ranjang. Ada sehelai gaun putih tergeletak di atas pembaringan. Noa meraih dan menyodorkannya pada Mora.
Tak punya pilihan, Mora segera memakainya. Noa mengambil kain penutup tubuh, lalu beranjak, pergi keluar kamar setelah memberikan anggukan pada si lumira.
Mora tak tahu harus melakukan apa. Ia berbalik, memandangi diri di depan kaca.
Gaun yang indah. Seputih salju yang menawan. Bagaimana jika si athora itu menyadari bahwa budak kamar yang menjadi hadiah hari kelahirannya ternyata tak lagi perawan?
Mora mengeluh dalam hati. Ia mengingat samar bayangan wajah si putra bangsawan yang pernah dia temui belasan musim yang lalu.
Seperti apa ia sekarang? Apakah lelaki itu masih mengingatnya?
Kau bahkan tak tahu apakah masih bisa hidup atau tidak usai dia mengetahui soal dirimu yang tak lagi suci baginya, Mora!
Tunggu, belum tentu juga dialah athora yang dimaksud. Bagaimana jika lelaki bangsawan lain? Mungkin saudaranya?
Jemari Mora perlahan terangkat, merapikan rambutnya yang tergerai bebas setengah basah. Dalam hati, ia mempersiapkan diri, jika memang harus mati malam ini.
***
03/10/2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro