O N E
Matahari bersinar cukup terik selama nera berlangsung di Marvania, menyinari lembah saat siang menjadi lebih panjang daripada malam. Musim panas ini juga dikenal sebagai masa tanam.
Mora, putri ketiga dari Ketua Klan Lumira, tampak berjalan cepat menerobos hutan pinera, pohon berukuran cukup tinggi dengan batang yang kokoh dan daun berbentuk kecil runcing melebar seperti kipas, menuju sebuah rumah kayu kecil di tepi hutan dekat danau. Kemarin Barrowl, Ketua Klan Goowl, kembali menawarkan upah untuk menangkap pencuri hasil kebunnya setelah sekian lama.
Sebenarnya Mora sedikit enggan keluar rumah kali ini. Namun, mengingat ocehan panjang yang menyakitkan telinga dari si Kakek Kerdil itu, ia pun memilih memaksakan diri.
Setidaknya Barrowl telah menjanjikan tatora, sejenis umbi merah besar, dan marea, buah berbentuk bulat berlekuk dari tanaman menjalar yang berdaging dan berkulit biru keras. Ia bisa meminta ibunya nanti membuatkan berbagai kudapan selama musim panas.
Mora pun mempercepat langkah. Langit tampak cukup biru cerah. Padang semak belukar berbunga kecil berwarna-warni dan rerumputan liar di sekitar danau mulai terlihat membentang indah.
Ia segera menuju satu bangunan kayu tak terlalu besar, tetapi memiliki kebun terluas dibandingkan yang lain. Gadis itu memelankan langkah dan menoleh, saat melewati beberapa pohon pinera dengan rumah-rumah kecil di atas setiap cabang dengan jarak cukup berdekatan.
Mora pun teringat tentang lubang sarang di bawah rumahnya yang kadang digunakan saat eira berlangsung untuk menghemat makanan. Setiap anggota klan Lumira memang memiliki ruang penyimpanan bahan makanan di dalam tanah, yang bisa sewaktu-waktu mereka tinggali selama musim salju, dalam wujud hewan.
"Mora! Lekas kemari!" teriak Barrowl seraya melambaikan tangan dan melompat-lompat kecil.
Mora malah melangkah setengah enggan. "Sabar! Kakiku cuma dua."
"Kenapa kau tak beralih rupa agar kakimu bisa jadi empat?" omel Barrowl yang segera mendapat tepukan cukup keras di bahu dari istrinya, Theowla.
"Maklumi suamiku ini. Dia tak bisa tidur nyenyak sepanjang malam karena terlalu memikirkan kebunnya," ujar Theowla seraya memelototi wajah masam suaminya.
Malas meladeni sang suami yang merajuk, ia pun segera sibuk memberi makan hewan peliharaan. Rambut keriting keemasan setengkuk milik wanita itu dipermainkan angin hingga berkibaran.
Mora mendekati mereka yang berukuran setinggi pinggangnya. Dia sedikit membungkuk, melongok ke beberapa kandang kecil, mengamati peliharaan Theowla yang tengah diberi makan. "Ada berapa turenoa yang kalian pelihara? Sepertinya bertambah cukup banyak."
"Ah, tidak juga. Hanya beberapa avera dan ranoa," jawab Theowla sambil menaruh biji-bijian di mangkuk-mangkuk untuk beberapa hewan kecil berkaki dua yang memiliki sayap serta paruh, lalu beralih memberikan sayur-sayuran untuk hewan-hewan kecil berkaki dan bertelinga panjang.
"Hei, Mora, kau kusuruh datang ke sini untuk memeriksa kebunku, bukan untuk menyelidiki hewan-hewan yang kupelihara," gerutu Barrowl, membuat perhatian Mora beralih.
Sepasang kaki pendek si Kakek Kerdil melangkah cepat ke arah kebun di samping rumah. Ia menunjuk ke arah batang-batang sayur yang setengah rebah, sebagian tanaman tercabut kasar, dan beberapa buah berukuran kecil tampak tertinggal berceceran di tanah.
"Lihat! Ini pasti ulah ashagre lagi! Siluman-siluman kecil bertelinga panjang itu semakin tak tahu aturan!" ocehnya gusar.
"Jangan asal menuduh. Siapa tahu kali ini memang ranoa liar yang mengacak-acak kebun," ujar Theowla.
"Ranoa macam apa yang bisa memetik buah di pohon yang lebih tinggi dari ukuran tubuhnya?!"
Theowla tak menjawab bentakan suaminya yang tengah emosi. Ia memilih melengos, melangkah pergi.
Setengah berlutut, mata biru keunguan gemerlap milik Mora tajam meneliti jejak di tanah berumput. Ia mengendus sambil mengikuti bekas tapak kaki berukuran kecil itu, hingga ke satu arah yang membuat tatapannya kemudian terpaut.
Bibir gadis berambut ikal kelabu sebatas bokong itu mengukir senyuman samar. Dia pun segera berdiri, menatap sesuatu dengan mata berbinar.
"Kejadiannya seperti biasa, selalu saat kalian tidur, bukan?" tanyanya tanpa mengalihkan tatapan.
"Betul. Karena, aku selalu berjaga-jaga saat sedang tidak tidur," jawab Barrowl cepat. Ia mengikuti arah tatapan Mora, melompat-lompat, tetapi tak melihat apa pun. Mata keemasannya memutar kesal. "Apa yang kau lihat?"
"Serahkan saja padaku. Malam ini, aku akan berjaga di sini," ujar Mora penuh percaya diri. "Sediakan saja hadiah yang kau janjikan buatku besok pagi."
"Kau yakin?" tanya Barrowl seraya menyipitkan mata. "Terakhir kali tangkapanmu berhasil kabur."
"Kali ini tidak akan," sahut Mora. "Aku pasti akan menangkap mereka."
"Sepakat."
***
Matahari memancarkan sinar kuning kemerahan. Semua penghuni lembah tertidur pulas pada malam yang terang, kecuali dua sosok kecil yang muncul dari lubang persembunyian, tersamar oleh rerumputan. Mereka mengendap-endap menuju kebun sambil sesekali celingukan, memeriksa keadaan.
Mora mengintip dari balik rerimbun tanaman dengan ketajaman mata khas pemburu. Ia tersenyum saat mencium aroma ashagre dari tubuh kedua bocah itu.
"Kalian seharusnya tak memilih kebun Barrowl sebagai target pencurian," ujarnya pelan, tetapi cukup untuk mengagetkan si kedua bocah.
Mereka sontak berbalik bersiap kabur secepat mungkin, tetapi Mora tentu saja tak membiarkan begitu saja. Ia sigap bangkit lebih dulu dan berlari, menghadang keduanya tepat di depan lubang rahasia.
"Kena kalian sekarang!"
Kedua bocah segera saja menjelma menjadi hewan berkaki empat bertelinga panjang sebelum berkamuflase di antara rumput. Namun, mata lumira telah berhasil menangkap gerakan panik mereka lebih dulu.
Gadis itu dengan mudah memegang erat telinga mereka. Keduanya meronta-ronta sebelum berubah kembali menjadi dua sosok bocah lelaki dan perempuan berambut kelabu dengan tatapan mata seolah tanpa dosa.
Mora buru-buru ganti memegangi lengan mereka. Ia berpikir untuk segera memasukkan keduanya ke kandang sebagai bukti hasil pekerjaannya.
"Tolong, bebaskan kami," rengek bocah perempuan dengan suara tertahan.
"Kenapa aku harus melepaskan kalian?" goda Mora. "Apa untungnya buatku?"
"Kami kenal dekat dengan Mea, Ketua Klan Mermea," sahut si bocah laki-laki. "Kami bisa membantumu jika suatu saat kau butuh penyembuh."
Mora mencibir. "Benarkah? Kenapa aku harus percaya? Bukankah mermea sangat enggan bergaul dengan klan-klan lain?"
"Kami sering membantunya menjaga bayi-bayi mermea."
Mendengar itu, ia mulai tertarik. Mata biru keunguan miliknya berbinar. "Bagaimana aku bisa tahu bahwa kalian berkata benar dan tak akan mengingkari janji?"
"Kalungku, ambillah," ujar si bocah lelaki.
Mora mempertimbangkan siapa yang harus dia lepaskan agar bisa meraih kalung tali hitam dengan bandul kayu pipih bulat kecil di leher sang bocah lelaki. Ia pun memilih melepaskan si anak perempuan.
"Grea, pergilah lebih dulu!" suruh si bocah lelaki pada rekannya.
"Bagaimana denganmu, Asha?"
Anak perempuan itu terlihat bimbang. Ia seperti enggan meninggalkan bocah lelaki yang dipanggil Asha itu.
"Hmm, kalung apa ini?" tanya Mora, mengabaikan pembicaraan sentimental kedua bocah.
"Itu lambang posisiku sebagai Ketua Klan Ashagre," jawab Asha.
Mora meneliti kalung dan memperhatikan kedua bocah bergantian. "Untuk apa kalung ini?"
"Kau bisa menggunakannya saat butuh bantuanku," ujar Asha. "tapi hanya sekali. Setelah aku membantumu, kau harus mengembalikannya lagi padaku. Adil, bukan? Satu kebaikan, akan kubalas dengan satu kebaikan pula."
Gadis lumira itu berpikir sejenak. Tawaran Asha terdengar lebih menarik daripada hadiah yang dijanjikan Barrowl. Karena, memiliki bantuan mermea sebagai penyembuh tentu saja sangat berharga bagi para siluman di Marvania.
"Baiklah. Sepakat," ujarnya kemudian, "tapi dengan satu syarat."
"Apa?"
"Rahasiakan ini dari Barrowl," bisiknya sambil mengedipkan mata.
Kedua bocah saling berpandangan dan tersenyum lebar. "Sepakat."
***
"Lepas lagi?! Bagaimana bisa?! Kau pasti tertidur semalam!" omel Barrowl kesal keesokan hari.
Mora menguap. "Akhir-akhir ini aku semakin mudah mengantuk."
"Kesepakatan batal! Tak ada hadiah untuk pemalas sepertimu!" cerca Barrowl.
Mora pura-pura merengut. "Baiklah, terserah kau saja. Aku pulang. Salvhastea."
Ia pun melangkah santai meninggalkan Barrowl, yang mengabaikan kata sampai jumpa darinya. Dia hanya tertawa geli tanpa suara saat mendengar ocehan si Kakek Kerdil itu, hingga akhirnya tak lagi terdengar di telinga.
Mora berjalan riang, bersenandung kecil sambil memegangi bandul kalung yang sebelumnya dia sembunyikan di balik kain penutup dada. Tak menyangka, ia bisa mendapatkan hadiah berharga.
"Barrowl bodoh. Seandainya ia tahu soal kedekatan ashagre itu dengan mermea, ia pasti tak akan ragu menukar hasil kebunnya dengan kalung ini. Untunglah, aku lebih pintar darinya," gumam Mora, tertawa kecil seraya mengalungkan benda itu ke leher.
Ia terus berjalan menembus hutan. Sebentar lagi dia akan memasuki jalan menuju kediaman. Namun, mendadak dia mencium aroma catra di kejauhan.
"Siluman Berkumis sialan! Mereka pasti sedang berburu mangsa dan budak untuk persiapan musim salju!" maki Mora pelan.
Dia pun memutuskan beralih rupa menjadi bentuk hewan berukuran sedang, bermoncong pendek, bertelinga kecil runcing, serta berbulu tebal panjang hingga ekor. Ia lari sebelum melompat ke udara dan menggerakkan sayapnya, terbang rendah menyelip di antara pepohonan ke arah lain, mencoba mengelabui penciuman catra.
Meski ia bisa saja menggunakan sihir pesonanya, tetapi dia tak mau mengambil risiko menghadapi mereka. Catra adalah klan siluman yang kuat, kejam, buas, liar, dan tidak punya tata krama. Mora tak mau kediaman klannya terancam bahaya.
Cakar catra beracun, saat dalam wujud hewan berukuran cukup besar, bermata hijau kecokelatan, berkaki empat, memiliki sayap serta bulu cokelat tebal, dengan sejumput bulu hitam tegak di kedua ujung telinga lancip membuka ke arah depan, berkumis panjang dan kaku di antara hidung serta mulut. Membayangkan jika ia tertangkap atau terkena cakaran saja, sudah cukup membuat Mora bergidik karena rasa takut.
Gadis itu lebih memilih jalan aman, kabur secepat yang ia sebisa, menjauh dari jalan masuk menuju sarang lumira. Dia berputar-putar tak tentu arah, hingga bersembunyi di antara rerimbun daun-daun pinera, sampai memastikan tak lagi mencium aroma mereka.
Setelah yakin keadaan benar-benar aman, Mora pun terbang ke arah kediaman dalam penuh kewaspadaan. Ia merasa lega karena aroma catra benar-benar sudah tak tercium oleh indra penciuman.
Kediaman klannya aman selama tak ada altragon yang membuka segel perlindungan. Mora pun berhasil kembali pulang dengan hati riang penuh kepuasan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro