F O U R
Mora menepiskan rasa gamang di hatinya, berteriak histeris, "Aku Mora, putri ketiga Ketua Lumira! Aku sudah bilang, aku bukan budak! Kembalikan kakak dan ayahku!"
"Apa maksudmu? Kakak dan ayahmu? Kapan aku membawa mereka ke sini?!" balas Zetra seraya melepaskan renggutan dari rambut Mora.
Tiba-tiba saja dia merasa sedikit bersalah pada gadis yang terikat di pembaringannya itu. Namun, di saat bersamaan ia pun bingung memikirkan kesalahan yang membuat si lumira betina marah.
Tidakkah ia menikmatinya semalam? Zetra heran. Catra betina yang pernah dia tiduri belum pernah ada yang protes, bahkan budak-budaknya pun tak mengeluh apa pun, kecuali pingsan kelelahan.
Namun, Zetra berpikir tak mungkin melepaskan gadis yang terlanjur ia sukai itu. Dia bahkan berniat untuk memilikinya seumur hidup.
"Ayahku, Khora, Ketua Lumira! Kakakku, Zhora, dia bahkan belum menikah dan kalian membawanya begitu saja! Jika kalian memperlakukan ia sebagai budak nafsu catra betina, aku tak akan memaafkan itu!" teriak Mora lagi.
Zetra mengerti sekarang. Ia tahu soal budak kamar Retra yang baru. Pasti itu yang dimaksud Mora.
"Mungkin aku tahu soal kakakmu, tapi aku benar-benar tak tahu mengenai ayahmu. Aku bisa saja mengembalikan mereka padamu, tetapi, kau tak bisa pergi dariku. Kau milikku sejak aku menyentuhmu." Ucapan Zetra mulai terdengar melunak.
"Keparat! Aku tak pernah mengizinkanmu menyentuhku! Kau yang merenggut kehormatanku secara paksa!" Jantung Mora benar-benar ingin meledak rasanya.
"Tapi kau menikmatinya semalam," kilah Zetra. Senyumnya mengembang. "Matamu sempat memejam saat ...."
Gadis itu makin histeris menendang bantal, guling, dan selimut bulu ke arah si Ketua Catra. Berbagai perasaan berkecamuk di hati Mora.
Ia bahkan tak mengerti benarkah menikmati perbuatan lelaki itu semalam atau tidak, mengingat dia sempat merasakan sensasi hebat yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Namun, tentu saja harga diri lebih utama bagi Mora.
"Aku sudah berusaha melawan! Tenagamu yang tak bisa kukalahkan!"
"Mari buat kesepakatan. Aku bebaskan ayah dan kakakmu, tetapi kau harus jadi pengantinku dulu," ujar Zetra berusaha mengabaikan ego, demi gadis yang telah memberi kepuasan berharga dalam hidupnya.
Mora berpikir keras. Jika memaksa melawan pun, ia tahu, tak akan menang. Alih-alih bisa kabur, ayah dan kakaknya tak dikembalikan dan dia pun tetap akan jadi budak nafsu Zetra siang dan malam.
Mungkin bersepakat sementara sambil mencari jalan untuk kabur lebih baik daripada memaksakan bebas dengan terburu-buru, pikir Mora.
"Baiklah, sepakat," ujarnya singkat sambil membuang muka.
Zetra pun tersenyum. Ia merasa telah menang tanpa harus kehilangan. Menikahi gadis itu tentu saja, dia akan mendapatkan seisi klan lumira. Akan ada banyak kebahagiaan bagi anggotanya juga. Mereka bisa ikut menikahi siluman rupawan di Marvania.
"Aku akan menyuruh klanku menyiapkan upacara kita malam ini. Kita akan bersenang-senang lagi." Zetra melemparkan senyuman penuh arti pada Mora.
Mora merasa tak perlu memaksakan diri membalasnya dengan senyuman. Dalam hati, ia justru mulai menyusun rencana pembebasan.
"Malam ini adalah penentuanmu menjadi milikku," ujar Zetra sebelum berbalik dan melangkah bergegas, meninggalkan kamar.
"Lebih tepatnya, malam penentuanku terbebas darimu," sahut Mora pelan, pada dirinya sendiri.
***
Hawa di hutan belantara Marvania membuat tubuh Mora sedikit menggigil. Ia berusaha merapatkan selimut bulu ke tubuhnya.
Mora merutuk Zetra yang seakan sengaja belum memberinya pakaian. Ia bahkan tak bisa beralih rupa karena tali ikatan. Dia pun terus mengutuk lelaki itu dalam pikiran.
Matahari memancarkan sinar kemerahan, pertanda malam telah menjelang meski suasana masih tampak terang. Siang yang panjang selama nera berlangsung, adalah hal biasa di Marvania.
Satu sosok terlihat memasuki kamar diam-diam. Ia mengendap-endap, menjaga agar langkah kakinya tak bersuara.
Mora mencium aroma lumira. Ia segera mencondongkan kepala, agar dapat memastikan lebih jelas. "Lira, kaukah itu?"
Lira muncul, buru-buru memberi isyarat agar Mora tak bersuara. Tanpa kata, gadis itu segera memotong tali pengikat dengan pisau yang ia bawa.
Mora hampir saja memekik kegirangan karena sebentar lagi ia akan bebas. Dia segera melompat dari pembaringan saat ikatan telah berhasil lepas.
Lira buru-buru melepaskan mantel bulu yang ia kenakan, lalu memberikannya pada Mora. "Pakai ini."
"Aku tahu, kau pasti akan membebaskanku, Lira. Terima kasih."
Mora segera memakainya, lalu melompat-lompat kecil sambil memegangi erat kedua bahu Lira, membuat gadis itu meringis.
"Kakakmu ada di ruang sebelah. Untung adikku memberitahu bahwa kau salah masuk kamar. Para catra sangat sibuk menyiapkan acara pernikahanmu yang mendadak dengan Zetra. Kau harus pergi sekarang juga," ujar Lira lirih.
"Kita kabur bersama saja," ajak Mora.
Lira menggeleng lemah. "Aku sudah tak memiliki muka untuk kembali. Bawa adikku saja. Ia tak layak berada di sini meski Zetra memperlakukannya cukup baik."
Mora menatapnya penuh sesal. Ia bisa membayangkan apa yang Lira alami.
Dia hanya melayani Zetra, sudah merasakan malu yang luar biasa. Lantas bagaimana dengan Lira yang harus meladeni beberapa lelaki bergantian?
"Baiklah, aku akan membawa Nira pergi dari sini," janjinya.
Lira memeluk Mora erat. Ia mencoba menahan isak.
"Samira takea," bisik Mora penuh haru.
Lira mengangguk seraya melepaskan pelukan. Ia menyerahkan pisau ke tangan Mora. "Kau juga, jaga diri baik-baik. Aku titip Nira padamu. Pergilah sekarang. Aku akan berusaha mengalihkan perhatian penjaga sebisa mungkin. Hati-hati."
Mora mengangguk seraya meraih dan menggenggam pisau erat di tangan, lalu segera melangkah cepat penuh waspada mengikuti gadis lumira itu, meninggalkan ruangan. Tanpa ragu, dia langsung menuju kamar sebelah, sesuai arahan Lira.
Ia mencoba membuka pintu. Dugaannya benar, itu sama seperti kamar Zetra, tak terkunci.
Mora segera saja masuk. "Zhora ...!" bisiknya keras.
"Mora ...? Mora, aku di sini ...," balas Zhora lemah.
Mora terkejut melihat keadaan Zhora yang juga terikat, hanya ditutupi selimut dengan rambut berantakan di pembaringan kayu. Wajahnya terlihat sangat kuyu.
"Kau baik-baik saja?" ujar Mora lirih sambil berusaha memotong tali pengikat secepat mungkin tanpa menyentuh benda itu.
Setelah terlepas, Zhora berusaha beringsut, turun dari tempat tidur, dan berdiri, tetapi limbung jika saja tak buru-buru dipegangi oleh Mora. "Limia ...." Lelaki itu mendesis dan meringis.
"Aku tahu. Kita tak bisa berubah wujud sementara karena tanaman sialan itu. Namun, kita harus lari secepat yang kita bisa, Zhora," ujar Mora pelan, tetapi tegas. "Kita tak bisa tertangkap lagi oleh mereka."
Zhora menatap adiknya dan mengangguk. Tatapannya beralih saat melihat seseorang muncul di ruangan.
"Mora, lari lewat jendela! Sekarang! Penjaga sudah mulai terlihat curiga!" teriak Lira tertahan.
Ia segera mengunci pintu dari dalam, menahan dengan punggungnya. "Lekas! Tak ada waktu lagi!"
"Bagaimana denganmu?" tanya Mora panik.
"Jangan pikirkan aku! Nira sudah menunggu di balik jendela. Pergi!" hardiknya.
"Ayahku! Aku harus menyelamatkannya! Di mana dia?" tanya Mora cepat.
"Mereka sudah membunuh Borra ...," sahut Zhora dengan suara lirih dan bergetar.
Mata Mora membelalak. Mendengar kalimat itu dari mulut Zhora, membuat amarahnya ingin meledak.
"Mora, lekas pergi atau kita semua tak akan pernah bisa bebas lagi!" teriak Lira kembali mengingatkan.
Menguatkan hati, Mora segera memapah tubuh Zhora. Ia membuka jendela, lalu membantu kakaknya keluar lebih dulu sebelum menyusul.
Nira sigap membantu Zhora berdiri dengan tubuhnya yang mungil. Mora pun segera mengambil alih memapah kakaknya. Mereka berlari bersama menembus rimbun pohon pinera yang lebat dan berlumut.
Terdengar teriakan gaduh dari penjaga catra yang berlarian mengejar. Aum siluman yang telah beralih rupa pun mulai terdengar.
Mora makin mempercepat langkah sambil memapah Zhora. Ia mulai mencemaskan gadis kecil yang lari bersamanya. "Nira! Kau bisa beralih rupa! Pergilah ke arah sarang klan kita lebih dulu! Fokuslah menggunakan indra penciumanmu! Selamatkan dirimu! Jangan menungguku!"
Nira menganggukkan kepala. Ia segera menjelma menjadi lumira kecil dan langsung terbang mengepakkan sayap, menuju kediamannya secepat yang dia bisa.
"Mora ..., tinggalkan aku ...," ucap Zhora tersengal. Langkahnya mulai melambat.
Ia tak mau menghambat kebebasan adiknya. Tanpa limia saja, fisiknya tak sekuat lumira betina. Kini dia malah merasa membebani Mora.
"Tidak! Aku berjanji pada corra hanya akan kembali bila berhasil membawamu pulang!" sergah Mora.
"Tinggalkan aku atau kau akan tertangkap oleh mereka lagi, Mora," ucap Zhora. "Jangan membantahku kali ini. Kegagalanku menolong Borra saja sudah cukup membuatku tak layak menghadapkan muka pada klan kita."
Mora menghentikan langkah. Air matanya mulai mendesak keluar. "Zhora ...."
"Pergilah. Selamatkan dirimu ...," ucap Zhora. Ia mendorong adiknya dengan gerakan lemah. "Pergi ...."
Suara teriakan bercampur aum mulai mendekat. Jantung Mora seakan berhenti berdetak.
"Sekarang, Mora!" desak Zhora dengan tenaga tersisa. "Atau kau akan membuatku mati dalam penyesalan karena gagal menyelamatkanmu dan Borra."
Mora berang seketika. "Kau kira bersikap cengeng sekarang akan berguna?! Aku tak akan menyerah atas dirimu, Zhora. Kita akan bersembunyi sementara."
Pandangannya mengedar cepat, hingga terhenti pada rerimbun pohon yang sedikit terlindung beberapa batu besar berlumut. Tanahnya agak sedikit menurun.
Ia segera menyeret paksa Zhora agar mengikutinya. "Kita bersembunyi dulu."
Teriakan dan suara aum makin dekat. Mora memegang sisi belakang batu berlumut saat melewati batang pohon besar berlumut yang melintang, tetapi mendadak sebuah suara tanpa wujud terdengar mengaduh lirih, membuat ia dan Zhora hampir berteriak dan melompat.
"Psst, ini aku, Grea." Sosok bocah perempuan berambut panjang abu-abu segera menjelma di hadapan mereka.
"Kenapa kau ada di sini?" tanya Mora heran.
"Aku menyamarkan diri sejak tadi, berkamuflase di balik batu. Tidak ada waktu menjelaskan sekarang. Ayo, ikut aku jika kalian ingin pulang dengan selamat," ujar Grea.
Dia membungkuk, membuka sebuah penutup lubang tak jauh dari situ, yang tersamar oleh lumut. "Lewat sini."
"Kami belum bisa beralih rupa karena efek terkena limia," sahut Mora cepat.
"Makan ini," ujar Grea melepas pegangan dari pinggiran penutup lubang, lalu mengambil dua buah biji berwarna hitam dari dalam tas selempang kecil, menyodorkannya pada mereka. "Biji Mintea, itu bisa menetralkan efek limia. Mea yang memberitahuku untuk selalu membawanya di tasku."
"Mea?" Mora menatapnya heran.
"Ketua Mermea."
Mora ingat sekarang tentang si ketua siluman air. Ia dan Zhora pun segera menerima dan memakan biji itu. Mereka segera merasa sedikit lebih segar.
"Ayo, cepat ikuti aku." Grea kembali membuka penutup berlumut, menjelma menjadi ashagre, sosok hewan bertelinga panjang, yang segera melompat masuk ke lubang rahasia.
Mora dan Zhora saling pandang beberapa saat sebelum bergantian membuka penutup, menjelma menjadi lumira, menyusul Grea memasuki lubang.
Mora mengamati sejenak penutup lubang yang telah tertutup kini. Ia mendengar teriakan dan aum di luar sana.
Satu suara yang ia kenal terdengar bersuara penuh kemarahan. "Mora, Putri Ketua Klan Lumira! Aku akan memburumu ke mana pun kau pergi! Kau milikku!" Riuh sorak terdengar menyambut ucapannya. "Kalian, lekas cari dan temukan calon pengantinku!"
Tubuh Mora bergetar beberapa saat mendengar teriakan Zetra. Tanpa berpikir panjang lagi, ia pun segera menyusul Zhora dan Grea, berlari cepat di lorong rahasia.
***
08/01/2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro