Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#8 : Akhirnya Kau Mengemis Padaku

You were all the things I thought I knew
And I thought we could be

(Avril Lavigne — My Happy Ending)

***

***
Mungkin banyak yang akan bilang aku berhati malaikat karena masih saja mengurus Malfoy yang tak berdaya di kasur. Seharusnya aku membunuh Malfoy, itu kesempatan besar sebagai ajang balas dendamku. Sebenarnya aku memang ingin membunuh anak itu dengan pisau dapur, lalu tubuhnya aku potong beberapa bagian, lalu aku rebus potongan mayat itu, dan akhirnya aku akan memberikan tubuh itu pada anjing liar di jalanan biar lebih dramatis. Oh, well, entah kenapa aku sering memikirkan hal-hal tidak etis semacam ini akhir-akhir ini, mungkin bawaan bayi... ingat bukan aku mengandung anak seorang Malfoy yang jahat ini?

Mentalku sedang diuji sekarang. Malfoy benar-benar bajingan. Aku sudah mencoba untuk baik, tapi mulut dia tak pernah berhenti mengeluarkan cacian kotor bahkan untuk anaknya sendiri! Bajingan brengsek, aku sangat ingin membunuhnya. Tapi aku punya rencana… aku ingin Draco ada di sisiku untuk menikam Voldemort. Jadi sebisa mungkin aku merawat Draco, sedikit demi sedikit mencuci otaknya untuk bisa bergabung denganku. Sayang, Malfoy tetaplah Malfoy. Dia masih sama bajingannya seperti dulu.

“Hermione, ambilkan aku minum.”

Permintaan itu dibuat oleh Malfoy di jam dua malam. Sialan memang, aku dipermainkan olehnya. Kepalaku sedang pusing karna kehamilan ini tapi aku tidak bisa beristirahat barang sebentar saja. Malfoy selalu menuntut untuk diperhatikan, dia mempermainkanku.

“Aku bilang ambilkan aku minum, brengsek!”

Dengan gemas aku bangun dari sofa dan memberikan Draco gelas berisi air putih yang sebenarnya ada di nakas persis sebelah kasur Malfoy. Dia sangat bisa mengambil minum itu sendiri dengan tangannya yang tidak sakit karena letaknya persis ada di sebelahnya.

“Kau tidak meracuninya, 'kan?”

“Oh seandainya aku punya bahan dan kesempatan pasti akan aku lakukan hal itu dari kemarin.”

Draco mendengus. Dia minum seteguk lalu dengan tak tahu diri, dia lempar gelas air minum itu hingga berbenturan dengan dinding dan pecahannya berhamburan ke segala arah.

“Bereskan. Lalu ambilkan aku gelas baru.”

Dasar Malfoy sialan, sedang tak berdaya saja dia masih sombong. Aku benar-benar ingin membunuh anak itu sekarang. Seandainya aku punya tongkat, aku pasti akan mengutuk dia dengan beberapa mantra lelucon untuk kepuasaan pribadiku. Mungkin saja mantra yang membuat wajahnya penuh bisul atau mungkin mantra gatal seluruh tubuh atau lebih ekstrimnya kutukan imperius agar dia bisa menurut dan tunduk pada perintahku. Seandainya aku punya tongkat.

Aku sudah mencari tongkatku di setiap  sisi Manor tapi hasilnya nihil. Entahlah dia simpan dimana atau besar kemungkinannya kalau tongkatku sudah dibuang. Pernah aku berencana untuk merebut tongkat Malfoy ketika anak itu sedang terlelap tapi niat itu aku urungkan karena letak Draco menyimpan tongkatnya sangatlah menjijikan. Tongkat sihir Draco ditaruh di celana dalamnya… menjijikan bukan? Mana mungkin aku sudi untuk mengambil tongkat itu dari bagian intim tak bermoral Draco yang sudah membuat tubuhku sakit berminggu-minggu, tentu saja kegilaanku belum sampai ke tahap itu.

Draco hanya mengeluarkan tongkat itu ketika dia membersihkan tubuhnya dengan Scourgify dan mengganti bajunya dengan pakaian yang lebih bersih. Hanya itu saja, selebihnya tongkat itu setia bersemayam di dekat organ intim Malfoy. Euy, menjijikan.

“Aww…” sahutku ketika tanganku tergores oleh pecahan kaca.

“Tanganmu berdarah?” Draco bertanya dengan nada sangat tinggi. “Menjijikan sekali, cepat bersihkan! Cukup tubuhmu saja yang tercemar dengan darah kotormu itu, jangan kau tebarkan darahmu ke tempat lain apalagi rumahku, Well ini  bahkan di kamarku dan kau tak ada di jarak tak lebih dari lima meter dariku. Hell, kenistaanmu ada di dekatku dan itu—”

Aku menghela napas panjang sekali, sudah cukup dengan segala hinaan tak berdasarnya itu. Sekarang waktunya memberi hukuman… toh dia tidak akan bisa membalas perlakuanku dengan tubuh lumpuhnya itu.

Aku mengambil salah satu pecahan kaca lalu berjalan mendekati tubuh lemahnya, “Kau mau apa, mudblood?”

Aku tersenyum miring dan menggoreskan pecahan kaca itu di tangan Draco yang tidak terbalut perban. Dia memberontak tapi aku menahan tangannya itu dengan kekuatan kedua tanganku. “Bagaimana rasanya Draco ketika darah murnimu itu bersentuhan langsung dengan darahku?”

“FUCK! JAUHKAN TANGAN KOTORMU!!!”

Aku mengangkat tangan ke atas dan tertawa puas dengan kemenangan telakku ini. Ketika aku berbalik hendak keluar dari kamar itu, tubuhku terdorong hingga menubruk dinding kamar. Draco dengan tongkat yang terarah padaku memberikan mantra non verba yang membuat leherku tercekik kencang.

“Itu balasanku, mudblood! Kau sungguh lancang… tanganku jadi tidak sabar untuk membunuhmu dan anak sialanmu itu.”

Mukaku sudah merah sekarang, jeratan di leherku ini membuat aku tak hanya kesulitan bernapas tapi membuatku menendang kakiku ke segala arah guna melenyapkan rasa sakit ini, tapi tingkahku yang agresif ini berdampak negatif pada perutku yang kembali terasa nyeri.

“He-hen-ti-ti-ka-kan Dra-akh…” aku terisak dengan posisi meringkuk melindungi perutku dari kutukan Draco. Tingkah mengemisku ini membuahkan hasil, Draco melepaskan diriku dari mantranya tapi rasa sakit pada perutku belum mengenal kata pulih. Malah terasa lebih nyeri di setiap detik yang bergulir.

“Kau kenapa, mudblood?”

“Sa-sak-sakit.” Aku mengerang masih dalam posisi yang sama.

“Kau kenapa? OH SHIT!!!”

Entah bagaimana ceritanya, yang jelas sebelum mataku terpejam ada sosok hitam berkepala botak yang mengangkat tubuhku menjadi begitu ringan dan nyeri di perutku pun perlahan terkikis. Tapi aku terlalu lelah untuk kembali membuka mata, yang aku butuhkan sekarang hanyalah beristirahat dengan waktu yang lama. Aku lelah… peduli setan dengan kondisi Draco. Anakku juga butuh diperhatikan dan beristirahat adalah solusi paling baik.

***

Yang aku harapkan agar bisa tidur lama ternyata tak menjadi kenyataan. Suara erangan kencang membuatku bangun secara tiba-tiba. Sudah bisa ditebak kalau Draco-lah sumber suara bising itu, dan tidak perlu orang jenius untuk tahu kalau Voldemort yang menyebabkan Draco menjerit kesakitan seperti itu di lantai kamar.

Tidak ada rasa iba yang menjalar di hatiku melihat Draco menderita, aku menyukai drama ini. Aku suka bagaimana dia menjadi rakyat bawahan yang mengemis ampun pada tuannya. Aku suka bagaimana dia menangis di bawah kaki Voldemort. Aku menyukai bagaimana Voldemort menyiksanya. Bukan, ini bukan lagi tentang hukuman fisik… Voldemort sekarang menyerang mental Draco. Dia merasuk ke dalam pikiran Draco. Aku yakin Voldemort membuka luka lama dari Draco… bahkan mungkin dia masuk ke dalam pikiran itu dan membuat memori lama Draco semakin buruk. Hukuman yang menyerang mental memang sangat buruk. Jerit kesakitan Draco pun berkali-kali lipat lebih kencang dari jeritan saat dia dihukum secara fisik oleh Voldemort.

“Lihat… lihat bagaimana menyedihkannya dirimu di waktu kecil. Kau melihat ayahmu menampar ibumu setiap malam. Kau tahu tidak, kalau tingkah ayahmu itu atas dasar perintahku. Ayah tololmu yang tak pernah berhenti kau puja itu menyerahkan dirinya secara utuh padaku. Dia tidak pernah menyayangimu atau bahkan ibumu. Dia membenci dirimu… ”

“Hentikan--”

“Dan kau tahu apa yang terburuk dari semua itu? Aku pernah menyuruh ayahmu untuk membunuhmu ketika kau masih kecil. Ayahmu nyaris membunuhmu, tapi sayang ibumu menghalangi. Kasihan sekali nasibmu, Draco. Ayahmu membencimu dan ingin membunuhmu. Kau pun sekarang tunduk padaku, kau juga akan menerapkan hal yang sama pada anakmun, bukan? Kau juga ingin membunuh anakmu tapi sayangnya… kau harus camkan baik-baik… hanya aku yang boleh menyentuh anak itu. Aku yang akan membunuhnya.”

Secara refleks aku mengelus perutku. Aku harus melindungi anakku dengan segenap jiwa. Anak ini harus hidup... dia nyawa yang tak berdosa… dia tidak layak mati untuk orang yang penuh dosa. Anakku memang turunan penuh hina dari ayahnya tapi dia juga mempunyai darahku. Dia harus tetap hidup.

“Ah... istrimu sudah bangun rupanya.”

Voldemort mengalihkan pandangannya padaku. Aku bisa merasakan dia juga ingin masuk ke pikiranku tapi aku menutup pikiranku rapat-rapat darinya, “Wow… kau tidak mengijinkanku berkunjung ke pikiran hinamu, mudblood?”

Tentu saja tidak akan pernah, Voldemort! Biarpun tongkat sudah tidak ada di tanganku, otakku belum mati. Aku dijuluki wanita paling pintar di generasi bukan tanpa alasan.

Seandainya aku bisa menyampaikan unek-unekku secara langsung tepat di wajah jeleknya pasti akan lebih melegakan. Tapi aku harus menahan keinginan itu, aku tidak bisa membiarkan dia menyiksaku dengan kekuatannya, jadi memaki di otak saja sudah lebih dari cukup.

Voldemort tertawa melengking, tiba-tiba saja terdengar suara petir di luar sana yang membuat suasana makin mencekam. Voldemort berjalan mendekat selangkah demi selangkah ke arahku membuat napasku  dicekam oleh ketakutan setiap langkahnya yang mengikis jarak di antara kita tapi aku tidak boleh terlihat lemah. Aku Gryffindor. Aku adalah pihak yang benar. Untuk apa aku takut oleh yang salah selama aku ini benar, bukan?

“Kau menyedihkan sekali, mudblood. Dalam hitungan bulan, bayi hinamu akan lahir. Aku akan membunuh bayi itu… lalu kau mungkin akan jadi gila… dan pada akhirnya kau akan mati di tangan suamimu sendiri.”

“Bayiku tidak akan mati. Dan aku pun tidak akan mati. Kau yang akan mati, Voldemort.”

“Ya ya ya… bermimpilah terus... hidup dalam mimpi justru akan membuatmu makin lemah.”

“Kau yang akan mati, Voldemort!”

Dia tersenyum miring sebelum menghilang dari pandanganku. Napasku memburu akibat amarah yang masih menyerah seluruh sel dalam tubuhku. Voldemort memang penyihir yang paling kuat sekarang setelah Dumbledore dan Harry mati, tapi seorang yang menyedihkan sepertinya tidak akan selalu mendapat kemenangan. Dia pasti akan kalah… aku pasti akan mengalahkannya.

Belum habis amarahku pada Voldemort, Draco memanggilku untuk mendekat. Aku tidak langsung menanggapi, biar saja dia kedinginan di lantai itu... dia sudah keterlaluan. Mana ada seorang ayah yang tega membunuh anaknya sendiri. Dia benar-benar keterlaluan.

“Hermione--” lirihnya lemah untuk yang ke seratus kali. Ya, aku menghitung berapa kali dia memanggil namaku. Anggap saja tebusan untuknya yang tak pernah memanggilku dengan cara yang benar.

“Hermione. Aku mohon. Mendekatlah.”

Aku menarik napas dalam-dalam. Baiklah, ini kesempatan terakhir untuknya. Kalau dia sekali lagi menghina bayiku… maka sudah selesai... aku akan membunuhnya… dengan cara muggle. Lalu aku akan mencuri tongkatnya dan bertarung dengan Voldemort. Ide ini seribu kali lebih baik daripada harus menjadi partner Draco.

“Apa lagi maumu, Draco?”

Tangannya yang tidak patah menggenggam tanganku. Matanya memelas penuh dengan luka. Aku tidak pernah melihat Draco terpuruk seperti ini dan entah kenapa… aku merasa sedikit iba padanya.

“Tolong... bantu aku menutup pikiranku. Ajari aku occlumency. Kau bilang kau bisa mengajariku, bukan?”

Aku tak menyangka akan tiba saatnya Draco memohon padaku. Menyenangkan sekali. Dan ini kesempatan besar agar aku bisa mendapatkan milikku kembali.

“Tapi ada syaratnya.”

“Apa?”

“Kembalikan tongkatku.”

Dia diam sejenak tapi kemudian mengangguk sangat pelan. Baiklah… rencanaku akan semakin matang. Aku sudah mempunyai senjata sekarang. Jadi, tidak perlu takut lagi dengan Voldemort. Aku bisa melindungi diriku lagi dan tentu saja anakku.

Aku mengelus perutku mengucapkan rasa terima kasihku pada cabang bayi yang berenang dalam rahimku. Tanpa ada dia mungkin semuanya tidak akan selancar ini. Dia adalah keajaiban. Dan aku tidak akan pernah bosan untuk mengatakan kalau aku akan melindungi dia sekuat tenaga. Dia dan aku akan selamat.

***
A/N :

Voldemort ternyata punya pekerjaan sampingan jadi dokter kandungan… haha… ini Apa-apan sih imajinasi gue 😂😂😂... sumpah ceritanya makin gaje ya? 😒😒

Eh mah tanya serius nih… alur cerita ini kelamaan atau kecepatan sih menurut kalian?
Tolong ya kasih tahu… aku bener bener butuh bantuan kalian.
Makasih.

Btw, rencananya aku mau update dua hari sekali pas udah Chapter 10. Tapi mungkin rencana doang deh… tergantung mood… Haha
Btw, makasih yang udah setia  baca…  😙😘😚

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro