#22 : Gaung Kematian
Have you heard the news that you're dead?
No one ever had much nice to say
I think they never liked you anyway
(Dead by My Chemical Romance)
Note :
Maaf ya updatenya lama banget yang penting utangku buat cerita ini lunas!!!!! Sorry kalau kualitas tulisannya turun.
Oh iya... btw doain aku ya bentar lagi aku sidang skripsi. Semoga aku sidangnya bakal lancar dan nilainya bagus. Amin.
****
Dua orang bodoh pengikutnya menyatakan bahwa dengan mata kepala mereka, mereka melihat Draco Malfoy mati berlumuran darah. Dia menyelidiki penampilan Blaise dan Theo yang memang berlumuran darah. Sayangnya, Voldemort tidak percaya jika tidak melihat sendiri bagaimana kondisi kematian Draco. Dia membedah isi pikiran dua pengikutnya, tapi apa yang dia dapat? Mereka menjaga pikiran mereka untuk tertutup. Mencurigakan.
"Apa yang kalian sembunyikan?"
"Tidak ada, My Lord."
"Brengsek. Katakan apa yang kalian sembunyikan!" Mata Voldemort memerah karena amarah yang memuncak.
"Tidak ada, My Lord."
Hukuman untuk ketidakjujuran adalah kematian. Tapi untuk kali ini dia ingin membuat dua orang bodohnya itu tersiksa dulu sebelum mati. Dia pun merapalkan mantera yang membuat seluruh ruangan di tempat itu terbakar dengan begitu cepat. Mati terbakar adalah hal yang pantas untuk mereka.
Voldemort membuat mereka tidak bisa bergerak dengan posisinya agar mereka tidak bisa menyelamatkan diri dari ucapan hadiah dari Voldemort. Mereka harus berterima kasih karena Voldemort mengirim mereka ke neraka dengan api yang bahkan lebih panas dari api neraka. Mereka layak mendapatkan hal itu.
Segera setelah membereskan dua orang itu, Voldemort ber-apparate menuju tempat persembunyian Hermione.
Tempat itu amat menjijikkan. Voldemort terus melangkah hingga samar dia mendengar suara sedu sedan dari seorang wanita yang terus mengulang kata-kata yang sama, "Draco, jangan tinggalkan aku."
Ternyata ucapan dua orang bodohnya tepat. Draco Malfoy telah mati bahkan di tangan isterinya sendiri. Ironis.
"Well, aku benar-benar datang di waktu yang tepat," Voldemort berkata dengan sangat santai, "Suamimu mati, eh? Oleh tanganmu sendiri?" lanjutnya dengan nada merendahkan.
Tidak bisa dipercaya, manusia kelas rendahan seperti mudblood ini bisa-bisanya membunuh keturunan darah murni. Memang Draco bodoh sekali, tunduk oleh cinta hanya untuk mati di tangan wanita. Cinta, cuih, tidak ada kata itu secara nyata di dunia ini.
"Mau apa kau kesini?"
Pertanyaan retoris, apa wanita itu menjadi bodoh setelah membunuh suaminya sendiri? Dia menanyakan apa yang Voldemort inginkan? Baiklah, kalau itu yang dia inginkan, Voldemort akan menjawab, "Membunuhmu tentu saja."
"Kau tidak akan bisa membunuhku dan bayiku!"
"Oh ya? Omong-omong bagaimana caramu membunuh idiot itu?"
"Aku tidak membunuh suamiku. Aku menyelamatkan dia!" Darah lumpur membela dirinya. Menyedihkan. Bahkan dia tidak mau mengakui kematian suaminya adalah ulah dari tangannya.
Voldemort tidak ingin mengulur waktu lagi, dia harus sesegera mungkin membunuh wanita di depannya itu. Jika Hermione mati otomatis bayi yang ada di perut wanita itu akan mati juga. Tidak akan ada suara tangisan bayi yang menyakitkan telinganya. Mereka akan mati dalam sekejap, lalu ramalan konyol itu tidak akan menjadi kenyataan. Dia tidak akan pernah kalah dengan seorang bayi lagi.
Ya... membunuh Hermione dan bayinya sekarang adalah pilihan yang paling baik. Tinggal ayunkan tongkat sambil merapalkan Avada Kedavra, semuanya akan berakhir indah.
Tapi tunggu dulu... tidakkah alasan yang tadi dia gunakan terdengar seperti alasan seorang pengecut? Seolah dia takut kembali bertarung lagi dengan seorang anak bayi. Benar-benar seperti seorang pengecut! Voldemort tidak akan menjalankan rencana pertama. Tidak akan pernah. Dia mau melihat bayi itu lalu membunuh bayi itu dengan tangannya sendiri.
Dia akan membuat Hermione kesakitan dan memaksa melahirkan dengan kondisi yang paling menyedihkan. Lalu setelah bayi lahir, mantera Avada akan menjadi hadiah kelahiran anak itu di bumi. Anak itu akan lahir untuk menyambut mati.
Voldemort menaikkan tongkatnya dan membuat Hermione melayang sekitar dua meter di udara. "Apa yang mau kau lakukan?!" teriakan ketakutan seseorang adalah candu bagi Voldemort. Lihatlah, wanita itu terus memegang perutnya begitu kencang.
Voldemort menggerakkan tongkatnya sedikit, membuat posisi Hermione menjadi menghadap persis ke arah lantai di atas udara. Jadi jika wanita itu jatuh maka bagian depan tubuhnya duluan yang akan mendapat kesakitan. Lebih bagus jika kandungan yang ada di perut Hermione terluka. Bayi itu akan keluar lebih cepat, dia tidak akan membuang waktunya terlalu lama.
Dengan sekali jentik beriringan dengan teriakan yang memekakkan telinga, wanita itu pun jatuh dengan perut yang menyium lantai lebih dulu. Wanita itu merintih kesakitan. Voldemort tersenyum puas setelah melihat akibat dari perbuatan isengnya, ada darah yang mengalir di paha wanita itu. Wanita itu pendarahan, bayi itu sebentar lagi akan lahir.
Voldemort melihat bagaimana Hermione mengatur napas dengan tangisan yang turun begitu deras di pipinya.
"Kau akan melahirkan?"
Hermione menggeleng dengan keras, "Aku mohon. Pergilah. Aku mohon, jangan sakiti anakku. Aku mohon. Aku mohon."
Kesalahan yang sangat fatal. Seorang darah lumpur memohon padanya?! Baiklah, ia akan memberi wanita itu hadiah karena keberaniannya.
"Cruciatus!"
Hukuman yang pantas. Darah lumpur itu merintih begitu kencang, mungkin teriakan terkencang yang pernah Voldemort dengar seumur hidupnya. Indah sekali teriakan itu, telinganya terpuaskan. Jeritan kesakitan seseorang adalah lagu penenang untuk telinganya.
"Ayo, lahirkan bayimu! Aku akan membantumu untuk melahirkan, mudblood!" serunya tajam semakin menambah kekuatan pada mantra Crucionya.
"Ampuni aku. Ampuni anakku. Jangan sakiti dia. Tolong. Aku janji akan melakukan apapun. Aku janji."
Sepertinya darah lumpur itu sudah menyerah. Si darah kotor benar-benar tunduk padanya.
"Kau akan melakukan apapun, huh?"
"Iya! Apapun. Apapun. Asal jangan sakiti anakku nanti."
"Well, tenang saja." Voldemort tertawa hingga menampilkan deretan giginya, "Aku tidak akan menyakiti anakmu nanti, aku justru akan membuatnya langsung mati dalam sekejap."
Mendukung pernyataan itu, Voldemort menginjak perut besar Hermione. Wanita itu merintih, semakin kencang teriaknnnya, Voldemort semakin menekan kakinya di perut itu. Bahkan tidak hanya satu kaki, dia menaikkan dua kakinya di perut itu seolah perut bulat Hermione adalah tempat latihan untuk menyeimbangkan tubuhnya.
Di tengah teriakan Hermione, telinga tajamnya menangkap sumber suara lain. Ada derap langkah kaki di belakangnya. Voldemort tahu siapa ini. Sial, seharusnya dia membunuh mereka tadi!
Voldemort berbalik, "Avada Kedavra!" Langkah dua pria bodoh yang tengah mengacungkan tongkat sihirnya ke arahnya terhenti. Beres, orang bodoh yang memenuhi dunia ini memang harus lenyap.
Dia hanya ingin dunia ini berjalan sesuai arahannya. Tidak ada darah kotor, tidak ada makhluk tak berguna, tidak ada para idiot. Semua harus sempurna karena jika dialah yang akan memimpin dunia ini nantinya. Kesempurnaan dia harus berjalan sejajar dengan kesempurnaan dunia yang sesuai dengan kesempurnaan pikirannya.
****
Draco mendengar semuanya. Dia mendengar teriakan Hermione, dia mendengar tangisan Hermione, dia mendengar ketidakberdayaan Hermione dan parahnya dia tidak bisa berbuat apapun. Tubuhnya dibekukan, bahkan untuk membuka kelopak mata saja ia kesulitan. Dia tidak berdaya di saat Hermione dan anaknya ada di ambang kematian.
Apa jadinya kalau rencana Hermione tidak berjalan sesuai kehendak? Bagaimana kalau Blaise dan Theo mati hingga tidak bisa menyelamatkan mereka. Bagaimana jika Hermione dan anaknya tidak bisa selamat?
Dia sungguh tidak berguna. Dia manusia sampah. Istrinya tengah berjuang mempertahankan buah hati mereka dari serangan monster, tapi disinilah dia berada. Hanya bisa mendengar tanpa berbuat apapun. Rasanya ia ingin membalikkan waktu, dia ingin menolak rencana Hermione. Biar Voldemort menjadi urusannya, Hermione bisa melarikan diri dengan bayinya. Dia akan berjuang untuk Hermione, sebisa mungkin dia tidak akan mati. Jika takdir menginginkan dia untuk mati pun setidaknya dia telah berjuang. Bukan menjadi pecundang seperti ini.
"ARRRGHHHHHHH!!!!!" teriakan Hermione semakin kencang setiap detik. Dia tidak tahu apa yang dilakukan setan ular itu pada istrinya.
Draco mengucapkan doa tanpa henti dalam hatinya. Dia memohon agar Hermione dan anaknya bisa selamat. Terus kalimat itu yang bergaung, pikirannya buntu, hatinya sakit, ia kehilangan akal. Dia ingin bebas dari mantra ini. Dia ingin menyelamatkan keluarganya.
Mungkin karena kesungguhan, doa Draco Malfoy terjawab. Badannya tidak lagi membeku, Draco membuka mata dan melihat dua temannya berjalan mendekat sambil mengacungkan tongkat ke arah Voldemort.
Sayang tidak sampai satu detik, mereka berdua mati di tangan Voldemort. Jantung Draco berdegup begitu kencang, untunglah Voldemort belum menyadari keberadaannya.
Dengan sangat perlahan Draco mengedarkan tangannya mencari tongkat sihir yang ditaruh di sebelah tubuhnya. Begitu tongkat ada dalam genggaman, Draco langsung merapalkan kutukan yang paling ampuh untuk melenyapkan manusia berhati setan itu. Dia akan membunuh Voldemort untuk membalas semua orang tak bersalah yang telah merenggut nyawa di tangan setan itu.
Draco ternyata kalah cepat, Voldemort menyadari perbuatannya dan kilauan dari tongkat mereka pun terpancar untuk melihat siapa di antara mereka yang mempunyai kekuatan paling kuat.
Draco tak pernah merasa sekuat ini, kemarahan dia membuat dia seperti ini apalagi di depannya tengah meringkuk orang yang paling dia cintai sedang kesakitan. Ada banyak darah di sekitar Hermione.
"Kau pasti bisa, Draco! Kau pasti bisa!" Bahkan di tengah kesakitan itu, Hermione masih menyemangati dirinya. Kebaikan apa yang dia perbuat hingga membuat dia dianugerahi wanita sekuat dan sebaik Hermione? Dia harus berjuang untuk wanitanya. Dia harus menang. Keluarga mereka harus menjadi kesatuan utuh.
Peluh membanjiri tubuhnya, Draco sadar dia makin melemah. Dia merasa sangat kuat tapi di depannya adalah monster yang mempunyai kekuatan yang tak sebanding dengan dirinya.
Tidak. Tidak. Ayo, Draco! Jangan sampai kau kalah! Jangan sampai kalah!
Draco memantrai dirinya dengan pikiran positif. Dia harus punya keyakinan untuk menang agar kemenangan sudi menghampiri dirinya.
Entah sudah berapa lama dia berjuang, yang jelas dia tetap berusaha. Hingga suara tangisan indah bayi mengalun lembut di telinganya. Bersamaan baik Draco dan Voldemort teralihkan hingga mantera yang keluar dari tongkat mereka terhenti.
"Dia lahir." Draco merasa pipinya basah oleh air mata. Kebahagiaan dia bertambah, setelah memiliki Hermione, kini dia mempunyai seorang anak. Hidup dia telah lengkap.
"Well, jadi dia sudah lahir? Baiklah waktunya untuk dia mati!" Voldemort mengangkat tongkatnya.
Draco tak terima, dengan kecepatan yang sama dengan Voldemort dia kembali mengarahkan mantera kematian ke pria itu. "Jangan sekali kau sentuh bayiku, bajingan ular bangsat!"
Sayang mantera Draco berhasil dipatahkan oleh Voldemort. Kini tongkat mereka kembali tersambung untuk pertarungan. "Ah sebelum membunuh bayi itu, sepertinya aku harus membunuh ayahnya dulu!"
"Kau tidak akan pernah bisa membunuh anakku karena kaulah yang akan mati!"
"Oh? Benarkah?"
"Ya... percayalah kau yang akan mati!" Draco merasa kekuatannya menjadi jauh lebih besar. Bahkan kilauan dari tongkat sihirnya mempunyai jarak yang lebih panjang dari kilauan tongkat sihir Voldemort ke arahnya. Ya, sebentar lagi dia akan menang.
Tiba-tiba Hermione ikut bergabung dalam pertempuran. Dari belakang Hermione menyerang Voldemort dengan mantra yang tidak begitu kuat karena tubuh Hermione pun masih lemah. Perbuatan Hermione mengalihkan perhatian Voldemort. Dengan tangan kosong Voldemort membuat bayinya dan Hermione melayang.
"Bayi ini akan jatuh! Kalian akan menyaksikan sendiri bagaimana anak kalian mati!" ujarnya. Draco langsung menghentikan pertempuran tongkatnya, untung saja dia sempat menghindar dari kutukan kematian Voldemort.
Draco berlari begitu cepat untuk menyelamatkan anaknya hingga agar dia tidak jatuh ke lantai.
Dia terlambat...
Anaknya jatuh ke lantai tapi keajaiban terjadi. Anaknya yang baru saja lahir ke dunia sudah menunjukkan tanda-tanda seorang penyihir. Bayinya mengapung satu sentimeter dari lantai.
"Brengsek!" Urat di kepala botak Voldemort menonjol jelas sekali tanda bahwa pria itu marah. "Avada Kedavra!"
Draco kira dunianya runtuh begitu kutukan itu terucap tapi sekali lagi yang terjadi di depan matanya membuat dia kehilangan kata-kata. Anaknya tiba-tiba diselubungi oleh bola pelindung. Hingga kutukan Avada dari Voldemort tidak dapat menembus ke tubuh anaknya.
Anaknya benar-benar sebuah keajaiban. Bagaimana bisa? Anaknya baru saja lahir! Bagaimana mungkin dia sudah bisa melakukan sihir seperti itu?! Mustahil. Dia sekarang sudah seperti patung menyaksikan peristiwa yang tidak masuk akal ini.
"Brengsek!"
Anaknya yang sedaritadi menangis kini terdiam. Sekali lagi Voldemort melayangkan kutukan yang sama ke tubuh anaknya. Kali ini, justru tongkat sihir Voldemort patah menjadi dua.
Draco tidak salah dengar, bukan?! Anaknya tertawa? Demi Merlin, anaknya tertawa?! Anaknya baru lahir sudah bisa tertawa!
"Brengsek!" umpat Voldemort untuk kesekian kalinya. Tangan Draco masuk menembus pertahanan Draco hingga balon itu pun pecah, lalu Voldemort pun mengangkat anaknya. Sentuhan Voldemort ke kulit anaknya menimbulkan reaksi yang sangat parah. Tangan Voldemort tiba-tiba terbakar hingga langsung menjadi abu.
"Apa yang terjadi?" Voldemort melepaskan bayinya tapi api yang menjalar ke tubuhnya tidak kunjung surut.
Draco berjalan mendekat ke arah anaknya. Dia ingin memeluk malaikat keajaibannya. "Scorpius, daddy's here."
Hangat. Tubuh anaknya sangat hangat. Anaknya, jagoannya, pahlawannya adalah keajaiban yang bisa meruntuhkan seorang iblis kegelapan.
Voldemort kini sudah tiada. Bahkan abunya langsung lenyap. Dia sudah musnah. Keluarganya utuh sempurna.
Dengan menggendong anaknya, Draco menghampiri Hermione yang tengah tidak berdaya. Mata Hermione terpejam begitu rapat.
"Tidak, Mione. Bangunlah! Anak kita sudah menyelamatkan kita! Kau harus melihat Scorpius. Mione bangunlah."
Bolehkah dia sekarah? Dalam hidup ini dia mau Hermione dan Scorpius. Dia tidak bisa hidup jika salah satu dari mereka tidak ada. Dia memang egois.
"Hermione. Aku mohon. Aku mencintaimu. Scorpius ingin bertemu denganmu. Kau tidak tdak mau melihat jagoan kita?"
Draco tidak tahu cara untuk mengobati Hermione, dia pun memanggil bantuan dari perawat di St. Mungo.
"Bertahunlah sayang untuk kita." Draco menggenggam tangannya begitu erat di tangan Hermione.
Hermione harus selamat, ralat, Hermione pasti akan selamat.
****
Jangan protes karena kegajean ini please. 🙈🙈🙈🙈.
Masih ada epilog
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro