Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#21. Harapan Terakhir

Maaf banget banget banget Update nya lama. Aku benar-benar kehilangan mood buat nulis, dan diperparah karena aku jarang baca akhir-akhir ini. Jadi mohon maaf kalau tulisan aku jadi aneh.

Sekali maaf banget banget banget karna keterlambatan yang berbulan-bulan ini.
Entah ini ada yang baca atau nggak, yang jelas aku lega akhirnya bisa nulis lagi ^^

고마워 여러분 ><
Makasih semuanya.

***

So I lay my head back down
And I lift my hands and pray
To be only yours
I pray to be only yours
I know now you're my only hope

(Only Hope by Mandy Moore)

Aku tak tahu apakah aku masih bisa menjalani hidupku ketika salah satu orang yang sudah mengisi jiwaku menghilang dari dunia. Sisi egoisku mengatakan untuk menyusul Draco. Mati adalah pilihan tepat untuk mengakhiri kesialan duniawiku ini. Tapi aku tahu kalau aku memilih untuk mati, aku bersikap tak adil pada Scorpius. Dia berhak untuk hidup. Ah, tapi aku juga tak tega membiarkan Scorpius hidup di tengah kegelapan dunia seperti ini. Aku mau yang terbaik untuk anakku, tapi dua pilihan yang aku punya sama-sama buruk. Aku memang ibu yang payah, bisa-bisanya kesialanku menimpa anakku juga.

Keputusan belum aku pilih. Aku masih merenung sambil memegang tangan dingin Draco. Aku masih menyangkal kalau Draco sudah tidak ada, aku masih punya kepercayaan bahwa Draco hanya tertidur. Ya, tak selamanya orang pintar itu waras. Aku bahkan tak malu mengakui kalau aku ini gila. Jika gila bisa membuat Draco tetap hidup-meski dalam pikiranku saja, aku lebih memilih hal itu.

"Draco, kenapa kau tak mau bangun?" tanyaku lagi yang mendapat keheningan seperti sebelumnya.

Aku menghapus cepat air mata yang turun begitu deras di pipiku. "Aku mohon bangun, Draco. Aku mohon bangun."

Dulu aku adalah pengagung keheningan. Aku selalu suka suasana yang tenang tanpa suara sedikit pun karena itu membuat otakku bisa lebih efektif menampung jutaan pengetahuan baru. Tapi kali ini aku benci suasana sepi... aku benci hanya aku yang berbicara sendiri.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?"

Aku makin menenggelamkan wajahku pada tangan dingin Draco. Lagi-lagi tangisanku semakin keras. Aku butuh bantuan. Untuk Draco... atau untuk lebih realistiknya untuk diriku juga.

"Draco. Tolong ... Jang-jangan ... Tinggalkan aku."

Aku takut, Draco. Aku takut hidup di dunia yang penuh dengan polusi kejahatan ini seorang diri. Aku tak yakin bisa bertahan Draco. Apa yang harus aku lakukan?

Tanpa kuduga, dua orang teman Draco masuk. Baik Blaise dan Theo sama-sama terkejut melihat kekacauan yang aku perbuat. Pemandangan ini pastilah hanya akan menimbulkan satu hal di benak siapa saja yang melihat, bahwa aku membunuh Draco. Apalagi di situasi ini aku memegang tongkat sihir yang berlumuran darah.

Jadi, wajar saja dua orang teman Draco ini marah. Mereka punya alasan untuk marah dan jujur saja aku bersyukur mereka marah bukannya senang melihat kondisi Draco.

Mereka berada di sisi Voldemort saat ini, tapi lihatlah mereka. Mereka malah murka dan dendam kepadaku karena membuat Draco menjadi tak berdaya seperti ini. Hati mereka masih tetap untuk Draco, dan itu sudah cukup bagiku untuk memohon bantuan mereka.

Bagi orang yang memuja kemandirian sepertiku, meminta bantuan orang lain adalah hal yang tabu. Aku selalu yakin dengan kehebatan diriku dan memandang sebelah mata kemampuan orang lain, sehingga percuma untuk meminta bantuan orang lain karena aku tak yakin mereka mempunyai kemampuan yang setara denganku. Itu dulu... dulu sekali.

Sekarang aku sadar, hidup di dunia ini tidak bisa hanya berjalan dengan kaki sendiri. Aku butuh bantuan orang lain. Aku butuh bantuan Blaise dan Theo... mereka lebih menguasai ilmu hitam, mereka adalah pengikut Voldemort. Aku ingin mereka berbuat sesuatu untuk Draco. Mereka lebih paham daripadaku.

Sayangnya, mereka tak membiarkanku untuk bicara. Amarah sudah memakan habis kendali diri mereka, mereka melampiaskan semuanya padaku. Cruciatus, segala tendangan, segala tamparan, segala makian... aku menerima itu semua.

Aku kesakitan baik secara mental ataupun fisik. Aku tak punya tenaga untuk melawan mereka, tapi aku masih punya pikiran waras untuk mencari posisi aman agar kandunganku tak tersentuh. Aku meringkuk sambil memeluk erat perutku di tengah sel-sel tubuhku yang berteriak kesakitan akibat kutukan Cruciatus.

Sialnya, entah kaki siapa itu, berhasil menginjak persis di perutku. Aku merintih kesakitan. Air mataku kembali mengalir, tapi bukannya permohonan ampun yang keluar dari mulutku, aku malah mengucapkan nama Draco dengan lemah. Begitu mereka selesai dengan perbuatan mereka, aku langsung menggeser badanku yang sudah sangat remuk ini untuk mendekat ke arah Draco.

Draco masih tetap tenang. Dia masih belum bangun juga. Kekacauan ini belum berhasil membangunkan dia. Teriakan kesakitanku belum berhasil membuatnya terbangun. Tapi aku masih tetap punya harapan gila kalau Draco pasti akan bangun.

"Draco," ujarku dengan suara yang hampir habis. Aku akhirnya berhasil mendekat ke arahnya dan menggenggam tangan Draco yang sangat dingin. "Bangun Draco. Aku mohon." pintaku lagi persis di telinga Draco.

Sekali lagi Draco tetap bergeming. Draco masih terdiam dengan tubuhnya yang kaku dan dingin.

"Sakit Draco. Sakit sekali. Aku kesakitan Draco. Tolong aku."

Keajaiban pasti akan datang jika kau percaya keajaiban itu ada. Aku memegang prinsip itu sedari awal dan apa yang aku dapat? Aku berhasil. Draco secara ajaib kembali bernapas.

"Hermione, apa-" Aku tak sempat menyelesaikan ucapannya yang begitu pelan karena saat ini aku langsung membekap bibirnya dengan bibirku. Aku merindukan Draco. Aku merasa jiwaku kembali hidup. Aku bahkan tak merasakan sakit lagi di badanku. Benar memang, kebahagiaan bisa membuatku merasa jauh lebih sehat dan bugar.

"Aku merindukanmu. Jangan pergi lagi. Aku takut sekali." bisikku tersendat oleh air mataku.

"Sshhh... apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?"

Draco mengangkat tubuh lemahku ke atas sofa. Dia lalu menghentikan beberapa titik darah yang mengalir di sekitaran wajahku dan membersihkan beberapa memar yang ada di tubuhku. Berkali-kali dia bertanya siapa yang melakukan hal tersebut tapi aku hanya bisa diam. Aku terlalu bahagia melihat Draco kembali ke sisiku hingga rasanya tubuhku sudah membeku.

"Bisa kau katakan apa yang terjadi? Kenapa kau seperti ini? Siapa yang melakukannya? Tolong jawablah Hermione."

Tidak ada gunanya untuk berbohong. Aku tak mau menjadi sosok yang takut akan kenyataan. Apalagi saat ini aku sedang ada di posisi sangat lemah, aku butuh bantuan.

"Blaise dan Theo ada disini."

"Mana mereka? Apa mereka yang membuatmu seperti ini?"

Aku mengangguk. Draco langsung bangkit terduduk dengan pancaran mata yang sangat gelap. Begitu ia hendak berdiri, aku langsung menahan lengannya. Aku memberi isyarat dengan menggelengkan kepalaku. Membalas mereka dengan otot tidak akan menyelesaikan masalah, untung saja saat ini walaupun tubuhku lemah, otakku masih tetap berkerja bahkan jauh lebih cemerlang dari biasanya.

Ya, aku sudah mempunyai rencana. Aku punya strategi untuk memenangkan pertempuran ini. Aku punya cara agar Voldemort bisa dikalahkan dan anakku bisa selamat.

"Draco, apa kondisi tubuhmu baik-baik saja?" tanyaku memastikan. Strategiku harus diimbangi juga dengan kondisi tubuh yang prima.

"Sangat baik. Aku merasa lebih segar dari biasanya."

Aku yakin kondisi Draco itu dipengaruhi oleh kadar darah kotor yang tadi sudah keluar dari tubuhnya. Bagus sekali jika Draco sudah sembuh total. Mantra yang aku gunakan tidak salah. Draco-ku selamat. Sekarang aku hanya harus menyelamatkan Scorpius. Tidak, aku dan Draco akan menyelamatkan nyawa Scorpius, anak kita.

Blaise dan Theo yang tadi sempat hilang dari ruang tamu kembali datang. Wajah mereka memutih, badan mereka gemetar saat tahu Draco yang tadi mereka lihat membujur kaku tak berdaya kini telah berdiri tegak dan arogan. Secara otomatis mereka langsung berlutut di hadapan Draco, meminta sebuah pengampunan.

Draco hendak memutar tongkat sihirnya yang aku yakini pasti akan mengeluarkan sihir hitam yang sangat gelap, tapi itu tidak boleh terjadi. Aku pun menahan Draco sekali lagi.

"Hermione, mereka sudah berbuat seperti ini, aku tak bisa hanya diam. Aku-"

"Kita butuh mereka, Draco."

"Untuk apa? Mereka adalah pengkhianat!"

"Mereka setia padamu. Mereka memilih untuk setia berada di sisimu."

Draco tertawa mencemooh, "Setia? Mereka bergabung dengan setan terkutuk itu. Mereka bahkan berusaha untuk membunuhmu, Hermione. Lihat badanmu! Tolong, jangan bersikap seperti malaikat untuk iblis hina seperti mereka. Kau terlalu suci untuk itu, Hermione."

"Aku punya rencana dan aku butuh mereka," kataku dengan tenang.

"Biarkan aku saja yang menjalankan rencanamu. Aku bisa sendiri tanpa mereka. Mereka tak bisa dipercaya, Hermione."

"Kau mau melihat Scorpius selamat atau tidak? Percayalah padaku sekali lagi. Ini bukan hanya tentang kau, ini tentang kita. Aku, kau, dan Scorpius. Jadi, tolonglah turunkan tongkatmu."

Dengan rahang yang mengeras Draco menuruti perintahku. Aku memberi Draco senyuman penuh kebanggaan. "Kalian harus berterima kasih pada Hermione. Tapi lebih dulu kalian harus minta maaf pada istriku!" katanya pada dua sahabat di depannya.

Blaise dan Theo tidak mengikuti perintah Draco dan memilih untuk bungkam sambil tetap mempertahankan kepala yang menunduk begitu dalam. Aku yakin merasa pasti merasa bersalah tapi sifat mereka sama seperti Draco, keras kepala, dan malu untuk memperlihatkan kelemahan. Maaf bagi kaum Slytherin pasti merujuk pada kata lemah. Sebenarnya, aku tidak menantikan empat huruf itu keluar dari mulut mereka. Aku memerlukan mereka untuk hal lain.

"Kalian berpihak pada siapa? Draco atau dia?" Aku sengaja tidak mengatakan langsung nama Voldemort bukan karena takut tapi aku menjaga diri. Aku tidak mau dia menang karena dia sudah menguping rencanaku dengan anak buahnya-itupun kalau rencana ini berhasil.

Mereka terdiam cukup lama, saling pandang sesaat lalu kembali menunduk. Draco membentak mereka lagi dan berkata menyesal karena memilih berteman dengan orang yang justru senang melihat temannya menderita, aku membiarkan saja Draco mengatakan segala unek-uneknya. Toh, itu aku percaya itu akan membawa kejernihan pada otak kedua temannya yang sudah sangat kotor oleh kegelapan.

Kalimat provokasi Draco pada akhirnya membawa dampak, Theo mengangkat wajahnya tinggi, penuh kepercayaan diri, "Aku ada di pihakmu, Draco."

Aku tersenyum, tidak perlu Legilimes atau ramuan Veritaserum untuk tahu bahwa apa Theo mengatakan kejujuran atau tidak karena ekspresi mata yang penuh dengan penyesalan itu begitu terasa olehku.

"Aku juga." Blaise mengikuti jejak Theo.

Draco mendengus, ia tidak percaya pada mereka. Wajar Draco bertindak seperti itu, dua temannya sudah berkhianat dengan cara yang paling tidak elegan. Draco menganggap mereka teman dengan tulus tapi mereka malah menganggapnya mangsa yang siap ditumbalkan ke dewa kegelapan pujaan mereka.

"Apa tadi kalian pergi sebentar dari ruangan ini karena memanggil dia?"

Mereka berdua kembali menunduk dalam sekali.

"Jawab pertanyaan istriku, sialan!"

"Aku kira tadi Draco sudah mati-"

"Bukankah memang kematianku adalah kebahagiaan kalian?"

"Draco tolong jangan menyela, biarkan mereka berbicara. Kau hanya perlu mendengar bukan ikut berkomentar."

Draco mendesah tidak suka, aku suka sekali raut wajah Draco yang tertekuk penuh kejengkelan. Dia sangat manis jika merajuk. Oh tidak... aku harus serius saat ini, bisa-bisanya aku malah terpesona dengan sikap Draco.

"Lanjutkanlah ceritamu."

"Karena kami merasa sangat marah, kami memanggil Dark Lord dan mengatakan Draco sudah mati... oleh istrimu."

"Mati? Oleh Hermione? Dia justru menyelamatkan aku, idiot!"

"Draco. Tolong dengar dan jangan berkomentar."

"Dark Lord senang dengan kabar itu dan dia memanggil kita untuk kesana."

"Untuk apa?"

"Kami tidak tahu."

"Jangan bohong, brengsek! Katakan sejujurnya apa rencana tuan pesekmu itu?!"

"Kami benar-benar tidak tahu, Draco. Dia hanya bilang untuk kembali."

"Bullshit! Kalian pasti memiliki rencana busuk. Katakan apa rencana itu?" Draco terus mendesak tapi dua temannya itu tetap menyangkal.

Jujur, aku pun tidak sepenuhnya percaya dengan dua orang di depanku ini. Rasanya aneh sekali jika Voldemort tidak memiliki rencana baru. Mereka adalah dua orang kepercayaan Voldemort saat ini. Mereka pasti memegang kunci rencana Voldemort selanjutnya. Tidak mungkin Voldemort hanya menyuruh mereka kembali setelah memberitahu Draco terlihat tak bernyawa.

Aku bukan orang bodoh, musuh Voldemort saat ini bukanlah Draco. Dia memusuhi anakku. Dia pasti akan melakukan hal yang sama pernah dia lakukan pada Harry sewaktu bayi, berusaha melenyapkan bayiku.

"Kalian bersumpah berkata jujur?"

"Sumpah, Hermione. Kami mengatakan hal yang sebenarnya."

"Apa perlu aku masuk ke dalam pikiran mereka?"

Aku tidak mau Draco membuang tenaganya, dia baru saja sadar dari kematian sesaat. Melakukan Legilimens pasti akan menguras tenaganya. Aku ingin Draco beristirahat sejenak, ada tugas besar untuknya dan untukku nanti. Lagipula, aku tak ingin membuang waktu terlalu lama. Jadi aku memutuskan untuk mempercayai mereka.

"Kalian sungguh ada di pihak aku dan Draco, bukan?"

"Iya, Hermione." sahut mereka serempak.

"Kalau begitu bisa kalian menjalankan rencanaku?"

"Tentu! Apa rencanamu?" tanya Blaise yang seketika menatapku dengan serius.

"Aku mau kalian kembali kesana dan jangan biarkan Kau-Tahu-Siapa memasuki pikiran kalian. Kalian harus memohon pada Kau-Tahu-Siapa untuk membalas dendam atas Draco. Jangan katakan Draco masih hidup. Berakting lah seolah Draco benar-benar mati."

"Lalu?" Blaise terlihat tertarik sementara Theo agak sedikit ketakutan.

"Aku yakin dia akan datang ke tempat ini dan menyerangku seorang diri. Dan aku yakin dia akan menyerang kalian, aku mohon entah bagaimana caranya kalian tidak boleh mati. Kalian harus kembali datang dan membantu aku dan Draco menyerangnya."

"A-aku tidak yakin kami akan selamat ketika kembali ke sana." Theo akhirnya mengutarakan kepanikannya. Kecemasan Theo sama seperti apa yang aku takuti. Voldemort pasti akan membuang mereka.

"Tolong, lakukanlah semua hal ini. Aku mohon sekali. Aku butuh untuk menang. Anakku harus selamat."

"Baiklah." Theo akhirnya menatapku dengan kepercayaan diri. "Kami akan selamat dan datang kembali ke tempat ini tepat waktu."

Aku menitikkan air mata kebahagiaan, menerima bantuan dari orang lain ketika situasi sedang tak berpihak padaku adalah hal yang paling melegakan. Setidaknya, aku tidak sendirian menghadapi pertempuran nanti. Aku mempunyai orang-orang yang akan melindungi anakku. Itu sudah lebih dari cukup. Sangat teramat cukup.

Mereka lalu berdiri dan ber-disapparate, sedetik kemudian mereka menghilang dari pandanganku. Aku mohon, Tuhan... biarkan rencanaku ini berhasil.

"Kau yakin ini akan berhasil?"

"Berdoalah, Draco." Aku tak bisa meprediksi apapun. Aku hanya bisa berserah pada Tuhan, dan semoga Draco bertindak demikian, entah Tuhan mana yang akan dia puja.

Omong-omong, Draco harus berlakon juga agar rencana ini terlihat lebih nyata. "Draco?"

"Hm?"

"Pejamkan matamu."

"Petrificus Totalus!"

Seketika tubuh Draco menjadi sekaku patung lalu terhuyung ke belakang hingga akhirnya terjatuh kencang. "Maafkan aku Draco."

Ini semua adalah bagian dari rencana, aku mau ketika Voldemort datang dia percaya bahwa Draco sudah mati. Saat dia hendak menyerangku, akan aku lepas mantra ini pada Draco sehingga Draco bisa langsung membunuh Voldemort dari belakang. Rencana ini akan sangat menyenangkan jika berhasil, tapi aku takut Voldemort tidak semudah itu untuk dibodohi. Oh please Hermione, berpikirlah positif! Jangan pernah biarkan keraguan datang dan merusak segala rencana. Rencanaku pasti berhasil. Harus berhasil.

Aku menyeret Draco ke tempat semua dimana banyak kubangan darah bekas ritual yang kami lakukan. Untuk menambah efek, aku tambahkan noda-noda darah dan luka lebih banyak di tubuh Draco yang sudah aku buat polos kembali. Aku tidak menyakitinya, hanya kamuflase luka.

Sekarang tinggal akulah yang harus berakting. Aku harus bertindak seperti aku beberapa waktu yang lalu. Depresi dan ketakutan. Tak perlu waktu lama untuk menjiwai karakterku apalagi hormon kehamilan ini sangatlah membantu. Aku kembali terhisap oleh kesedihan melihat Draco terbujur kaku dengan noda darah dimana-mana.

"Well... aku benar-benar datang di waktu yang tepat." Suara itu membuat udara di sekitarku menjadi sangat dingin.

Aku menoleh dan melihat Voldemort sedang tertawa dan menampilkan deretan gigi tak terawatnya. "Suamimu mati, eh? Oleh tanganmu sendiri?" Dia tertawa kencang sekali. Ya, puaskan dirimu dengan tawa sebelum kau dimakan oleh kematian, hidung pesek!

"Mau apa kau kesini?"

Dengan entengnya dia menjawab, "Membunuhmu, tentu saja."

***
Sebenernya aku udah nulis lanjutannya (Part terakhir) udah jadi malah, tapi ilang karena belum aku save.
Tapi aku bakal usahain buat nulis lagi kok.
Aku masih nyesekㅠㅠㅠㅠㅠ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro