#20. Pembalasan
A/N :
Sekali lagi maaf kalau tulisannya mengecewakan apalagi kalau kalian punya ekspektasi lebih sama aku. Maaf ya. Hanya sebatas ini kemampuanku, harap maklum ya.
Makasih banyak udah baca cerita gak jelas ini. 😙😘😚
***
This is what you get
This is what you get
This is what you get when you mess with us
(Karma Police by Radiohead)
***
Blaise dan Theo mendapat tugas dari Dark Lord untuk terus mengunjungi The Burrow minimal satu minggu sekali.
Dia bilang kalau dia butuh mata-mata untuk mengecek keadaan di sana.
Sejauh beberapa pekan pengamatan mereka ke tempat kumuh itu, keadaan sangat baik. Draco dan Hermione selalu memamerkan kemesraan mereka, agak menjijikan melihat Draco luluh lantak oleh seorang mudblood. Bahkan mudblood itu tidak menghormati mereka sebagai teman Draco karena setiap kali mereka tiba di sana, hanya gurat dingin nan tak ramah yang mudblood itu beri. Benar-benar penyihir kelas rendahan.
Keadaan yang selalu tenang itu membuat Dark Lord terus mengurung rencananya untuk menyerang keluarga kecil Malfoy.
Blaise beranggapan kalau langkah Tuannya itu terlalu berhati-hati untuk ukuran seorang yang menakutkan seperti beliau. Kenapa mereka harus menunggu serangan begitu lama? Demi Merlin, bahkan sejak awal pun mereka bisa menyerang mudblood dan membuat situasi tidak sekacau saat ini.
Namun kali ini tuannya punya rencana yang berbeda. Dia mau melihat keadaan untuk menyerang. Tidak peduli lagi apakah keadaan di sana masih sama tentramnya seperti sebelumnya atau tidak. Tuannya sudah bilang bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk menyerang. Blaise dan Theo dulu yang harus pergi ke sana, mengancam mereka berdua, dan sedikit membuat mereka kelelahan sebelum akhirnya Dark Lord hadir untuk langsung melenyapkan keluarga itu.
"Aku punya perasaan tidak enak hari ini." Theo mengeluh saat mereka hendak ber-apparate menuju kediaman baru Malfoy dan mudblood.
"Ya, sudah pasti. Sebentar lagi, kita akan melihat kawan kita dibunuh."
"Blaise, apa menurutmu Draco pantas mati?"
Blaise termenung dan kilasan-kilasan kenangan yang dia lalui bersama Draco sejak dia masih begitu kecil menyembur keluar dan menghangatkan hatinya yang dingin. Draco sudah menjadi teman yang begitu baik untuknya. Di luar semua sikap menyebalkannya, dia selalu membela hak-hak Blaise dan Theo. Dia sangat loyal pada sahabatnya.
Bahkan setelah dia dan Theo memperlakukannya seperti sampah dan membuatnya merintih kesakitan baik lewat fisik dan psikis, Draco masih tetap mempercayai mereka. Padahal saat itu mereka memang tengah berbohong. Draco bahkan tidak memasuki pikiran mereka untuk tahu apa benar mereka jujur. Draco percaya pada mereka, sepenuhnya. Draco masih terus menganggap mereka sebagai sahabat.
"Shit!" Blaise mengumpat pada dirinya yang begitu menjijikan ini. "Draco tidak seharusnya mati."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?"
"Menyelamatkannya, tentu saja."
"Tapi kita akan melawan Dark Lord. Kita akan mati kalau ada di sisi Draco."
Blaise menepuk pundak Theo kencang. "Aku lebih memilih mati menjadi sahabat loyal Draco daripada mati menjadi pengikut setia Voldemort."
Ini pertama kalinya dia memanggil nama tuannya, awalnya dia kaget karena bisa seberani itu tapi ada sisi lain di dalam dirinya yang merasakan sebuah kebebasan.
"Itu pilihanmu, Nott. Aku tidak memaksakan kehendakmu di sisi mana kau akan berdiri."
"Apa kau gila?"
"Ya, bisa dibilang begitu."
"Bukan, maksudku apa kau gila? Tentu saja aku juga akan memilih untuk ada di sisi Draco daripada si keji itu."
"Baiklah. Kita sudah sepakat."
"Ya, jadi mari kita pergi ke The Burrow dan membicarakan pada Draco untuk mempersiapkan diri karena akan menerima serangan hebat."
"Ya."
Sampailah mereka di halaman luas The Burrow. Angin saat itu bertiup sangat kencang, membuat sekujur tubuh mereka yang dibalut jubah tipis meremang.
Samar-samar mereka mendengar suara jeritan wanita dari dalam rumah bobrok di depan mereka.
"Kau mendengar suara itu?" tanya Blaise untuk mengkonfirmasi pendengarannya.
"Ya, aku yakin itu suara mudblood."
"Kenapa dia histeris seperti itu?"
Mereka tahu, mereka tidak akan menemukan jawabannya sebelum langsung melihat kondisi keadaan yang sebenarnya. Baik Theo dan Blaise merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Mereka tidak lagi perlu mengetuk pintu karena pintu anehnya terbuka lebar dan mempersilahkan mereka untuk melangkah masuk. Pengamanan di rumah ini sangat rapuh, ini membuat bahaya bisa masuk menyerang kapan saja.
"Draco. Tolong... Jang... Jangan...Tinggalkan... Aku." Tangis mudblood itu menembus indera pendengaran mereka cukup kencang.
Theo dan Blaise saling tatap kebingungan. Suara tangis mudblood, mudblood yang berseru agar Draco tidak pergi meninggalkannya, mungkinkah ini pertanda bahwa ... sedetik kemudian mereka berhasil memecahkan teka-teki itu.
Tepat di depan mereka ada pemandangan yang sangat mengerikan. Draco tertidur pulas di kasur tanpa napas, dengan noda darah dimana-mana, dan mudblood sialan ada di sisi Draco terus mengemis pada takdir untuk mengembalikan kehidupan Draco.
"Apa yang sudah kau lakukan?" Blaise tak bisa menahan amarah yang meluap di nada suaranya.
Mudblood itu pun menoleh ke arah mereka tengah berada. Dengan tatapan nanar dan langkah tergesa-gesa, Darah Lumpur mendekati mereka.
Mereka agak terkejut saat mendapati darah lumpur berlutut persis di depan mereka. "Aku mohon ... kembalikan Draco. Aku mohon ... selamatkan dia."
Blaise tidak bisa lagi menekan amarahnya, dia murka. Dia naik darah, sahabatnya dibunuh oleh mudblood tak tahu diuntung.
"Kau sudah membunuh Draco!" geramnya sambil menendang tubuh wanita tak berguna itu dari kakinya. Dia tak peduli dengan kehamilan si mudblood, yang jelas amarah sudah menguasai hatinya. Yang perlu dia lakukan saat ini hanyalah menuntut balas dendam yang setimpal.
"Aku mohon ... selamatkan Draco."
"Kau jalang sialan!" Sekarang waktunya Theo tampil. Dia mengarahkan tongkat sihirnya dan langsung memberi kutukan balasan untuk istri tak berguna sahabatnya ini, "Crucio!"
Darah lumpur bergeliat di lantai dingin. Merintih kesakitan sambil melindungi perutnya. Kadang pula, jalang itu tetap mengemis meminta agar Draco dikembalikan kepadanya.
"Kau apakan Draco, jalang sialan?!" tanya Theo tapi hanya dihadiahi rengek kesakitan dari sang sumber.
"Kau sudah membunuh Draco! Dan aku akan menuntut balas, mudblood! Ingat baik-baik hal itu."
Salah satu mantra paling sadis yang pernah dibuat pun tercabut dari mulut Theo. Blaise lalu melangkah mendekat, dan segera berlutut agar bisa melihat wajah penuh air mata darah lumpur ini.
Dia menancapkan kuku tajamnya ke pipi wanita, "Kau lancang sekali, kau pikir kau siapa, hah? Busuk sekali niatmu, kau pura-pura baik pada Draco dan membuat Draco jatuh cinta pada sikap hinamu lalu kau bunuh dia, begitu? Hm?"
Sentuhan Blaise di wajah mudblood terlepas, bisa dilihat dia membuat hasil karya yang menganggumkan di wajah jelek darah lumpur jalang itu. Ada noda darah di bekas tancapan kukunya tadi. Noda darah yang masih jauh lebih lebih sedikit daripada apa yang dibuat oleh wanita itu pada sahabatnya. Hukuman ini tidak setimpal. Ini tidak adil. Dia harus menuntut balas.
Begitu dia bangkit berdiri dan menelaah tubuh rapuh di bawahnya, lalu dia tersenyum miring. Satu tendangan langsung melayang tepat di atas perut wanita itu.
Rintihan dan lolongan untuk mengemis iba terdengar.
Satu tendangan lagi dia hadiahkan pada perut itu. Itu hukuman mutlak dari seorang sahabat yang tidak terima sahabatnya dibunuh oleh oleh darah lumpur hina dengan cara rendahan.
"Blaise, tanda kegelapan!" Theo memperingati persis di saat lengan dia merasakan sengatan yang begitu panas. Panggilan dari Dark Lord.
Mereka belum puas menghukum mudblood atas perbuatan brengseknya itu, tapi panggilan Dark Lord tidak bisa dianggap sepele. Mereka tahu, panggilan ini menandakan Tuannya tidak sedang dalam kondisi hati yang baik. Tuannya murka.
Kalau mungkin Draco masih hidup, mereka pasti akan menolak untuk datang ke Dark Lord dan membuat rencana serangan ke manusia penuh kegelapan itu, tapi situasinya sekarang berubah. Mereka butuh Tuannya bukan hanya untuk sekadar memperpanjang umur mereka, tapi juga untuk menuntut agar Tuannya bersedia menyiksa mudblood lebih sadis dari korban - korban biasanya. Mereka tahu Dark Lord begitu terobsesi untuk membunuh mudblood itu, dan mereka sepakat sekaranglah waktu yang tepat untuk merealisasikan hal itu.
Mudblood bernama Hermione itu harus mati.
***
Voldemort muak dengan keputusan dangkal yang dibuat oleh para pengikutnya. Pertama Draco, lalu sekarang Zabini dan Nott . Mereka tolol, ada alasannya kenapa pengikutnya tak boleh memanggil nama indahnya. Voldemort adalah semacam kode sihir yang dia buat untuk memantau musuhnya. Namun, nama itu terucap dari pengikutnya, maka dia bisa memantau dan mendengar segala hal yang mereka berdua bicarakan tentang dirinya sesaat setelah nama itu terucap dari bibir mereka.
Voldemort tidak bisa menahan tawanya begitu tahu rencana Zabini dan Nott untuk menyerang balik dirinya. Tolol! Mereka bahkan belum becus memakai mantra kegelapan dengan benar, dan mereka ingin menyerangnya? Lelucon apa itu?! Lucu sekali.
Saat ini, dua orang yang sudah menjadi objek tawa sarkas Voldemort sedang berlutut di depannya. Membungkuk penuh hormat, dan berperan seolah mereka benar-benar tunduk padanya.
"Informasi apa yang kalian telah dapat?" Para manusia tolol, tambah Voldemort dalam pikirannya.
Raut mereka seketika menjadi pucat dan sedih, "Draco sudah mati, dibunuh oleh mudblood."
Voldemort tak pernah merasa sebahagia ini setelah mendengar informasi dari dua makhluk tak berguna di depannya ini. Ini info yang lebih dari luar biasa. Well, meski dia harus sedikit berlapang dada karena tak bisa melihat pertunjukan itu tepat di depan matanya. Dia bertaruh itu pasti sangat menarik.
"My Lord, ada baiknya kita segera melancarkan serangan ke mudblood itu." Zabini membuka mulutnya.
Kurang ajar. Beraninya dia memberi perintah pada orang seagung dirinya?! Sungguh, anak didik yang tak tahu malu.
Voldemort langsung menjentikkan mantra kedua favoritnya pada bocah itu, "Crucio!"
Blaise Zabini menjerit terkendali. Suasana hati Voldemort yang begitu bagus membuat mantra itu menjadi semakin kuat dari yang biasanya. Lebih menyakitkan dan semoga saja bisa melumpuhkan otak anak itu, atau mungkin membuat mati sekalian. Dia tak berhak mendapat Avada karena Mantra itu tidak memberi kesakitan tapi kalau Blaise mati karena Mantra Cruciatus, maka semakin baguslah suasana hatinya.
"Apa kau tahu kenapa Malfoy bisa mati?"
Nott menghindari mata merahnya, "Ketika sampai disana, yang kami lihat adalah Draco yang sudah berlumuran banyak sekali darah."
"Apa kau yakin dia sudah mati?"
"Ya. Ada begitu banyak darah yang keluar dari tubuh Draco dan Mudblood yang menangis histeris karena-"
"Apa kau sudah memastikan dengan tanganmu sendiri bahwa tanda vital Malfoy sudah benar-benar berhenti?"
"Tadi kami-"
"Ya atau tidak!"
"Tidak."
"Tolol! Dan kalian langsung berkesimpulan bahwa teman kalian itu mati, begitu?"
"Y-ya ... Tapi..."
"Tidak ada tapi, brengsek! Kalian benar-benar tolol."
"Dark Lord, apa kau berpikir bahwa... bahwa Draco masih hidup?"
Senyum miring tercetak di wajahnya, "Kita tidak tahu kalau tidak langsung melihat tubuh itu, bukan?"
"Kita akan menyerang sekarang?"
Voldemort bertepuk tangan riuh. Dia menghentikan Mantranya pada Zabini, lalu membuat laki-laki itu duduk kembali di sebelah Nott.
Dia pun berjalan-jalan persis di depan dua pengikutnya itu. "Menyerang? Kalian mau aku menyerang ke tempat itu?"
Tidak ada respons. Mereka setia menunduk.
"Bukankah kalian sedang berencana untuk menyerangku?"
Nott dan Zabini serempak langsung bersujud menyembah kaki Voldemort. Tangan mereka gemetar hebat sama seperti nyali mereka.
"Ampun, My Lord. Kami tak-"
"Diam!" Voldemort memotong ucapan cengeng Nott, "Aku tak butuh alasan kalian, yang aku tahu kalian mau menyerangku. Kalian pikir kalian setara denganku sampai-sampai ingin membunuhku, Hah?"
"Tidak, My Lord."
"Lalu apa maksud ucapan kalian baru-baru ini?"
"Kami-" Nott menelan ludahnya gugup, "Kami khilaf."
"Alasan menyedihkan!"
Merasa percakapan ini sudah membosankan, Voldemort buru-buru memanggil teman sejatinya. Nagini. Tak butuh waktu lama bagi ular itu untuk datang.
"Ya, ya, Nagini. Ada makan malam untukmu."
Apakah keduanya?
"Tentu saja, sayang. Dua-duanya akan menjadi milikmu." Nagini mengelus kaki Voldemort sebagai tanda terima kasih.
"Tu-tuan...Ka...kami...Min...ta...Maaf." Ucapan Blaise tersenggal karna napasnya yang belum stabil karena Mantra Cruciatus beberapa saat yang lalu
"Maaf?" Sekali lagi Voldemort tertawa kencang, "Kalian pikir aku siapa? Aku pantang memberi maaf seseorang, brengsek!"
"Kami bersumpah akan setia padamu, My Lord." Nott mengemis sambil menangis. Menyedihkan dan sangat amat lemah.
"Oh ya? Lalu dengan cara apa kalian akan membuktikannya?"
"Apapun yang kau minta pasti akan kami kabulkan."
"Termasuk membunuh sahabat kalian?"
"Draco? Tapi Draco sudah-"
"Misalnya Draco masih hidup. Bersediakah kalian membunuh anak itu?"
"Ya, kami siap dan bersedia." Ucapan mereka serempak dan begitu lugas.
"Jadi kalian membatalkan rencana kalian untuk mati sebagai teman loyal Malfoy daripada menjadi pengikut setiaku, Hah?"
Mereka agak kebingungan saat mendengar ucapan singkat Voldemort, tapi raut itu hanya bertahan sebentar karena setelah itu ketakutan yang meraja.
"Kami mohon maaf, My Lord. Ucapan kami memang tidak bisa ditoleransi, tapi tolong, kami mohon jangan bunuh kami."
"Bunuh kalian? Aku tidak akan membunuh kalian! Aku hanya memberi kalian penghargaan tinggi untuk jadi..." Voldemort melirik ular yang masih setia melingkar-lingkar di kakinya. "makan malam Nagini."
Apakah boleh aku santap sekarang?
"Tidak... Jangan sekarang, Nagini sayang. Aku harus memberi mereka pelajaran dulu sebelum kau makan. Aku yakin nantinya tubuh mereka yang penuh kesakitan itu akan jauh lebih nikmat untukmu."
Baiklah, aku jadi tidak sabar.
Voldemort tersenyum lalu mundur beberapa langkah. Dia mengayunkan tongkatnya secara elegan lalu kobaran api panas pun menjalar dan melingkari tubuh dua orang pengikutnya yang sedang menggigil ketakutan itu.
"Makan malammu, adalah manusia panggang. Tunggu beberapa jam, api itu akan mati dan kau bisa langsung menyantap mereka."
Terima kasih, Tuanku.
"Apapun untukmu, Nagini."
Lalu, Voldemort segera pindah tempat. Dia ingin mengunjungi musuh utamanya. Dia tak sabar melihat musuh utamanya mati lagi di tangannya dan membuat bola ramalan bungkam karena lagi-lagi ramalan bodohnya dipatahkan oleh kegelapan. Kegelapannya.
Sementara di balik kobaran itu, Theo dan Blaise saling tatap dan tersenyum penuh kegetiran. Mereka berhasil membuat Voldemort tidak masuk ke dalam pikiran mereka. Mereka berhasil mengelabui Voldemort. Poin sekarang adalah 1 untuk mereka dan 0 untuk Voldemort dan ular menjijikannya itu.
Mereka dua orang, mereka punya dua otak, dan mereka punya dua tongkat sihir. Jadi, mereka pasti bisa keluar dari lingkaran neraka ini dan membunuh Nagini di saat bersamaan. Setelah itu, mereka akan kembali ke The Burrow dan menyerang si tua pesek itu.
Itu rencana besar pembalasan mereka.
***
Ayooo... Jangan negatif thinking terus sama Blaise dan Theo. Wkwk.
Nggak nyangka euy satu Chapter lagi abis. Nanti seminggu lagi aku upload Part terakhirnya, yah kalau telat dikit maklumin lah ya, namanya juga orang Indonesia 😂😂😂.
Nanti aku mau buat epilog juga. Epilognya tapi besoknya ya yahh kalau nggak seminggunya lagi atau sebulannya lagi. (Nggak apa apakan karena kalian kan udah biasa di phpin sama aku. Wkwk)
Tenang-tenang part terakhir sama epilog diupdate berdekatan kok. Rencananya sih gitu tapi diketik pun belum wkwk.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro