Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Tertawa Puas Di Atas Kepedihan Tawanan


I think I'm drowning
Asphyxiated
I wanna break this spell
That you've created

(Time is running out by Muse)

***

Draco terpaksa harus bangun dari tidurnya setelah merasakan sengatan menyakitkan di tanda kegelapannya. Keringat dingin pun berlomba turun dari pelipisnya. Dia berusaha menekan suara erangan akibat rasa nyeri dari pergelangan tangannya agar Hermione tidak terbangun.

Baru saja Draco ingin bangkit dari tidurnya dan pergi menjauhi kamar, Hermione tiba-tiba terbangun. Wanita itu langsung tersentak melihat kondisi Draco yang sedikit terpuruk.

“Kau kenapa, Draco? Apa yang terjadi?” Hermione kalut. Dia buru-buru meraih tongkat sihirnya dan memeriksa kondisi tubuh Draco.

Draco menghentikan kegiatan Hermione sambil menggeleng, “Kau bersembunyilah!” perintah itu tidak lantang terdengar, bahkan nyaris berupa bisikan tapi punya kekuatan untuk dipatuhi.

“Ada apa? Apa yang terjadi? Kau kenapa?”

Draco tetap mengemis pada Hermione untuk segera menyingkir dan bersembunyi. Tapi dia segera tersadar kalau bersembunyi tidak membuat Hermione aman. “Pergilah Hermione, pergi dari Manor! Cari tempat yang aman!"

“Apa yang terjadi?”

Hermione tetap keras kepala. Dia tetap bertahan ada di sisi Draco. Sikap inilah yang paling Draco benci dari Hermione, anak itu tidak bisa diperintah.

“Aku mohon, pergi dari Manor. Tolong, Hermione … pergilah dari tempat ini.”

“Kenapa?”

Draco baru membuka suara untuk menjawab, sayangnya waktu sudah berjalan terlalu terburu-buru. Kamar mereka sekarang sudah tidak sepi lagi, sudah ada belasan orang berpakaian hitam yang datang ke sana.

“Well … lihatlah mereka. Menjijikan,” ejek seorang Pelahap Maut dengan nada merendahkan. Draco tidak tahu siapa yang berbicara, dia bahkan tidak peduli siapa pemilik suara itu. Dia sedang kesakitan tapi di atas segala hal itu … dia kebingungan. Hermione masih ada di sini!

Draco sekuat tenaga berjuang melawan rasa nyeri yang melumpuhkan pergelangan tangannya. Dia mencoba untuk bangkit dan melindungi Hermione.

“Pengkhianat kotor!” jerit suara yang tadi, dilengkapi juga oleh kutukan andalan Pelahap Maut. Cruciatus. Tubuh Draco mengejang, dia mengerang menahan dirinya untuk tetap duduk tegap tapi pada akhirnya dia lumpuh juga.

“Hentikan tindakan itu, Avery. Kita ini sedang bertamu.” Bahkan hanya lewat suara itu, Draco merasakan sekujur tubuhnya merinding ketakutan.

Pemilik suara menampakkan diri tak lama kemudian. Semua pengikutnya segera tunduk dalam sekali sebagai bentuk hormat ketika Voldemort berjalan membelah kerumunan berjubah hitam.

Voldemort tersenyum lebar ke dua insan yang sedang jatuh cinta itu tapi mendengus dalam hati, pasangan ini betul seperti kata pengikutnya : sangatlah menjijikan.

“Sepertinya tak pantas kita berbincang tapi pakaian kalian masih seperti ini.” Dasar pasangan kotor, mereka bahkan tak sadar masih memakai pakaian yang begitu minim. Lihat saja Draco bahkan hanya memakai boxer hitamnya, sedangkan si mudblood memakai pakaian tidur yang begitu tipis membuat tubuh kotor itu terbuka sekali. Memalukan.

Dengan satu jentikan, Voldemort mengarahkan Mantra pada dua pasangan itu untuk melekatkan baju di tubuh mereka.

“Begini lebih baik.”

Voldemort lalu berjalan mendekat ke arah dua insan itu. Dia senang melihat ada raut ketakutan yang terpancar jelas di wajah mereka.

Namun sekali lagi Voldemort disajikan tontonan menjijikan. Draco memeluk Hermione sambil mengucapkan kata-kata yang membuat dia ingin muntah. Mereka saling memberikan semangat dan kata-kata bualan bernama cinta. Dasar pasangan bodoh.

Tak tahan, Voldemort menengahi pasangan itu dengan satu layangan mantra. Eratan pelukan mereka terpisah diiringi oleh jeritan suara Hermonie ketika Draco terpental ke dinding keras. Lebih lucu lagi ketika Draco yang tengah kesakitan itu masih berusaha untuk bangun dan berteriak memanggil nama si mudblood.

“Berjuang demi cinta, huh?”

Sekali lagi Voldemort mengayunkan tongkatnya ke arah Draco. Kali ini dia membuat tubuh laki-laki tak berguna itu terbaring persis di depan para pengikutnya.

“Kalian aku ijinkan untuk reuni dengan kawan lama kalian. Aku masih punya urusan lain dengan wanita ini.” Pandangan dia tak lepas dari si mudblood. Dia tak menyangka orang serendah itu  bisa berani membalas tatapannya.

“Jangan Hermione. Tolong, Dark Lord. Jangan dia. Aku mohon Dark Lord, jangan lakukan apa pun pada Hermione.”

“Kau berisik, brengsek!” Carrow bersaudara membungkam teriakan Draco lewat tendangan di perut. Satu kata keluar dari mulut Draco, maka dua tendangan akan mendarat di atas perut Draco. Intensitas tendangan pun semakin kuat ketika Draco membangkang.

Voldemort tak menyangka pengikutnya yang dulu sempat menjadi andalan malah berakhir bodoh seperti ini. Tapi Voldemort tak peduli, biarkan saja mereka mendeklarasikan segala rasa cinta putus asa mereka karena pada akhirnya mereka pun akan mati …

Voldemort sekarang sudah duduk sejajar dengan mudblood jalang. Mata mereka masih tersambung, mata itu tak lagi memancarkan sikap sok berani tapi murni dikuasai ketakutan.

“Bagaimana rasanya dicintai oleh darah murni, mudblood?”

“Bukan urusanmu, bajingan!”

“Jaga mulutmu, jalang!” seru Goyle mencoba untuk terlihat menakutkan tapi sangat tidak cocok. Voldemort mencatat dalam jadwal di pikirannya untuk memberi hukuman pada Goyle karena masih saja tidak mempunyai sikap seorang Pelahap Maut.

Lewat satu tatapan Goyle kembali mundur dan ke posisi semula, berlutut dan menunduk sangat dalam.

“Kau tahu? Kau harusnya berterima kasih padaku. Karena keputusan aku membuat kau dan Draco bersatu. Bahkan aku pula yang membuat perintah agar bayi itu ada di rahimmu. Jadi kau harus berterima kasih padaku.”

“FUCK YOU!!!”

Wanita jalang itu bangkit dari posisinya untuk menyusul dan menyelamatkan sang pujaan hati dari salam kasih kawan lamanya. Voldemort mengamati wanita itu kini mengacungkan tongkatnya sangat tinggi ke arah Carrow bersaudara. Dengan mantra non verba, dua pria yang memiliki tubuh gagah itu harus takluk dan terpental dari posisi awal mereka.

“Jangan pernah kau melukai suamiku!” Wanita itu membela Draco. Sekali lagi dia mengeluarkan Mantra yang membuat Carrow tak berkutik.

Sudah semestinya para Pelahap Maut lain membela kawannya yang dilukai tapi fakta di sini membuat emosi Voldemort mendidih. Tidak ada satu pun anggotanya yang bangkit berdiri untuk membela temannya, mereka hanya diam mematung persis seperti orang paling dungu sedunia.

Voldemort akhirnya berinisiatif untuk turun tangan. Dia mengarahkan tongkatnya ke tubuh Hermione tapi belum sempat Mantra terucap, tubuh Draco tiba-tiba bangkit untuk melindungi. Mereka menempelkan punggung dengan posisi siap menyerang.

Tak tahan dengan adegan ini,  Voldemort memberikan tepuk tangan sangat kencang. Tongkat sudah dia turunkan. Untung saja para pengikutnya sudah kembali ke sisi waras karena mengarahkan tongkat mereka  ke arah Draco dan mudblood.

“Draco, kau tahu betul aku tidak menyukai pengkhianat. Kau pun tahu apa hukumannya jika berkhianat padaku, bukan?”

Draco tidak menjawab, tangannya yang memegang tongkat bergetar tak terkendali. Dasar lemah!

“Kematian, Draco. Itu akibat kalau kau membangkang padaku : mati.” Voldemort memberi jeda, seringai dia semakin lebar. “Tapi kematianmu tidak sekarang. Belum waktunya kau untuk mati. Aku akan memberikan waktu pada kau dan istrimu itu untuk lebih jatuh semakin dalam.”

“Kita tidak akan pernah kalah darimu, Voldemort!”

Voldemort tertawa, wanita itu benar-benar gila. Dia mendeklarasikan diri untuk tidak akan kalah darinya? Darinya? Bahkan dalam mimpi pun mereka tidak akan bisa menang melawan Voldemort. Voldemort jutaan kali lebih kuat dan lebih pintar dari dua manusia tolol itu.

“Aku akan memberikan hukuman menarik untukmu, Draco.” Voldemort mengabaikan kalimat mudblood tadi. Dia ingin pertunjukan menarik sekarang, dan Draco harus menjadi pemeran utamanya.

“Kau tidak akan bisa menyentuh suamiku!” Lagi-lagi Si Mudblood yang berbicara. Memalukan sekali, Draco bahkan tidak membela dirinya sendiri. Menyedihkan.

Tidak mau ada intrupsi lagi. Voldemort memerintahkan Theo dan Blaise untuk menarik Mudblood itu menjauh. Posisi si mudblood tengah lengah sehingga tubuhnya dapat dengan mudah ditarik paksa oleh tangan Theo dan Blaise. Oh ya tentu saja, tongkat itu pun ikut terjatuh. Lalu, apa yang dilakukan Draco? Dia mengemis, dia berlutut, dan menangis memohon pada Voldemort untuk melepaskan Hermione. Sekali lagi, sangat memalukan.

“Kau begitu mencintai jalang itu, hm?”

“Ya.”

“Kau rela mati demi jalang itu?”

“Ya.”

“Pilih satu : setia padaku atau setia pada Mudblood itu?”

Draco diam sejenak, dia berpikir cukup keras sebelum akhirnya memberikan jawabannya.

“Aku tetap akan memilih Hermione.”

Voldemort bertepuk tangan merayakan kebodohan Draco. Benar-benar bodoh, Draco tadi mengemis padanya untuk tidak menyakiti si mudblood tapi sekarang dia malah memberikan jawaban yang membuat Voldemort ingin membunuh mudblood sialan itu.

“Jawaban yang sangat salah, Draco.”

“Kalian, cekik wanita itu!” perintah Voldemort. Draco langsung berbalik, berniat untuk berlari ke arah Hermione tapi langkah Draco sudah ditahan oleh mantra yang dikeluarkan Voldemort.

“Cekik sekarang!”

Voldemort tersenyum ketika muka Draco memerah melihat Hermione kehabisan hampir kehabisan napas setelah dicekik oleh Theo.

“Hentikan!”

Mereka mematuhi teriakannya. Siksaan seperti tadi hanya menyenangkan sesaat dan sangat membosankan. Dia ingin ada pertunjukan yang lebih dahsyat lagi.

Satu ide cemerlang melintasi pikirannya. Voldemort mengangkat kembali tongkat elder kesayangannya dan mengarahkan tongkat itu ke Draco, “Imperio.”

Tubuh Draco sekarang sudah menjadi kuasanya secara penuh.

“Draco, tampar dan siksa istrimu!”

Mata Draco tidak fokus, tanpa keraguan dia menuruti perintah Voldemort. Istrinya yang jalang berteriak untuk mengembalikan kewarasan Draco, tapi tentu saja usaha itu tidak berhasil. Draco seratus persen ada di bawah kuasa tongkat sihirnya. Mau sekeras apa pun istrinya itu memohon, Draco tetap melakukan tugasnya dengan baik.

Menampar, mencekik, menarik kencang rambut bergelombang wanita itu, dan tentu saja hal yang paling menyenangkan untuk ditonton, yaitu saat Draco menendang perut istrinya. Tapi itu hanya sekali, karena Voldemort kembali memerintahkan Draco untuk membuat wajah istrinya babak belur. Voldemort tidak mau bayi itu gugur sebelum waktunya.

Sayangnya perhitungan Voldemort salah. Ada darah segar yang turun dari paha istri Draco. Anehnya, kutukan imperius yang belum dilepas oleh Voldemort menjadi lenyap begitu Draco melihat istrinya seperti itu.

“Oh, Merlin! Sayang, kau tidak apa-apa? Merlin, Hermione! Merlin, bagaimana caranya untuk--”

Draco menatap Voldemort memohon pertolongan. Anak brengsek itu bahkan menangis untuk seorang mudblood agar terselamatkan. Menjijikan!

Dia tidak suka melihat hal-hal seperti ini terjadi pada pengikutnya. Dia tak tahan melihat pengikutnya menjadi sangat lemah, biar pun itu orang itu sudah menjadi mantan anggota, tetap saja hal ini tidak bisa ditolerir.

Voldemort sudah tidak peduli lagi pada nasib bola ramalannya dan keinginan dia untuk menang  secara langsung oleh bayi itu nanti. Semuanya mendadak menjadi tidak menarik. Voldemort rela jika mudblood dan bayi itu mati sekarang agar Draco bisa ikut mati dengan cara membunuh dirinya sendiri. Hal ini seribu kali lebih menarik, bukan?

Untuk itulah Voldemort membuat pilihan untuk pergi dari Malfoy Manor bersama para pengikutnya dan membiarkan kematian keluarga itu terjadi secara apa adanya. Setidaknya dengan cara seperti ini pun musuhnya bakal lenyap.

***

Draco membawa kepala Hermione untuk tertidur di pahanya. Beberapa bagian wajah Hermione sudah membiru lengkap dengan cairan merah segar keluar dari sudut bibir dan hidungnya. Hermione begitu mengenaskan. Belum lagi dengan darah yang keluar dari bagian tubuh istrinya itu. Benar-benar mengenaskan. Dan ini semua hasil kerja tangannya.

Dulu waktu dia belum merasakan perasaan yang begitu kuat dengan Hermonie, dia bakal tertawa senang jika kondisi Hermione seperti ini. Tapi sekarang dalam situasi yang sudah berbeda, sungguh dia bersumpah ingin sekali mentransfer rasa sakit itu ke tubuhnya. Dia bahkan rela mengorbankan nyawanya yang tidak berharga ini agar dua orang yang dia cintai bisa selamat.

“Merlin, Hermione … Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya kebingungan. Napas Hermione sudah tersenggal-senggal, muka itu semakin memucat, dan darah yang keluar di lantai semakin banyak keluar.

Kebingungan Draco menjadi sebuah ketakutan begitu mata Hermione yang tadi masih terbuka kini sudah tertutup.

“HERMIONE!!!” teriakan itu menggunakan seluruh tenaganya. Teriakan yang super kencang itu membuat tenggorokannya nyeri. Teriakan itu adalah kalkulasi semua perasaan yang berkecamuk dalam hatinya.

Draco tidak bisa tenang, pikirannya buntu. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Dia tidak mengerti hal-hal seperti ini, dia bukan seorang Healer!

Healer! Merlin, Draco merutuki kebodohannya karena hal sepenting itu bisa terlewat dari pikirannya. Dia mengeratkan Hermione dalam pelukan sebelum pergi ber-apparete menuju ke St. Mungo. Dia berdoa semoga saja Hermione dan Scorpius bisa selamat karena kalau mereka tidak terselamatkan, maka saat itulah juga hidup Draco tidak terselamatkan.

Saat sampai di tempat tujuan, semua orang takjub melihat Draco membawa Hermione yang tak berdaya. Seluruh dunia sihir tahu bahwa Draco adalah Pelahap Maut dan Hermione selaku kelahiran muggle akan menjadi musuh yang harus di basmi. Tapi sekarang mereka malah dikejutkan karena Draco menangis, sambil berteriak histeris untuk menyelamatkan Hermione.

“Selamatkan istri dan anakku! Tolong, Selamatkan mereka!!!”

Bola mata mereka seperti ingin copot keluar mendengar pengakuan itu langsung dari mulut Draco. Mereka yang biasanya membenci Pelahap Maut hingga ke nadi mereka, sekarang malah menatap iba Draco dan Hermione.

Healer bergerak cepat untuk membawa Hermione ke ruang tempat penyembuhan. Draco memelas pada Healer salah satu wanita yang menangani Hermonie agar menyelamatkan Hermonie dan Scorpius. Dia tidak bisa hidup tanpa ada mereka di sisinya. Dia pernah sekali menjalani hidup dalam kegelapan, lalu secara ajaib dia mendapat sinar terang dari Hermonie, dia merasa sinar terang itu membantu dia untuk bisa bernapas bahagia. Dia tidak bisa kehilangan sinar itu, dia tidak mau terpuruk dalam gelap lagi. 

***

A/N :

Maaf ya kemarin malam batal publish.. soalnya aku ketiduran 😂😂😂

Btw, Udah lama Voldy nggak nongol, kangen nggak kalian?
Nah makanya itu aku munculin sekarang. Semoga rasa kangen kalian bisa terpuaskan ya sama Voldy 😂😂😂

Makasih udah baca, kasih vote, kirim comment, bahkan yang sider pun makasih ya udah baca  😘😘😘

Terus maaf kalau banyak typo karena sumpah aku nggak baca lagi karena pengen langsung update😄😄

Maaf juga kalau nanti Update (mungkin) bakalan lama. Maaf ya tapi aku bakal usahain tetep nulis ini kok 😊😊😊

Terakhir seperti biasa :

*hug*kiss*love*muachhhh 😙😘😚

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro