Chapter 4
Sakura berjalan keluar dari kamarnya seraya mengucek mata beberapa kali. Ia menguap dan berjalan dengan langkah yang agak sempoyongan karena mengantuk.
Ia mengernyitkan dahi saat mencium aroma adonan tepung yang begitu wangi dan manis. Rasa penasaran menuntunnya untuk mengikuti sumber aroma itu secara naluriah. Dan apa yang dilihat Sakura ketika ia tiba di dapur membuatnya merasa terkejut setengah mati.
Sakura tak pernah menduga jika ia akan menemukan sosok sang suami yang kini sedang berada di dapur. Lelaki itu bahkan seolah tak mempedulikan keberadaan Sakura dan memilih menuangkan adonan panekuk ke dalam Teflon.
Sakura tak mengira jika Sasuke bisa memasak sesuatu, meski makanan sederhana sekalipun. Awalnya ia mengira kalau lelaki itu adalah tipe orang yang tak bisa melakukan satupun pekerjaan rumah, apalagi membuat makanan sendiri. Namun lelaki itu membuatnya terkejut ketika ia melihat Sasuke yang sedang membersihkan lantai dengan vacuum cleaner, dan lelaki itu semakin membuatnya terkejut pagi ini.
"Sarapan?" ucap Sakura seraya berjalan mendekat kearah kompor.
Tak ada kata yang terucap dan Sasuke bahkan tak menoleh sama sekali. Ia hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas seperti biasa dan secara refleks sedikit menjauh ketika Sakura berusaha mendekat. Ia sudah terbiasa sendirian dan merasa kurang nyaman ketika ada orang didekatnya saat sedang fokus melakukan sesuatu.
"Masak apa?" Sakura kembali bertanya seraya menatap sosis dan telur yang diletakkan diatas meja dapur.
"Panekuk, sosis, dan omelette. Mau?"
Sakura menatap panekuk berwarna kecoklatan dengan aroma yang tampak menggoda itu. Dan panekuk yang diletakkan diatas piring dengan sepotong omelette, dua buah sosis, keju parut serta potongan tomat dan saus tomat yang berlebih itu membuat cacing-cacing di perut Sakura berteriak keras meski disaat yang sama ia juga merasa risih dengan jumlah saus tomat yang menurutnya berlebih itu.
"Boleh. Saus tomatnya sedikit, ya."
"Hn."
Sasuke kembali menuangkan adonan keatas Teflon dan memasak panekuk untuk Sakura. Sebetulnya tanpa diminta sekalipun ia tetap akan membuat sarapan bagi wanita itu secara naluriah. Tawaran yang ia ajukan pada Sakura hanyalah basa-basi sekaligus untuk memastikan jika wanita itu benar-benar ingin makan atau tidak.
Sakura secara refleks membuka pintu lemari yang berada di dekatnya, berharap dapat menemukan sekantung teh untuk mengawali paginya. Dan ia tak mengira akan mendapati sekotak penuh berisi teh jasmine dengan merek kesukaannya. Rasanya tidak mungkin jika Sasuke sengaja mempersiapkan teh itu untuknya, lelaki itu bahkan tidak tahu apapun yang ia sukai.
"Kau suka teh Jasmine dari TWG juga?"
Sakura merasa konyol tepat sesudah bertanya. Mereka berdua tidak mungkin memiliki selera yang sama, kan? Paling-paling lelaki itu hanya asal membeli teh untuk disuguhkan pada tamu meskipun orang-orang umumnya menyajikan teh hijau.
"Hn."
Sakura meringis tepat sesudah mendengar jawaban Sasuke. Dari semua orang yang dikenalnya, mengapa ia harus memiliki kesamaan selera dengan lelaki yang bahkan tidak normal itu?
"Kau mau teh? Kalau mau akan kubuatkan sekalian."
"Jangan pakai gula."
Sakura kembali meringis seraya mengambil sebuah teko keramik yang tidak terlalu besar dan meletakkan sekantung teh ke dalam keramik.
Walaupun Sakura menyukai makanan manis, namun aneh nya ia malah tidak suka mencampurkan gula ke dalam teh. Menurutnya gula malah menghilangkan rasa teh yang sesungguhnya sehingga ia lebih memilih memakan makanan manis sebagai teman minum teh sebagai pengganti rasa manis. Dan ia merasa agak risih karena lagi-lagi ia memiliki kesamaan dalam hal selera teh dengan Sasuke.
Sakura menatap sekantung gula yang masih berada di dalam plastik dan belum dimasukkan ke dalam kotak. Rasanya aneh melihat gula yang biasanya diletakkan di atas meja berdampingan dengan bumbu masak lainnya malah diletakkan di dalam lemari. Padahal biasanya orang-orang akan meletakkan gula di tempat yang mudah ditemukan, bukan di tempat yang agak tersembunyi.
Selain itu Sakura juga sama sekali tidak menemukan wadah untuk gula yang diletakkan bersama dengan bumbu masak lainnya diatas meja. Tidak mungkin kalau selama ini Sasuke tidak pernah membeli gula, kan?
Sakura berjalan kearah dispenser dan mengisi teko dengan air panas dan menutupnya. Tanpa mengatakan apapun, ia segera menuju meja makan dan meletakkan teko teh serta mengambil dua buah cangkir keramik di dalam lemari.
Sakura tak ingin mengakuinya, namun sebetulnya ia merasa cukup nyaman setelah tinggal selama beberapa hari di rumah 'suami' nya. Penthouse itu lumayan besar dengan kolam renang pribadi yang berada di dalam ruangan dan tidak terlalu besar, namun terdapat kaca yang membuatnya bisa melihat pemandangan kota sekaligus berenang kapanpun ia mau. Rumah itu juga bersih dan bebas dari asap rokok, membuat Sakura merasa sangat nyaman mengingat ia dibesarkan di dalam rumah yang dipenuhi asap rokok dengan dinding-dinding putih yang berwarna kekuningan akibat asap rokok.
Sosok Sasuke yang mendadak tertangkap di mata Sakura membuatnya terkejut dan secara spontan mengubah posisi tubuhnya yang semula menopang dagu dengan tatapan yang agak menerawang. Sakura cepat-cepat mengangkat teko dan mengisinya dengan cairan kecoklatan beraroma jasmine.
Sakura tersenyum ketika mendapati piring berisi panekuk dengan keju, omelette, sosis dan sedikit mentega diatasnya yang diletakkan dihadapannya. Aroma makanan itu benar-benar membuatnya tergoda hingga ia secara refleks mengangkat pisau dan garpu tepat ketika piring diletakkan dihadapannya.
"Itadakimasu."
Sakura segera memotong omelette yang berada dihadapannya. Omelette itu tidak terlalu basah, namun juga tidak terlalu kering. Takaran bumbu yang digunakan untuk omelette itu pas dan sama sekali tidak ada aroma amis khas telur.
Sakura segera memotong sedikit panekuk dengan mentega yang mulai meleleh diatasnya dan terkesiap ketika ia merasakan aroma wangi khas panekuk yang sempat ia hirup ketika mengunyah panekuk itu. Panekuk itu juga terasa lezat dengan tingkat kematangan yang pas dan bentuk yang sempurna. Bahkan tidak ada lagi tepung yang bergerindil karena tidak diaduk hingga rata.
Sebelumnya Sakura mengira panekuk asin akan terasa aneh. Namun diluar dugaan panekuk asin pertama kali dimakan dalam hidupnya terasa begitu lezat hingga membuat Sakura merasa ketagihan.
Sejak tinggal bersama Sasuke, Sakura sudah terbiasa makan dalam keheningan. Meski mereka berdua sedang berhadapan, tak ada seorangpun yang akan mulai bicara. Percakapan diantara mereka hanya sebatas pamitan saat Sasuke akan berangkat kerja, atau sambutan ketika Sasuke kembali ke rumah dan kebetulan Sakura sedang berada diluar kamar. Mereka berdua memiliki kehidupan masing-masing meski tinggal di dalam rumah yang sama, dan Sakura merasa tidak keberatan sama sekali. Lagipula ia juga tak memiliki apapun yang ingin dibahasnya dengan Sasuke. Semua peraturan di dalam rumah maupun batasan-batasan dalam bertindak telah tertulis di dalam kontrak yang telah disepakati dan ditandatangani mereka berdua.
"Panekuknya enak. Kau beli tepung instan merek apa?" Sakura akhirnya memutuskan untuk bertanya karena penasaran.
"Aku tidak pakai tepung instan."
Sakura benar-benar terkejut. Ia mengira Sasuke pasti hanya bisa memasak makanan instan, namun ia tak menyangka kalau lelaki itu bahkan mengetahui resep panekuk yang memerlukan pencampuran bahan-bahan sendiri.
Sakura merasa harga dirinya sebagai wanita akan benar-benar hancur jika ia sampai membuka mulut untuk bertanya. Namun ia tak akan memiliki kesempatan menikmati panekuk yang lezat itu dua bulan lagi dari sekarang.
Ini benar-benar memalukan, namun kemampuan memasak Sakura sebetulnya sangat payah. Setiap panekuk yang dibuatnya tanpa tepung instan selalu berakhir gagal dengan rasa yang aneh. Bahkan panekuk yang dibuatnya dengan tepung instan pun akan memiliki bentuk yang tidak karuan dengan tingkat kematangan yang tidak merata.
Sakura meneguk ludahnya dan memberanikan diri untuk bertanya meski sebetulnya ia merasa sangat malu.
"Boleh minta resepnya? Aku suka panekuk buatanmu."
Wajah Sakura benar-benar memerah setelah mengucapkannya. Ia bahkan tidak bisa menelan potongan sosis dan panekuk yang sedang ia kunyah saat ini. Sebagian dirinya berharap agar Sasuke tidak mendengar apa yang baru saja ia ucapkan tadi.
"Nanti kukirimkan di chat."
"Terima kasih," sahut Sakura dengan wajah yang sudah memerah. Ia cepat-cepat mengangkat gelas dan meminum teh jasmine miliknya.
Keheningan kembali mengalir diantara mereka. Entah kenapa Sakura merasa sedikit jengah dengan keheningan ini meskipun ia sendiri tak memiliki topik pembicaraan apapun.
Sakura menatap jam dinding dengan huruf romawi yang tergantung di dinding. Jam menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh dan Sasuke terlihat sudah siap untuk berangkat kerja. Sakura tak tahu pukul berapa lelaki itu akan berangkat kerja, yang jelas kini lelaki itu mempercepat makan nya.
Sakura hampir membuka mulutnya untuk menanyakan jam berangkat kerja Sasuke, namun ia cepat-cepat mengatupkan mulutnya. Ia tak ingin terkesan terlalu ikut campur dengan kehidupan lelaki yang bahkan sebetulnya bukan siapapun baginya.
Sakura hampir tak tahu apapun mengenai Sasuke. Ia tak tahu apa yang disukai Sasuke dan apa yang tidak disukai lelaki itu selain fakta bahwa lelaki itu tidak suka makanan manis, itupun ia dengar dari perkataan ibu mertuanya. Sakura bahkan tak tahu apa pekerjaan Sasuke, atau dimana tempat kerjanya. Sakura merasa tidak perlu mengetahuinya.
"Aku pergi," ucap Sasuke seraya bangkit berdiri dan mengambil tas kerja yang ia letakkan di kursi yang bersebelahan dengannya.
Sakura melambaikan tangan tanpa mengucapkan apapun pada Sasuke ataupun mengantar lelaki itu menuju pintu. Dan ketika lelaki itu meninggalkan meja makan serta berjalan menuju pintu, Sakura merasa benar-benar lega telah terbebas dari perasaan canggung.
.
.
"Ya ampun! Bagaimana bisa kau menggunakan jatah cutimu hanya untuk bersantai seperti ini? Mentang-mentang suamimu pemilik saham di perusahaan kita, kau bisa seenaknya begini," ucap Ino panjang lebar tepat ketika ia menghampiri meja Sakura.
Sakura meringis mendengar ucapan Ino, sahabat sekaligus rekan sekantornya. Sebenarnya ia terkesan nekat dengan mengajak Ino untuk bertemu dan berbelanja bersama di hari kerja ketika ia sendiri tidak datang ke kantor. Namun ia sudah memberi alasan pada atasannya kalau ia ingin beristirahat sejenak dan memanfaatkan sisa jatah cuti tahun lalu.
Namun ucapan Ino membuat Sakura merasa penasaran. Ia bahkan tidak pernah tahu dan tidak peduli siapa boss di perusahaannya. Ia hanya tahu kalau perusahaan tempatnya bekerja ikut berpartisipasi di bursa saham dan siapapun bisa membeli saham di perusahaan itu. Dan selama ini Sakura tidak pernah berniat mencari tahu mengenai siapa saja yang memiliki saham di perusahaannya. Toh tidak ada gunanya juga ia tahu, yang penting semua hak-haknya diberikan oleh perusahaan sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati.
"Hah? Pemilik saham? Maksudnya? Uchiha Group?"
Ino mendengus kesal dan menatap Sakura lekat-lekat, "Dasar, merendah saja, nih. Masa kau tidak tahu asset suami sendiri, sih? Walaupun dijodohkan, kau pasti mencari tahu siapa yang akan dijodohkan denganmu, dong?"
"Sebetulnya dia anak teman ibuku. Dan ibuku langsung mengiyakan tawaran perjodohan begitu saja. Aku bahkan baru tahu nama dan kondisinya beberapa jam sebelum pernikahan," jawab Sakura dengan nada yang agak meninggi di akhir kalimat.
Sakura tak tahu apakah terkesan etis atau tidak jika ia mengeluh mengenai keadaan Sasuke pada sahabat yang sudah dikenalnya sejak kecil seperti Ino. Namun ia merasa jengah harus menahan kejengkelannya sendiri. Ia memang sempat melampiaskannya secara langsung pada Sasuke, namun ia masih merasa belum cukup puas.
"Hey, setidaknya kau beruntung, tahu? Dimana lagi kau bisa mendapatkan suami yang tampan dan kaya seperti itu? Bahkan kabarnya dia belum pernah berpacaran sama sekali sebelumnya, berarti seharusnya dia masih agak polos, kan? Bukankah kau suka pria yang alim?"
Sakura mendesah pelan. Ia mengangkat gelas kopinya dan segera meminumnya. Ia sudah lelah mendengar pernyataan yang sama dari orang-orang disekitarnya, baik secara langsung maupun tidak. Semua orang menganggapnya beruntung, namun ia malah menganggap pernikahannya sebagai suatu kesalahan. Ia yakin kalau orang-orang pasti menganggapnya sebagai wanita materialistis yang mau menikahi orang cacat demi uang.
"Aku merasa sangat tertipu, pig. Kau pikir aku senang? Sebetulnya aku sangat kaget, kesal dan malu ketika mengetahui kalau dia seperti itu. Kupikir, setidaknya aku akan menikah dengan orang yang normal, bukan lelaki cacat. Kalau saja aku tidak memikirkan orang tuaku, aku akan langsung berlari meninggalkan pesta pernikahan itu begitu aku tahu seperti apa kondisi pria yang akan menjadi suamiku."
Ino terkejut mendengar ucapan Sakura. Ia terdiam untuk sesaat, memikirkan apa yang harus dikatakan pada Sakura. Ia menyadari jika Sakura sedang berusaha menahan emosinya yang mulai membuncah. Mata wanita itu bahkan mulai berkaca-kaca.
Sakura cepat-cepat menekan matanya sendiri. Ia merasa bodoh jika harus menangis karena lelaki tidak normal itu. Namun ia tak bisa melupakan pernikahan yang terasa bagaikan neraka itu. Setiap mata yang tertuju padanya terasa bagaikan hujan panah yang menghujam tubuhnya.
"Menurutku, kau harus bisa menerima dia apa adanya, karena dia juga menerimamu apa adanya. Lagipula, daripada melihat dia cacat atau tidak, lebih baik melihat kepribadiannya. Kalau aku jadi kau, aku sih lebih memilih menikah dengan suamiku ketimbang menikah dengan salah satu dari mantan-mantanmu yang tidak setia itu."
Sakura terdiam. Ucapan Ino memang ada benarnya, tapi ia sendiri bahkan tidak tahu seperti apa kepribadian Sasuke. Bisa saja ternyata lelaki itu bahkan lebih parah, misalnya saja suka menyewa perempuan panggilan untuk one night stand. Lagipula di jaman modern seperti ini, rasanya mustahil ada lelaki yang perjaka hingga menikah, kecuali orang yang cacat mental, itupun belum tentu.
"Aku bahkan tidak tahu seperti apa kepribadiannya. Lagipula, aku benar-benar malu. Orang-orang pasti berpikir aku menikah dengannya demi uang. Padahal sejujurnya aku bahkan tidak tahu apa profesinya."
Ino menggelengkan kepala dan menepuk pundak Sakura, "Aku tidak berpikir begitu. Dan kurasa tak seorangpun di kantor kita berpikir begitu, apalagi mengingat kepribadianmu yang begini."
Ino mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu serta memperlihatkannya pada Sakura, "Omong-omong, kalau kau penasaran soal asset suamimu, lihat saja disini. Tak kusangka bahkan ada laman mengenainya di Wikipedia, walaupun tidak ada fotonya sih. Tapi infonya tidak begitu lengkap. Sebetulnya dia juga memiliki saham tiga puluh lima persen di perusahaan kita, cuma tidak tercantum di laman itu."
Sakura menerima ponsel yang diberikan Ino dan membacanya. Ia merasa terlalu malas membaca atau mendengar apapun mengenai lelaki itu. Namun matanya tertuju pada dua buah tulisan yang membuatnya terkejut.
Menurut Wikipedia, lelaki itu memiliki sebuah jaringan hotel bintang lima yang berada di berbagai kota di dalam negeri dan ada di beberapa negara. Hotel itu merupakan hotel terkenal dan ketika kecil Sakura berharap bisa menginap di hotel mewah itu. Dan ia akhirnya menggunakan uang tunjangan hari raya pertama yang didapatnya untuk menginap satu malam di hotel mewah itu bersama kedua orang tuanya.
Selain itu lelaki itu juga memiliki bisnis jasa transportasi online berbasis aplikasi yang terkadang digunakan Sakura. Aplikasi itu memiliki banyak pengguna karena juga menyediakan jasa pembelian makanan maupun barang kebutuhan sehari-hari sehingga orang tidak perlu repot-repot untuk berpergian. Dan Sakura sendiri juga merupakan salah satu pengguna aplikasi itu.
Kini Sakura mengerti mengapa Sasuke bisa dengan mudah menolak uang yang ditawarkan Sakura. Dan mendadak Sakura jadi berpikir untuk memanfaatkan Sasuke dengan meminta uang dalam jumlah besar sebagai kompensasi atas dua bulan pernikahan mereka, sesuai isi kontrak yang menyatakan bahwa Sasuke harus menanggung seluruh biaya hidup Sakura selama dua bulan hingga pengajuan perceraian.
Namun Sakura cepat-cepat menepis pemikirannya. Setidaknya ia sudah cukup beruntung bisa tinggal di penthouse mewah secara cuma-cuma selama dua bulan tanpa perlu membayar tagihan dan melakukan apapun serta membuatnya menghemat tagihan air, listrik dan iuran lainnya. Lagipula ayah mertuanya juga akan memberikan 'kompensasi' padanya meskipun ia menolak. Ia merasa tidak suka karena terkesan memeras seseorang.
"Kalau kau memang tidak mau, bagaimana kalau suamimu untukku saja? Aku sih akan menampungnya dengan senang hati. Lumayan, aku tidak perlu mati-matian berhemat demi membayar cicilan flat," goda Ino sambil tersenyum.
"Ok. Kalau begitu aku tukar dengan Sai-kun mu, ya?"
Wajah Ino merengut seketika. Ia langsung menggelengkan kepala. Bagaimanapun juga, ia masih tetap memilih lelaki yang akan menikahinya beberapa bulan lagi ketimbang lelaki manapun, meskipun lelaki itu jauh lebih mapan ketimbang calon suaminya.
"Tuh, kan. Kau saja tidak mau, lalu kau berharap aku menerimanya dengan lapang dada?"
"Aku bercanda, tahu. Mana mungkin aku mau tukar lelaki yang kucintai ini dengan lelaki manapun di dunia ini? Pokoknya kau jalani saja pernikahanmu itu. Siapa tahu lama-lama cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Bisa saja ada sisi baik dari suamimu yang belum kau sadari sekarang, kan?"
Sakura menganggukan kepala sebagai respon atas ucapan Ino. Mungkin ucapan wanita itu benar. Siapa tahu ada sisi baik dari Sasuke yang akan membuatnya merasa nyaman sehingga ia mampu bertahan hingga dua bulan ke depan.
.
.
Itachi meringis seraya menatap tamu tak diundang yang kini sedang duduk di sofa bersama Itsuki, putranya yang baru berusia satu tahun. Sosok tamu tak diundang itu meletakkan Itsuki di pangkuannya dan bocah laki-laki itu bergelayut manja dengan sang paman, membuat Itachi merasa seolah dikhianati oleh putranya sendiri.
Seharusnya Itachi sudah terbiasa dengan kunjungan mingguan yang dilakukan Sasuke ke rumahnya sejak Itsuki berumur dua bulan, namun ia masih merasa terkejut dengan perubahan kepribadian sang adik. Sebelumnya Sasuke sangat tidak menyukai anak-anak dan secara terang-terangan mengatakan kalau anak-anak membuatnya terganggu. Namun lelaki itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika pertama kali menggendong Itsuki. Bahkan Itachi hampir menelpon ambulans ketika melihat Sasuke tersenyum pada keponakannya, mengira kalau kepala adiknya terbentur sesuatu.
Sasuke mendekap Itsuki dalam pelukannya dan tersenyum ketika menghirup aroma khas anak-anak yang menguar dari tubuh Itsuki. Sebelumnya otaknya seolah malfungsi dan tubuhnya terasa lelah setelah melakukan dua rapat, namun kini energinya seolah terisi kembali.
"Aku bingung, kenapa kau mendadak jadi menyukai anak-anak sampai seperti ini? Rasanya kau seperti bukan Sasuke yang kukenal," ujar Itachi pada akhirnya. Ia tak tahan lagi dengan rasa penasaran yang mengusik benaknya selama berbulan-bulan.
Sasuke mengendikkan bahunya. Ia sendiri tidak tahu alasannya mendadak menyukai anak-anak. Ketika pertama kali melihat Itsuki yang terlihat seperti miniatur Itachi dan melihat anak itu tersenyum padanya, Sasuke langsung merasa ingin menyentuhnya. Bahkan ucapan tidak jelas anak itu terdengar begitu lucu baginya.
"Aku juga tidak tahu."
"Dasar. Seharusnya kau cepat buat anak bersama istrimu. Kalau kau memiliki anak, kau pasti bisa mendekapnya selama yang kau inginkan."
Sasuke terdiam mendengar ucapan Itachi. Lelaki itu tidak tahu kalau pernikahannya dengan Sakura akan berakhir dalam dua bulan. Kalaupun ia benar-benar menikah dengan seseorang, ia tak yakin bisa membesarkan seorang anak dengan benar. Ia merasa tidak memiliki kapabilitas sebagai seorang ayah secara emosional. Ketika ia kecil, ayahnya sering mengacuhkannya dan hampir tidak pernah berbicara dengannya atau berada di ruangan yang sama. Ketika mereka bicara, biasanya sang ayah hanya akan memarahinya atau bahkan memukulnya. Karena itulah ia merasa tak yakin kalau ia bisa membesarkan seorang anak dengan baik, karena ia sendiri tak tahu apa yang seharusnya dilakukan seorang ayah. Lagipula ia juga tidak ingin anaknya menjadi bahan ejekan karena memiliki ayah yang cacat.
Itachi menyadari perubahan reaksi Sasuke yang tidak seperti biasanya. Lelaki itu terdiam dan ia menyadari sorot mata Sasuke yang mendadak berubah, terkesan seperti memikirkan sesuatu. Itachi yakin kalau kali ini Sasuke pasti akan menghindari topik ini, sama seperti yang selalu ia lakukan setiap kali ia membahas mengenai anak.
"Bagaimana kalau Itsuki-kun jadi anakku saja?" sahut Sasuke seraya menyentuh pipi gembul Itsuki, sementara Itsuki sendiri menyentuh hidung dan bibir Sasuke dengan jari-jari mungilnya.
Dugaan Itachi benar, kali inipun Sasuke memutuskan menghindari topik mengenai anak. Sebetulnya ia sendiri tidak keberatan dengan Sasuke yang sering datang ke rumah hanya untuk bertemu dengan Itsuki. Ia juga bersyukur karena istrinya juga tidak merasa keberatan. Malahan istrinya merasa senang dengan kedatangan Sasuke yang bisa membantunya mengurus Itsuki untuk sementara dan bahkan sering membawakan sesuatu saat berkunjung.
"Tidak."
Sasuke tak mempedulikan penolakan Itachi. Ia mengambil sebotol susu yang dititipkan Izumi, kakak iparnya, untuk diberikan pada Itsuki. Ia segera memberikan botol susu itu pada Itsuki dan bocah itu meminum susu sambil bersandar di tubuhnya, seolah menjadikan dadanya sebagai bantal.
Sasuke memeluk Itsuki dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menyentuh telinganya yang terasa agak sakit setelah seharian memakai alat bantu. Mendadak ia merasa khawatir kalau Itsuki akan merasa tidak nyaman dengannya ketika sudah lebih besar dan mengetahui kondisi pamannya yang tidak normal.
Sasuke segera menoleh kearah Itachi yang sejak tadi mengamatinya dengan tatapan yang menyiratkan kecemburuan. Dalam hati ia merasa agak iri dengan Itachi yang bisa bersama dengan Itsuki kapanpun ia inginkan ketika ia sendiri mungkin saja tak bisa memiliki kesempatan untuk bermanja-manja dengan anak itu.
Dan Sasuke kini memutuskan untuk lebih sering mengunjungi Itsuki selama anak itu masih ingin bermain dengannya demi memuaskan sisi 'keayahan' yang perlahan mulai muncul di dalam dirinya.
-TBC-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro