Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 19

Nanda terdiam, mendadak kehilangan napas juga suaranya begitu mendengar suara Ken sangat lirih menyimpan kesakitan yang selama berusaha lelaki itu tahan sendiri. Nanda menangkap adanya kesepian dan lelaki itu sangat ingin berhenti saat menemukan titiknya.

"Nanti kamu akan tahu sendiri, Nda."

Kalimat Bayu turut berputar di benak Nanda, silih berganti dengan kalimat Ken. Kalau menuruti perasaannya, orang akan mentertawakan Nanda. Konyol bukan mencemaskan orang yang tidak begitu kita kenal hanya dengan mendengar suaranya. Tapi kalau menuruti logika kewarasannya, yang ada malah rasa bersalah dan takut jika perasannya itu benar.

Nanda menggigit bibir dalamnya, menatap langit-langit kamar. Tangannya mencengkeram ponselnya. Menghubungi Bayu, tidak akan mendapatkan solusi. Ikuti kata hati kalau benar-benar yakin. Kalimat itu sudah Nanda hafal.

"Nda, kamu belum tidur?" tanya Diya berbisik takut suaranya membangunkan putri kecilnya, menjulurkan kepalanya ke bawah.

"Belum," jawab Nanda singkat tanpa mengalihkan tatapannya dari langit kamar.

Nanda melirik sekilas, ketika mendengar helaan napas panjang dari perempuan beranak satu itu. Lagi, tidak pernah bosan untuk bertengkar dengan suaminya. Baru satu minggu berbaikan.

Sudah sejak kemarin malam Diya menginap. Katanya, kali ini masalahnya kembali mengenai ekonomi. Hampir setiap malam pulang larut dengan alasan lembur tapi tidak ada uang lemburan dalam slip gaji suaminya itu. Entah kapan, mereka akan mengakhirinya. Yang jelas, Nanda sudah tidak mau tahu. Takut rasa ketakutan mengenai berumahtangga malah semakin menebal.

"Pasti gara-gara aku. Maaf ya, Nda. Kamu jadi tidur di lantai," ucap Diya melihat kasur lantai dan bedcover yang menyelimuti tubuh Nanda.

"Makanya, aku kan sering bilang, jangan melulu lari, Diya," lirih Nanda menghela napasnya.

"Ini yang terakhir," jawab Diya menarik seulas senyuman. Selalu seperti itu jawabannya dan selalu bukan yang terakhir.

"Tidur, Di. Udah malam," ucap Nanda membalas senyuman Diya.

Sebenarnya Nanda tidak tertarik membahas masalah rumah tangga Diya. Karena nama Ken kini sudah benar-benar memenuhi pikirannya lengkap dengan ingatan nada suaranya.

Ken: Nda, kamu bisa keluar nggak? Aku di depan rumah kamu.

Mata Nanda membeliak seketika membuka satu pesan dari Ken yang baru saja diterima. Ada degub keras di jantungnya yang tercipta mendadak dan tidak bisa Nanda pungkiri. Seketika dia bangun dari rebahannya, tergesa menuju ke jendela, demi memastikan dari Ken.

Untuk sesaat Nanda hanya bisa menahan napas. Mengintip dari celah gorden, mendapati sosok berdiri menghadap ke rumahnya masih dengan setelan pakaian yang tadi dia kenakan untuk bekerja.

"Ada apaan, Nda?" tanya Diya ikut terbangun karena reaksi Nanda.

Nanda menoleh, sedikit tergagap lalu meringis singkat.

"Nggak ada!"

"Ada maling?"

"Bukan."

"Mas Robi dateng ya?" tanya Diya mulai panik. Mas Robi adalah nama suami Diya.

"Bukan. Tunggu di dalam," ucap Nanda singkat sambil bergegas meninggalkan kamarnya.

"Nda."

"Bukan apa-apa. Jangan khawatir," sahut Nanda sebelum menutup pintu kamarnya.

Langkah Nanda begitu tergesa tapi sedikit menyimpan keraguan untuk menemui lelaki itu. Tapi panggilan telfon entah kenapa membulatkan tekat Nanda untuk menemuinya.

"Ada apa?" tanya Nanda pelan tanpa basa-basi sambil menghampiri lelaki itu.

"Temani aku jalan-jalan, Nda. Besok kamu libur kan?" pinta Ken lembut.

"Libur sih tapi...,"

"Aku nggak bakal ngapa-ngapain kok. Cuma minta ditemenin kamu aja."

"Nggak lama kan?" tanya Nanda hati-hati. Ada rasa tidak enak untuk menolak lelaki ini. Apalagi saat Nanda menatap ke dalam matanya. Ada setumpuk lelah di sana, seperti ingin menyerah.

"Nggak. Cuma butuh udara segar aja."

Nanda mengangguk kemudian mengikuti langkah kaki pria itu, meninggalkan rumahnya. Menyusuri gang kecil tanpa bicara lalu berhenti di depan mobilnya yang terparkir di depan sebuah ruko.

"Kita mau ke mana?" tanya Nanda.

"Di sini," jawab Ken sambil duduk di kap mobil. Sementara Nanda menatap ke sekeliling. Deretan ruko yang tutup dan satu dua mobil terparkir di sana.

"Ada apa sebenarnya?" tanya Nanda setelah sekian lama terdiam dan Nanda tidak tahan dengan keadaan itu.

Lelaki itu menarik napas panjang kemudian menjatuhkan tatapannya pada Nanda. Tangannya meraih tangan Nanda, menggenggamnya tanpa peduli reaksi kaget dari Nanda.

"Nda, kamu punya mimpi atau cita-cita nggak?" tanya Ken lirih.

Nanda terdiam, mencoba mengingat apa yang pernah menjadi masa lalunya. Tentang cita-cita dan mimpi yang pernah menjadi tujuannya.

"Kenapa emangnya?"

"Tanya, Nda. Menurutmu, perlu nggak kita berjuang mati-matian demi cita-cita itu?"

Nanda menarik napasnya lalu menoleh, tersenyum tipis pada Ken. Kini dia bisa menebak kemana arah pembicaraan lelaki itu.

"Pernah. Tapi aku lebih memilih menyerah," jawab Nanda.

"Apa?"

"Dulu, aku pernah punya cita-cita bekerja di kantoran, punya jabatan. Kayaknya sempurna. Setelan pakaian rapi, gaji besar dan orang-orang berdecak kagum.

Tapi, aku menyerah. Tepatnya, tiga tahun lalu. Kenapa? Ternyata itu sangat membosankan. Aku perlu sesuatu yang lain. Untuk bisa lebih menikmati hidup. Ken, terkadang apa yang kamu sebut cita-cita itu bukan sesuatu yang benar-benar kamu butuhkan."

"Maksud kamu?"

"Cita-cita bisa berubah seiring berjalannya waktu. Tergantung dari apa yang kamu butuhkan. Kamu ingat, waktu kecil saat kamu ditanya, apa cita cita kamu? Hampiri 90% anak menjawab pilot, polisi, tentara.

Lalu besar sedikit, berubah kan cita-citamu? Pengen kerja, hidup mapan semua tercukupi. Dan saat kamu tiba di satu titik, cita-citamu juga pasti berubah. Semua sesuai kebutuhan, Ken. Nanti kamu akan berhenti ketika kamu menemukan apa yang kamu butuhkan."

Ken terdiam. Mengingat apa saja yang pernah menjadi keinginannya sejak dulu. Pelan, Ken menarik napasnya ketika ada sesak yang menyelinap di dalam dadanya.

"Aku cuma ingin hidup bebas, Nda. Sekali aja seumur hidup," lirih Ken ketika menyadari satu-satunya keinginannya sejak dulu. Hidup bebas tanpa ada tekanan lagi.

Suara Ken membuat Nanda menoleh. Mendapati pria itu menatap langit malam dengan mata mengerjab.

"Jangan ngeluh. Tandanya kamu istimewa. Kamu ditekan biar kuat," ucap Nanda dengan senyum bijaknya.

"Tapi lelah, Nda," lirih Ken tertawa, "Ternyata aku lemah ya?"

Nanda menarik napasnya, menumpukan satu tangannya pada genggaman Ken. Memberinya tepukan beberapa kali.

"Nggak selamanya orang harus kuat. Ada saatnya bertemu titik rendah. Kamu cuma perlu istirahat. Kita ini manusia, bukan superhero."

"Jangan pernah jauhin aku, Nda. Ya?" ucapnya menatap Nanda penuh harap, seperti anak kecil yang merengek minta ditemani bermain.

"Apa?"

"Apapun itu, Nda. Jangan pernah jauhin aku. Kamu harus janji."

Sesaat Nanda menyelami mata Ken. Seperti ada yang menyentuh perasaannya, mengguncang keras hatinya. Ah, dia sudah sukses menjungkirbalikkan perasaan Nanda tanpa ada yang tahu. Hanya Nanda, yang mati-matian menutupi perasaannya.

"Nda?"

"Iya. Jangan takut, kamu harus selalu semangat. Ada aku yang akan selalu dukung kamu," ucap Nanda meluncur begitu saja.

"Makasih, Nda."

Nanda hanya mengulas senyuman. Namun berarti sangat lebih bagi Ken. Malam ini adalah malam paling indah selama hidupnya hingga detik ini. Bisa menggenggam tangan orang yang Ken suka, bahkan bisa berdekatan hingga Ken puas menghirup aroma tubuh Nanda. Yang lebih membahagiakan bagi Ken adalah ketika tangan itu merangkum genggaman tangannya, memberinya semangat.

Tahu tidak, Nanda adalah wanita pertama yang membuat Ken berani menyimpulkan bahwa itu cinta. Menggugah hasrat ingin menjalani hubungan serius. Sekalipun Nanda bukanlah wanita pertama yang datang ke dalam hidup Ken. Tapi Ken sangat menginginkan Nanda adalah wanita pertama dan terakhir yang membuatnya jatuh cinta.

***
Tbc
Yhaaaa mas Ken kebat-kebit jantungnya. Btw, denger2 web mirror marak lagi ya? Banyak yang pada unpublished cerita.
09 November 2018
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro