Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.8b

Anggun menatap sahabatnya yang termenung di sampingnya. Tidak biasanya Zalia terlihat kusut. Seperti sedang gundah memikirkan sesuatu. Ia meletakkan gelas jus yang sedari tadi ia pegang dan menepuk pundak Zalia.

“Eh, melamun terus. Ada apa?”

Zalia bukannya menjawab malah menghela napas. Pikirannya berkecamuk ke arah Gavin dan sikap pemuda itu yang aneh. Ia jadi punya prasangka yang tidak-tidak terhadap kekasihnya.

“Yee, ditanya malah nglamun. Ada apa, lo?”

Zalia mengangkat bahu.“Nggak ada apa-apa.”

“Nglamun aja. Mikir Gavin? Ke mana dia? Bukannya hari ini janji mau datang?”

Lagi-lagi Zalia hanya mengangkat bahu. Ia tak tahu jawaban atas pertanyaan Anggun ke mana Gavin, dan kenapa tidak datang hari ini. Padahal, pemuda itu sudah berjanji akan datang pada perayaan ketigapuluh hari kelahiran anak Sani.

Dari dalam terdengar tangisan bayi, tak lama suara Bima yang sedang meninabobokan anak perempuannya, terdengar lirih di pendengaran mereka. Sani yang semula berada di dalam bersama bayi dan suaminya, kini duduk berhadapan dengan dua sahabatnya.

“Oke, anak gue udah sama bokapnya. Sekarang kasih tahu gue, napa lo murung!” tanya Sani dengan lengan bersedekap ke arah Zalia.

“Gue nggak murung, cuma mikir,” jawab Zalia pelan.

“Mikir kapan mau kawin?” celetuk Anggun.

Dengkusan terdengar dari mulut Zalia. Ia melirik Anggun dengan sengit. Sementara tangannya menjentikkan kuku, ia mengigit bibir bawah.

“Mikir Gavin?” tebak Sani.

Kali ini Zalia mengangguk. “Bisa dibilang gitu.”

Tanpa aba-aba Anggun menepuk pundak Zalia dan membuat wanita cantik itu menoleh kaget. “Napa mukul-mukul, sih?”

“Tadi gue tanya masalah Gavin, lo bilang bukan. Sekarang ama Sani, lo bilang iya. Ngeselin lo!” tukas Anggun keki.

Zalia melirik Anggun dengan tatapan tak percaya lalu beralih pada Sani yang menahan senyum. Akhirnya, ia mendesah kecil dan menyandarkan punggungnya pada sofa.

“Gavin sekarang kerja di hotel gue,” ucapnya pelan.

“Hah, sumpeh lo?” celetuk Anggun.

“Mulai kapan?” tanya Sani.

“Dari tiga Minggu lalu, sih. Gue lupa aja ngomong ama kalian.”

Anggun mencolek bahu Zalia. “Trus, enak dong punya pacar satu kerjaan. Bisa bareng setiap saat. Apa bagian dia?”

Zalia mendesah, mengulum senyum saat mengenang waktu-waktu yang ia habiskan bersama Gavin di hotel. Sayangnya, meski satu tempat kerja justru mereka jarang berjumpa.

“Gue nggak tahu bagian dia itu apa. Atasannya siapa. Setiap hari pekerjaan dia itu berubah-ubah. Kadang OB--,”

“What, tunggu! Gavin jadi OB?” sela Anggun tak percaya. Wanita itu bertukar pandang dengan Sani dan keduanya sama-sama mengangkat bahu tak mengerti.

“Iyaa, gue juga nggak tahu awalany gimana,” tutur Zalia meneruskan ceritanya. “Mendadak suatu hari dia bilang pindah kerja ke hotel gue. Daaan, menjadi pekerja paling sibuk yang pernah gue tahu. Hari ini OB, besok resepsionis, lain hari pelayan di kafe hotel. Padahal, itu nggak ada hubungannya sama manajemen kepegawaian dia. Yang gue heran, kadang-kadang gue lihat dia melintas sama beberapa orang yang gue tahu adalah pejabat tinggi hotel.”

“Bisa jadi dia asisten, atau pesuruh, atau apalah para pejabat itu,” tebak Sani dengan dahi mengernyit.

Zalia mengangguk setuju. “Bisa jadi, tapi yang pasti kesibukannya melebihi gue sekarang. Kalau dulu di hotel lama kami masih sering ketemu, justru sekarang buat pulang bareng aja gue harus lembur. Gilaa, nggak?”

“Gilaa, memang gilaa. Tapi, bukannya semua orang tahu kalau jatuh cinta itu memang gila?” Anggun berucap pelan. “nikmati aja, toh lo suka sama dia? Bisa jadi dia lagi kerja keras buat nikahin lo.”

“Huft, anehnya semenjak ama Gavin justri pikiran gue nggak melulu soal nikah. Aneh banget. Beda sama pas gue pacaran sama Thomas.” Zalia memandang bergantian pada dua sahabatnya.

Sani yang semula terdiam, kini meraih toples berisi kacang asin yang dia letakkan di atas meja. Mengambil segenggam dan mengunyahnya. Sementara pikirannya menghembara pada Gavin, si berondong tampan.

Ia merasa kalau Zalia justru menjadi lebih tenang dan lebih dewasa saat bersama Gavin yang notabene lebih muda dari pada saat bersama Thomas yang sudah matang umurnya. Sebuah perubahan yang bagus menurutnya. Dan, ia tahu jika Anggun pun sepakat akan hal ini.

“Lo nyaman barengan Gavin. Karena rasa nyaman itu makanya lo nggak terlalu mikir aneh-aneh, yang penting dijalani dulu.” Sani berucap setelah terdiam sesaat.

Anggun mengacungkan telunjuk ke arahnya. “Gue setuju ucapan Sani. Karena ngrasa nyaman jadi nggak banyak nuntut. Teori yang bagus. Itu artinya, Zalia beneran jatuh cinta.”

“Huft, apaa sih,” gerutu Zalia pelan.

“Gue nilai, Gavin itu pemuda yang baik dan pekerja keras. Gue suka anak itu.” Suara Bima menimpali dari belakang mereka. Tak lama, laki-laki itu duduk di samping istrinya. “Yang perlu lo lakukan, hanya tetap di sampingnya. Suatu saat kalau dia udah siap, dia pasti mau nikahi lo.”

Belum sempat mereka menjawab perkataan Bima, terdengar bel pintu berdering. Bima bangkit dari duduk untuk melihat siapa yang datang. Saat pintu terbuka, ia berucap nyaring.

“Yo, brondong tampan datang juga.”

“Wew, bokap muda. Ini gue bawa kue cake ponakan gue yang cantik.” Gavin muncul membawa sekotak kue dan mengacungkannya di depan Bima yang menerima dengan gembira.

“Ini cake hotel yang mahal. Kok lo beli mahal-mahal gini?” tanyanya antusias.

“Gue dapat kenalan, biasa diskon,” jawab Gavin tersenyum. Matanya menemukan mata Zalia dan ia melangkah masuk, duduk di samping kekasihnya. “Maaf, aku terlambat,” ucapnya lembut.

“Sibuk, ya?” tanya Zalia sambil meraih tangan Gavin dan menggenggamnya.

“Sedikit, untung bisa pulang cepat.”

Mereka mengobrol lirih, sementara teman-teman mereka membuka kotak dan mengagumi cake di dalamnya.

“Itu cake mahal,” tanya Zalia lirih.

“Lumayan, harga diskon.”

Sani pergi ke dalam dan datang dengan piring-piring kecil beserta garpu. Ia membiarkan sang suami memotong cake berlapis coklat keemasan dan membagikan sepotong pada teman-temannya.

“Gila, emang beda cake mahal,” ucap Bima senang. “paling Anggun yang udah biasa makan cake begini.”

Anggun mengangkat bahu. “Memang, tapi gue akuin ini enak. Gavin pintar milih.”

Percakapan bergulir tentang cake, hotel, dan pekerjaan baru Gavin. Semua bertanya tentang apa yang dia kerjakan di hotel baru dan kenapa terlihat lebih sibuk menurut Zalia. Dengan sabar, Gavin bercerita menyeluruh. Tentang magangnya sebagai OB, resepsionis maupun pekerjaan yang lain sampai dia ditentukan akan ditempatkan di mana.

Saat mereka asyik mengobrol, terdengar jerit tangis bayi dari dalam. Bima dan Sani bergerak bersamaan untuk melihat bayi mereka. Sementara Anggun pamit ke kamar mandi. Tersisa hanya Zalia dan Gavin yang duduk dengan kepala berdekatan.

“Ngomong-ngomong, kenapa kamu bisa kenal sama model terkenal itu?” tanya Zalia saat teringat akan pertemuannya dengan Aileen.

“Aileen?” tanya Gavin.

“Iya, siapa lagi? Cewek yang bebas peluk kamu dan kulihat kamu nggak keberatan. Malah kayak menikmati.”

Untuk sesaat Gavin menatap serius pada wajah kekasihnya lalu menyadari jika wanita di sampingnya sedang cemburu. Seketika, senyum merekah di mulutnya dan hatinya menghangat.

“Kamu cemburu, ya?” bisiknya mesra.

“Diih, apaan, sih. Memangnya nggak boleh tanya?” elak Zalia.

“Boleh, harus tanya malah. Kalau kamu nggak tanya, nggak mau tahu malah aneh,” ucap Gavin dengan senyum terkulum. “Aku senang kamu cemburu, berarti sayang.”

Ucapan Gavin membuat wajah Zalia merona, ia melirik sengit lalu mendaratkan cubitan di pinggang kekasihnya.

“Iya, aku cemburu. Coba bilang, dia siapamu.”

“Aduuh, sakit, ih. Lepasin dulu cubitannya.”

“Bilang dulu dia siapa?”

“Iyaa, temen dia temen. Lepasin dulu, sumpah sakit,” pinta Gavin sambil meringis menahan sakit.

Zalia berdecak dan melepaskan cubitannya. Ia menyipit ke arah Gavin. “Teman? Kok bisa kalian berteman?”

“Huft, kami dulu tetangga pas masih kecil. Sampai SMA dia pindah dan jadi model. Keluarga kami dulu akrab satu sama lain, begitulah.” Gavin bertutur perlahan tentang Aileen. Menahan rasa berdosa karena telah berbohong pada Zalia. Namun, ia merasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk berkata jujur. Ada banyak hal yang harus dia lakukan terlebih dulu, sebelum Zalia tahu yang sebenarnya.

“Hanya itu?” tanya Zalia.

Gavin mengangkat kedua lengannya. “Hanya itu, nggak ada yang lain.”

Zalia terdiam lalu mengangguk. “Baiklah, aku percaya. Awas kalau kamu macam-macam.” Ia membuat gerakan menebas leher dan melihat Gavin meringis.

“Ampun, aku janji nggak akan macam-macam.”

“Swear?”

“Swear, Cintaa. Aku janji pokoknya.”

Keduanya bertukar tawa bahagia. Lalu kembali duduk sambil berpelukan. Zalia merasa hatinya kembali tentram. Bisa jadi karena kehadiran Gavin, atau juga keterangan pemuda itu tentang Aileen membuatnya lega. Memang ia akui, ia sempat merasa cemburu. Namun, kini ia memutuskan untuk percaya sepenuhnya pada Gavin. Ia percaya jika Gavin adalah orang yang jujur, dan tidak akan mengkhianati kepercayaannya.

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro