Bab.8a
Kehebohan terjadi di lobi hotel suatu siang, saat Gavin yang kebetulan bertugas di meja resepsionis didatangi seorang gadis amat cantik. Bukan hanya para pegawai hotel yang kebingungan melihat hal itu, para tamu pun mengalami hal yang sama. Terlebih saat mereka mengenali gadis itu adalah model terkenal.
“Hai, Cowok. Mau nemenin aku ngopi nggak?” Gadis itu bersandar pada meja resepsionis. Mengedip jahil pada Gavin yang menatapnya dengan kening berkerut.
“Bukannya kita janji mau ketemu nanti malam? Kenapa jam segini kamu sudah datang?” tanya Gavin tanpa beranjak dari tempatnya berdiri. Ia tak peduli sementara pegawai resepsioneis yang lain menatap Aileen dengan pandangan memuja.
Sang adik cemberut, lalu berpucap manja. “Dih, gitu amat reaksinya. Padahal kita udah beberapa tahun nggak ketemu. Dua tahun kayaknya. Apa aku makin cantik?” Aileen lagi-lagi mengedip manja.
Gavin memandang sang adik sejenak lalu kembali menatap catatannya. “Nggak ada bedanya bagiku. Tetap saja yang ada di ingatanku tentang gadis manja yang suka merengek.”
“Diih, apaan, sih? Nyebelin banget jadi kakak.” Aileen mengentakkan kaki ke lantai. Merasa kesal. Selalu seperti ini saat bicara dengan Gavin. Ia akan menerima cemooh dan sikap dingin.
Tidak memedulikan sang kakak yang berusaha menolaknya. Aileen melewati para penggemar yang berkerumun tak jauh darinya. Ia tersenyum ke arah mereka lalu masuk ke area resepsionis. Tanpa banyak kata, ia meriah lengan Gavin dang menggenggamnya kuat.
“Ayo, kita ngopi,” ajaknya ceria.
“Apa-apaan kamu, lepaskan aku,” desis Gavin tak suka.
“Nggak mau. Pokoknya kalau Kakak tetap di sini, ya sudah. Aku akan berdiri di sini sampai jam kerjamu selesai.”
Gavin mendengkus kasar. “Dasar manja!”
“Biarin, yang penting cantik.”
Merasa tidak mungkin menang berdebat dengan Aileen yang sembrono tapi tukang maksa, Gavin akhirnya meletakkan catatannya. Ia berpesan pada teman kerjanya untuk menggantikan dirinya sebentar. Lalu, dengan lengan berada dalam genggaman Aileen, ia mengikuti gadis itu menuju kafe yang berada di lobi timur hotel.
Bisik-bisik ingin tahu terdengar riuh saat orang-orang melihatnya. Beberapa kamera ponsel diarahkan pada mereka. Entah kenapa Gavin makin jengkel dibuatnya.
Setelah mereka mendapat tempat untuk duduk, barulah Aileen melepaskan tangannya.
“Maumu apa sebenarnya?” tanya Gavin sambil mengenyakkan diri di depan sang adik. “Bukannya kita bertemu nanti malam?”
Aileen melambaikan tangan di depan Gavin. “Stt, Kakak jangan marah-marah dulu. Aku datang justru bermaksud baik.”
“Memaksa orang mengikuti kemauanmu, itu yang kamu bilang baik?”
Aileen meringis, membuat giginya yang putih terlihat berkilau. Wajah cantiknya berbinar di bawah siraman lampu kafe yang benderang. Ia menatap sang kakak yang memakai seragam hotel warna biru. Seketika tawa meledak dari mulutnya.
“Ada apa?” tanya Gavin heran, saat melihat Aileen tertawa.
“Nggak, Kakak lucu. Seorang GM hotel ternama tapi memakai seragam pegawai hotel. Udah gitu pakai acara menyamar pula. Hahahaha. Udah kayak di sinetron.” Aileen mengerjap, berusaha menghentikan tawanya. Ia berdehem lalu melanjutkan ucapanya. “Penyamaran seorang GM tampan untuk mendapatkan jodoh. Sungguh judul sinetron yang menjual.”
Gavin tersenyum masam, melihat adiknya terpingkal-pingkal. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun sampai pelayan kafe datang membawa pesanan mereka.
“Kalau kamu nggak berhenti ketawa, aku balik kerja,” ucap Gavin mulai sebal.
“Eih, ngambekan, ih. Lama-lama Kakak jadi kayak cewek,” gerutu Aileen sambil menggeleng. “padahal aku datang mau berbagi info.”
“Info apa?”
Gavin mengaduk es kopi di hadapannya sementara Aileen merogoh tas kecil yang sedari tadi dia bawa dan mengeluarkan ponsel. Jemari lentiknya membuka layar dan menyorongkan ponsel ke hadapan Gavin.
“Namanya Margaret. Anak perempuan dari pimpinan Cipta Cahya Group.” Dia menunjuk pada seorang wanita yang sedang berpose di hadapan wartawan. Tangan wanita dalam foto bergayut mesra pada pundak seorang laki-laki tampan.
Gavin mengernyit memandang foto di ponsel, lalu mendongak ke arah adiknya. “Lalu, apa hubungannya sama aku?”
Aileen tersenyum. “Margaret, terkenal sebagai wanita pemburu laki-laki tampan. Kakak lihat cowok yang tadi dia rangkul? Itu adalah bintang idola terkenal, namanya Bagas.”
“Bukannya dia cowokmu?” sela Gavin pelan.
“Hei, dari mana Kakak tahu?” tanya Aileen balik. Merasa heran karena sang kakak tahu perihal dirinya.
“Tabloit gosip,” jawab Gavin enteng.
Aileen mendengkus, mengibaskan rambut coklatnya yang bergelombang ke belakang bahu. “Kami sudah putus. Aku menendangnya saat tahu dia menerima tawaran untuk menjalin hubungan gimmick dengan Margaret. Nggak sudi aku sama cowok murahan seperti itu!”
Gavin menatap adiknya dalam diam. Ia menyadari jika wajah Ailen lebih banyak mirip sang papa dari pada sang mama. Dengan dagu lancip dan bibir tipis. Di antara ketiga anak yang dilahirkan Jingmi, hanya Aileen yang dekat dengannya. Gadis di hadapannya, tak pernah malu mengakuinya sebagai saudara. Bahkan dengan senang hati memanggilnya kakak. Terkadang, perasaan sayang sebagai saudara menyeruak, saat melihat ketulusan sikap yang ditujukan Aileen untuknya.
“Bukannya kamu ingin mengatakan sesuatu tentang Margaret? Kenapa malah terkenang mantan?” Gavin sengaja menggoda saat melihat wajah sang adik murung karena membicarakan tentang Bagas.
Seketika, Aileen tersadar dan kembali menatap Gavin. “Di pesta nanti, kamu akan bertemu dia, Kak. Bisa kupastikan kalau dia akan naksir kamu. Umurnya 29 kalau nggak salah.”
“Informasi macam apa itu?” dengkus Gavin tak percaya.
“Hei, jangan ragukan instingku ini. Aku jelas kenal Margaret seperti apa. Bisa dipastikan kalau malam itu, dia akan mengincarmu.”
“Aku bukan aktor atau model,” sela Gavin pelan.
“Memang, tapi Kakak tampan dan pewaris hotel. Itu sudah cukup membuatnya tergiur.”
Perkataan Aileen membuat Gavin tersentak. Terutama di ucapan tentang pewaris. Ia menghela napas. Meneguk kopi di hadapannya dan berucap pelan.
“Aku bukan pewaris. Di hotel ini aku hanya magang.”
Aileen mengibaskan tangan dengan tidak sabar. “Ah, terserah Kakak, deh. Mau bilang magang atau pewaris. Toh, aku nggak berminat ikut campur di hotel ini. Nggak ada duitnya.”
“Sembarangan kamu ngomong!” ucap Gavin.
“Emang bener. Membosankan pula.” Aileen menjentikkan kukunya yang di cat merah muda. Sama sekali tidak menyentuh minuman yang dia pesan.
Terus terang, ia datang ke hotel memang bukan untuk minum di kafe. Tapi, sengaja datang untuk menermui Gavin. Setelah kematian mamanya Gavin, sang kakak tiri semakin sulit ditemui. Sedangkan ia senang bicara dengan Gavin dibandingkan dengan dua saudaranya yang lain. Terlebih Emilio. Kakak tertuanya itu terlalu congkak dan sombong saat bicara dengannya. Sedangkan adik laki-lakinya masih terlalu kecil untuk diajak bicara.
Itulah yang membuatnya gembira bukan kepalang, saat Hanson menelepon dan meminta bantuannya untuk memdampingi Gavin dalam suatu acara. Tanpa banyak cakap ia menyetujui.
Gavin melihat arloji di pergelangan tangan. Tak terasa sudah satu jam ia meninggalkan meja resepsionis.
“Kalau nggak ada lagi yang mau diomongkan, kita pisah. Aku harus kembali kerja.” Ia bangkit dari kursi.
Aileen mengangguk, ikut bangkit dari kursinya. “Baiklah, jangan lupa Kakak bayar minumannya.”
“Hei, bukannya kamu yang traktir?”
“Ih, aku nggak ngomomg, tuh.”
“Kamu bukannya lebih punya uang dari pada aku?”
“Memang,” jawab Aileen bangga. “tapi ada di bank. Masa iya, aku ke bank dulu untuk membayar kopi? Kakak ini gimana, sih?”
Gavin menggeleng, merasa bicara dengan adiknya makin lama makin membuat kesal. Akhirnya ia mengeluarkan uang untuk membayar minuman pesanan mereka dan kembali ke meja resepsionis dengan Aileen merendengi langkahnya.
“Kata Susu, pacar Kakak ada kerja di sini juga. Yang mana orangnya?”
Langkah Gavin terhenti seketika, ia menatap Aileen dengan kening berkerut. “Kenapa kalian suka sekali bergosip tentang aku?”
Aileen mengangkat bahu. “Susu nggak bergosip. Aku yang mencari informasi darinya. Hebat,’kan aku? Jadi, yang mana dia?”
“Nggak ada di lantai ini,” sahut Gavin kesal. Ia melanjutkan langkahnya kembali.
“Apa dia belum tahu kalau Kakak adalah pewaris hotel ini?”
“Dia nggak ada hubungannya sama urusanku dan hotel ini.”
“Ah, jadi dia belum tahu? Menarik,” gumam Aileen.
Di tengah lobi, Gavin berhenti. Menatap sang adik. “Ingat, Aileen. Aku hanya magang di sini, jangan membuatku berada dalam masalah.”
Aileen mengangkat tangan. “Okee, tenang saja. Aku akan bersikap baik.”
Ucapan yang hendak keluar dari mulit Gavin terhenti, saat dari belakangnya terdengar teguran lembut.
“Gavin? Sedang apa di sini?”
Serta merta ia menoleh dan menatap Zalia yang berdiri heran tak jauh darinya. Mata wanita itu bergantian menatap dirinya lalu ke Aileen yang sekarang merangkul lengannya. Jika tidak ingat sedang berada di lobi hotel, ingin rasanya ia mendorong sang adik agar menjauh.
“Hai, kamu dari mana?” sapa Gavin dengan senyum terkembang. Berusaha melepaskan pegangan Aileen tapi sialnya, sang adik makin mempererat pelukannya.
“Mengecek ballroom, akan ada acara besok,” jawab Zalia dengan mata bersinar curiga. Tanpa sadar matanya menatap lengan Aileen yang merangkul Gavin. Ia mengenali gadis itu sebagai model terkenal, yang ia tak tahu adalah hubungan Aileen dengan Gavin. “Siapa dia?” tanyanya sambil tersenyum.
Sebelum Gavin sempat menjawab. Aileen tersenyum dan berucap lantang.
“Hai, aku Aileen. Kamu pasti mengenaliku. Bisa dibilang, aku adalah penggemar nomor satu dari Kak Gavin. Kamu siapa, ya?” tanya Aileen jahil.
Sementara Gavin memerah menahan geram, kekagetan melanda Zalia. Ia terpukau dengan informasi yang baru ia dengar. Setelah menenangkan diri beberapa saat ia tersenyum.
“Aku hanya pegawai di sini. Senang bisa berjumpa dengan seorang yang tekenal seperti kamu. Aku balik kerja dulu, daa.” Zalia berlalu tanpa berpamitan dan memandang wajah Gavin.
Tindakan kekasihnya membuat Gavin memaki dalam hati.
“Ups, ada yang cemburu,” bisik Aileen sambil melepaskan rangkulannya. “Aku tinggal dulu, Kak. Selamat menenangkan hati pacarmu? Dia cantik dan anggun ternyata. Pantas jadi kakak iparku.”
Sambil tergelak, Aileen meninggalkan Gavin. Yang berdiri kebingungan di tengah lobi. Tercabik antara ingin memukul sang adik atau mengejar Zalia dan menjelaskan duduk masalahnya. Namun, ia sadar sedang dalam waktu kerja. Akhirnya, ia memutuskan akan bicara dengan Zalia sepulang kerja.
✨✨✨
Bersambung
Gavin
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro