Bab.7a
Gavin menatap wanita cantik yang duduk di sampingnya. Mereka sedang bicara di ruang tamu Zalia yang kecil tapi nyaman. Ini memang bukan pertama kalinya ia masuk ke rumah sang kekasih, hanya saja ada perasaan berat menggayut di dada yang membuatnya gelisah.
Zalia sedang sibuk menata makanan kecil yang ia buat sendiri di atas piring porselen. Lalu, menghidangkannya ke atas meja.
"Dicoba deh, barusan aku buat sendiri."
Gavin menatap lumpia panas di depannya. Mengambil selembar tisu dan mencomot satu makan.
"Enak, kapan buatnya? Perasaan aku ngisi bensin nggak lama. Napa tiba-tiba udah ada makanan?" Ia mendecakkan lidah, saat rasa gurih menyebar di mulutnya.
"Udah buat dari kemarin, sih. Cuma aku masukkan freezer, jadi kapan saja bisa digoreng," jawab Zalia sambil mengambil satu pastel dan ikut mengunyah.
Mereka baru saja pulang kerja. Hampir setiap hari, Gavin menjemput kekasihnya dan mengantar pulang. Awal mulanya, Zalia merasa keberatan karena tidak ingin merepotkan Gavin tapi pemuda itu menolak.
"Waktu kita berduaan sangat terbatas karena kesibukan kerja. Jadi, menjemputmu pulang adalah salah satu alasan untuk kita bersama."
Mau tidak mau, Zalia setuju dengan pendapat Gavin. Mereka memang sibuk hingga waktu untuk bertemu akan sangat susah. Bahkan hari libur pun mereka belum tentu bisa berkencan. Saat pulang kerja seperti ini adalah waktu menyenangkan untuk dilewati berdua.
Sementara Zalia sibuk menuang teh untuknya, Gavin berdehem. Berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan kata-kata. Setelah menghitung dalam hati sebanyak lima puluh kali, akhirnya ia berucap pelan.
"Mulai bulan depan, aku akan akan bekerja di hotelmu."
Zalia menghentikan kegiatannya yang sedang mengelap kaca meja yang terkena percikan teh. Memandang Gavin dengan heran.
"Wow, mendadak sekali. Kamu melamar ke hotelku? Kapan? Kok nggak bilang-bilang?"
Gavin mengangkat bahu. "Sengaja, biar surprise."
"Keren, benar-benar surprise. Tapi, aku senang dengarnya. Bagian apa? Resepsionis juga?"
Gavin menimbang sesaat sebelum menggeleng pelan. "Bagian macam-macam, kadang gudang, kadang office boy, kadang membantu ini dan itu."
Zalia mengernyit. "Kok aneh bagianmu? Siapa sih atasanmu biar aku bicara sama dia."
"Eih, nggak boleh. Aku nggak mau dibantu nanti dikira KKN. Pokoknya yang penting bisa satu tempat kerja sama kamu, meski hari libur kita beda. Yang penting kita berangkat dan pulang bisa barengan."
Zalia tersenyum cerah, matanya berbinar bahagia. Tangannya terulur untuk membelai lengan Gavin dan berucap lembut.
"Apapun itu,aku mendukungmu."
"Benarkah? Kamu nggak malu misalnya suatu hari lihat aku sedang mengepel lobi?"
"Buat apa malu? Yang penting halal dan kamu punya gaji."
Senyum terkulum di bibir Gavin. Ia meraih selembar tisu dan mengelap mulut. Lalu, meraih lengan Zalia.
"Eih, apa-apan, nih?"
Zalia berkelit tapi tenaga Gavin yang menariknya terlalu kuat. Dalam sekejap, ia berpindah tempat duduk, dari sofa dan kini duduk di pangkuan Gavin. Keduanya berpandangan dengan wajah menyiratkan bahagia.
"Memangnya, kalau aku punya gaji kamu mau apa?" tanya Gavin lembut. Jemarinya mengelus bagian belakang rambut Zalia yang halus.
"Ehm, traktir aku makan?" tebak Zalia usil. Ia mengedipkan sebelah mata sambil nyengir.
"Udah, gitu doang? Nggak mau yang lain?"
"Yang lain apa? Palingan juga nonton."
Jemari Gavin yang semula menyusuri rambut Zalia, kini turun ke leher dan dagu wanita itu. Secara lembut mengusap bibir dan ia pun berbisik mesra.
"Menikahimu, apa kamu lupa itu permintaanmu?"
Zalia mengerjap, berusaha menahan gejolak di dada. Ia menatap laki-laki yang memeluknya dengan mesra, sebuah harapan melayang dari dalam hati dan membuatnya bahagia. Namun, buru-buru ia sangkal semua karena bagaimanapun, ia belum lama mengenal Gavin. Hubungan mereka pun tidak seperti kebanyakan orang pacarana karena Gavin tak pernah mengucapkan cinta. Mereka hanya merasa nyaman satu sama lain, itu saja.
"Aku sedang berpikir," ucap Zalia pelan. "tentang pernikahan dan hal lain."
"Lalu?" tanya Gavin sambil mengelus dagu Zalia.
"Aku nggak akan memaksamu menikahiku, meski umurku beranjak 33 tahun."
Kali ini Gavin yang tersenyum. "Aku yang akan menikahimu kalau begitu."
Dalam satu pelukan kuat, Gavin meraih kepala Zalia dan mendekatkan bibir mereka. Keduanya bermesraan, saling berciuman dengan mesra. Gavin berusaha mengenyahkan kesedihan dari Zalia saat bicara pernikahan. Karena terus terang, ia tak suka melihat wanita itu murung. Sekarang ini, saat bibir mereka bertautan, desah napas hangat menguar dari mulut mereka, Gavin ingin berteriak pada dunia jika ia menyayangi Zalia.
Sungguh tidak mudah untuk resign begitu saja dari hotel lamanya, karena mereka menganggap pekerjaan Gavin sangat bagus. Meski selama beberapa Minggu terakhir ia serinh bolos karena harus mengikuti pelatihan oleh Hanson. Laki-laki setengah baya yang ia kenal dari kecil itu, mengajari bermacam-macam bisni manajemen terutama tentang hotel. Satu demi satu, ia mengamati, membaca, dan menelaah berbagai dokumen tentang hotel mereka.
"Aku bersedia membantu di hotel selama satu tahun, dengan syarat khusus." Ia berucap suatu hari di depan papa dan Hanson.
"Siapa yang memberimu hak mengajukan syarat? Kamu anakku, sudah sepantasnya harus mengabdi pada keluar Wang tanpa syarat!" Ia bahkan mengabaikan bantahan yang dilontarkan Chen Wang.
"Papa ingin aku membantu atau nggak?" Ia berucap malas. "nggak masalah kalau nggak mau. Silakan bicara dengan Zalia, kita lihat siapa yang lebih dia percaya. Aku atau kalian."
Ucapan tegas Gavin membuat Chen Wang kuatir, ia mencuri pandang ke arah Hanson yang mengagguk samar. Merasa lelah karena harus berdebat dengan anaknya sendiri, Chen Wang berkata pelan.
"Apa syaratmu."
Gavin terdiam, menimbang sejenak. "Aku ingin dianggap sebagai pegawai biasa. Kecuali para petinggi hotel, tidak ada yang boleh tahu kalau aku anakmu."
"Mana bisa kamu berbuat begitu! Kamu keturunan keluarga Wang!"
"Bisa, Pa. Anggap saja aku hanya pegawai yang kalian gaji. Toh, selama ini aku nggak dianggap anak. Ini kebetulan saja kalian lagi butuh orang!" Gavin berucap dengan gusar. Ia benci saat papanya mengungkit-ungkit tentang garis darah mereka. Tanpa diingatkan ia tahu kalau dalam darahnya mengalir darah keluarga Wang. Hanya saja, perlakukan mereka sebelumnya membuatnya muak saat mengucapkan nama marga di belakang namanya.
Kali ini Chen Wang terdiam, ia menunduk dengan tangan memijit pelipisnya yang berkedut. Disadari atau tidak, sikap Gavin yang keras kepala memang mirip dirinya. Ia seperti menabur garam di atas luka Gavin dan semua karena sikapnya dulu. Kini, penyesalan yang membayangi pun tiada guna karena anak laki-laki keduanya punya kartu as yang tak mungkin dia kalahkan tanpa strategi khusus.
"Baiklah, papa setuju. Lalu, apa lagi Tuan Muda Wang?" tanya Chen Wang sinis.
Gavin tersenyum. "Aku bekerja sesuai caraku. Setahun aku keluar dari hotel itu, kalian tidak boleh lagi mengangguku, deal?"
Chen Wang menggeram dalam hati. Ia mengumpat-umpat karena merasa anak laki-laki keterlaluan. Rasa marah yang dia rasakan menjalar ke wajah dan membuat merah padam. Hanson yang melihat perubahan wajah majikannya, melangkah maju untuk mengambil obat di sakunya dan mengulurkannya pada Chen Wang.
"Minum dulu, Tayue. Tenangkan diri, Anda."
Chen Wang mengambil obat yang disodorkan asistennya dan meneguk bersama air yang diambil Hanson dari belakang kursi rodanya. Selesai minum ia berucap lirih pada Hanson.
"Bagaimana aku bisa tenang jika anakku sendiri menentangku. Bahkan tidak mau mengakuiku sebagai keluarga."
Dengkusan tak sopan keluar dari mulut Gavin. "Bukan aku yang tidak mengakuimu, Pa. Tapi, kalian yang membuangku. Jika sudah selesai dramanya, aku mau pulang. Buatkan jadwal untukku, aku siap bekerja kapan pun. Ingat, hanya setahun."
Tanpa basa-basi, Gavin meninggalkan sang papa yang memandang kepergiannya dengan bingung. Sementara di sampingnya, Hanson terdiam menatap punggung tuan mudanya yang menjauh.
Setelah kesepakatan tercapai, Gavin memulai training kerja. Sementara ia belum resign dari hotel lamanya, training dilakukan saat malam. Setelah Hanson yakin, jika Gavin sudah sedikit mengusai tentang seluk-beluk hotel, maka ia meminta agar pemuda itu secepatnya bekerja di hotel mereka.
Setelah berpamitan dengan berat hati pihak hotel tempatnya bekerja melepas kepergiannya. Ia mendapatkan bonus yang lumayan dan menabungnya. Karena tidak membutuhkan uang banyak saat bekerja dengan Hanson.
Gavin tidak ingin ongkang-ongkang kaki meski ia anak pemilik hotel. Setelah pembicaraanya dengan Zalia, ia mulai bekerja di hotel milik keluarga. Dimulai dengan pekerjaan rendahan seperti menyapu dan membersihkan lobi. Hanson menolak tapi ia tak peduli. Perlu baginya bergaul dengan pegawai kalangan bawah, untuk mengetahui situasi hotel yang sesungguhnya. Karena, mereka yang lebih memperhatikan kondisi tamu hotel dibanding pihak manajemen yang duduk di belakang meja.
Kasak kusuk terdengar saat hari pertamanya bekerja. Ia tak peduli pada para pegawai wanita yang menatapnya ingin tahu. Karena meski berseragam cleaning service tapi tidak mampu menyembunyikan ketampanannya.
Kadang-kadang ia bekerja di lantai yang sama dengan Zalia. Yang membuat dia salut, kekasihnya bahkan tak malu-malu menyapa saat mereka berjumpa.
"Apa kamu lelah?" tanya Zalia dengan dokumen di lengan. Menatap Gavin yang sedang mengelap kaca di lorong.
"Lumayan, tapi ini pekerjaan mudah." Gavin melirik kekasihnya yang terlihat memukai dalam balutan seragam kerja warna biru laut. "Seragammu keren. Aku suka," ucapnya riang.
"Masa, sih? Design baru." Zalia berputar di tempatnya berdiri. "Apa kita bisa nonton malam ini?" tanyanya penuh harap.
Gavin menimbang sejenak sebelum menjawab. Karena biasanya malam adalah waktu sibuknya untuk memeriksa dokumen yang dibawa Hanson. Ia mengerti karena kesibukannya, waktu kencannya dengan Zalia berkurang. Mereka bahkan jarang pulang bersama karena pekerjaan Gavin yang menumpuk.
"Nggak bisa, ya?" tanya Zalia was-was. Ia tak habis pikir jika Gavin pindah ke hotelnya dan menempati pekerjaan cleaning service tapi justru lebih sibuk darinya.
"Jam berapa sekarang?" tanya Gavin.
Zalia merogoh kantong dan mengeluarkan ponselnya. "Jam dua pas."
"Baiklah, semoga aku bisa menyelesaikan pekerjaanku sebelum jam tujuh malam. Kita nonton malam ini."
Jawaban Gavin membuat Zalia terlonjak bahagia. Ia menghampiri pemuda itu dan mengelus pelan pundak kekasihnya.
"Kerja yang benar, menabung demi pernikahan kita, ya?"candanya sambil menahan tawa.
Gavin tergelak. "Iya, Sayang. Sebaiknya kamu pergi, sebelum aku tergoda oleh bibirmu yang ranum dan membuatku ingin menciummu di sini."
"Dih, dasar mesum."
Saat keduanya bertukar tawa, seorang wanita berambut pendek datang dari arah yang berlawanan dengan Zalia. Wanita itu menatapa dengan sinis melewati Zalia dan melirik pada Gavin dalam balutan seragam petugas kebersihan. Ia hendak berlalu, namun tiba-tiba menghentikan langkah dan berdiri di antara Zalia dan Gavin.
"Oh, jadi seleramu berubah, Zalia?" tanyanya sinis.
***
Hai, Abang Gavin dan Mpok Zalia akan datang setiap Rabu dan Minggu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro