Bab.2c
Ia bertukar pandang dengan Zalia, memantap mata wanita itu yang bersinar terbias malam. Zalia menggigit bibir bawah untuk mengusir kekuatiran dan Gavin merasa otaknya kosong. Entah dari mana asal pikiran, bibir Zalia terlihat menggairahkan untuk dicium. Detik itu juga, ia memukul kepalanya sendiri yang melantur.
Terdorong oleh insting untuk melindungi, ia mempererat pelukannya.
“Wah-wah, hujan-hujan begini pacaran di tempat sepi sungguh aduhai.”
Salah seorang dari mereka berteriak dan ditimpali dengan tawa mesum dari yang lainnya.
“Tentu saja, siapa yang nggak mau berbagi kehangatan di kala hujan. Gue juga mauuu! Apalagi sama yang cantik!”
Gavin memperhatikan yang bicara adalah laki-laki tambun dengan tato di lengan. Mengedip kurang ajar pada Zalia. Tak lama, tawa menggelegar terdengar dari mereka.
“Bagaimana kita keluar dari sini?” Zalia berbisik pada Gavin.
Hangat napas Zalia menerpa leher Gavin, membuatnya bergidik.
“Kita nggak bisa keluar tanpa melewati mereka, mau nggak mau,” jawab Gavin pelan.
“Trus, mereka kelihatannya jahat.”
“Mau bagaimana lagi?”
Mereka bicara dengan kepala saling berdekatan. Membuat orang-orang yang menatap mereka merasa kesal.
“Hei, kalian ini nggak tahu malu, ya? Pacaran di halte, nggak modal lo!”
Si laki-laki bertato membentak, mengacung pada Gavin lalu menatap Zalia. “Tapi, gue pun akan bersikap sama kayak lo,” ucapnya sambil mengangguk ke arah Gavin. “dapat cewek cakep kayak dia nggak bakalan gue sia-siain. Bakalan gue cium trus gue peluk terus.” Dia berkata dengan senyum mesum tersungging di mulut.
Gavin merasa darahnya mendidih, tapi ia berusaha menahannya. Jika bisa ia ingin melewati kekacauan ini tanpa pertumpahan darah. Sekarang yang ia pikirkan bukan dirinya melainkan wanita di sampingnya. Ia tidak ingin Zalia terluka.
“Bisa berdiri?” Ia berbisik pada Zalia.
Zalia mengangguk dan berdiri. Ia membiarkan Gavin memeluk pundaknya. Ia menyadari jika situasi di halte sepertinya kurang bagus. Ia menatap satu per satu para preman yang mengurung mereka. Sekarang mau tidak mau ia bergantung pada Gavin dan bagaimana cara pemuda itu mengatasi kekacauan ini.
Dalam hati ia meratap, hidupnya sudah kacau saat pertunangan. Dan kini harus menghadapi para preman. Sial sungguh sial.
Jika dipikir sekarang, pemuda di sampingnya juga orang asing. Bisa jadi akan meninggalkannya begitu saja asal dia selamat. Memikirkan kemungkinan itu, membuatnya mual dan gemetar ketakutan.
Gavin yang merasakan bulu kuduk Zalia merinding, meliriknya. Ia tahu, wanita di sampingnya sedang ketakutan.
“Abang-abang semua, bisa tolong minggir. Kami mau pulang!” Gavin berucap lantang.
“Hah, pulang. Mau pulang kemana? Kalian bisa kok tetap mesra-mesraan di sini. Anggap rumah sendiri.”
Tawa mesum kembali terdengar, Gavin menggertakan gigi.
“Pacarku sedang flu, bisa tolong minggir?”
Ucapannya disambut seringai dari para preman dan lirikan kaget dari Zalia. Namun, wanita itu terdiam, membiarkan Gavin membantunya mengatasi masalah.
“Flue? Tinggalkan saja dia. Biar kami yang bantu hangatkan!”
“Nggak Cuma bikin hangat, kami juga mampu bikin panas!”
“Ahai! Uhuii! Panaas!”
Suara tawa mereka menggelegar, mengisi halte yang sempit. Lalu lintas mulai lengang, tidak banyak yang memperhatikan situasi di halte karena buruknya penerangan dan rintik hujan.
Gavin menghela napas, tetap memeluk Zalia. Ia mengitung jarak antara dia dan para preman. Terus terang ia merasa kesal. Saat perutnya berkriuk lapar, bukan mie intans kuah panas yang ia dapat, malah para preman mesum.
Ia memeluk Zalia dan mengusap punggung wanita itu. Seketika, hidungnya tergelitik ole aroma parfum yang lembut bercampur keringat dan air hujan. Aroma yang menimbulkan sensasi yang aneh di tubuhnya. Seperti ingin menenggalamkan diri dalam pelukan Zalia selamanya.
Setelah menenangkan diri, ia berbisik. “Kamu hati-hati, jangan jauh-jauh dari aku. Kubilang merunduk harus merunduk. Kubilangh duduk, lakukan saja. Ingat?”
Zalia mengangguk, hanya bisa pasrah.
“Btw, siapa namamu, Kak?”
“Zalia, namaku Zalia.”
“Nama yang bagus. Sekarang, mari kita hadapi ini bersama.”
“Hei! Kalian ini makin nggak tahu malu, ya! Mesra-mesraan di sini. Udah sini dompet sama ponselnya!” Si laki-laki bertato membentak kesal. “kalau lo mau keluar hidup-hidup dari sini.”
“Kalau gue nggak mau ngasih, lo mau apa?” gertak Gavin balik.
Para preman itu saling pandang. Wajah mereka menyeringai bengis. Lalu, keempatnya menatap Gavin dan Zalia bersamaan.
“Lo cari mati, kalau gitu. Lo nggak ngrasa kasihan sama cewek lo kalau lo mati, dia gimana?” Si Tato kembali berkata bengis.
“Nggak usah pusing, Bang. Gue mau jagaan cewek cantik itu. Gue bikin panas tiap hari.” Salah seorang menimpali dengan mesum, disambut tawa yang lain.
Gavin mengukur jarak, melepas pelukan pada bahu Zalia dan mendorong wanita itu ke belakang tubuhnya. Ia mengepalkan tangan lalu meraih helm yang ia letakkan di kursi. Ia menghela napas sebelum memukulkan helm ke kepala laki-laki bertato.
Selanjutnya, hanya terdengar suara pukulan dan tendangan, saat Gavin seorang diri melawan mereka berempat.
Zalia gemetar kebingungan di tempatnya berdiri, menatap perkelahian di depannya. Ia merasa otaknya gila, semrawut, dan panas. Ini adalah pertengkaran kedua yang ia alami dalam satu malam.
“Ya Tuhan, salahku apa. Sampai hidupku harus serumit ini.” Ia bergumam dan detik itu juga menjerit saat tangan Gavin menekan kepalanya dan membuatnya menunduk.
Ia bangkit dengan kaki lemas. Kini melihat dua preman terkapar dan merintih di lantai. Sebuah belati panjang teracung di tangan laki-laki bertato.
“Cari mati lo, ye!” Laki-laki itu berteriak beringas. Kembali menyerang Gavin dengan bilah pisau panjang.
Zalia menjerit ngeri. Menepuk dadanya dengan gugup. Nyaris saja belati mengenai pinggang Gavin jika pemuda itu telat sedikit saja berkelit.
Suara teriakan terdengar membelah malam, saat laki-lai bertato ambruk dengan lengan mengucurkan darah. Pisau kini beralih ke tangan Gavin.
Zalia melihat Gavin mengacungkan pisau dan berucap tegas. “Kalian minggat dari hadapanku sekarang, atau gue buat jadi mayat!” Ada kewibawaan dalam suaranya yang terpancar. Aura pemberi perintah yang dominan. “Pergi sekarang!”
Tanpa disuruh dua kali, para preman itu tertatih pergi. Dua orang dari mereka memapah laki-kai bertato dan membawanya pergi meninggalkan halte. Sepeninggal mereka, halte kembali sunyi. Zalia menarik napas lega. Menatap Gavin yang masih berdiri gagah dengan pisau di tangan.
Dengan perlahan Zalia mendekatinya, ia meletakkan kepalanya di punggung Gavin dan berucap lirih. “Dua kali kamu menolongku, Gavin. Entah bagaimana kalau malam ini aku nggak ketemu kamu.”
Gavin terdiam, merasa punggungnya hangat oleh napas Zalia. Ia sendiri merasa lega, sudah terbebas dari bahaya.
“Aku nggak tahu ada apa sama kamu, Zalia. Malam-malam begini keluyuran di luar kayak orang gila. Gimana kalau ada orang jahat kayak tadi? Mau jadi apa nasibmu?” Ia berucap tanpa membalikkan tubuh.
Zalia menggeleng, masih dengan kepala di punggung Gavin. Entah kenapa ia merasa begitu dekat dengan pemuda yang sudah menyelamatakannya. Mereka baru saja saling kenal, dan Gavin mempertaruhkan nyawa untuk melindunginya. Ada sisi hatinya yang terketuk, merasa terharu.
“Saat aku keluar menyusuri jalan, aku nggak tahu apa yang aku mau. Aku hanya ingin menjauh dari kericuhan. Ingin menjauh dari rasa malu dan sakit hati.”
Gavin mengerjap, ia merasakan beban di punggungnya makin berat. Bisa jadi karena Zalia makin mendekat.
“Jangan menangis lagi. Ayo, aku antar pulang sebelum datang preman yang lain.”
“Jangan bergerak!” Zalia memegang bahu Gavin, tetap meletakkan kepalanya di bahu pemuda itu. “Aku ingin berucap terima kasih dulu. Terima kasih Gavin, sudah menyelamatkan hidupku.”
Tak sabar dengan Zalia, Gavin berbalik. Mereka berdiri berhadapan. Zalia mendongak, kembali menatap mata pemuda yang terlihat begitu teduh dalam keremangan malam. Kini ia menyadari jika tinggi tubuhnya hanya mencapai dagu Gavin.
Gavin sendiri merasa sudah habis kesabarannya. Ia ingin cepat-cepat mengantarkan wanita ini pulang. Ia tak sanggup lagi kalau harus menghadapi bahaya yang lain hanya demi melindungi wanita yang sepertinya punya segudang masalah.
Mereka bertatapan dalam temaram. Gavin melihat Zalia memandangnya sambil tersenyum. Ada sesuatu dalam wajah wanita itu yang membuatnya berdebar. Bisa jadi karena tubuhnya yang lembut dan mungil, atau kulitnya yang putih bersinar. Bisa jadi karena bibir tebalnya yang sexy, ia merasa tergugah.
Entah siapa yang memulai, keduanya saling mendekat. Berpelukan dengan tubuh menempel satu sama lain. Tak kuasa menahan perasaan, Gavin menunduk dan mengecup bibir Zalia. Tak ada penolakan, wanita itu bahkan makin menempelkan tubuhnya. Merasa diberi kesempatan, Gavin meraih dagu Zalia dan kembali mengecup.
Awalanya hanya kecupan coba-coba, lalu berubah menjadi panas saat lidah mereka bertemu. Tanpa sadar Zalia mengalungkan lengannya di leher Gavin. Ia merasa ingin mencicipi bibir pemuda dalam pelukannya. Tanpa malu, ia membalas ciuman Gavin.
Erangan lembuat terdengar saat kedunya saling melumat dan mengisap. Desahan mendamba, bercampur dengan gairah, tertelan malam berhujan. Tubuh keduanya saling menempel dan menguarkan panas, dengan bibir saling bertaut.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro